Sistem Perbankan Elektronik sistem bisnis

Tugas Regulasi & Hukum ICT
Sistem Perbankan Elektronik

Oleh:
Heru Dwi Cahyo
55414120041

Dosen:
Dr. Iwan Krisnadi, MBA

PROGRAM MAGISTERTEKNIK ELEKTRO
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MERCUBUANA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada era globalisasi saat ini banyak bermunculan istilah atau konsep-konsep baru dalam
kehidupan masyarakat, terutama dalam kegiatan perekonomian- baik pada level ekonomi
makro maupun ekonomi mikro. Bahkan konsep-konsep baru tersebut telah mengarah ke

”teori-teori” baru yang ”melengkapi”, ”dipertentangkan” bahkan ”menggantikan” beberapa
konsep atau teori ”lama”. Beberapa contoh konsep tersebut diantaranya adalah digital
economy, economic of internet, knowledge based economy, e-commerce, e-marketing, ebusiness, e-finance, e-banking, e-money, digital cash, dan less-cash society. Semua konsepkonsep baru tersebut berkaitan dengan perkembangan dan penerapan TIK pada berbagai
sektor perekonomian.
Sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang mempunyal peranan penting dalam
pembangunan nasional, karena perbankan berfungsi sebagai perantara antara sektor defisit
dengan sektor surplus dalam masyarakat maupun sebagai agen pembangunan. Disamping itu,
perbankan juga mempunyai peran yang strategis dalam berbagai kegiatan usaha yang
produktif, yang pada gilirannya akan mendorong kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari
pembangunan nasional, sangat diperlukan dana dalam jumlah besar serta kelancaran dari
penyaluran dana tersebut. Berkaitan dengan hal dimaksud, fungsi perbankan dalam
penyediaan kredit dan jasa transfer dana memegang peranan yang sangat penting.
Beranjak dari peran perbankan yang sangat strategis dalam mendorong kelancaran
pembangunan

nasional,

maka


dalam

menjalankan

usahanya

perlu

senantiasa

mengembangkan profesionalisme yang kokoh agar lembaga perbankan mampu berfungsi
secara efisien, sehat, wajar dan mampu menghadapi persaingan global. Disamping itu
perbankan juga harus selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi untuk dapat
melayani nasabahnya dengan lebih baik. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, pada saat
ini perbankan Indonesia telah mengembangkan electronic banking system atau yang lebih
dikenal dengan sistem perbankan elektronik. Berdasarkan Encyclopedia of Banking and
Finance, sistem perbankan elektronis adalah segala macam transfer dan pemrosesan data
dengan menggunakan sistem dan peralatan elektronik yang meliputi transaksi intern dan
ekstern suatu bank. Kegiatan transfer dana dengan menggunakan sistem dan peralatan
elektronik tersebut kita kenaI dengan istilah Electronic Fund. Transfer atau Transfer Dana


Elektronik. Sistem dan peralatan elektronik yang dipergunakan dalam transfer dana tersebut
dapat berupa telepon, komputer,pita magnetis, dan lain-lain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Peranan bank indonesia dalam pengaturan transfer dana elektronik
Pada umumnya setiap bank sentral termasuk Bank Indonesia berkepentingan langsung
terhadap kelancaran dan keamanan segala produk perbankan, termasuk pula dalam
menjalankan dan mengembangkan sistem transfer dana secara elektronik.
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia
diberikan tugas antara lain mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Untuk
dapat menjalankan tugas tersebut secara efektif Bank Indonesia mempunyai kewenangan
dan tanggung jawab yang luas dalam mengatur dan me1aksanakan kegiatan kliring dan
jasa transfer dana serta penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank. Disamping
itu Bank Indonesia juga diberikan kewenangan dan tanggung jawab dalam melakukan
pengawasan jasa sistem pembayaran, agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem
pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman.

Dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi dan memberikan pelayanan jasa
transfer dana antar bank, saat ini Bank Indonesia telah menyediakan fasilitas transfer
dana elektronik kepada bank-bank yang
dikenal dengan nama Bank Indonesia Layanan Transaksi dan Infonnasi secara Elektronik
(BI-LINE). Disamping itu, Bank Indonesia juga sedang mengembangkan sistem transfer
dana elektronik untuk transaksi nilai besar atau transaksi yang bersifat urgent untuk
dapat diproses dan dise1esaikan secara on-line real time per transaksi atau secara
individual, yang dikenal dengan nama Real Time Gross Settlement (RTGS).
Adapun mengenai transaksi-transaksi yang bersifat elektronik baik transaksi yang
merupakan produk perbankan maupun transaksi yang merupakan fasilitas pelayanan dad
Bank Indonesia, sampai saat ini belum terdapat pengaturannya. Mengingat pengaturan
jasa lalu lintas pembayaran secara elektronik tersebut terkait erat dengan masalah
pembuktian transaksi yang bersifat paperless, disamping perlu pengaturan hak dan
kewajiban para pihak maka pengaturannya tidak cukup dengan Peraturan Bank Indonesia
tetapi perlu diatur dalam suatu undang-undang.

2.2. Digital divide dan digital economy
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang relatif cepat dewasa ini telah
mempengaruhi perkembangan perekonomian dunia. Pada kurun waktu 1999 sampai
2000, negara-negara sedang berkembang di wilayah asia pasifik, termasuk Indonesia

menunjukkan bahwa difusi teknologi informasi berkorelasi positif cukup kuat dengan
tingkat pendapatan per kapita- salah satu ukuran kesejahteraan sebuah negara (Kim,
2004). Tetapi masalahnya adalah – seperti telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan TIK
di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negera lain. Perbedaan atau
kesenjangan penggunaan TIK di antara berbagai negara tersebut tentunya menimbulkan
dugaan bahwa tingkat penggunaan TIK mungkin menjadi salah satu faktor yang relatif
signifikan terhadap perbedaan pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara.
Konsep digital divide yang menunjukkan kesenjangan tingkat penggunaan teknologi
antara negara maju dan negara berkembang, atau antara satu komunitas tertentu dengan
komunitas lainnya, menimbulkan anggapan bahwa penguasaan teknologi berhubungan
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat atau angka kemiskinan. Flor (2001)
menyatakan bahwa ada empat paradigma yang bisa digunakan untuk menganalisis
kemiskinan, yaitu paradigma teknologis, paradigma ekonomi, paradigma struktural, dan
paradigma kultural. Paradigma teknologis menyatakan bahwa penyebab utama
kemiskinan adalah keterbatasan ketrampilan teknologi di negara-negara berkembang.
Menurut Quibria dan Tschang (2001), TIK memiliki potensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Pengaruh
langsung mencakup (a) informasi mengenai pasar, peluang, dan lain-lain, (b) kesempatan
kerja, (c) ketrampilan dan pendidikan, (d) pemeliharaan kesehatan, (e) pemberian
layanan pemerintah, dan (f) pemberdayaan. TIK juga bisa meningkatkan kesejahteraan

secara tidak langsung melalui pertumbuhan (ekonomi) yang cepat, yang memberikan
trikledown effect terhadap perbaikan pendapatan dan kesempatan kerja.

2.3.

Teknologi e-banking
Salah satu sektor yang paling dramatis terpengaruh oleh perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi adalah sektor keuangan, terutama perbankan. Sebelumnya
mari kita lihat kilas balik dan perkembangan terkini mengenai perbankan Indonesia.
Setelah lebih dari seperempat abad terhitung dari deregulasi pada tahun 1983, perbankan

Indonesia telah mengalami berbagai gonjang-ganjing yang sangat mempengaruhi
perekonomian Indonesia. Titik nadir perbankan sendiri terjadi menjelang krisis
multidimensi yang terjadi pada tahun 1997 yang dikenal sebagai krisis moneter.
Beberapa tonggak penting perjalanan dalam kurun waktu tersebut adalah sebagai berikut.

2.4. Kilas Balik Perbankan Indonesia
1. Paket 1 Juni 1983 merupakan salah satu tonggak penting yang mengubah arah
perbankan nasional yang tadinya belum mengikuti mekanisme pasar, atau dengan kata
lain, mulai diterapkannya equal treatment antara bank pemerintah dengan bank

swasta.
2. Kebijakan Oktober 1988 menjadi faktor utama terjadinya booming pendirian bank
dengan memberikan kemudahan bagi para investor. Dalam kurun waktu 3 tahun
sesudahnya, tercatat jumlah bank meningkat dari 111 bank pada tahun 1988 menjadi
182 bank pada pertengahan 1991. Pertumbuhan bank beserta kegiatan penyaluran
dana bank yang luar biasa tersebut akhirnya berujung pada tindakan kebijakan uang
ketat (Tight Money Policy) yang diambil oleh Bank Indonesia pada Tahun 1990.
3. Pakfeb 1991, yang bertujuan untuk mengembangkan dunia perbankan menjadi
lembaga keuangan yang sehat, kuat, dan tangguh serta lebih dipercaya baik dalam
tingkat nasional maupun global. Sistem penilaian kesehatan bank dengan CAMEL
mulai diterapkan oleh Bank Indonesia, termasuk penetapan nilai CAR sebesar 8
persen yang harus dipenuhi mulai tahun 1993.
4. Bom waktu perbankan akhirnya meledak, dan tidak tanggung-tanggung dampak
letusannya terhadap perekonomian Indonesia. Pada November 1997 sejumlah bank
mulai rontok yang diawali dengan ditutupnya 16 bank yang akhirnya menyeret
Indonesia ke krisis moneter yang tak terlupakan dalam sejarah perekonomian
Indonesia.
5. Pada tahun 1998 dibentuk BPPN sebagai lembaga yang berusaha untuk
menyelamatkan wajah perbankan Indonesia. BPPN lahir sebagai salah satu butir
dalam serangkaian Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF,

dengan LOI pertamanya ditandatangani pada 1 November 1997. Pembentukan BPPN
ini dianggap sebagai awal proses rehabilitasi terhadap industri perbankan. Pada tahun
1998, dari 55 bank yang dirawat oleh BPPN ternyata 10 bank tidak tertolong
(dilikuidasi), 4 bank harus masuk unit gawat darurat (direkapitalisasi), dan sisanya

masih terus dirawat intensif. Pada maret 1999 38 bank kembali tak tertolong, 9 bank
direkapitalisasi, dan 7 bank diambil alih.
6. Perbankan Indonesia sudah memasuki tahap konsolidasi yang ditandai dengan
diluncurkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Bank Indonesia telah
meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada bulan Januari 2004, sebagai
awal dari tahap konsolidasi perbankan Indonesia. Ke dapannya, bank-bank Indonesia
digolongkan kedalam 4 kelompok bank yaitu bank Internasional, bank nasional, bank
fokus, dan bank dengan cakupan usaha terbatas. Pengelompokkan bank tersebut
didasarkan pada kemampuan modalnya.
7. Terakhir adalah paket Oktober 2006 (Pakto) yang dikeluarkan oleh BI. Salah satu
maksudnya adalah untuk mendorong perbankan nasional dalam meningkatkan
penyaluran kredit tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pakto ini mencakup 13
Peraturan Bank Indonesia, dua diantaranya adalah mengenai pelarangan kepemilikan
tunggal dan pelaksanaan Good Corporate Governance.
8. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di perbankan nasional relatif lebih

maju dibandingkan sektor lainnya. Berbagai jenis teknologinya diantaranya meliputi
Automated Teller Machine, Banking Application System, Real Time Gross Settlement
System, Sistem Kliring Elektronik, dan internet banking. Bank Indonesia sendiri lebih
sering menggunakan istilah Teknologi Sistem Informasi (TSI) Perbankan untuk semua
terapan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan perbankan. Istilah lain
yang lebih populer adalah Electronic Banking. Electronic banking mencakup wilayah
yang luas dari teknologi yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Beberapa diantaranya
terkait dengan layanan perbankan di “garis depan” atau front end, seperti ATM dan
komputerisiasi (sistem) perbankan, dan beberapa kelompok lainnya bersifat back end,
yaitu teknologi-teknologi yang digunakan oleh lembaga keuangan, merchant, atau
penyedia jasa transaksi, misalnya electronic check conversion.
9. Saat ini sebagian besar layanan E-banking terkait langsung dengan rekening bank.
Jenis E-Banking yang tidak terkait rekening biasanya berbentuk nilai moneter yang
tersimpan dalam basis data atau dalam sebuah kartu (chip dalam smartcard). Dengan
semakin berkembangnya teknologi dan kompleksitas transaksi, berbagai jenis Ebanking semakin sulit dibedakan karena fungsi dan fiturnya cenderung terintegrasi
atau mengalami konvergensi. Sebagai contoh, sebuah kartu plastik mungkin memiliki
“magnetic strip”- yang memungkinkan transaksi terkait dengan rekening bank, dan
juga memiliki nilai moneter yang tersimpan dalam sebuah chip. Kadang kedua jenis

kartu tersebut disebut “debit card” oleh merchant atau vendor. Beberapa gambaran

umum mengenai jenis-jenis teknologi E-Banking dapat dilihat di bawah ini.

2.5. Jenis-Jenis Teknologi E-Banking


Automated Teller Machine (ATM). Terminal elektronik yang disediakan lembaga
keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah untuk melakukan
penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan setoran, cek saldo,



atau pemindahan dana.
Computer Banking. Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi
internet ke pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan perbankan, menerima



dan membayar tagihan, dan lain-lain.
Debit (or check) Card. Kartu yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale
(POS) yang memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang langsung didebet




(diambil) dari rekening banknya.
Direct Deposit. Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi
(misalnya pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar sejumlah dana
(misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana ditransfer langsung ke



setiap rekening nasabah.
Direct Payment (also electronic bill payment). Salah satu bentuk pembayaran yang
mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui transfer dana elektronik. Dana
tersebut secara elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening kreditor.
Direct payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus



menginisiasi setiap transaksi direct payment.
Electronic Bill Presentment and Payment (EBPP). Bentuk pembayaran tagihan yang
disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan secara online, misalnya
melalui email atau catatan dalam rekening bank. Setelah penyampaian tagihan
tersebut, pelanggan boleh membayar tagihan tersebut secara online juga. Pembayaran



tersebut secara elektronik akan mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.
Electronic Check Conversion. Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek
(nomor rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar bisa
dilakukan pemindahan dana elektronik atau proses lebih lanjut.



Electronic Fund Transfer (EFT). Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari satu
rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik.



Payroll Card. Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan oelh pemberi kerja
sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya mengakses pembayaraannya
pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja menambahkan nilai



pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara elektronik.
Preauthorized Debit (or automatic bill payment). Bentuk pembayaran yang
mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi pembayaran rutin otomatis yang diambil
dari rekening banknya pada tanggal-tangal tertentu dan biasanya dengan jumlah
pembayaran tertentu (misalnya pembayaran listrik, tagihan telpon, dll). Dana secara
elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke rekening kreditor (misalnya PLN



atau PT Telkom).
Prepaid Card. Salah satu tipe Stored-Value Card yang menyimpan nilai moneter di
dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai tersebut ke penerbit



kartu.
Smart Card. Salah satu tipe stored-value card yang di dalamnya tertanam satu atau
lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data, melakukan
perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus (misalnya validasi PIN,
otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan menyimpan data pribadi). Kartu ini
bisa digunakan pada sistem terbuka (misalnya untuk pembayaran transportasi publik)



atau sistem tertutup (misalnya MasterCard atau Visa networks).
Stored-Value Card. Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai moneter, yang
diisi melalui pembayaran sebelumnya oleh pelanggan atau melalui simpanan yang
diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain. Untuk single-purpose stored value
card, penerbit (issuer) dan penerima (acceptor) kartu adalah perusahaan yang sama
dan dana pada kartu tersebut menunjukkan pembayaran di muka untuk penggunaan
barang dan jasa tertentu (misalnya kartu telpon). Limited-purpose card secara umum
digunakan secara terbatas pada terminal POS yang teridentifikasi sebelumnya di
lokasi-lokasi tertentu (misalnya vending machines di sekolah-sekolah). Sedangkan
multi-purpose card dapat digunakan pada beberapa penyedia jasa dengan kisaran
yang lebih luas, misalnya kartu dengan logo MasterCard, Visa, atau logo lainnya
dalam jaringan antar bank.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Alat pembayaran menggunakan kartu di Indonesia
Belakangan ini masyarakat perkotaan di Indonesia mulai terbiasa untuk menggunakan
alat pembayaran non tunai untuk berbagai keperluan pembayaran, antara lain kartu
kredit, kartu debet, kartu ATM dan kartu prabayar. Penggunaan kartu prabayar diyakini
akan menjadi trend mekanisme pembayaran di masa mendatang, misalnya untuk
membayar bahan bakar di pompa bensin, tiket tol, pembelian barang dan berbagai jasajasa lainnya.
Semua proses aktivitas pembayaran melalui berbagai jenis alat pembayaran ini diproses
oleh berbagai penyelenggara sistem pembayaran seperti bank dan nonbank. Institusi
inilah yang nantinya menyelenggarakan jasa mulai proses pengiriman dana, kliring
hingga settlement. Pemakaian kartu prabayar dalam mekanisme transaksi adalah bagian
dari evolusi alat pembayaran dari uang tunai sampai ke bentuk-bentuk non-tunai.
Misalnya alat pembayaran dalam bentuk kertas (paper based) seperti cek, wesel, bilyet
giro hingga ke elektronik seperti kartu prabayar hingga ke wujud digital (digital cash).
Jumlah kartu plastik (Kartu Kredit, ATM, Debit, dan pra bayar) di Indonesia cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, seperti yang dilaporkan oleh Bank Indonesia pada tabel
di bawah ini. Sampai bulan Juli 2007 tercatat 54 bank yang menerbitkan kartu ATM
dan 21 penerbit kartu kredit yang terdiri atas perbankan, lembaga selain bank
dan unit usaha syariah bank. Jumlah bank yang menerbitkan kartu ATM
sekaligus kartu debit tercatat sebanyak 37 bank. Sedangkan kartu prabayar baru
diterbitkan hanya oleh dua nama penerbit yaitu Telekomunikasi Indonesia dan
Telekomunikasi Selullar.
3.2. Electronic fund transfer system
Sejak tahun 2000, Bank Indonesia memperkenalkan kepada stakeholder yakni
perbankan nasional apa yang disebut real time gross settlement (RTGS). BI-RTGS
adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement) pembayaran yang dilakukan per
transaksi dan bersifat real time. Melalui mekanisme BI-RTGS ini rekening peserta
dapat didebit dan dikredit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran
dan penerimaan pembayaran.
Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa BI memakai settlement melalui RTGS.
Alasan pertama, jika membuka kembali literatur dan merujuk hasil studi empiris, ada
semacam kesadaran baru dari bank-bank sentral di seantero jagad ini untuk mengelola

Large Value Transfer System (LVTS). Sistem BI-RTGS dapat mengurangi risiko
sistemik. Yang dimaksud dengan risiko sistemik adalah risiko kegagalan salah satu
peserta dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo. Kegagalan bayar ini akan
membuat peserta bank lain juga ikut terancam. Bahkan dalam situasi ekstrem, gagal
bayar ini berpotensi memicu kesulitan finansial yang lebih luas yang dapat mengancam
stabilitas sistem pembayaran.
Alasan kedua, melalui sistem RTGS dapat mengurangi timbulnya float yang diharapkan
dapat menyokong efektifitas pengawasan perbankan. Pada sisi lain dengan pengelolaan
likuiditas yang baik di sektor perbankan juga akan membantu efektifitas kebijakan
moneter. Alasan ketiga, sistem RTGS membuka peluang integrasi dengan berbagai
aplikasi sistem pembayaran. Sebut saja seperti pasar uang dan pasar modal yang
menganut prinsip Delivery versus Payment (DVP) atau bisa juga melakukan transaksi
secara cross border payment melalui Payment versus Payment (PVP).
Ada beberapa sasaran yang ingin dicapai melalui aplikasi sistem BI-RTGS, antara lain
dengan BI-RTGS transfer dana antar peserta lebih cepat, efisien, andal dan aman.
Selain itu setidaknya ada kepastian settlement dengan lebih segera. Sistem BI RTGS ini
akan memperlihatkan informasi rekening peserta secara real time dan menyeluruh. Bagi
peserta RTGS juga dituntut untuk disiplin dan profesional dalam mengelola likuiditas
mereka. Dan diharapkan melalui sistem RTGS ini akan mengurangi berbagai risiko
settlement.
Saat ini aplikasi sistem BI-RTGS sudah berjalan di semua Kantor Bank Indonesia
(KBI) di seluruh Indonesia. Sudah ada 148 peserta BI-RTGS yang terdiri atas 125 bank
konvensional, 21 bank syariah/UUS dan dua peserta non-bank. Indonesia adalah negara
kedelapan di Asia yang mengaplikasikan RTGS. Sedangkan di dunia baru ada 30
negara yang mengaplikasikannya.

Jumlah dan nilai transaksi RTGS menunjukkan

peningkatan dari tahun ke tahun.
Bank Indonesia (2007) melaporkan bahwa komposisi nilai penyelesaian transaksi
sistem pembayaran masih didominasi oleh sistem BI-RTGS. Selama triwulan II-2007
penyelesaian transaksi sistem BI-RTGS mencapai 93,09% dari total nilai transaksi,
sementara melalui sistem kliring mencapai 3,15% dan sisanya melalui sistem yang
dilaksanakan di luar Bank Indonesia. Penyelesaian transaksi melalui sistem RTGS dan
kliring yang telah mencapai 96% tersebut dipandang telah mampu mendukung
kestabilan sistem keuangan dalam memitigasi risiko gagal bayar transaksi sistem
pembayaran. Dengan demikian, transaksi pembayaran di Indonesia yang belum ter-

cover risikonya hanya sekitar 3,76%. Meski nilainya kecil, Bank Indonesia berusaha
memitigasi risiko melalui penerapan rambu-rambu yang memperhatikan aspek kehatihatian dan perlindungan konsumen.

3.3

PERMASALAHAN HUKUM TRANSFER DANA ELEKTRONIK
Permasalahan hukum yang berkaitan erat dengan sistem transfer dana secara elektronik
antara lain meliputi masalah pembuktian, masalah pengaturan hak dan kewajiban para
pihak serta masalah resiko yang mungkin timbul.
1. Masalah pembuktian
Aspek pembuktian mempunyai peran yang amat penting yaitu dalam hal terjadi
sengketa antara para pihak dalam melakukan transaksi perbankan yang
menggunakan sarana elektronik. Dalam kaitannya dengan transfer dana elektronik
dimana segala transaksi diproses dan diselesaikan dengan menggunakan media
elektronik sehingga transaksi tersebut bersifat paperless, maka perlu dilihat sampai
sejauh mana dapat dibuktikan adanya atau kebenaran transaksi tersebut.
Dalam hukum perdata terdapat berbagai alat bukti yang dapat dipergunakan jika
timbul perselisihan. Pasal 1865 KUHPerdata mengatur bahwa : setiap orang yang
mehdalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan· suatu
haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut .
Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengajukan alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPerdata, yang terdiri dari :
a. bukti tulisan;
b. bukti dengan saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e.. sumpah.
Salah satu alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan adanya hak atau
peristiwa menurut Pasal 1866 KUHPerdata adalah bukti tulisan. Sedangkan alat
bukti tulisan menurut bentuknya dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu akta
dan non akta sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata, yang terdiri dari :

a. surat-surat;
b. register-register;
c. surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan.
Tulisan-tulisan tersebut pada dasarnya merupakan suatu bukti terhadap siapa yang
membuatnya. Sedangkan akta sebagai alat bukti dapat dibedakan menjadi akta
otentik dan akta di bawah tangan. Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata yang
mengatur mengenai alat bukti apabila dikaitkan dengan pelaksanaan transaksi
elektronik (transfer dana elektronik), maka akan timbul kesulitan apabila terjadi
perselisihan antara bank dengan nasabah dalam aspek pembuktiannya. Hal tersebut
disebabkan karena dalam transfer dana elektronik banyak transaksi yang bersifat
paperless dengan menggunakan sarana elektronik seperti komputer. Sedangkan
ketentuan alat bukti dalam KUHPerdata belum mengatur mengenai sarana elektronik
sebagai alat bukti.
Berkaitan dengan masalah alat bukti, dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan antara lain diatur mengenai dokumen perusahaan yang
tidak berupa kertas dan mengenai mikrofilm atau media lainnya dan atau hasil
cetaknya yang dapat menjadi alat bukti yang sah. Sehubungan dengan hal tersebut
timbul pertanyaan apakah undang-undang dimaksud sudah memenuhi keperluan
pembuktian bagi transaksi yang menggunakan sarana elektronik, seperti transfer
dana elektronik.
Dalam Undang-undang Dokumen Perusahaan ditentukan bahwa setiap perusahaan
wajib membuat catatan baik berupa neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan,
rekening, jumal transaksi harian dan lain sebagainya. Selanjutnya catatan tersebut
ditandatangani oleh pejabat atau pimpinan perusahaan. Catatan yang berupa neraca
tahunan, perhitungan laba rugi tahunan atau tulisan lain yang menggambarkan
neraca dan laba rugi harus dibuat dalam bentuk kertas. Di sisi lain, catatan yang
berbentuk rekening, jurnal transaksi harian atau setiap tulisan yang berisi keterangan
mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha
suatu perusahaan dibuat di atas kertas atau dalam saran a lainnya. Penggunaan
sarana lainnya disini adalah dengan menggunakan alat bantu untuk memproses
pembuatan dokumen perusahaan yang sejak semula tidak dibuat di atas kertas,
misalnya menggunakan pita magnetik atau disket.

Selanjutnya diatur bahwa dokumen perusahaan baik yang semula dalam bentuk
kertas atau bukan kertas dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya.
Menurut Undang-undang dimaksud beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pengalihan
Dokumen Perusahaan ke dalam Mikrofilm atau Media Lainnya dan Legalisasi,
dokumen perusahaan yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya
dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Hal ini merupakan hal yang
baru dalam khasanah alat bukti yang berlaku menurut hukum positif di Indonesia,
dimana menurut ketentuan yang berlaku hingga saat ini, alat bukti yang berupa
mikrofilm dan sejenisnya belum diakui sebagai alat bukti.
Dalam Undang-undang Dokumen Perusahaan tersebut diatur bahwa untuk tetap
menjaga keotentikan dokumen yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media
lainnya, dimana hal ini berkaitan dengan dapat dipergunakannya mikrofilm dan
media lainnya sebagai alat bukti, maka untuk pengalihan dokumen tersebut
dilakukan dengan pembuatan suatu berita acara yang dilakukan oleh pimpinan
perusahaan yang bersangkutan atau oleh pejabat yang ditunjuk di lingkungan
perusahaan yang bersangkutan. Dalam berita acara tersebut antara lain dimuat
keterangan mengenai temp at, hari, tanggal, bulan, tahun, tanda tangan, dan nama
jelas pejabat yang bersangkutan serta keterangan bahwa pengalihan tersebut telah
dilakukan sesuai dengan aslinya. Pembuatan berita acara tersebut dilakukan pada
saat terjadinya pengalihan dokumen ke dalam mikrofilm atau media lainnya.
Apabila ketentuan sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan praktek perbankan,
maka

terdapat

beberapa

kegiatan

operasional

perbankan

terutama

yang

menggunakan data elektronik diakomodasi oleh ketentuan tersebut, misalnya
mengenai komputerisasi dalam pembukuan bank yang tidak melibatkan nasabah
secara langsung. Sedangkan untuk transaksi yang melibatkan nasabah secara
langsung seperti dalam transfer dana elektronik, ketentuan tersebut dipandang belum
memadai. Dalam transaksi-transaksi tersebut diharapkan data data yang tersimpan
dalam sarana penyimpan data komputer atau transaction receipt yang diberikan
kepada nasabah sejak semula sudah dapat menjadi alat bukti, tanpa perIu dialihkan
ke dalam media lain, microfilm JCD ROM/CD WORM. Untuk memenuhi ketentuan
dimaksud periu disyaratkan agar sistem transfer dana elektronik dilakukan secara
aman, dan persyaratan-persyaratan lain yang lebih bersifat teknis sistem komputer.

Mengenai hal ini perlu diatur tersendiri dalam undang-undang khusus yang
mengatur kegiatan transfer dana elektronik secara lengkap.
2. Masalah kewajiban dan tanggung jawab para pihak
Pada waktu nasabah membuka rekening di bank, ia menandatangani perjanjian
pembukaan rekening dengan bank tersebut. Demikian pula pada saat nasabah
tersebut melakukan suatu transaksi pada bank, ia terlibat dalam suatu hubungan
hukum yaitu perjanjian. Pada umumnya perjanjian tersebut telah dibuat dalam
formulir yang standar oleh bank. Hal inilah yang tampaknya seringkali dirasakan
kurang menguntungkan bagi para nasabah, karen a nasabah tidak sempat membaca
dan memahami perjanjian tersebut secara seksama. Hal semacam ini berlaku pula
untuk transaksi-transaksi yang menggunakan peralatan dan sistem elektronik, seperti
dalamAutomated Teller Machine. Menanggapi permasalahan tersebut, sepanjang
belum terdapat suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
bentuk perjanjian antara bank dengan nasabah, hendaknya ada suatu “perjanjian
khusus” antara bank dengan nasabah yang pada prinsipnya mengatur mengenai
kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Idealnya hak dan kewajiban bank dan nasabah tersebut diatur dalam suatu
perundang-undangan tersendiri.
a. Kewajiban dan tanggungjawab bank Pengaturan mengenai kewajiban dan
tanggung jawab bank hendaknya mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Bank harus memberitahukan kepada nasabah tentang syarat-syarat dan
kondisi untuk menggunakan transaksi-transaksi bank secara elektronis;
2) Dalam pemberitahuan tersebut hams mencantumkan tanggung jawab dan
kewajiban nasabah dan bank;
3) Menyebutkan jenis-jenis transaksi yang dapat dilakukan;
4) Memberitahukan kepada nasabah tentang segala macam perubahan yang
berpengaruh pada penggunaan sistem elektronik bank yang mempunyai
akibat terhadap nasabah;
5) Bank hanya memberitahukan kebijaksanaannya tentang apakah bank dapat
membatalkan transaksi atau tidak;
6) Memberitahukan tanda bukti transaksi yang telah dilakukan kepada nasabah;
7) Memberikan tembusan rekening koran yang mencatat segala macam transaksi
kepada nasabah;

8) Dalam hal terjadi kekeliruan karen a kesalahn bank maka bank hams
bertanggung jawab kepada nasabah;
9) Bank dilarang membuat iklan atau keterangan yang mengelabuhi nasabah.
b. Kewajiban dan tanggung jawab nasabah Pengaturan mengenai kewajiban dan
tanggung jawab nasabah bank hendaknya mencakup hal·hal sebagai berikut :
I) Menggunakan fasilitas yang diberikan oleh bank sesuai petunjuk dan peraturan
yang berlaku;
2) Memberikan data yang sebenamya yang dipedukan bank, baik yang berkaitan
dengan keterangan pribadi maupun kejadian lainnya;
3) Memberitahukan kepada bank dalam hal terj adi transaksi yang merugikan
dirinya dalam batas waktu yang telah ditetapkan;
4) Tidak memberikan fasilitas yang diberikan bank kepada orang lain, seperti
memberikan kartu A TM kepada orang lain;
5) Tidak menggunakan fasilitas bank apabila nasabah mengetahui sistem
elektronik dari bank yang bersangkutan sedang rusak.
Hal-hal seperti tersebut di atas hendaknya diatur secara jelas dalam suatu undangundang, seperti halnya di Amerika Serikat dimana hak dan tanggung jawab
masing-masing pihak dalam sistem elektronik perbankan telah diatur secara jelas
dalam Electronic Fund Transfer Act.
3. Masalah resiko Dalam sistem elektronik perbankan
termasuk pula dalam transfer dana elektronik dimungkinkan terjadinya beberapa
resiko dalam penggunaannya yang antara lain berupa resiko teknis, resiko
administratif, resiko sumber daya manusia, dan resiko kriminal.
a. Resiko teknis
Resiko teknis dapat berupa kegagalan sistem (system failure) yang dapat
mengakibatkan timbulnya berbagai masalah termasuk tidak selesainya proses
pengiriman dana atau kesalahan-kesalahan baik jumlah dana maupun
penerimanya. Resiko ini bersifat teknis karena transmisi pengiriman dana
dilakukan secara elektronik melalui jaringan komputer dan telekomunikasi,
sehingga keamanan proses transmisi tersebut ditentukan oleh keandalan prasarana
jaringan komputer dan telekomunikasi tersebut. Sumber resiko teknis dapat
berupa gangguan listrik, gangguan alam (gempa, angin, topan, dan lain
sebagainya) atau kerusakan Janngan komputer dan telekomunikasi.
b. Resiko administratif

Resiko juga dapat timbul karena adanya kesalahan penanganan baik proses awal,
misalnya pada saat penanganan aplikasi, maupun pada proses akhir misalnya
pada saat penyerahan atau penatausahaan dana. Resiko semacam dikenal dengan
istilah resiko administratif.
c. Resiko sumber daya manusia
Resiko sumber daya manusia timbul karena tenaga manusia yang menangani
proses transfer tersebut kurang kompeten sehingga timbul kesalahan-kesalahan
dalam mengoperasikan sistem yang ada.
d. Resiko kriminal
Resiko dalam penyelenggaraan transfer dana elektronik dapat pula terjadi karena
adanya manipulasi, penipuan atau kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan baik
oleh pihak intern, mantan pegawai, pihak ekstern atau kerja sarna antara pihakpihak tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pengamanan terhadap
pelaksanaan sistem transfer dana elektronik kiranya merupakan hal yang perlu
dipersiapkan sejak awal oleh pihak penyelenggara. Dalam ketentuan yang
mengatur mengenai transfer dana elektronik hendaknya secara tegas mengatur
bahwa sistem teknologi informasi yang digunakan oleh perbankan sebagai
penyelenggara sistem transfer dana elektronik wajib memenuhi standar teknologi
informasi yang ditentukan. Di samping itu back-up sistem untuk mencegah
terjadinya resiko dapat ditanggulangi.

3.4 Persepsi masyarakat mengenai e-banking
Intensitas penggunaan layanan transaksi berbasis kartu di Indonesia memang cenderung
semakin meningkat. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat digitalkhususnya less-cash society di Indonesia mulai terbentuk. Memang masyarakat digital
tersebut masih tergolong minoritas. Sebagai ilustrasi, jika jumlah kartu plastik sebanyak
41.172.551 dibagi jumlah penduduk Indonesia- yang tercatat sebanyak 225 juta pada
tahun 2006, maka kartu plastik per kapitanya adalah 0.18. Angka tersebut bisa diartikan
bahwa hanya 18 dari 100 orang Indonesia yang mempunyai kartu plastik. Jumlah
masyarakat digital tersebut relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara
maju. Sebagai contoh, di Amerika Serikat persentase keluarga yang menggunakan
berbagai jenis kartu plastik tersebut untuk tahun 2003 saja sudah mencapai 65% untuk

kartu ATM, 54% untuk Debit Card, 73% untuk Prepaid Card, dan 6% untuk Smart Card
(The Fed, 2004).
Perbedaan tingkat penetrasi layanan E-banking tentunya sangat menarik untuk dikaji,
terutama dikaitkan dengan faktor-faktor pendorong atau penghambat penetrasi EBanking tersebut di masyarakat. Tingkat penerimaan inovasi teknologi selain dipengaruhi
oleh karakteristik demografi dan sosioekonomi, juga dipengaruhi oleh persepsi
masyarakat tentang teknologi tersebut serta karakteristik dari berbagai jenis layanan Ebanking itu sendiri. Untuk kasus di Amerika Serikat, pemanfaatan layanan perbankan
berbasis komputer (computer banking) disebabkan oleh faktor kemudahan layanandisebutkan oleh 79 persen responden dan penghematan waktu-disebutkan oleh 71 persen
responden. Hasil survey lainnya menunjukkan faktor kesediaan layanan E-banking yang
24 jam menjadi faktor penting lainnya (The Fed, 2004). Memang ada faktor lain yang
cenderung menjadi penghambat yaitu aspek keamanan dan kerahasiaan dari layanan Ebanking.
Pola penggunaan layanan E-banking dan perubahan karakteristik demografi dan
sosioekonomi dari masyarakat pengguna menjadi salah satu tantangan tersendiri dalam
memasyaratkan layanan E-banking. Untuk kasus di Indonesia, peran perbankan dengan
layanan E-banking-nya menjadi sangat penting dan menjadi aktor utama dalam
mempercepat pembentukan masyarakat digital. Dengan besarnya dana masyarakat yang
tersimpan di industri perbankan, sebuah bank masih bisa meningkatkan aktivitas
transaksi yang paperless di masa yang akan datang. Hal ini bisa dilihat dari trend
pertumbuhan jumlah kartu plastik beserta nilai transaksinya yang semakin meningkat
dalam 12 bulan terakhir ini. Tantangannya adalah bagaimana mempercepat laju
penetrasinya di masa yang akan datang.

BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan
Permasalahan hukum berkaitan erat dengan sistem transfer dana secara elektronik antara lain
meliputi masalah pembuktian, masalah pengaturan hak dan kewajiban para pihak serta
masalah resiko yang mungkin timbul.
User education menjadi salah satu strategi kunci dalam meningkatkan penetrasi layanan Ebanking. Implementasinya perlu mempertimbangkan persepsi masyarakat tentang E-banking,
terutama mengenai faktor-faktor yang masih menjadi penghambat dalam penetrasi Ebanking. Salah tantangan terberat adalah bagaimana meningkatkan penetrasi TIK di
masyarakat berpenghasilan rendah- yang masih merupakan mayoritas di Indonesia. Berbagai
hasil penelitian pun menunjukkan bahwa penetrasi TIK, termasuk layanan E-banking masih
terkonsentrasi pada masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, berpendidikan tinggi,
dan terkonsentrasi di perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA
https://black711.wordpress.com/2013/06/29/sistem-perbankan-elektronik-mobile-banking/
ar-note.blogspot.co.id/2013/04/sistem-perbankan-elektronik.html
http://prismamika.blogspot.co.id/2014/06/sistem-perbankan-elektronik.html/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/sistem-perbankan-elektronik/
http://delvmi.wordpress.com/2012/06/15/sistem-perbankan-elektronik/