KEMAJUAN KEMAJUAN YANG DICAPAI KESULTANA (1)
KEMAJUAN-KEMAJUAN YANG DICAPAI KESULTANAN BANTEN
(suatu kajian sejarah Banten dalam kacamata stuktural)
oleh :
Dede Yusuf
Pendidikan Sejarah 2011-Universitas Pendidikan Indonesia
A. Kemajuan-Kemajuan Yang Dicapai Kesultanan Banten
1. Bidang Sosial
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta
multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis
nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali. Dari
beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan
terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang,
sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang
yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan,
pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada
tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan
tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk
dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000
penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.‟ (Guillot, 1994).
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten.
Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan
Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar
pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan
dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok
masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga
telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
2. Bidang Agama
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh
beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara,
Sriwijaya dan Kerajaan Sunda. Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan
Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam
secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita
mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa
Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda,
yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki
silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun
tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh
perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
„Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain
bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga
dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.‟ (Nurlaelawati, 2010).
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi
oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana
peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada
kawasan sekitar pelabuhan Banten.
3. Bidang Perekonomian
Bila kita lihat pada masa Malaka dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 maka
kita dapat mengerti mengapa Banten sebagai suatu kerajaan dapat maju dengan pesat.
Kejadian-kejadian
di
sekitar
selat
Malaka
merupakan
suatu
berkat
bagi
perkembangan Banten. “seperti diketahui sejak Malaka pada tahun 1511 jatuh
ketangan Portugis, pedagang-pedagang dari Persia, India, Cina dan daerah-daerah
yang lain yang biasanya datang pada musim angin tertentu bertemu di Malaka, mulai
menghindari kota itu.” (Marwati Djoened Poesponegoro, 1993, hal. 36-37). Hal ini
disebabkan oleh sikap Portugis yang kala itu menguasai Malaka, hendak
memaksakan sistem monopoli kepada pedagang-pedagang yang telah biasa dengan
sistem perdagangan bebas.
Pedagang-pedagang yang datang ke Malaka harus mendapat Izin dahulu dari
pemerintah Portugis di Malaka. Untuk menhindarkan diri dari keadaan yang tidak
menyenangkan ini pedagang-pedagang mencari jalan tanpa izin, yaitu melalui selat
Sunda. Dengan demikian ditemukan suatu jalan lain untuk dapat melaksanaakan
rempah-rempah. Dengan itu Banten mulai berkembang karena terletak ditengan jalan
perdagangan rempah-rempah ke dan dari Maluku. Banten menjadi tempat untuk
memebeli bekal perjalanan tempat perdagangan rempah-rempah dan barang dagangan
lain dari luar negeri.
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang
perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai
diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan
pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan
perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian
yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan
panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga
dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
„Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar
dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru
dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal
tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan
kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang
Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di tahun
1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten
meningkat signifikan.‟ (Ota, 2006).
„Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota
metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan
Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.‟ (Guillot, 1994).
4. Bidang Pemerintahan
Setelah
Banten
muncul
sebagai
kerajaan
yang
mandiri,
penguasanya
menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran
Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh
para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar
Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi
pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan
yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus
lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong
praja, serta kaum jawara .
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan
Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah
utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk
mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas
untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
„Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid
Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara
pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai
tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan
rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep HinduBudha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala .‟ (Ota, 2006). Selain itu
pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti
Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke
Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan
yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan
Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
5. Bidang Kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan : kerajaan Bnaten pernah tinggal seorang Syeikh yang
bernama Syeikh Yusuf Makassar (1627-1699), ia sahabat dari Sultan Agung
Tirtayasa, juga Kadhi di Kerajaan Banten yang menulis 23 buku. Selain itu di Banten
pada akhir masa kesultanan lahir seorang ulama besar yaitu Muhammad Nawawi Albantani pernah menjadi Imam besar di Masjidil Haram. Ia wafat dan dimakamkan di
Makkah, sedikitnya ia telah menulis 99 kitab dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah,
Hukum, tauhid dan lain-lain. Melihat kajiannya yang beragam menunjukkan ia
seorang yang luas wawasannya. Salah satu contoh wujud akulturasi tampak pada
bangunan Masjid Agung Banten, yang memperlihatkan wujud akulturasi antara
kebudayaan Indonesia, Hindu, Islam. Serta bila kita lihat peninggalan-peninggalan
keraton pada masa kesultanaan Banten yaitu keraton Kaibon dan keraton Surosuawan
yang pada masanya merupakan keraton yang amat megah, temapat sultan dan
keluarganya menjalani kehidupannya. Renruntuhan keraton tersebut sampai saat ini
masih berbekas dan dijadikan sebagai objek wisata kesejarahan kesultanan Banten.
B. Keruntuhan Kesultanaan Banten
1. Perang Saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat
perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan
Haji. „Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat
dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu
Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja
Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan
persenjataan.‟ (Pudjiastuti, 2007). Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur
dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa , namun pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan
Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
„Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan
Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada
5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan
Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel
menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember
1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.‟ (Azra, 2004). Sementara setelah
terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian
Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran
Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka
berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi
pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem
Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi
buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684
sampai di Batavia.
2. Penurunan
„Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan
memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah
Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada
Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di
Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus
1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti
mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.‟ (Marwati Djoened
Poesponegoro, 1993)
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan
pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti
mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu
Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa
sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan
gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga
dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan
pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun
gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan
Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan
Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus
Buang dan Kyai Tapa. „Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali
meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga
sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.‟ (Ota, 2006)
3. Penghapusan Kesultanan
„Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan
pulau Jawa dari serangan Inggris.‟ (Kompas, 2008). Daendels memerintahkan Sultan
Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja
untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di
Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. „Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah
diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.‟ (Sartono, 1966).
„Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial
Inggris.‟ (R. B. Cribb, 2004). Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford
Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat
Kesultanan Banten.
B. DAFTAR PUSTAKA
Azra, A. (2004). The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of
Malay-Indonesian and Middle Ea stern 'Ulamā' in the seventeenth and
eighteenth centuries. Hawaii: University of Hawaii Press.
Guillot, C. (1994). Banten in 1678. Indonesia , 89-114.
Kompas. (2008, November 1). Ekspedisi Anjer-Panaroekan. Laporan Jurnalistik
Kompas , pp. 1-2.
Marwati Djoened Poesponegoro, N. N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka.
Nurlaelawati, E. (2010). Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum
Islam and legal practice in the Indonesian religious courts. Amsterdam:
Amsterdam University Press.
Ota, A. (2006). Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state,
and the outer world of Banten, 1750-1830. BRILL.
Pudjiastuti, T. (2007). Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
R. B. Cribb, A. K. (2004). Historical dictionary of Indonesia. Scarecrow Press.
Sartono, K. (1966). The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and
sequel. A case study of social movements in Indonesia. Martinus Nijhoff.
(suatu kajian sejarah Banten dalam kacamata stuktural)
oleh :
Dede Yusuf
Pendidikan Sejarah 2011-Universitas Pendidikan Indonesia
A. Kemajuan-Kemajuan Yang Dicapai Kesultanan Banten
1. Bidang Sosial
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta
multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis
nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali. Dari
beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan
terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang,
sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang
yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan,
pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada
tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan
tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk
dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000
penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.‟ (Guillot, 1994).
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten.
Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan
Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar
pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan
dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok
masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga
telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
2. Bidang Agama
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh
beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara,
Sriwijaya dan Kerajaan Sunda. Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan
Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam
secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita
mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa
Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda,
yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki
silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun
tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh
perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
„Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain
bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga
dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.‟ (Nurlaelawati, 2010).
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi
oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana
peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada
kawasan sekitar pelabuhan Banten.
3. Bidang Perekonomian
Bila kita lihat pada masa Malaka dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 maka
kita dapat mengerti mengapa Banten sebagai suatu kerajaan dapat maju dengan pesat.
Kejadian-kejadian
di
sekitar
selat
Malaka
merupakan
suatu
berkat
bagi
perkembangan Banten. “seperti diketahui sejak Malaka pada tahun 1511 jatuh
ketangan Portugis, pedagang-pedagang dari Persia, India, Cina dan daerah-daerah
yang lain yang biasanya datang pada musim angin tertentu bertemu di Malaka, mulai
menghindari kota itu.” (Marwati Djoened Poesponegoro, 1993, hal. 36-37). Hal ini
disebabkan oleh sikap Portugis yang kala itu menguasai Malaka, hendak
memaksakan sistem monopoli kepada pedagang-pedagang yang telah biasa dengan
sistem perdagangan bebas.
Pedagang-pedagang yang datang ke Malaka harus mendapat Izin dahulu dari
pemerintah Portugis di Malaka. Untuk menhindarkan diri dari keadaan yang tidak
menyenangkan ini pedagang-pedagang mencari jalan tanpa izin, yaitu melalui selat
Sunda. Dengan demikian ditemukan suatu jalan lain untuk dapat melaksanaakan
rempah-rempah. Dengan itu Banten mulai berkembang karena terletak ditengan jalan
perdagangan rempah-rempah ke dan dari Maluku. Banten menjadi tempat untuk
memebeli bekal perjalanan tempat perdagangan rempah-rempah dan barang dagangan
lain dari luar negeri.
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang
perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai
diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan
pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan
perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian
yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan
panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga
dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
„Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar
dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru
dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal
tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan
kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang
Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di tahun
1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten
meningkat signifikan.‟ (Ota, 2006).
„Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota
metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan
Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.‟ (Guillot, 1994).
4. Bidang Pemerintahan
Setelah
Banten
muncul
sebagai
kerajaan
yang
mandiri,
penguasanya
menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran
Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh
para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar
Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi
pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan
yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus
lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong
praja, serta kaum jawara .
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan
Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah
utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk
mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas
untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
„Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid
Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara
pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai
tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan
rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep HinduBudha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala .‟ (Ota, 2006). Selain itu
pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti
Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke
Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan
yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan
Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
5. Bidang Kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan : kerajaan Bnaten pernah tinggal seorang Syeikh yang
bernama Syeikh Yusuf Makassar (1627-1699), ia sahabat dari Sultan Agung
Tirtayasa, juga Kadhi di Kerajaan Banten yang menulis 23 buku. Selain itu di Banten
pada akhir masa kesultanan lahir seorang ulama besar yaitu Muhammad Nawawi Albantani pernah menjadi Imam besar di Masjidil Haram. Ia wafat dan dimakamkan di
Makkah, sedikitnya ia telah menulis 99 kitab dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah,
Hukum, tauhid dan lain-lain. Melihat kajiannya yang beragam menunjukkan ia
seorang yang luas wawasannya. Salah satu contoh wujud akulturasi tampak pada
bangunan Masjid Agung Banten, yang memperlihatkan wujud akulturasi antara
kebudayaan Indonesia, Hindu, Islam. Serta bila kita lihat peninggalan-peninggalan
keraton pada masa kesultanaan Banten yaitu keraton Kaibon dan keraton Surosuawan
yang pada masanya merupakan keraton yang amat megah, temapat sultan dan
keluarganya menjalani kehidupannya. Renruntuhan keraton tersebut sampai saat ini
masih berbekas dan dijadikan sebagai objek wisata kesejarahan kesultanan Banten.
B. Keruntuhan Kesultanaan Banten
1. Perang Saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat
perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan
Haji. „Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat
dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu
Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja
Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan
persenjataan.‟ (Pudjiastuti, 2007). Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur
dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa , namun pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan
Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
„Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan
Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada
5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan
Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel
menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember
1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.‟ (Azra, 2004). Sementara setelah
terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian
Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran
Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka
berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi
pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem
Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi
buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684
sampai di Batavia.
2. Penurunan
„Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan
memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah
Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada
Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di
Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus
1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti
mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.‟ (Marwati Djoened
Poesponegoro, 1993)
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan
pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti
mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu
Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa
sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan
gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga
dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan
pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun
gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan
Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan
Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus
Buang dan Kyai Tapa. „Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali
meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga
sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.‟ (Ota, 2006)
3. Penghapusan Kesultanan
„Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan
pulau Jawa dari serangan Inggris.‟ (Kompas, 2008). Daendels memerintahkan Sultan
Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja
untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di
Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. „Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah
diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.‟ (Sartono, 1966).
„Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial
Inggris.‟ (R. B. Cribb, 2004). Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford
Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat
Kesultanan Banten.
B. DAFTAR PUSTAKA
Azra, A. (2004). The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of
Malay-Indonesian and Middle Ea stern 'Ulamā' in the seventeenth and
eighteenth centuries. Hawaii: University of Hawaii Press.
Guillot, C. (1994). Banten in 1678. Indonesia , 89-114.
Kompas. (2008, November 1). Ekspedisi Anjer-Panaroekan. Laporan Jurnalistik
Kompas , pp. 1-2.
Marwati Djoened Poesponegoro, N. N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka.
Nurlaelawati, E. (2010). Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum
Islam and legal practice in the Indonesian religious courts. Amsterdam:
Amsterdam University Press.
Ota, A. (2006). Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state,
and the outer world of Banten, 1750-1830. BRILL.
Pudjiastuti, T. (2007). Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
R. B. Cribb, A. K. (2004). Historical dictionary of Indonesia. Scarecrow Press.
Sartono, K. (1966). The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and
sequel. A case study of social movements in Indonesia. Martinus Nijhoff.