Nilai Penting Ilmu Pengetahuan Dan Ekono

Nilai Penting Ilmu Pengetahuan Dan Ekonomi Di Situs Kotacina:
Upaya Konseptual Mewujudkan Pelestariannya 1

Oleh:
Stanov Purnawibowo
Balai Arkeologi Medan
I. Pendahuluan
Membahas mengenai sumberdaya arkeologi tentu saja tidak dapat dipisahkan dari
sumberdaya budaya. Sumberdaya arkeologi dapat dipahami sebagai satu kesatuan utuh yang
terintegrasi penuh dalam sumberdaya budaya. Sumberdaya budaya dapat dipahami definisinya
menurut Ahimsa-Putra (20011) sebagai perangkat-perangkat dalam suatu kebudayaan yang
memiliki kemungkinan untuk dimanfaatkan oleh pendukung kebudayaan tersebut guna
menyelesaikan masalah-masalah tertentu atau mencapai tujuan-tujuan tertentu, tentunya hal
dimaksud tidak lepas dari definisi manusia sebagai animal symbolicum serta pandangan bahwa
kebudayaan pada dasarnya merupakan kumpulan dari usur-unsur budaya, atau simbol-simbol
yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan dan masalah-masalah tertentu (Ahimsa-Putra,
2011).
Berdasarkan pemahaman tersebut, sumberdaya arkeologi dapat dipahami sebagai
keseluruhan perangkat dan simbol berupa benda/materi yang pernah mengalami perekayasaan
oleh manusia melalui proses dibuat, dipakai, dibuang ataupun dipakai lagi (reuse) dalam
konteks sistemnya maupunn yang sudah masuk dalam konteks arkeologi, yang memiliki

kemungkinan untuk dimanfaatkan oleh manusia pendukungnya guna menyelesaikan masalah
tertentu atau mencapai tujuan-tujuan tertentu, pemahaman demikian tentu saja mengacu
kepada pendapat Sciffer mengenai hakekat sebenarnya dari data arkeologi yang telah
mengalami transformasi hingga ditemukan kembali dan dimanfaatkan pada masa sekarang
(Sciffer, 1976 dalam Tanudirjo, 2011). Sebagai hasil buah karya manusia wujud dari
sumberdaya budaya secara umum dapat dikelompokan menjadi dua yaitu yang berwujud
materi (tangible) seperti: bangunan, alat-alat pemenuhan kebutuhan sehari-hari, moda
transprotasi, dan lain sebaginya; serta yang berwujud non-materi (intangible) seperti: tarian,
religi, adat istiadat, norma sosial, dan lain sebagainya. Sumberdaya arkeologi yang merupakan
bagian dari sumberdaya budaya merupakan tinggalan aktivitas masnusia dari masa lalu yang
tentu saja memiliki sifat-sifat yang terbatas, mudah rusak, dan tidak dapat diperbaharui lagi
1

Diterbitkan dalam jurnal “ARABESK” Nomor 2 Edisi XV Tahun 2015 periode bulan Juli-Desember. BPCB Aceh.
Hal. 57 – 67.

secara konteks sistemnya, namu demikian jangan diartikan sifat-sifat dimaksud menjadi
penghalang bagi pemanfaatannya.
Adapun nilai penting-nilai penting sumberdaya arkeologi yang akan dijelaskan dalam
artikel ini, didefinisikan sebagai suatu/beberapa takaran/ukuran tertentu baik bersifat

kuantitatif maupunn kualitatif yang diberikan kepada sumberdaya arkeologi oleh masyarakat
pendukungnya, namun demikian nilai bersifat kualitatif yang dianggap lebih cocok yang akan
dideskripsikan dalam tulisan ini karena diterapkan pada objek agar terjadi persepsi yang sama
terhadap konsep nilai suatu kawasan situs Kotacina.
Tujuan penulisan artikel ini adalah menjelaskan secara umum tentang beberapa nilai
penting yang terdapat di situs ini berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,
dan secara khusus mencoba menjelaskan nilai penting ilmu pengetahuan dan ekonomi yang
terdapat di kawasan situs Kotacina sebagai upaya mewujudkan pelestarian situs ini, tentu saja
hal ini berdasarkan pada UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang belum pernah
dikaji secara khusus sebelumnya, terutama di lokasi kawasan situs Kotacina.
Adapun permasalahan yang akan diajukan dan dijawab melalui pemaparan dalam
artikel ini adalah nilai-nilai penting apa saja yang terdapat di kawasan situs Kotacina dalam
rangka mewujudkan pelestariannya, serta bagaimana penjelasan mengenai nilai penting ilmu
pengetahuan dan ekonomi yang ada di situs ini. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa
sumberdaya arkeologi berupa kawasan situs Kotacina belum ditetapkan sebagai cagar budaya
hingga kini.
Dalam ranah penelitian dan pembahasan nilai penting sumberdaya budaya, sumberdaya
arkeologi dan situs Kotacina telah banyak ditulis dan diinformasikan kepada publik, baik itu
berupa permasalahan nilai penting sumberdaya arkeologi secara umum ataupun khusus di
beberapa daerah di Indonesia di antaranya: Daud A. T., yang fokus pada tataran metodologis

dan konseptual pengelolaan sumberdaya budaya di perkotaan (Tanudirjo, 2011); Heddy S.AP., yang membahas tataran konseptual sumberdaya budaya serta dinamika pemaknaannya
(Ahimsa-Putra, 2011); Lucas P. Koestoro yang membahas tinggalan masa lalu kota Medan
secara umum, serta sejarah dan arti penting situs Kotacina dalam tataran integrasi dunia
pendidikan SMP/SMA di Medan (Koestoro, 2006 dan 2008); Stanov P., yang membahas
tinggalan arkeologi berkenaan dengan aktivitas perdagangan dari tinggalan arkeologisnya serta
studi kasus pengelolaan kawasan situs Kotacina (Purnawibowo, 2007 dan 2010); serta E. E.
Mckinnon yang menelaah mengenai temuan keramik dan arca kuno di situs Kotacina
(Mckinnon, 1978 dan 1993/1994).

II. Kawasan situs Kotacina dan tinggalan arkeologisnya
Kotacina dapat dikatakan kawasan situs yang memiliki potensi tinggalan arkeologis
yang cukup bervariasi, baik yang bersifat monumental maupunn yang bersifat fragmentaris.
Situs Kotacina secara administratif masuk ke dalam wilayah Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan
Medan Marelan, Medan, Sumatera Utara. Koordinat geografis situs Kotacina terletak pada N
03° 43’ 06.6” -- E 098° 39’ 00.2” dan N 03° 43’ 22.2” -- E 098° 39’ 24.8” di suatu lahan seluas
kurang lebih 25 Ha. Lokasi situ berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian 1.5 mdpl
pada lahan rawa yang masih dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Lokasi situs berada di
sebelah barat Sungai Deli, daerah tersebut merupakan bagian dari lembah Sungai Deli yang
cukup subur. Situs Kotacina berada di antara Sungai Belawan dan Sungai Deli yang berhulu di
daerah Sibolangit yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Kedua

sungai tersebut bermuara ke Selat Malaka (Purnawibowo, dkk., 2008).
Wilayah situs Kotacina berada di antara Sungai Belawan dan Sungai Deli yang berhulu
di daerah pegunungan Sibolangit, bagian dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Kedua
sungai itu bermuara ke Selat Malaka. Daerahnya merupakan bentanglahan hasil bentukan
material erosi sungai (fluvial sedimentation) di bagian hulu dan tengah yang diendapkan di
daerah muara sehingga membentuk sebuah delta. Daerah muara menerima depositan endapan
material paling banyak dibandingkan daerah lainnya sepanjang aliran kedua sungai tersebut.
Diketahui bahwa sistem sungai di pesisir pantai timur Sumatera umumnya adalah unperenial
yang berair sepanjang tahun dan dapat dilayari, termasuk Sungai Belawan dan Sungai Deli.
Hingga saat ini keduanya masih dilayari walaupun hanya sampai ke permukiman nelayan di
wilayah Kecamatan Medan Labuhan (Koestoro, 2008).
Adapun tinggalan arkeologis yang terdapat di kawasan situs Kotacina adalah: fragmen
keramik asing, fragmen tembikar/gerabah/terakotta, koin asing, arca, struktur bangunan, dan
sisa perahu. Jenis sample fragmen keramik dari situs dimaksud berasal dari bagian rim (bibir),
badan dan base (dasar). Analisis temuan itu menghasilkan catatan akan keberadaan 9 type
bentuk wadah yaitu mangkuk, dish, cover box, basin, martavan (jar), jarlet, kendi, botol,
stemcup. Adapun jenis fragmen keramik yang diteliti berasal dari jenis keramik celadon,
Chingpai, yelow-grey wares, brown-glaze wares, Te Hua wares dan coarse stone wares.
Berikut ini adalah uraian singkatnya.
Keramik celadon (green-glazed wares) berciri umum warna hijau dengan bahan dasar

stoneware (batuan yang dapat bertahan hingga suhu pembakaran 1350˚C) dengan pembakaran
bersuhu 900˚C -- 1200˚C. Warna hijau dihasilkan dari bahan utama mineral tembaga (Cu).
Motif hias dengan teknik gores dan oles yang terdapat di bawah lapisan glasir (underglaze

ornament) dengan motif hias flora atau fauna, dan biasanya pada bagian dasar tidak semua
terglasir karena dalam proses penglasiran dilakukan atas obyek yang ditumpuk. Selanjutnya
adalah yellow-grey wares, keramik berciri hiasan gores underglaze dari masa Dinasti Sung
Selatan sekitar abad ke-12 hingga akhir abad ke-13. Di Kotacina fragmennya ditemukan dalam
bentuk spout dan mangkuk kecil. Adapun brown-glaze wares merupakan sebutan bagi wadah
dengan glasir coklat tua yang di Kotacina ditemukan dalam bentuk fragmen botol dan kendi
kecil. Bahan dasarnya juga stoneware abu-abu dan gelap. Kemudian keramik Chingpai adalah
jenis keramik yang identik dengan bentuk wadah yang relatif kecil ukurannya dan tipis. Bahan
dasarnya stoneware dengan glasir warna putih/bening yang dihasilkan dari mineral silika (Si)
yang kadang mengalami efek samping dari pembakaran bersuhu tinggi, berupa retakan halus
pada permukaan wadah sehingga sering disebut keramik pecah seribu. Jenis ini adalah benda
niaga setelah masa keemasan keramik celadon. Keramik Chingpai diproduksi pada masa
Dinasti Sung hingga Dinasti Yuan, yang berkisar antara abad ke-12 hingga akhir abad ke-14.
Selanjutnya adalahTe Hua wares, yakni salah satu jenis keramik yang mirip dengan keramik
Chingpai/white glaze wares. Perbedaannya tampak pada kasarnya perekat bahan serta kurang
baiknya proses finishing. Jenis ini banyak diproduksi pada masa Dinasti Yuan, sekitar abad ke14 Masehi. Di Kotacina jenis keramik ini banyak ditemukan dalam bentuk fragmen cover box

(tutup kotak) yang memiliki hiasan dekorasi flora di bagian luar permukaan glasir (upperglaze).
Adapun coarse stone wares adalah jenis keramik yang masih kasar dalam proses
pembentukannya sehingga butiran-butiran (biscuit) pada bahan dasar yang berupa stoneware
masih nampak, yang memberikan kesan kasar pada bagian badan wadah. Jenis keramik ini
biasanya berbentuk wadah air raksa/mercury jar (Ambary,1984). Berkenaan dengan data
sampel keramik berjumlah 3.027 fragmen hasil kegiatan survei dan ekskavasi di situs Kota
Cina tahun 1977 dan 1979 oleh Ambary (Ambary,1984) adalah sebagai berikut. Persentase
frekuensi data terbesar (67,56%) adalah keramik dari rentang masa abad ke-13 hingga ke-14
(berasal dari Dinasti Sung dan Yuan). Berikutnya adalah tinggalan keramik dari masa
sebelumnya, abad ke-10 hingga abad ke-13 dengan persentase 15,39%; kemudian dari abad
ke-14 hingga abad ke-19 sebanyak 2,97%; serta yang tidak teridentifikasi sebanyak 14,97%.
Berdasarkan data di atas, persentase terbanyak (67,56%) keramik Cina berasal dari abad ke-13
hingga abad ke-14. Hal ini menunjukkan bahwa tempat tersebut pernah mengalami masa yang
ramai dalam aktivitas hubungan dagang dengan daerah luar. Keberadaan keramik asing dari
abad ke-10 hingga abad ke-14 sebanyak 15,39% merupakan bagian dari awal perkembangan
Kota Cina sebagai sebuah bandar pelabuhan di pesisir timur Sumatera. Menyangkut
keberadaan keramik asing dari abad ke-15 hingga abad ke-19 di Kota Cina, hal ini

menunjukkan terjadinya penyurutan peran Kotacina sebagai sebuah bandar (Purnawibowo,
2007).

Temuan tembikar di Kotacina cukup beragam. Selain dijumpai tembikar lokal, jenis
tembikar tertentu memperlihatkan bahwa itu dibuat di Satingphra (Thailand) dengan wilayah
persebaran yang cukup luas yang mencakup beberapa situs di daratan Asia Tenggara, seperti
di Pangkalanbujang di Kedah, Malaysia, dan Oc-eo di Vietnam. Hal itu jelas merupakan
dukungan atas asumsi bahwa situs Kotacina merupakan salah satu situs perdagangan di
Indonesia. Tentunya di sana juga telah tersusun suatu sistem pasar bagi komoditi berupa
tembikar/gerabah.
Berkenaan dengan arca yang ditemukan analisis ikonografi yang dilakukan, diketahui
bahwa arca-arca yang ditemukan di Kotacina, yakni arca Buddha dengan sikap tangan
Dhyanamudra (sikap tangan bersemedi) dan Vijakhayamudra (sikap tangan memberi
wejangan), yang terbuat dari batu granit dan perunggu menunjukkan gaya dari India Selatan
(Cola Style). Selain arca bercirikan ikonografi Buddha, ditemukan juga arca Hindu yang diduga
arca Dewa Wisnu dan Dewi Lakhsmi yang ditemukan dalam keadaan sudah tanpa bagian
kepala. Dan di sana juga ditemukan lingga dan yoni, yang saat ini menjadi koleksi Museum
Negeri Sumatera Utara. Semua temuan arca di situs Kotacina yang bergaya seni Cola itu dapat
diduga diimpor dari daerah Tamilnadu di India Selatan, terutama dari daerah sekitar ibukota
Kerajaan Tamil di Kanchipuram dan ini berkenaan dengan kronologi sekitar abad ke-10 hingga
ke-13 Masehi (McKinnon, 1993/1994).
Temuan berupa mata uang logam kebanyakan dijumpai pada kegiatan tahun 1972
hingga tahun 1977. Tercatat tidak kurang dari 1.064 buah fragmen mata uang Cina yang

kebanyakan berangka tahun 1022, 1073, dan 1079 dan diketahui berasal dari masa
pemerintahan Dinasti Song (abad ke-10 -- ke-12 Masehi). Selain itu juga ada yang berasal dari
masa pemerintahan Dinasti Tang (abad ke-7 -- ke-9 Masehi), walaupun dalam jumlah yang
tidak besar (hanya sekitar 7,8 % dari jumlah keseluruhan).
Analisis teknologis atas sisa kekunaan itu memperlihatkan adanya perahu-perahu
berteknik ikat dan teknik pasak dalam pembangunannya yang menghasilkan perahu-perahu
samudera berukuran antara 25--30 meter. Adapun analisis carbon dating yang diberlakukan
atas beberapa sample potongan kayu sisa badan perahu serta analisis tipologis atas fragmen
gerabah/keramik asing yang ditemukan bersamaan memberikan data kronologi sahih yang
menunjuk pada abad ke-12 – ke-13 Masehi (Manguin,1989).
Adapun untuk sisa struktur bangunan yang terbuat dari bahan bata, tinggalan arkeologis
ini pernah diteliti tahun 1974 hingga 1977 serta diinterpretasikan sebagai bangunan berkaitan

dengan aktivitas keagamaan yang memiliki latar belakang Hindu dan Buddha, tentu saja hal
ini diasosiasikan dengan temuan konteks arca-arca Hindu-Buddha yang ditemukan di lokasi
situs Kotacina.

III. Beberapa nilai penting di situs Kotacina
Kawasan situs Kotacina dengan luasan lebih kurang 25 Ha mengandung tinggalan
arkeologis yang bervariasi dan dapat dikatan sebagai situs perdagangan antar bangsa yang

pernah terjadi pada kurun abad ke-10 hingga ke-14 Masehi. Dengan demikian situs Kotacina
dapat dikatakan sebagai salah satu lokasi perdagangan penting di pesisir timur Sumatera yang
menghadap langsung ke Selat Malaka, pada masa itu dikenal sebagai jalur perdagangan laut
Internasional yang ramai.
Berkenaan dengan nilai penting suatu sumberdaya arkeologis harus berdasarkan
Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yang pendefinisiannya harus
disetarakan dengan cagar budaya pada UU No. 11 tahun 2010, Bab I, Pasal 1: Cagar budaya
adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya,
struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Berdasarkan
terminologi tersebut diketahui bahwa tidak semua sumberdaya arkeologi termasuk dalam
kategori cagar budaya, hal ini disebabkan untuk menjadi cagar budaya harus melalui tahapan
penetapan. Akan tetapi hal demikian bukan berarti sumberdaya arkeologi yang belum
ditetapkan sebagai cagar budaya tidak memiliki nilai penting.
Perlu dipahami yang dimaksud dengan nilai penting suatu sumberdaya arkeologi
tentunya harus diselaraskan terlebih dahulu dengan kebutuhan hidup mendasar manusia,
terutama manusia yang berinteraksi langsung dengan sumberdaya arkeologi tersebut, dengan
demikian perlu ditambahkan beberapa nilai penting lain selain yang terkandug dalam UU No.
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Hal demikian dimaksudkan agar kelak nilai penting

lainnya yang telah ada dapat masuk.
Menilik kenyataan sekarang, hal paling mendesak adalah bagaimana sebuah
sumberdaya arkeologi bernilai penting ekonomi dan ekologi yang mampu memberi manfaat
peningkatan kesejahteraan dan menjaga kelestarian lingkungan, baik secara langsung maupunn
tidak. Adapun sebagai pedoman penentuan nilai penting suatu sumberdaya arkeologi ataupun
cagar budaya, hendaknya lebih bijaksana bila melihatnya dari output yang akan dihasilkan bila
suatu nilai penting tersebut disandangkan pada sumberdaya arkeologinya.

Untuk menjawab pertanyaan pertama penjelasan tentang nilai penting berangkat dari
beberapa nilai penting yang terdapat pada Bab I, Pasal 1 UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya serta penambahan nilai penting ekonomi dan nilai penting ekologi kawasan tersebut
bagi Kota Medan. Adapun nilai penting-nilai penting yang terdapat di kawasan situs Kotacina
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Nilai penting sejarah: situs Kotacina keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari
sejarah perkembangan Kota Medan. Secara khusus, situs ini bagian yang tidak
terlepaskan dari sejarah kejayaan Kota Medan di masa lalu hingga kota ini menjadi
seperti sekarang. Apabila disadari bahwa belajar dari masa lalu untuk menentukan
masa kini dan memanen hasil di masa depan, tentunya akan lebih bijaksana bila situs
ini dilindungi, dikelola, dan dimanfaatkan.
2. Nilai penting ilmu pengetahuan: situs Kotacina memiliki potensi untuk diteliti

berkelanjutan dari berbagai disiplin ilmu untuk menjawab berbagai permasalahan di
berbagai disiplin ilmu. Adapu pemanfaatan selain ilmu arkeologi, sejarah, dan
antropologi, kawasan situs ini dapat diteliti oleh disiplin bidang ilmu ekonomi;
geografi, geologi, hidrologi dan ilmu tanah; ilmu pertanian dan ilmu perikanan; ilmu
pariwisata; ilmu-ilmu sosial: politik, sosiologi, sosiatri; serta planologi.
3. Nilai penting pendidikan: situs ini memiliki potensi untuk dimasukkan sebagai
kurikulum pendidikan dalam bentuk muatan lokal.
4. Nilai penting agama: temuan struktur bangunan bata, pernah ditemukanya struktur
yang diduga stupa, keberadaan temuan arca-arca Tamil yang bercorak Hindu pada
masa lalu, artefak dari Timur Tengah, dan Cina dapat memberikan informasi kepada
masa sekarang bahwa di lokasi situs pernah terdapat beberapa agama berbeda yang
saling berinteraksi satu dengan lainnya.
5. Nilai penting kebudayaan: situs Kotacina pernah menjadi lokasi bertemu dan
berinteraksi berbagai ragam kebudayaan dengan latar belakang etnis dan bangsa yang
beragam, hal ini tercermin dari sisa artefaktual yang ditemukan di situs tersebut dapat
dijadikan penanda asal muasal artefaknya, seperti: keramik dan tembikar dari Cina,
Asia Tenggara, dan Timur Tengah; arca bergaya Tamil (India bagian selatan); manikmanik dan kaca dari Nusantara bagian timur dan Timur Tengah. Hal ini tentu saja
dapat dijadikan sebagai benang merah kondisi saat ini Kota Medan yang
masyarakatnya multi kultural: Melayu, Jawa, Tamil, Cina, Arab, Eropa.
6. Nilai penting ekonomi: situs terletak di daerah pengembangan kawasan permukiman
dan industri Kota Medan, sehingga memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi.

7. Nilai penting ekologi: baik disadari maupunn tidak, isu lingkungan dapat dijadikan
mitra yang baik dalam melindungi situs. Padahal sebenarnya untuk kawasan seperti
situs Kotacina, lingkungan yang selalu dipengaruhi oleh kondisi air pasang naik dan
pasang surut air laut berhubungan dengan kualitas air bersih dan abrasi air laut masuk
ke air tanah yang dikonsumsi warga masyarakat. Bila daerah ini terpelihara maka
amanlah konsumsi air tawar dan serangan abrasi air laut bagi warga Medan.
III. Upaya mewujudkan pelestarian situs Kotacina
Untuk menjawab permasalahan kedua, berdasarkan pendeskripsian beberapa nilai
penting di atas, maka selanjutnya akan dijelaskan bagaimana nilai penting ilmu pengetahuan
dan ekonomi dapat diarahkan untuk mewujudkan pelestarian situs Kotacina. Adapun
pelestarian dapat didefinisikan berdasarkan Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya. Pelestarian didefinisikan sebagai upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan
cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
Pelestarian mengandung pemahaman tindakan yang penuh semangat dan tenaga sehingga cepat
bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dalam rangka mempertahankan
keberadaan dan nilai penting cagar budaya.
Nilai penting ilmu pengetahuan yang ada di situs ini dapat direalisasikan dengan
menjadikannya sebagai lahan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain untuk
penelitian arkeologi dan sejarah, situs ini memiliki potensi untuk diteliti dari berbagai ilmu
seperti yang disebutkan di atas. Potensi ini tentunya akan berdampak positif bagi situs ini
dengan masuknya para peneliti. Hasil penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di situs
ini tentu saja harus mampu diaplikasikan dan manfaatnya dirasakan langsung bagi masyarakat
sekitar situs.
Nilai penting ekonomi pada kenyataannya menjadi momok sering kali dihindari bila
direlasikan dengan pelestarian sumberdaya arkeologi, akan tetapi dalam kenyataannya nilai ini
justru penting, bahkan di masyarakat awam justru menjadi nilai utama. Pemberian nilai penting
ekonomi pada situs ini jangan diartikan sebagai wahana pengeksploitasian situs, tetapi harus
dimaknai secara bijaksana dalam memanfaatkan situs untuk kepentingan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Nilai ini dapat direalisasikan dengan pengembangan industri kreatif
rumah tangga berbasis pemberdayaan masyarakat yang menciptakan peluang kerja yang dapat
memicu perputaran roda ekonomi. Adanya pemberdayaan masyarakat setempat dalam
kemandirian berwirausaha sehingga mampu bangkit dari kemiskinan yang melingkupi
masyarakat di sekitar situs Kotacina. Misalnya dengan memberikan pelatihan membatik dan

membuat keramik. Adapun motif batik dan keramik yang dibuatnya dapat meniru beberapa
motif keramik Cina yang ada di situs ini atau mengembangkan kreativitasnya sendiri. Hasil
dari usaha mereka dapat dijual di lingkungan situs ataupun ke luar daerah situs. Hal ini juga
dirasakan sebagai upaya mendukung pelestarian batik sebagai karya Indonesia yang telah
menjadi warisan dunia.
Pengaplikasian dan perealisasian nilai penting ilmu pengetahuan dan ekonomi di situs
ini secara langsug maupu tidak akan berdampak pada dilindunginya situs ini dengan alasan
kuat. Situs ini dengan otomatis akan mendapat dukungan dan perlindungan dari pemangku
stakeholders yang punya kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan ekonomi. Hal ini
tentunya berdampak positif dan secara tidak langsung dapat dijadikan sebagai garda terdepan
bagi terwujudnya pelestarian di situs ini.

IV. Penutup
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas, kawasan situs Kotacina dapat
dijadikan sumberdaya arkeologi yang memiliki bobot nilai penting yang bertaraf nasional dan
Internasional secara ilmu pengetahuan maupunn ekonomi, terutama di kawasan ekonomi yang
berada di sekitar Selat Malaka, dan layak dimasukkan sebagai Kawasan Strategis Nasional
(KSN) untuk pengembangan ekonomi nasional dan regional. Setelah mengetahui beberapa
nilai penting serta potensi kawasan situs Kotacina dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang relevan dengan aspek pelestarian
sumberdaya arkeologi dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan
dalam UU No. 11 Tahu 2010 tentang Cagar Budaya, norma-norma sosial masyarakat, serta
tidak mengorbankan masyarakat dengan dalih eksploitasi demi uang pada sumberdaya
arkeologi ataupun cagar budaya.

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2011. “Sumberdaya Budaya: Strategi Peningkatan Apresiasi
Masyarakat” dalam Arkeologi dan Sumberdaya Budaya di Kalimantan: Masalah
dan Apresiasi, H.S. Ahimsa-Putra (ed.). Banjarbaru: IAAI Komda Kalimantan. hlm.
xii -- xx.
Ambary, Hasan Muarif. 1984. Further Notes On Classification Of Ceramics From The
Excavation Of Kota Cina, dalam Studies On Ceramics, Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional, hal. 63--72.
Koestoro, Lucas Partanda dkk., 2006. Medan, Kota Di Pesisir Timur Sumatera Utara Dan
Peninggalan Tuanya. Medan: Balai Arkeologi Medan.
Koestoro, Lucas Partanda. 2005. Rempah Dan Perahu Di Perairan Sumatera Dalam
Ungkapan Arkeologis Dan Historis, dalam Jurnal Arkeologi Indonesia No. 3. Jakarta:
IAAI, hal. 41--64.
______________________. 2008. Kotacina Dalam Sejarah Indonesia. Makalah dalam
Seminar Arti Penting Situs Kotacina (Medan) Dalam Sejarah Indonesia Dan
Pengintegrasiannya Dalam Pengajaran Sejarah Di SMP/SMA. Medan.
Manguin, Pierre-Yves, 1989. The trading ships of Insular South-East Asia. New Evidence from
Indonesian Archaeological Sites, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V (1). Jakarta:
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal. 200--220.
McKinnon, E. Edwards. 1978. A Notes on Aru and Kota Cina. Dalam Indonesia, Oktober 26.
--------------------,1993/1994. Arca-Arca Tamil Di Kota Cina, dalam Saraswati Esai-Esai Arkeologi 2,
KALPATARU Majalah Arkeologi No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Hal. 53 --79.

Purnawibowo, Stanov dkk. 2008. Laporan Remaping Situs Kotacina Di Kelurahan Paya Pasir,
Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai
Arkeologi Medan (tidak diterbitkan).
Purnawibowo, Stanov. 2007. Fragmen keramik asing: Jejak hubungan dagang di situs
Kotacina, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol. X No. 19/2007. Medan: Balai
Arkeologi Medan, hal. 86--96.
_________________. 2010. “Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Situs Kotacina” dalam
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol. XIII No. 26, September 2010. Medan: Balai
Arkeologi Medan. hlm. 92 -- 100.
Schiffer, M.B. 1976. Behavioural Archaeology. New York: Academic Press.

Tanudirjo, Daud Aris. 2003. Warisan Budaya untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola
Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Makalah dalam Kongres Kebudayaan
V. Bukit Tinggi.
________________. 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Budaya di Perkotaan”. Dalam Jurnal
Siddhayatra.

Palembang:

Balai

Arkeologi

Palembang.

Diunduh

dari

www.arkeologi.palembang.go.id tanggal 14 Desember 2011.
Wibisono, Sonny, 1981. Tembikar Kota Cina: Sebuah Analisis Hasil Penggalian Tahun
1979 Di Sumatera Utara. Skripsi pada Universitas Indonesia, Jakarta.
Undang-undang

No.

11

Tahun

2010

Tentang

Cagar

www.kemenkumham.go.id 14 September 2011.
http://kamusbahasaindonesia.org/ diakses 16 Desember 2011.

Budaya

diakses

dari