6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Dispepsia 2.1.1 Pengertian Sindroma Dispepsia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Dispepsia
2.1.1

Pengertian Sindroma Dispepsia
Sindroma dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal

diperut bagian atas. Sindroma dispepsia digunakan untuk menerangkan berbagai
keluhan di abdomen bagian atas, sindroma dispepsia sering juga dipakai sebagai
sinonim dari gangguan pencernaan (Rahmati, 2004). Menurut kriteria Roma III
sindroma dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindroma yang mencakup satu
atau lebih dari gejala- gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat
kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.
2.1.2

Patofisiologi
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan

potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam

lambung, infeksi helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensivitas
viseral (Djojodiningrat D. 2006). Ferri et al.(2012) menegaskan bahwa patofisiologi
dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih
terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna,
seperti di bawah ini:

6
Universitas Sumatera Utara

7

1. Abnormalitas

fungsi

motorik

lambung,

khususnya


keterlambatan

pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume
lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih
cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.
2. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan
depresi.
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak diperut (Talley NJ, Coline-Jones D, Koch KL,
Stanghelline V. 1991).
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan infeksi
H.pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecendrungan untuk melakukan
eradikasi H.pylori pada dispepsia fungsional dengan H.pylori positif yang gagal
dengan pengobatan konservatif baku (Talley NJ, Stanghellini V, Heading RC, Koch
KL, Malangelada JR, Tygat GN,. 2006).

Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan
beragam abnormalitas, motorik telah dilaporkan, diantaranya keterlambatan

Universitas Sumatera Utara

8

pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensia antrum, kontraktilitas
fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal (Talley NJ, Stanghellini V, Heading
RC, Koch KL, Malangelada JR, Tygat GN,. 2006).
Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus),
tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses
yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat
mutlak menjadi penyebab tungal adanya gannguan motilitas (Djojodiningrat D.
2006).
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai
mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon digaster atau duodenum,
meskipun mekanisme pastinya masih belum dipahami (Djojodiningrat D. 2006).

Hipersensivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada semua
gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia
fungsional (Halder SL, Locke GR 3rd, Schleck CD, Zinsmeiter AR, Gerdes LU, Et al.
2011).
Mekanisme hipersensivitas ini dibuktikan melalui uji klinis (Lacy BE, Talley
NJ, Camileri M. 2010). Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan
kedalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil

Universitas Sumatera Utara

9

tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia fungsional.
Hal ini membuktikan peranan penting hipersensivitas dalam patofisiologi dispepsia.
Dispungsi

persarafan

vagal


diduga

berperan

dalam

hipersensivitas

gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga
berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima
makanan, sehingga menimbulakan gangguan akomodasi lambung dan cepat rasa
kenyang (Djojodiningrat D. 2006).
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi
terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu
dibuktikan lebih lanjut (Djojodiningrat D. 2006).
Peranan hormonal masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol,
dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal (Djojodiningrat D. 2006).

Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
funsional dibanding kasus kontrol (Djojodiningrat D. 2006).
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi

Universitas Sumatera Utara

10

masih banyak ditemukan pada upaya menghubungkan faktor psikologis stres
kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang
karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi
dipaparkan adanya kecendrungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual,
atau gangguaan jiwa pada kasus dispepsia fungsional (Talley NJ, Vakil N, and the
practice parameters committe of the American College of Gastroenterology, 2005).
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring dengan
terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara
polimorfosisme gen-gen terkait respons imun dengan infeksi helicobacter pylori pada
pasien dengan dispepsia funsional (Dahlerup S, Andersen RC, Nielsen BS, Schjodt I,

Christense LA, Gerdes LU, et al. 2011).
2.1.3 Klasifikasi Dispepsia
Sindroma dispepsia dapat diklasifikasikan dispepsia organik, dan dispepsia
non-organik atau dispepsia fungsional yang masing-masing akan dibahas lebih lanjut
(Sujono Hadi, 2003)
Dispepsi organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan
pada usia lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsi organik baru dapat dipakai bila
penyebabnya sudah jelas.
Dispesia tukak (ulcer-like dyspepsia), Dispepsi bukan tukak, Refluks
gastroesofagel, Penyakit saluran empedu, Karsinoma (lambung, kolon, pancreas)
pancreatitis, sindroma malabsorpsi, beberapa penyakit metabolism (diabetes mellitus

Universitas Sumatera Utara

11

dan hipotiroid, hiperparatiroid, imbalans elektrolit), Penyakit lain, misalnya, penyakit
jantung iskemik, penyakit vaskuler kolagen.
Dispepsia tukak keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri di ulu
hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan,

pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya
dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak di
lambung atau di duodenum.
Dispepsia bukan tukak mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi
tukak. Biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi
tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
Refluks Gastroesofangeal gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal,
yaitu rasa panas di dada disertai keluhan sindroma dispepsia lainya maka dapat
disebut dispepsi refluks gastroesofageal.
Penyakit Saluran Empedu sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada
penyakit saluran empedu.rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau ulu hati yang
menjalar kepunggung dan bahu kanan.
Karsinoma dari saluran makan esophagus, lambung pankreas kolon sering
menimbulkan keluhan sindroma dispepsia. Keluhan yang sering di ajukan yaitu rasa
nyeri di perut, keluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat
badan menurun.

Universitas Sumatera Utara

12


Pankreatitis rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung.
Perut dirasa makin tegang dan kembung. Disamping itu keluhan lain dari sindroma
dispepsia juga ada.
Dispepsia pada sindroma malabsorbsi pada penderita ini di samping
mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung,
keluhan utama lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
Sindroma Dispepsia akibat Obat-obatan bayak macam obat yang dapat
menimbulkan rasa sakit atau tidak enak didaerah ulu hati tanpa atau disertai rasa
mual,dan muntah misalnya obat golongan NSAID (non steroidal anti inflammatory
drugs), teofilin, digitalis, antibiotic oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol,
dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan macam obat yang dimakan sebelum
timbulnya keluhan dispepsia.
Sindroma Dispepsia akibat Ganguan Metabolisme diabetes mellitus dengan
neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga
timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang. Menyebabkan timbulnya
hipomotilitas lambung. Hiperparatiroid mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea,
vomitus, dan anoreksia.
Penyakit lain penyakit jantung iskemik, sering memberi keluhan perut
kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga

sering memberi keluhan rasa sakit perut di atas, mual kembung, kadang-kadang
penderita angina mempunyai keluhan memnyerupai refluks gastroesofageal.

Universitas Sumatera Utara

13

Penyakit vaskuler kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus
akan sering member keluhan sindroma dyspepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan
pada penderita SLE terutama yang banyak makan kartikosteroid.
Sindroma Dispepsia fungsional atau dyspepsia non-organik, merupakan
sindroma dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi
dari saluran makanan. Menurut Thompson (1984 dalam sudoyo 2009) untuk
mengambarkan keadaan kronis berupa rasa tidak enak pada daerah epigastrium yang
sering berhubungan dengan makanan, gejalanya seperti ulkus tapi pada pemeriksaan
tidak ditemukan adanya ulkus. Legarde dan spiro menyebutnya sebagai sindroma
dispepsia fungsional untuk keluhan tidak enak pada perut bagian atas yang bersifat
intermitten sedangkan pada pemeriksaan tidak didapatkan kelaianan organis.
Sindroma dispepsia fungsional termasuk didalamnya dispepsia dismotilitas
(dismotility like dyspepsia). Pada dispepsia dismotilitas umumnya terjadi gangguan

motilitas, di antaranya: waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas
mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional
biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung, yaitu terdapat kenaikan asam
lambung.
Kelainan psikis, stress dan factor lingkungan juga dapat menimbulkan
dispepsia fungsional. Hal ini dapat dijelaskan kembali faal saluran cerna pada proses
pencernaan yang ada pengaruhnya dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya
merangsang sel parietal secara langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral
gastrin dan rangsangan lain dari sel parietal dengan melihat, mencium bau atau

Universitas Sumatera Utara

14

membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak
mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi secara reflektoris oleh karena pengaruh
nervus vagus.
Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan
dispepsia fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksekusi
(Montaito M, Santoro L, Vastola M, Curigliano V, Cammarota G, Manna R, 2004).
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress
syndroma mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan
cepat kenyang, sedangkan epicgastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang
lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya
postprandial distress syndrome.
Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan untuk membedakan antara
gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome (IBS), dan
dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh ketidakseragaman
institusi dalam mendefinisikan masing-masing entitas klinis tersebut.
El-serag dan talley (2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan
univentigasi dyspepsia setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis
dispepsia fungsional. Talley secara khusus melaporkan sebuah sistem klasifikasi
dispepsia, yaitu Nepean dyspepsia index, yang hingga kini banyak divalidasi dan
digunakan dalam penelitian di berbagai negara, termasuk baru-baru ini di China

Universitas Sumatera Utara

15

(Dahlerup S, Andersen RC, Nielsen BS, Schjodt I, Christense LA, Gerdes LU, et al.
2011).
2.1.4 Pendekatan Diagnostik
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan
organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke
arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan
diagnosis by exlusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan
tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu penggolongan, dispepsia
fungsional diklasifikasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like
dyspepsia: apabila tidak termasuk kedalam 2 subklasifikasi di atas, didiagnosis
sebagai dispepsia nonspesifik. Esofagogastro duodenoskopi dapat dilakukan bila sulit
membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang
timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun
dan didapatkan tanda-tanda bahaya. Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam
American journal of Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia
fungsional seperti tertera pada tabel (Appendix B, 2010).
Diagnosis dispepsia dapat tumpang tindih dengan IBS. Pasien IBS khususnya
dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan pengosongan lambung

Universitas Sumatera Utara

16

sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas
yang menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering kali juga
disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang menyerupai IBS. Untuk
membedakannya, beberapa ahli mengemukakan sebuah cara, yakni dengan
mengemukakan sebuah cara, yakni dengan pasien menunjuk lokasi diperut yang
terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat didiferensiasi.
Quigley et al, mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu dengan menyatakan IBS
dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit fungsional saluran
cerna (Appendix B, 2010).
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain dispepsia
berhasil dieksklusi. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada upaya mengeksklusi
penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifik organik yang mungkin, bukan
menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala dispepsia yang
dikeluhkan pasien.
Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala dibawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang

Universitas Sumatera Utara

17

c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar didaerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan
timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna
bagian atas (SCBA)
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis
(Appendix B, 2010).
Faktor Resiko, individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami
dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok,
konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili didaerah dengan prevalensi H. pylori
tinggi.
2.2 Pola Makan
2.2.1 Pengertian Pola Makan
Pola makan atau diet adalah gambaran makan yang dikonsumsi setiap hari.
Pola makan merupakan kebiasaan sehari-hari yang tidak dapat dihindari oleh manusia
karena setiap manusia memerlukan proses makan. Makan menjadi rutinitas seharihari, Pola makan metode pengaturan asupan makanan yang diselaraskan dengan
mekanisme alamiah tubuh (Karina, BR, Widyo PH, Yuwono A. 2013). Pola makan
adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis

Universitas Sumatera Utara

18

bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas
untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut Mudanijah (2004) pola
konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi
seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Menurut ahli antropologi

Margaret Mead, pola makan atau food pattern adalah cara seseorang atau sekelompok
orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan ekonomi
dan sosio-budaya yang dialaminya (Almatsier, 2005). Pola makan juga dikatakan
sebagai cara seseorang atau sekelompok orang yang memilih dan mengkonsumsi
makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, fisiologis, budaya dan sosial
(Geissler&Power, 2005 dalam Sebayang, 2012).

Tujuan fisiologis adalah upaya

untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh.
Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat
pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas
kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan (Almatsier, 2004).
Pada Pedoman Gizi Seimbang (Kemenkes, 2014) pengelompokkan makanan
digambarkan dalam piramida menurut sumber zat gizi.Pada dasar piramida (3-4
porsi/hari) adalah makanan pokok (nasi, roti, dan umbi-umbian) sebagai sumber
karbohidrat dan serat.Pada lapisan kedua dari dasar adalah sayuran (3-4 porsi/hari)
dan buah-buahan (2-3 porsi/perhari), sumber zat gizi mikro yaitu vitamin dan

Universitas Sumatera Utara

19

mineral. Lapisan diatasnya adalah kelompok lauk-pauk (2-4 porsi/hari). Sedangkan
dipuncak piramida adalah kelompok makanan yang secara proporsional hanya sedikit
diperlukan yaitu minyak, gula, garam dan bumbu-bumbu.
2.2.2 Metode Food Frequency Questionnaire
Metode ini dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan untuk
memperoleh informasi pola konsumsi pangan seseorang. Untuk itu diperlukan
kuesioner yang terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis pangan dan frekuensi
konsumsi pangan (Riyadi, 2004).
2.2.2.1 Langkah-langkah Metode Frekuensi Makanan
a. Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan
yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya
dan ukuran porsinya.
b. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis
bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumbersumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula.
2.2.2.2 Kelebihan Metode Frekuensi makanan
a. Relatif murah dan sederhana
b. Dapat dilakukan senderi oleh responden
c. Tidak membutuhkan latihan khusus
d. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan
kebiasaan makan.

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.2.3 Kekurangan Metode Frekuensi Makanan
a. Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari.
b. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data.
c. Cukup menjenuhkan bagi para pewawancara.
d. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis
bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner.
e. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.
2.2.3 Pedoman Pola Makan
Pedoman umum gizi seimbang, direktorat gizi masyarakat. RI (PUGS)
dalam Atmasier (2013) 13 pesan dasar yang diharapkan dapat digunakan
masyarakat luas sebagai pedoman praktis untuk mengatur makanan seharihari yang seimbang dan aman digunakan mencapai dan mempertahankan
status gizi dan kesehatan yang optimal. Pesan dasar tersebut :
1. Makanlah aneka ragam makanan.
2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi.
3. Makanlah makanan sumber karbohidrat, setengah dari kebutuhan energi.
4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan
energi.
5. Gunakan garam beryodium.
6. Makanlah makanan sumber zat besi.
7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur empat bulan.
8. Biasakan makan pagi.

Universitas Sumatera Utara

21

9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya.
10. Lakukanlah kegiatan fisik dan olah raga secara teratur.
11. Hindari minum minuman beralkohol.
12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan.
13. Bacalah label pada makanan yang dikemas.
Pada masyarakat jepang ada beberapa anjuran (departemen kesejahteraan
tenaga kerjadan kesejahteraan jepang, 2002) dalam Hardani (2002).
1. Bila hati merasa puas maka akan dapat menciptakan kesehatan.
2. Makanlah makanan yang bergizi lengkap, karbohidrat, lemak, protein,
mineral, vitamin, dan juga air.
3. Makanlah tiga kali sehari.
4. Minumlah susu.
5. Makan jangan berlebihan.
6. Makan cukup sayuran dan buah-buahan.
7. Jangan lupa makan pagi.
8. Setelah makan jangan langsung tidur.
9. Jangan banyak garam, bahan tambahan makanan-makanan instan dan
bumbu penyedap.
10. Usahakan ragam makanan 30 jenis dalam sehari.
11. Jangan lupa olah raga.
12. Diet yang aman.
13. Kunyahlah makanan dengan baik dan jangan terburu-buru.

Universitas Sumatera Utara

22

14. Lakukan olah raga dengan teratur.
15. Makanlah bersama dengan keluarga dengan gembira.
Pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau
sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi
pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi
makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup.
Pola menu seimbang almatsier (2013) pola menu seimbang yang
dikembangkan sejak tahun 1950 dan telah mengakar di kalangan masyarakat luar
adalah pedoman menu 4 sehat 5 sempurna.
Menu adalah susunan makanan yang dimakan oleh seseorang untuk sekali
makan atau untuk sehari. Misalnya menu/hidangan makan pagi berupa roti isi
mentega dan pindakas, sari jeruk dan kopi susu. Menu seimbang adalah menu yang
terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai,
sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan selsel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan. Kehadiran
atau ketidakhadiran suatu zat gizi esensial dapat mempengaruhi ketersediaan,
absorbsi, metabolisme, atau kebutuhan zat gizi lain. Adanya saling keterkaitan antar
zat-zat gizi ini menekanan keanekaragaman makanan dalam menu sehari-hari.
Pola makan menu seimbang yang bila disusun dengan baik mengandung
semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pola menu ini diperkenalkan oleh bapak
Ilmu Gizi Dr. poorwo Soedarmo melalui. Dalam menyusun menu menurut 4 sehat 5

Universitas Sumatera Utara

23

sempurna diperlukan pengetahuan bahan makanan, karena nilai gizi bahan makanan
dalam tiap golongan tidak sama.
Di antara makanan pokok, jenis padi-padian, seperti beras, jagung, dan
gandum mempunyai kadar protein lebih tinggi (7-11%) daripada umbi-umbian, dan
sagu (1-2%). Bila menggunakan umbi-umbian sebagai makanan pokok, harus disertai
makanan lauk dalam jumlah lebih besar dari pada bila menggunakan padi-padian.
Makan beras tumbuk dan roti yang dibuat dari tepung gandum yang tidak digiling
halus/warna cokelat lebih baik makan beras atau gandum putih, karena dalam
keadaan tumbuk atau tidak digiling sempurna kedua bahan makanan tersebut
mengandung lebih banyak tiamin atau vitamin B1 dan unsur lain vitamin Bkompleks.
Padi-padian merupakan sumber karbohidrat kompleks, tiamin, riboflavin,
niasin, protein, zat besi, magnesium, dan serat. Umbi-umbian merupakan sumber
karbohidrat kompleks, magnesium, kalium, dan serat. Porsi makanan pokok yang
dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 300-500 gram beras atau
sebanyak3-5 piring nasi sehari. Sebagian dari beras dapat diganti dengan jenis
makanan pokok lain.
Lauk sebaiknya terdiri atas campuran lauk hewani dan nabati. Lauk hewani
seperti daging, ayam, ikan, udang dan telur mengandung protein dengan nilai biologi
lebih tinggi daripada lauk nabati. Daging merah, hati, limpa, kuning telur dan ginjal
merupakan sumber zat besi yang mudah diabsorbsi. Ikan, terutama bila dimakan
dengan tulangnya (ikan teri), disamping itu merupakan sumber kalsium. Ikan dan

Universitas Sumatera Utara

24

telur lebih murah dari daging dan ayam. Secara keseluruhan lauk hewani merupakan
sumber protein, fosfor, tiamin, niasin, vitamin B6, vitamin B12, zat besi, seng
magnesium, dan selenium.
Kacang-kacang dalam bentuk kering atau hasil olahhan nya, walaupun
mengandung protein dengan nilai biologi sedikit lebih rendah daripada lauk hewani
karena mengandung lebih sedikit asam amino esensial mentionin, merupakan sumber
protein yang baik. Kekurangan mentionin dapat diisi oleh bahan makanan yang lain
seperti beras dan sereal. Kacang-kacangan kaya akan vitamin B, kalsium, fosfor, zat
besi, seng, tembaga dan kalium terutama bila diperhitungkan harganya lebih murah.
Kandungan serat yang tinggi dalam kacang-kacangan dihubungkan dengan
pencegahan penyakit-penyakit jantung koroner, divertikular, apendisitis, hemoroid,
kanker usus besar, batu empedu, dan diabetes melitus .
Porsi lauk hewani yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah
sebanyak 100 gram atau dua potong ikan/daging/ayam sehari, sedangkan porsi lauk
nabati sebanyak 100-150 gram atau 4-6 potong tempe sehari. Tempe dapat diganti
dengan tahu atau kacang-kacangan kering.
Sayuran merupakan sumber vitamin A, vitamin C, asam folat, magnesium,
kalium dan serat, serta tidak mengandung lemak dan kolesterol. Sayuran daun
berwarna hijau, dan sayuran daun berwarna jingga/orange seperti tomat dan wortel
mengandung lebih banyak vitamin A berupa beta karoten daripada sayuran yang tidak
berwarna. Sayuran berwarna hijau kaya akan kalsium, zat besi, asam folat, dan
vitamin C. contoh sayuran berwarna hijau adalah bayam, kangkung, daun singkong,

Universitas Sumatera Utara

25

daun kacang, daun katuk. Dianjurkan sayuran yang dimakan tiap hari terdiri dari
campuran sayuran daun, kacang-kacangan, dan sayuran berwarna jingga. Porsi
sayuran dalam bentuk campur yang dianjurkan sehari adalah untuk orang dewasa
150-200 gram atau 1.5-2 mangkok sehari.
Buah berwarna kuning seperti mangga, pepaya, dan pisang raja kaya akan
vitamin provitamin A, sedangkan buah yang kecut seperti jeruk, gandaria, jambu biji,
dan rambutan kaya akan vitamin C. karena buah pada umumnya dimakan dalam
keadaan mentah, buah merupak sumber vitamin C. secara keseluruhan buah
merupakan vitamin A, Vitamin C, kalium, serat. Buah tidak mengandung natrium,
lemak kecuali alpukat, dan kolesterol. Porsi buah yang dianjurkan 200-300 gram atau
2-3 potong sehari berupa pepaya atau buah lain.
Susu merupakan makanan alami yang hampir sempurna. sebagian besar zat
gizi esensial ada dalam susu, yaitu protein bernilai biologi tinggi, kalsium, fosfor,
vitamin A, dan tiamin (B1). Susu merupakan sumber kalsium paling baik, karena
disamping kalsium yang tinggi, laktosa dalam susu membantu dalam penyerapan
tetapi susu sedikit mengandung zat besi dan vitamin C. Porsi susu yang dianjurkan 12 gelas sehari.
Dalam buku Maryati (2000) menggambarkan pola makan yang baik dan
kebiasaan makan yang tidak baik. Pola makan baik dimana:
Menyukai makanan yang bergizi, menyadari manfaat gizi untuk kesehatan dan
pertumbuhan badan. Gizi hanya diperoleh dari makanan yang bergizi. Waktu makan
yang teratur, terbiasanya kita makan teratur, maka alat pencernaanpun akan bekerja

Universitas Sumatera Utara

26

secara teratur pula. Menghindari makanan yang dapat merugikan kesehatan. Yang
masuk golongan ini antara lain: penggunaan bumbu penyedap seperti vetsin,
menggunakan siklamat yang disebut sari manis sebagai pengganti gula untuk
minuman. Demikian pula hendaknya diperhatikan kebiasaan, pada waktu membeli
makanan atau minuman. Berusaha supaya suasana makan selalu tenang, sehingga
makan pun dapat dilakukan dengan tidak tergesa-gesa. Kebiasaan ini sangat baik dan
bermanfaat bagi tubuh, terutama untuk pencernaan karena segera setelah makanan
masuk kedalam mulut, tubuh mulai bekerja mengolah makanan itu. Makanan itu
dikunyah sehingga menjadi bagian-bagian yang kecil dan dengan pertolongan ludah
bagian-bagian makanan itu menjadi licin dan dapat dengan mudah ditelan. Lebih
lama makanan itu dikunyah lebih baik, dan sangat menguntungkan pencernaan
selanjutnya.
Kebiasaan makan yang tidak baik. Suka jajan, banyak jajan adalah tidak baik,
karena selain diragukan kebersihannya, belum tentu makanan yang dibeli itu bergizi
baik. Di samping kurang bergizi yang menyebabkan badan tidak sehat dan lemah,
jajanan itu mungkin pula mengandung kuman penyakit, sehingga kita akan jatuh
sakit. Hanya menyukai makanan tertentu, orang yang seleranya hanya menyukai
makanan tertentu, tanpa menghiraukan apakah makanan yang disenanginya itu
bergizi atau tidak. Hal ini sangat merugikan, bila kebetulan makanan yang disukainya
itu kurang atau tidak bergizi. Makanan tidak teratur.
Makan yang tidak teratur, misalnya karena asyik atau sibuk bekerja, sehingga
waktu makan dilewatkan begitu saja, dapat menyebabkan penyakit pada alat-alat

Universitas Sumatera Utara

27

pencernaan terutama pada lambung. Makan yang berlebihan, orang yang meskipun
sudah merasa kenyang, tetapi karena apa yang dimakannya, masih terus saja makan.
Kebiasaan ini menyebabkan badan menjadi gemuk bila terlalu gemuk, kesehatan pun
akan terganggu.

Universitas Sumatera Utara