meninjau kebijakan pemerintah terkait logistik

Analisis Aspek Proteksi Lingkungan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam
Sektor Pertambangan Indonesia

Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam. Baik dari keanekaragaman
hayati, maupun flora dan fauna. Potensi sumber daya alam mineral Indonesia juga telah menjadi
daya tarik tersendiri dan merupakan sektor yang menjanjikan. Negara dituntut untuk bijaksana
dalam mengelola sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini. pengelolaan yang dilakukan oleh
Negara adalah bentuk dari perwujudan dari hak menguasai Negara seperti yang diamanatkan
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945 yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” oleh karenanya pengelolaan tersebut pun harus sesuai dengan konstitusi.
Namun melihat beberapa fenomena dalam praktiknya, bidang pengelolaan sumber daya alam
terutama dalam bidang mineral dan batu bara masih belum mencerminkan konstitusi.
Dimana hal ini bermula dari ditetapkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Semangat dari UU Nomor 4 Tahun 2009 adalah agar
pemerintah Indonesia memiliki wibawa dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara
nasional sehingga kemandirian dan ketahanan energy serta kekokohan sector ekonomi
merupakan tujuan utama dibentuknya UU tersebut. Sayangnya, dalam penerapan UU tersebut
terlihat bagaimana pemerintah Indonesia menempatkan dirinya dalam posisi tawar yang rendah,
hal ini berakibat terhadap inkonsistensi peraturan terkait sector pertambangan selama satu
dekade terakhir. Inkonsistensi pemerintah dalam menetapkan kebijakan publik dalam sector

pertambangan tidak hanya mengakibatkan kebingungan di kalangan pelaku usaha dan akademisi
namun juga lebih dari sekedar itu dampaknya langsung berakibat kepada masyarakat. Mengingat
sector pertambangan merupakan sector yang sangat luas jangkuannya, sehingga dampaknya pun
luas mulai dari ekonomi, social, lingkungan dan kesehatan. Dalam hal ini, penulis akan mencoba
menguraikan bagaimana dampak inkonsistensi sikap pemerintah dalam bidang pertambangan
mengakibatkan hal yang sangat fatal dalam sector lingkungan.
Salah satu kebijakan pemerintah yang controversial dan menuai reaksi keras dari banyak
kalangan adalah PP No 2 tahun 2008. Pada pokoknya, PP tersebut mengatur tentang murahnya
tarif kompensasi penggunaan hutan untuk keperluan investasi (atas nama pembangunan) seperti
untuk keperluan tambang terbuka, tambang bawah tanah, jaringan telekomunikasi, repiter
telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi
teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Keresahan dari diundangkannya PP No.
2/2008 tidak terlepas dari persoalan keberadaan pertambangan di dalam kawasan hutan, terutama
pada kawasan hutan lindung.

Hal ini tentunya bertentangan dengan amanah UU kehutanan no 41 tahun 1999. Dalam
Pasal 1 huruf f UU Kehutanan baru menyebutkan “Hutan lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.” Selanjutnya di dalam Pasal 38 ayat 4 disebutkan: “Pada kawasan hutan

lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka”
Larangan pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung yang diamanatkan oleh
UU No. 41/1999 ini kemudian menjadi masalah karena secara faktual sudah ada banyak sekali
perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung dengan
pola pertambangan terbuka atau eksploitasi. Dalam ketentuan peralihan UU tersebut tidak sama
sekali mengatur bagaimana seharusnya menyikapi pemakaian hutan lindung sebagai lahan
pertambangan, desakan para pengusaha tidak dapat dielakkan, bahkan mengancam akan dibawa
ke arbitrase internsional karena Indonesia telah dianggap melanggar kontrak karya. Singkatnya,
demi memenuhi desakan para pengusaha pemerintah menetapkan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 (Perpu No. 1/2004) yang menambahkan aturan peralihan
dari UU No. 41/1999. Isi dari Perpu itu adalah menambahkan Pasal 83 A untuk memberikan
jaminan kepastian hukum pada perusahaan pertambangan yang sedang mengeksploitasi hutan
Indonesia. Pasal 83A tersebut berbunyi:
“Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah
ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan
tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.”
Ironisnya, Selang 62 (enampuluhdua hari) setelah Perpu No. 1/2004 dikeluarkan,
Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 (Keppres No. 41/2004) tentang
Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan. Kepres itu
bahkan keluar sebelum Perpu No. 1/2004 dibahas untuk dijadikan Undang-undang di DPR. Pada

intinya Keppres No. 1/2004 memberikan penetapan kepada 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di
bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU No.41/1999.
Tidak sampai disitu, pemerintah rupanya tidak kehabisan akal. Untuk membendung
gencarnya praktik pertambangan di indonesia, baru-baru ini pemerintah menetapkan peraturan
mengenai kebijakan hilirisasi mineral. Hlirisasi mineral ini diharapkan akan meningkatkan
pendapatan Negara dan membuka lapangan pekerjaan. Namun, terlihat sekali bagaimana
perncanaan yang tidak matang terhadap pengambilan kebijakan ini. Inkonsistensi pemerintah
setidaknya terlihat dari regulasi mengenai pelarangan ekspor mineral mentah dan persentase
kadar pengolahan atau pemurnian yang diizinkan untuk eksport. Terkait pelarangan eksport
mineral mentah, Permen ESDM No 7 Tahun 2012 memuat pelarangan eksport mineral mentah
tanpa pengecualian (totally export ban). Namun sebagian regulasi tersebut dicabut dengan
terbitnya Permen ESDM No 11 Tahun 2012 yang membuka kembali kran eksport dengan syarat

(conditional export). Kemudian Pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No 20 Tahun 2013
untuk mengganti regulasi sebelumnya, regulasi ini memuat pelarangan eksport bersyarat
(conditional export ban) yang mana kran eksport tetap dibuka sampai dengan jangka waktu
tertentu. Pada akhirnya pemerintah resmi melarang export mineral mentah dengan keluarnya PP
No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014. PP ini secara substansial tidak
berdampak banyak terhadap para pengusaha tambang skala besar. Karena dalam PP tersebut
kadar yang dikehendaki hanyalah 15 % menurun dari sebelumnya 99%. Hal ini mengkibatkan

para pengusaha tambang skala besar seperti Newmont dan Freeport tetap dapat melakukan
eksport berupa konsentrat mineral yang tentu saja, lebih menimbulkan kerusakan pada
lingkungan. Sehingga banyak pihak menilai bahwa PP ini justru hanya membunuh sector usaha
pertambangan domestic dan lebih melindungi kepentingan asing di Indonesia.
Sejak diberlakukannya larangan ekspor per tanggal 12 Januari 2014, praktis semua
pemegang IUP yang ada di Indonesia sementara berhenti, terkecuali perusahaan-perusahaan yang
sudah memiliki smelter/pabrik atau telah bekerjasama dengan smelter dalam negeri. Berhentinya
kegiatan pertambangan ini, menyisakan beberapa pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi
kewajiban bagi para pemegang IUP antara lain kegiatan reklamasi. Fakta ini terungkap dari
beberapa pemberitaan di media yang menegaskan bahwa ada sebagian pelaku tambang yang
meninggalkan aktivitas tambangnya tanpa melakukan kegiatan reklamasi.
Sesuai amanat Pasal 101 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, pada
tanggal 20 Desember 2010 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010
tentang Reklamasi dan Pascatambang, yang secara detil mengatur hal‐hal mengenai kewajiban
reklamasi dan kegiatan paska tambang, setelah sebelumnya diatur secara sederhana di Pasal 99 ‐
100 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Peraturan ini menetapkan bahwa kegiatan reklamasi
wajib dilakukan oleh setiap pemegang IUP Eksplorasi maupun IUPK Eksplorasi dan IUP
Produksi serta IUPK Produksi, sedangkan kegiatan paska tambang wajib dilakukan oleh setiap
pemegang IUP Produksi dan IUPK Produksi. Kegiatan reklamasi dan paska tambang wajib
dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, keselamatan/kesehatan pekerja, dan

konservasi mineral dan batubara (khusus terhadap pemegang IUP Produksi).
Namun, Pelaksanaan kegiatan reklamasi wilayah tambang hingga detik ini pun belum
begitu terasa efektivitasnya. Banyak pakar yang berpendapat dan pada dasarnya sependapat
bahwa kendala hukum dalam implementasi pengaturan reklamasi tambang, di antaranya
lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pemegang IUP, IPR atau IUPK
yang mengakibatkan banyaknya pelaku usaha pertambangan belum atau tidak melakukan
reklamasi dan pasca tambang yang berakibat terhadap pencemaran dan kerusakan Lingkungan.
Selain itu, belum tegasnya pemerintah dalam menerapkan sanksi, baik sanksi
administrasi, perdata maupun pidana terhadap penanggung jawab usaha pertambangan yang
tidak melakukan kewajiban reklamasi dan pasca tambang dan mengakibatkan pencemaran dan

kerusakan Lingkungan, serta kurangnya kepatuhan dan kesadaran hukum dalam masyarakat,
khususnya para pelaku usaha kegiatan pertambangan dengan tidak melakukan kewajiban
reklamasi dan pasca tambang serta pembayaran dana jaminan reklamasi dan pasca tambang juga
menyebabkan implementasi pengaturan reklamasi pasca tambang tidak berjalan dengan optimal.
Sementara itu, keadaan hutan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Menurut data
Departemen Kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak telah mencapai 59,6 juta hektar
dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. hampir 70 persen dari kerusakan hutan di
Indonesia akibat dari kegiatan pertambangan. angka kerusakan hutan ini semakin meningkat
setiap tahun nya. Tentu saja rasio kerusakan hutan akibat pertambangan tidak sebanding dengan

rasio pemulihan lahan setelah reklamasi. Terlebih lagi seperti yang dijabarkan sebelumnya
bahwa belum semua perusahaan tambang di Indonesia melakukan reklamasi.
Kerusakan lingkungan merupakan satu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi. Terlebih
kegegabahan pemerintah dalam bersikap telah mengantarkan Indonesia pada krisis ekologi yang
nyata. Alih-alih keuntungan yang diperoleh, sumber devisa Negara justru banyak yang beralih ke
tangan asing. Penunggakan pajak yang dilakukan pengusaha pertambangan selalu menjadi
penyumbang kerugian Negara tiap tahun nya. Kebijakan hilirisasi juga banyak menuai kecaman
lantaran dinilai tidak sesuai dengan permintaan pasar.
Berdasarkan analisis beberapa perturan diatas, terlihat betapa gamang nya pemerintah
dalam mengelola sumber daya alam Indonesia. Factor utama yang sering menyebabkan
Indonesia ragu dalam bertindak adalah bahwa pemerintah Indonesia acap kali menepatkan
kontrak karya di atas uu no 4 tahun 2009 dan bukan sebaliknya. Mengatasnamakan
pembangunan, pemerintah pada nyatanya justru cenderung rapuh dan mudah diarahkan oleh
kepentingan asing. Tentu saja hal ini bukanlah perwujudan dari apa yang diamanahkan konstitusi
pasal 33 tentang hak menguasai Negara.
Perubahan terhadap serangkaian aturan arus segera dilaksanakan. mulai dari UU
kehutanan yang daya ikat dan konsep nya sangat lemah hingga PP yang justru menyimpang dari
amanah UU terkait pertambangan. Meminjam konsep perubahan konstitusi oleh K. C. Wheare,
bahwa perubahan konstitusi itu bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu (a) formal amandemend,
melalui lembaga perwakilan rakyat; (b) Judicial interpretation atau putusan pengadilan dalam

rangka pengujian atau penafsiran; dan (c) constitutional usage and convention, yaitu dalam
penggunaan atau penerapan konstitusi. Pola demikian juga dapat dilakukan pada serangkaian
UU terkait, bila tidak dilakukan perubahan melalui jalur formil di DPR, maka perubahan UU
juga dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa ketentuan yang dianggap “menyimpang”
kepada pengadilan, dalam hal ini kepada Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung

Sumber :
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
UU no 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara
PP no 2 tahun 2008 tentang tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar
Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan
Perpu no 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-undang
PP no 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang
PP No 1 Tahun 2014 tentanbg peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan
pemurnian
Permen ESDM No 1 Tahun 2014 tentang tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui
kegiatan pengolaan dan pemurnian mineral di dalam negeri

Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang
Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan
K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, 1966 dalam Jimly Asshiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. 2006
http://www.esdm.go.id diakses terkahir kali pada tanggal 19 oktober pukul 12.30 wib
http://www.dephut.go.id diakses terakhir kali pada tanggal 19 oktober pukul 13.05 wib
http://www.mediasultra.com/news/perspektif-hukum-reklamasi-tambang.html/ diakses terkahir
kali pada tanggal 19 oktober pukul 13.00 wib
http://www.article33.or.id/a/id/3/tata-kelola-ekstraktif/132-kebijakan-hilirisasi-mineral-siapauntung diakses terakhir kali pada tanggal 19 oktober pukul 13.10 wib
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6690272071c/hutan-lindung-tak-bisa-dijadikanlahan-tambang diakses terakhir kali pada tanggal 19 oktober pukul 13.25 wib

TUGAS ANALISIS
HUKUM KONSERVASI LINGKUNGAN
KELAS F

Analisis Aspek Proteksi Lingkungan Terhadap Kebijakan Pemerintah
Dalam Sektor Pertambangan Indonesia

Oleh :


Yuki Nur Palupi T
12/334419/HK/19259

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2014/2015