PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRO NIS

PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIS
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat
menahun, berlangsung progresif yang akhirnya akan mencapai gagal ginjal terminal.
2. Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah suatu sindrom akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu
dengan atau tanpa oliguria sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeotasis tubuh.
FUNGSI GINJAL
Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi menjadi dua kelompok :
Fungsi Ekskresi
Mengekskresi sisa metabolisme protein, yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik, dan asam urat.
Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Menjaga keseimbangan asam basa.
Fungsi Endokrin
Berpartisipasi dalam eritropoesis. Menghasilkan eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah
merah.
Menghasilkan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah.
Merubah vitamin D menjadi metabolit aktif yang membantu penyerapan kalsium.
Memproduksi hormon prostaglandin yang mempengaruhi pengaturan garam dan air serta tekanan vaskular.
PATOFISIOLOGI
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit glomerulus baik primer maupun

sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal
kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan
selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada
penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi terhadap total GFR. Pada
saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki
kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan mengalami
kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam
glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai
mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan
hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi
protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular,
meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik
yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan
aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks ektraseluler dan
mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis,
fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan

akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun nonekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan
reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan
penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan
sistem imun, dan sistem reproduksi.
Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II
diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur
tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres

oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga
angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab, salah satunya
adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan
menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi
karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan
feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk mengekskresikan zat – zat
tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth

faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena
inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D.
Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya
akan timbul hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada
sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan
anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan
menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD
stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya
kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya anion gap yang normal
maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus
proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion
gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion –
anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan
osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga
akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin,

serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf
perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan
memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama
pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di
kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan
gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi
lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme sekunder yang akan
menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek
akibat pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.

Bau Mulut Indikator Ginjal Terganggu
Munculnya bau khas yang keluar dari mulut atau fetoruremik, disebabkan ureum yang berlebih pada air
liur. Oleh bakteri dimulut (yang biasanya memang ada), ureum diubah menjadi amoniak, sehingga saat bernapas
dan berbicara baunya amoniak. Selain itu, bisa timbul luka-luka kecil pada bibir.
Gangguan Pencernaan
Selain bau mulut, kurang darah merupakan tanda lain bila ginjal mulai tergang gu. Hal ini terjadi
karena kurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan pada sumsum tulang untuk membentuk sel darah
menjadi berkurang. Perhatikan apakah Anda sering mengalami cegukan (di luar kewajaran). Penyebabnya


kenapa, memang belum diketahui hingga saat ini, tetapi bisa menjadi pertanda gangguan pada fungsi ginjal.
Menderita sakit maag dan peradangan pada usus juga dapat dijadikan tanda.
Gangguan fungsi hormonal jika terjadi terus menerus juga dapat menjadi pertanda ada yang tidak beres
pada ginjal. Diantaranya terjadi penurunan libido, fertilitas, dan akibat seksual lainnya. Pada wanita bisa terjadi
gangguan menstruasi hingga tidak mengalami menstruasi lagi.
Terjadi pula gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, hingga gangguan produksi insulin yang
menyebabkan penyakit kencing manis atau diabetes. Begitu juga gangguan metabolisme lemak yang ditandai
oleh meningkatnya kadar trigliserida, kolesterol, dan lainnya dalam darah.
Telapak Kaki Kesemutan
Pada taraf yang lebib parah, yaitu menderita gagal ginjai, tanda-tandanya lebih jelas lagi. Seperti timbulnya
gangguan pada sistem saraf dan otot. Kaki sering terasa pegal atau restless leg syndrome, akibatnya sering
menggerak-gerakkan kaki. Timbul rasa seperti terbakar atau kesemutan, terutama pada telapak kaki (burning
feet syndrome).Pada kasus gagal ginjal juga terjadi ensefalopati metabolik, yang mengakibatkan perasaan
lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, hingga dapat menyebabkan kejang. Satu lagi adalah otot
menjadi lemah dan mengecil, terutama pada tungkai.Jangan lupa perhatikan juga adakah gangguan pada sistem
jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular). Biasanya ditandai dengan terjadinya peningkatan tekanan darah
(hipertensi).Penderita sering juga mengalami nyeri dada dan sesak napas. Hal ini disebabkan selaput
pembungkus jantung mengalami peradangan. Karena itu, orang yang memiliki masalah jantung agar lebih
berhati-hati karena berisiko besar mengalami gangguan ginjal.

Kelebihan Protein
Langkah yang hingga kini cukup efektif untuk mengetahui apakah fungsi ginjal mulai atau sudah terganggu
adalah tes proteinuria. Tes ini untuk mengetahui apakah di dalam urin terkandung protein dalam jumlah
melebihi nilai normal (150 mg/urin per 24 jam).
Protein bagi tubuh berfungsi sebagai pembangun sistem pertahanan tubuh agar bisa menghadapi serangan
penyakit infeksi, membantu sistem pembekuan darah, dan menjaga agar cairan yang beredar dalam tubuh berada
dalam jumlah dan komposisi yang tepat. Sebuah penelitian yang disponsori National Institutes of Health di AS
pada tahun 1996 mengungkapkan, proteinuria adalah peramal yang paling baik dari gagal ginjal progresif pada
mereka yang menyandang penyakit diabetes melitus tipe 2. The National Kidney Foundation maupun Yayasan
Ginjal Indonesia juga merekomendasikan check up rutin, termasuk mengetes protein yang terbuang melalui air
seni.
Hal ini perlu dilakukan siapa pun, terutama mereka yang termasuk kelompok risiko. Mereka yang termasuk
kelompok risiko adalah penderita diabetes melitus, hipertensi, atau mempunyai riwayat keluarga penderita
proteinuria.
Air Seni Berbusa
Jika protein sudah sedemikian banyak terbuang melalul air seni, ditandai dengan air seni yang berbusa. Tubuh
kekurangan protein yang menyebabkan komposisi darah tidak bisa lagi mempertahankan keseimbangan cairan.
Sebagai hasilnya terjadi pembengkakan pada tangan, kaki, dan perut. Meski demikian, tidak semua penderita
proteinuria mengalami hal seperti itu. Ada juga yang tanpa gejala dan baru diketahui pada saat tanda-tanda
payah ginjal muncul. Karena itu, satu-satunya cara mendeteksi proteinuria adalah dengan melakukan

pemeriksaan laboratorium secara berkala (enam atau setahun sekali atau jika perlu lebih sering). Seperti
dianjurkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (ahli ginjal), untuk mengetahui adanya proteinuria, air seni
yang baik buat diperiksa adalah pada saat pagi hari karena telah mengalami pemekatan pada malam harinya.
Biasanya dengan dipsticks, berupa kertas tipis yang akan berubah warna jika urin mengandung protein, dan
terlihat berapa kadarnya. Warna yang keluar bisa dicocokkan dengan list warna yang disertakan dalam wadah
dipsticks.Namun, pemeriksaan jenis ini masih terlalu sederhana dan hanya bisa mendeteksi protein jenis
albumin saja. Lebih baik lakukan pemeriksaan di laboratorium yang teruji untuk hasil maksimal.
Dimulai dari beberapa faktor risiko seperti Diabetes Melitus, dimana akan terjadi hiperglikemia
(kadar glukosa melebihi batas normal) dalam pembuluh darah, sehingga akan terjadi hiperperfusi dan
hiperfiltrasi yang mengakibatkan dilatasi arteri afferen ke glomerulus karena kelebihan tampungan glukosa.
Akibatnya tekanan di glomerulus akan meningkat. Seiring dengan berjalannya tingkat keparahan penyakit maka

glomerulus akan rusak. Hal tsb menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR).
Hiperurisemia juga dapat menjadi faktor risiko dimana terdapat kelebihan kadar asam urat di darah misalnya
pada penderita arthritis Gout. Asam urat ini akan meningkatkan konsentrasi plasma darah yang difiltrasi ginjal
dan mengendap di lumen tubulus, akibatnya semakin lama akan terjadi penyumbatan, peningkatan tekanan
intrarenal, dan akhirnya aliran darah yang terfiltrasi (GFR) turun serta menimbulkan reaksi inflamasi.
Ada juga faktor risiko hipertensi atau tekanan darah tinggi dimana pembuluh darah dapat mengalami kerusakan
sehingga terjadi penurunan aliran darah untuk difiltrasi glomerulus. Hal ini akan menyebabkan jatuhnya laju
filtrasi (GFR).

GFR turun menyebabkan oliguria bahkan anuria.
Dari ketiga faktor risiko di atas yang semuanya menyebabkan penurunan GFR, timbul beberapa proses baru,
seperti:
1. penurunan ekskresi K+ yang akan menyebabkan penumpukan ion K+ di darah (hiperkalemia).
2. penurunan ekskresi fosfat (P) sehingga terjadi hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menghambat aktivasi
vitamin D menjadi kalsitriol untuk meningkatkan reabsorbsi Ca2+ di usus. Akibatnya di dalam plasma darah
akan kekurangan Ca2+ sehingga terjadi aktivasi hormon paratiroid (PTH) yang akan mengambil Ca2+ dari
tulang ke darah untuk memenuhi kadarnya di plasma darah. Ca2+ di tulang menurun sehingga tulang lebih
mudah rapuh dan pematangan sel darah akan terganggu.
Selain itu fosfat berlebih yang menumpuk di kulit dapat menyebabkan pruritus (gatal kulit).
3. penurunan ekskeresi zat buangan dari tubuh, dapat menimbulkan uremia (urea dalam darah) yang akan
meningkatkan keasaman darah, dapat mengiritasi lambung. Apabila terjadi iritasi sampai perdarahan dapat
timbul melena. Perdarahan berkepanjangan akan menyebabkan anemia.
4. terjadinya kerusakan ginjal kronis yang dapat menyebabkan diantaranya:
a. sklerosis glomerulus dan fibrosis - protein tidak terfiltrasi - proteinuria - akibatnya tubuh hipoalbuminemia pembuluh darah menjadi lebih permeabel - plasma darah ekstravasasi ke interstitial - edema
b. overaktivitas sistem renin angiotensin aldosteron - peningkatan tekanan darah dan retensi Na+ & air karena
aldosteron - vasokonstriksi arteriola eferen saat retensi - GFR meningkat - lama-lama glomerulus rusak
c. produksi eritropoietin menurun - anemia - kekurangan Hb - hipoksia jaringan - peningkatan pembentukan H+
tetapi,
d. penurunan ekskresi H+ untuk keseimbangan asam basa - asidosis metabolik

Penyebab utama seseorang mengalami gagal ginjal kronik hingga membutuhkan pelayanan Hemodialisa
(cuci darah) adalah akibat penyakit diabetes dan darah tinggi. Tingginya kadar gula dalam darah bisa
menyebabkan kerusakan pada ginjal karena organ ini dipaksa bekerja keras. Pada kasus hipertensi, ginjal bisa
rusak akibat sempitnya dinding pembuluh darah akibat lemak.

Hipertensi merupakan keadaan di mana tekanan darah berada di atas batas normal, yaitu di atas 120/80.
Peningkatan tekanan darah berkepanjangan akan merusak pembuluh darah di sebagian besar tubuh. Di dalam
ginjal terdapat jutaan pembuluh darah kecil yang berfungsi sebagai penyaring guna mengeluarkan produk sisa
darah. Jika pembuluh darah di ginjal rusak, maka kemungkinan aliran darah berhenti membuang limah dan
cairan esktra dari tubuh. Bila ekstra cairan di dalam pembuluh darah meningkat, maka bisa meningkatkan
tekanan darah. "Ini adalah siklus berbahaya," kata prof.Suhardjono. Naiknya tekanan darah memang bisa
menjadi salah satu gejala munculnya penyakit ginjal. Namun, seperti halnya hipertensi, penyakit ginjal kronik
(PGK) seringkali tidak bergejala. Orang mungkin menderita PGK tapi tidak menyadarinya. "Seringkali pasien
yang datang tidak merasa gejala apa-apa, baru setelah dilakukan pemeriksaan darah dan urin ketahuan sudah
gagal ginjal," kata dokter dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia ini. Secara umum PGK bisa didefinisikan
sebagai ketidaknormalan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerular (LGF)
sehingga menimbulkan kerusakan ginjal. Akibat gangguan fungsi ginjal itu pasien bisa mengalami muntahmuntah, bengkak pada kaki, atau pucat.
KLASIFIKASI
1. GGK Stadium 1 : LFG > 90 ml/menit


2.
3.
4.
5.

GGK
GGK
GGK
GGK

Stadium
Stadium
Stadium
Stadium

2:
3:
4:
5:


LFG
LFG
LFG
LFG

60 - 89 ml/menit
30 - 59 ml/menit
15 - 29 ml/menit
< 15 ml/menit

PATOFISIOLOGI
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya
glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin
serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea
maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum
kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada
neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap
akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan
cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat
menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium
dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh,
sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik
akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin
yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan
kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui
glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal
dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin,
dan adanya hipertensi (Brunner dan Suddarth, 2001).
MANIFESTASI KLINIK
Menurut Suhardjono (2001), manifestasi klinik yang muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik yaitu:
Gangguan pada sistem gastrointestinal:
1. Anoreksia, nausea, dan vomitus b/d
gangguan metaboslime protein dalam usus.
2. Mulut bau amonia disebabkan oleh ureum
yang berlebihan pada air liur.
3. Cegukan (hiccup)
4. Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis
uremik
Sistem Hematologi:
1. Anemia
2. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
3. Gangguan fungsi leukosit
Sistem kardiovaskuler:
1. Hipertensi, akibat penimbunan cairan dan garam.
2. Nyeri dada dan sesak nafas
3. Gangguan irama jantung
4. Edema akibat penimbunan cairan

Kulit:
1. Kulit berwarna pucat akibat anemia.
2. Gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik.
3. Ekimosis akibat gangguan hematologis
4. Urea frost akibat kristalisasi urea
5. Bekas-bekas garukan karena gatal
Sistem Saraf dan Otot:
1. Restles leg syndrome: Pasien merasa pegal pada
kakinya, sehingga selalu digerakkan.
2. Burning feet syndrome: Rasa semutan dan seperti
terbakar, terutama ditelapak kaki.
3. Ensefalopati metabolik: Lemah, sulit tidur,
konsentrasi turun, tremor, asteriksis, kejang.
4. Miopati: Kelemahan dan hipotrofi otot-otot
terutama otot-otot ekstremitas proksimal
Sistem endokrin:
1. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi
menurun pada laki-laki.
2. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin,
dan gangguan sekresi insulin.
3. Gangguan metabolisme lemak.
4. Gangguan metabolisme vitamin D

PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Mansjoer (2001), penatalaksanaan medis pada pasien dengan gagal ginjal kronik yaitu :
1. Tentukan dan tata laksana penyebabnya.

2. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Pada beberapa pasien, furosemid dosis
besar (250-1000 mg/hari) atau diuretik loop (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah
kelebihan cairan.
3. Diet tinggi kalori dan rendah protein. Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan
gejala anoreksia dan nausea dari uremia.
4. Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur
tersendiri tanpa tergantung tekanan darah. Diperlukan diuretik loop, selain obat antihipertensi.
5. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit. Hindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari)
atau diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium (misalnya, penghambat ACE
dan obat antiinflamasi nonsteroid).
6. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal. Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat
fosfat seperti aluminium hidroksida (300 – 1800 mg) atau kalsium karbonat (500– 3000 mg) pada setiap makan.
7. Deteksi dini dan terapi infeksi. Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan diterapi lebih
ketat.
8. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal. Banyak obat yang harus diturunkan dosisnya karena
metaboliknya toksis dan dikeluarkan oleh ginjal. Misal : digoksin, aminoglikosid, analgesik opiat, amfoterisin.
9. Deteksi dan terapi komplikasi. Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia, perikarditis,
neuropati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam
jiwa, sehingga diperlukan dialisis.
10. Persiapkan dialisis dan program transplantasi. Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik dideteksi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suhardjono (2001), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Blood ureum nitrogen (BUN)/kreatinin
meningkat, kalium meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun, protein menurun.
2. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG). Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
3. Ultrasonografi (USG). Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau
massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut.
4. Foto Polos Abdomen. Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal. Menilai
bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
5. Pieolografi Intra-Vena (PIV). Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan Pielografi Retrograd. Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
7. Pemeriksaan Foto Dada. Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload),
efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
8. Pemeriksaan Radiologi Tulang. Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.

Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah tinggi karena
tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulinsecara adekuat. Kadar gula darah bervariasi sepanjang
hari. Gula darah akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar gula darah yang
normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang
yang tidak aktif.
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Ginjal akan membuang
air lebih banyak untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih
dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita menjadi lebih sering berkemih dengan air kemih yang lebih
banyak (poliuri). Akibat poliuri penderita akan merasa haus yang berlebihan sehingga akan lebih banyak minum
(polidipsi). Sejumlah besar kalori akan hilang di dalam air kemih, sehingga penderita akan mengalami penurunan
berat badan. Untuk mengkompensasi hal ini penderita seringkali akan merasa sangat lapar sehingga menjadi
lebih banyak makan (polifagi).
Gejala lain diabetes mellitus adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama
melakukan olah raga. Penderita diabetes dengan gula darah yang kurang terkontrol akan lebih peka terhadap
infeksi. Dalam jangka panjang, kadar gula darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah, saraf dan struktur
internal lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pembentukan suatu zat kompleks yang terdiri dari gula pada
dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah menebal. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan
berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan saraf. Selain itu, kadar gula darah yang tidak terkontrol juga
cenderung menyebabkan kadar lemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat
terjadinya aterosklerosis(penimbunan plak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis terjadi 2-6 kali lebih sering
pada penderita diabetes. Sirkulasi pembuluh darah besar dan kecil yang tidak baik bisa melukai jantung, otak,
tungkai, mata, ginjal, saraf dan kulit, serta memperlambat penyembuhan luka.
Karena hal tersebut diatas, maka penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang yang
serius. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah serangan jantung dan stroke. Kerusakan pada pembuluh
darah mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan (retinopati diabetikum). Kelainan fungsi ginjal
menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani dialisa.
Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika satu saraf mengalami gangguan fungsi
(mononeuropati), maka satu lengan atau tungkai bisa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke
lengan, tangan, tungkai, dan kaki mengalami kerusakan (polineuropati diabetikum), maka lengan dan tungkai
bisa terasa kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan.
Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat
merasakan adanya perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa
menyebabkan timbulnya ulkus(borok) dan lambatnya penyembuhan luka. Ulkus pada kaki bisa sangat dalam,
mengalami infeksi, dan sukar sembuh sehingga sebagian kaki terkadang harus diamputasi.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda atau diperlambat dengan
mengontrol kadar gula darah. Pengaturan diet sangat penting. Biasanya penderita tidak boleh terlalu banyak
makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur. Penderita diabetes cenderung memiliki
kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya.
Tetapi cara terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat badan.
Semua penderita diabetes hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan olah raga untuk mengontrol
penyakitnya. Mereka juga harus memahami bagaimana cara menghindari terjadinya komplikasi. Penderita harus
memberikan perhatian khusus terhadap kesehatan kaki. Kuku penderita harus dipotong secara teratur. Penting
juga untuk memeriksa kesehatan mata supaya bisa diketahui perubahan yang terjadi pada pembuluh darah di
mata.

Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir
metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan hampir
konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama.
Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi fltrasi dan sekresi,
konentrasinya relative sama dalam plasma hari ke hari, kadar yang lebih

besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal.
(Corwin J.E, 2001).
Pemeriksaan kreatinin dalam darah merupakan
salah satu parameter penting untuk mengetahui fungsi ginjal.
Pemeriksaan ini juga sangat membantu kebijakan melakukan terapi pada
penderita gangguan fungsi ginjal. Tinggi rendahnya kadar kreatinin dalam
darah digunakan sebagai indikator penting dalam menentukan apakah
seorang dengan gangguan fungsi ginjal memerlukan
tindakan hemodialisis
Kadar kreatinin berbeda setiap orang, umumnya pada orang yang berotot
kekar memiliki kadar kreatinin yang lebih tinggi daripada yang tidak
berotot. Hal ini juga yang memungknkan perbedaan nilai normal kreatinin
pada wanita dan laki-laki. Nilai normal kadar kreatinin pada wanita adalah
0,5 – 0,9 mg/dL. Sedangkan pada laki-laki adalah 0,6 – 1,1 mg/dL.
Peningkatan dua kali lipat kadar kreatinin serum mengindikasikan adanya
penurunan fungsi ginjal sebesar 50 %, demikian juga peningkatan kadar
kreatinin tiga kali lipat mengisyaratkan penurunan fungsi ginjal sebesar 75 %.
Metabolisme Kreatinin
Kreatinin terbuat dari zat yang disebut kreatin, yang dibentuk ketika makanan berubah menjadi energi
melalui proses yang disebut metabolisme. Sekitar 2% dari kreatin tubuh diubah menjadi kreatinin
setiap hari. Kreatinin diangkut melalui aliran darah ke ginjal. Ginjal menyaring sebagian besar
kreatinin dan membuangnya dalam urin. Bila ginjal terganggu, kreatinin akan meningkat. Tingkat
kreatinin abnormal tinggi kemungkinan terjadi kerusakan atau kegagalan ginjal.

BUN dan Kreatinin
Blood Urea Nitrogen (BUN) dapat didefinisikan sebagai jumlah nitrogen urea yang hadir dalam
darah.
Urea adalah produk limbah yang dibentuk dalam tubuh selama proses pemecahan protein.
Selama metabolisme protein, protein diubah menjadi asam amino yang juga menghasilkan
amonia.
Urea tidak lain adalah substansi yang dibentuk oleh beberapa molekul amonia.
Metabolisme protein berlangsung dalam hati dan dengan demikian urea juga diproduksi oleh
hati.
Selanjutnya, urea ditransfer ke ginjal melalui aliran darah dan dikeluarkan dari tubuh dalam
bentuk urin.
Dengan demikian, setiap disfungsi ginjal akan menyebabkan kadar tinggi atau rendah BUN
dalam darah.
Kreatinin (creatinine) adalah produk penguraian dari kreatin fosfat dalam metabolisme otot dan
dihasilkan dari kreatin (creatine).

Kreatinin pada dasarnya merupakan limbah kimia yang selanjutnya diangkut ke ginjal melalui
aliran darah untuk dikeluarkan melalui urin.
Kadar kreatinin dapat diukur dalam urin serta darah. Tingkat kreatinin dalam darah umumnya
tetap normal karena massa otot relatif konstan Anuria(urin tak keluar)

Dokumen yang terkait

PENGATURAN KESEIMBANGAN CAIRAN SEBAGAI UPAYA MENCEGAH PENURUNAN CURAH JANTUNG PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK ( Studi Kasus Di Ruang 22 RS Dr. Saiful Anwar Malang ) ( STUDI KASUS )

0 40 21

HUBUNGAN KONSUMSI MINUMAN BERALKOHOL DENGAN GAGAL GINJAL DI RUMAH SAKIT KANJURUHAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG

7 51 22

STUDI PENGGUNAAN KOMBINASI FUROSEMID - SPIRONOLAKTON PADA PASIEN GAGAL JANTUNG (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

15 131 27

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI VALSARTAN TERHADAP HISTOPATOLOGI GINJAL PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

0 15 25

STUDI PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) DENGAN HIPERTENSI (Penelitian di RSU Saiful Anwar Malang)

0 14 26

STUDI PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN ACE–INHIBITOR PADA PASIEN GAGAL JANTUNG (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

1 27 31

HUBUNGAN ANTARA KADAR UREUM DENGAN TERJADINYA SINDROM UREMIA PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD JOMBANG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2009

0 26 21

PENGARUH INFUSA BAWANG TIWAI (Eleutherina americana Merr) TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIK GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus strain wistar) YANG DIINDUKSI URANIUM

0 17 26

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIDIABETES DAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI GAGAL GINJAL DI INSTALASI RAWAT INAP RSD. dr. SOEBANDI JEMBER

2 12 118

PERBANDINGAN GLOMERULUS FILTRATION RATE (GFR) MENGGUNAKAN METODE COCKROAF-GAULT DAN METODE CLEARANCE CREATININE URIN 24 JAM PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG DIRAWAT DI SMF PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

5 63 57