Sejarah pergulatan teologi dalam islam (1)

1. Pendahuluan
Sejarah pergulatan teologi dalam islam telah melalui jalan yang panjang. Dengan rentang
sejarah yang panjang itu, teologi Islam pernah menancapkan sebuah fakta untuk turut serta
meramaikan pergulatan intelektual dalam pentas peradaban ilmu pengetahuan dan politik dunia.
Di dalam pergolakan sejarah tersebut tak jarang memunculkan berbagai intrk-intrik yang bisa
dikatakan sangatlah ironis. Bagaimana faktor kesalahan komunikasi dapat berakibat sangat fatal.
Berbagai konsep dan sudut pandang teologis muncul secara dialektis dalam atmosfir kebudayaan
Islam.
Secara konsvensional Islam memang mempunyai bangunan ketuhanan yang sifatnya
monoteis. Sebuah agama yang mempunyai keyakinan tentang Tuhan yang satu. Namun, dalam
realitas empiriknya, Tuhan yang satu tersebut melahirkan beragam pandangan dan konsep
teologis yang berbeda-beda. Artinya meskipun Tuhan sebagai obyek keyakinan umat Islam sama
yakni Allah, namun ketika Allah yang satu itu direspon dan dipahami oleh banyak indifidu umat
Islam sejagad, maka justru melahirkan beragam konsep ketuhanan.
Perbedaan pandangan teologis itu berangkat dari beragamnya logika forma atau
paradigama, sudut pandang dan perspektif yang digunakan oleh umat Islam sendiri dalam
menangkap dan menafsirkan Tuhan. Satu pihak umjat Islam ada yang menggunakan perpsketif
logis, yakni usaha memahami Tuhan melalui rasio. Ada yang lebih mendasarkan pemahamannya
melalui intuitif. Di sisi lain ada yang cukup puas dengan informasi teks dan seterusnya.
Selain dari itu, di samping banyaknya pendekatan yang digunakan oleh umat Islam dalam
memahami Tuhan, hal yang turut serta menyeruakkan bermacam-macamnya konsep teolog Islam

adalah berkaitan dengan wajah Tuhan itu sendiri. Syaikh Akbar Ibnu „Arabi membagi Tuhan
pada dua wajah: Dzat dan Sifat. Wajah Tuhan yang terdiri dari dzat dan sifat ini menyebabkan
munculnya perbedaan pandangan di kalangan para mutakallim. Ada yang menyatakan bahwa
Tuhan mempunyai sufat dan ada juga yang tidak myakini bahwa tuhan mempunyai sifat.
Beraneka ragamnya konsep teologi tersebut, akhirnya juga membawa beraneka ragamnya pola
hidup dan pola pikir umat Islam. Bagi umat Islam yang masuk pada kubu Jabariyyah akhirnya
lebih cenderung fatalistik. Hal ini karena pakem teologi Jabariyyah adalah menyerahkan segala
sesuatunya pada Tuhan. Sementara bagi umat Islam yang menjadi penganut Qodariyyah
menjadikan umat Islam pada kelompok ini mempunyai sikap hidup yang optimis. Karena konsep
teologi mereka menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia merupakan
1

tanggung jawab manusia. Oleh karena itu, termasuk nilai baik dan buruk adalah berasal dari
manusia dan bukan dari Tuhan. Pola hidup dan pola pikir lainnya juga ditunjukkan oleh
kelompok lainnya yang mempunyai konsep teologi berbeda.
Konsep hirarki hukum dalam islam adalah menempatkan Al-Qur‟an sebagai yang paling
tinggi karena di dalamnya terdapat wahyu Tuhan yang sangat suci. Di tempat kedua adalah
hadits. Hadits sejatinya merupakan penjelas dari apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an dan
yang tidak diatur secara detail di dalamnya. Isi kandungan dalam Al-Qur‟an berbentuk syairsyair yang sangat indah dan kaya akan makna. Hal tersebut mencerminkan bahwa tidak ada syair
yang lebih indah yang dapat dibuat selain oleh Tuhan. Namun keindahan syair-syair kalam suci

ini tak jarang mendatangkan kesulitan dalam menerjemahkan makna yang tertuang di dalamnya.
Sehingga sering terjadilah pertentangan maupun perdebatan di kalangan muslim sendiri dalam
mengamalkan isi kandungan Al-Qur‟an. Tidak hanya berhenti di situ. Hadits yang sejatinya
merupakan ucapan, tindakan dan sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW pada awalnya tak
satupun orang yang diperkenankan untuk mencatatnya. Mungkin yang dikhawatirkan oleh
Rasulullah SAW adalah nantinya penempatan hadits yang lebih tinggi dari Al-Qur‟an. Hal
tersebut tentunya sangat tidak diperbolehkan, mengingat Rasulullah juga merupakan manusia
biasa yang tak luput dari kesalahan. Dan karena hal itulah banyak sekali ditemukan hadits yang
lemah bahkan palsu dari segi autentikasinya. Yang mana itu sangat berbahaya jika diterapkan,
karena dapat bertentangan dengan apa yang ada dalam A-Qur‟an.
Hal-hal tersebut di atas lah yang menjadi dasar-dasar yang bersifat fundamental penyebab
munculnya perbedaan teologi dalam islam. Namun ada juga faktor-faktor historis yang menjadi
penyebab kemunculan berbagai teologi dalam islam. Sebagian besar terjadi karena proses politik
yang penuh dengan konflik sepeninggal Rasulullah. Selain itu, pengaruh budaya arab juga
memiliki andil yang besar dalam permasalahan ini. Faktor historis tersebut akan coba dijelaskan
dalam beberapa uraian di bawah ini.

2. Isi
2.1 Sejarah Timbulnya Berbagai Aliran Dalam Islam
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini

memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem

2

pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku
yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan
dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan
bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan
pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.
Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke
Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala
pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni dengan
berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota
itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana
digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet
and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka

menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai

bentuk.
Pada masa Rasulullah SAW, umat islam masih memiliki kesatuan dalam beragama,
termasuk beraqidah. Penetapan aqidah pada masa itu langsung di bawah bimbingan Rasulullah
SAW, baik melalui penjelasan, nasehat, maupun sikap dan tingkah laku. Pada masa itu umat
islam tidak mengalami kesulitan dalam memecahkan beragai persoalan keagamaan, karena
apabila ada maka langsung diikembalikan pada Rasulullah sehingga tidak ada pertentangan dan
masalah yang tak terpecahkan.
Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau
untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai
pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui
oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah.
Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh
Usman bin Affan.
Sementara ada sumber yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW sebagaimana pada
peristiwa Yaumuddar

telah menyampaikan hadis indzâr (peringatan) dan setelah mengajak

sanak keluarganya, beliau memperkenalkan, menjadikan dan menunjuk Imam Ali yang berusia
3


tiga belas tahun sebagai washi dan khalifahnya. Setiap kali memperoleh kesempatan yang baik,
beliau sentiasa mengajak umat untuk mengikuti dan menerima khilafah Ali. Akhirnya pada
kesempatan haji wada’, iaitu pada tanggal 18 bulan Dzul Hijjah tahun 10 H, di sebuah tempat
yang bernama Ghadir Khum dan secara rasmi, Nabi Muhammad SAW mengangkat dan
menunjuk Ali sebagai wali dan pemimpin umat Islam dan meminta mereka semua agar
membaiat kepadanya. Wilayah dan kemimpinan Imam Ali.
Sementara jenazah Rasulullah SAW masih belum masuk ke liang lahat, di sana terdapat
sekelompok umat Islam tengah bising membicarakan ihwal siapa yang akan menggantikan dan
menjadi khalifah Rasulullah SAW. Ketika itu umat Islam terpecah menjadi dua kelompok. Satu
kelompok umat adalah orang-orang yang menerima dan mentaati wasiat Nabi Muhammad SAW.
Mereka menganggap bahawa Ahlubait adalah sebagai khalifah yang rasmi setelah kepergiannya.
Mereka ini dikenal sebagai Syi‟ah Ali yang mengutuk para pengingkar wasiat Nabi Muhammad
SAW. Inilah awal mula terbentuknya berbagai macam teologi dalam islam.
Beberapa tragedi sering mewarnai kekhalifahan setelah Rasulullah SAW. Pada
kekhalifahan pertama yaitu Abu Bakar masih belum terlalu tercium pergolakan yang terjadi.
Namun pada kekhalifahan kedua yaitu Umar bin Khattab mulai terjadi pergolakan yang
sekaligus mengakhiri masa kekhalifahannya yaitu penusukan yang berujung meninggalnya
beliau. Sepeninggal Umar, kekhalifahan kemudian diteruskan oleh Usman bin Affan. Ada issu
yang mencoreng kekhalifahan Usman, yaitu issu nepotisme dan korupsi pemerintahan.

Bagaimana tidak, mengingat bahwa banyak pejabat yang diangkat oleh Khalifah Usman
merupakan orang-orang terdekat beliau. Salah satu kasusnya adalah dengan ditetapkannya
Mu‟awiyah sebagai gubernur di Damaskus, Syria (Syam, sebutan waktu itu). Tuntutan agar
Utsman yang saat itu sudah berumur 82 tahun, harus segera lengser pun segera menjadi isu yang
besar pada waktu itu. Dan puncaknya adalah pembunuhan Usman bin Affan yang dilakukan oleh
kelompok misterius Al- Ghofiqi.
Beberapa saat kemudian Ali terpilih oleh penduduk Madinah sebagai Khalifah ke IV
untuk mengisi kekosongan agar kekhalifahan Islam tidak terlalu lama mengalami vakum tanpa
pemimpin. Namun hal ini tidak mulus begitu saja, karena ada beberapa pihak yang tidak setuju.
Salah satunya adalah Mu‟awiyah sebagai kerabat Utsman yang merasa berhak menuntut balas
atas kematian S.Utsman, saudaranya itu sebagaimana adat istiadat Arab yang sangat melindungi
kerabatnya, tidak mau membai‟at Ali sebelum Ali membekuk semua pembunuh Usman.
4

Sedangkan dari pihak Ali menginginkan bahwa Mu‟awiyah harus mengakui kekhalifahan Ali
terlebih dahulu agar dapat mengusut siapakah dalang dari pembunuhan Usman. Dan ini tentu
sulit dilakukan Oleh Ali yang baru berkuasa, karena asal suku kebangsaan para pemberontak ini
tersebar luas dari seluruh wilayah kekuasaan Islam. Karena merasa bahwa pengangkatan Ali
sebagai khalifah terdapat kecacatan hukum, yang mana seharusnya dilakukan musyawarah yang
lebih besar, tidak hanya melibatkan penduduk madinah saja, maka Mu‟awiyah tetap teguh pada

pendiriannya.
Akhirnya karena Ali tak mampu membekuk pembunuh Usman dalam waktu yang
ditentukan oleh Mu‟awiyah, maka Mu‟awiyah pun memproklamirkan diri sebagai Khalifah yang
berkedudukan di Damaskus, Syria. Pemerintahan Madinah yang kemudian dipindahkan ke
Kufah menganggap ini adalah suatu tindakan pemberontakan (bughot) terhadap pemerintahan
yang sah – sesuai Qur‟an Surat Al- Hujurot yang harus diperangi. Namun demikian S.Ali masih
berusaha melakukan Islah, diplomasi dan negosiasi agar perpecahan tak berlanjut, namun
rupanya Mu‟awiyah merasa cukup kuat dan menolak segala islah dan diplomasi Ali.
Pertempuran pun pecah di sebuah tempat bernama Shiffin dipinggiran sungai Euphrat, dengan
melibatkan 90.000 tentara pasukan Ali melawan 120.000 tentara pasukan Mu‟awiyah.
Pertempuran ini sebetulnya bukan merupakan pertempuran pertama antara sesama muslim,
karena sebelumnya telah terjadi pula pertempuran dan perang saudara sesama muslim. Yakni
setahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 36 H/ 656 di Basrah, terjadi peperangan Jamal antara
tentara dibawah pimpinan A‟isyah istri Nabi yang sedang berusaha mencari dan menangkap para
pembunuh Utsman, melawan tentara dibawah Ali. Dikisahkan disini, suatu peperangan sia- sia
yang mengorbankan lebih 10.000 tentara kaum muslimin yang bersaudara.
Pertempuran Shiffin pun berkecamuk dengan hebat dan segera nampak kemenangan
sudah diambang pintu bagi pihak Ali. Korban telah jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak Ali
25.000 tentara telah terbunuh sedang dari pihak Mu‟awiyah 45.000 tentara telah tewas.
Mu‟awiyahpun menyadari hal itu dan segera melakukan siasat dengan mengangkat 500 copy AlQur‟an pada ujung- ujung tombak tentara mereka sebagai tanda mereka mau Islah secara

Qur‟ani. Pada awalnya Ali tak mempedulikan hal itu karena beliau tahu itu hanya sekedar siasat
licik dari Mu‟awiyah, namun atas desakan para sahabat yang lain (terutama dari kelompok cikal
bakal khowarij), akhirnya Ali menyetujui Islah.

5

Kemudian diadakan kesepakatan agar masing masing mengangkat seorang delegasi yang
memiliki wewenang penuh untuk menentukan dan mengambil keputusan final untuk
menyelesaikan fitnah tersebut. Kesepakatan ini disebut tahkim

(Arbitrasse). Pihak Ali

mengangkat Sahabat Abu Musa Al- Asy‟ary yang jujur dan lugu, ditemani oleh sahabat
Abdullah bin Abbas, sedang pihak Mu‟awiyah diwakili oleh Sahabat Amr bin Ash, seorang ahli
siasat yang ulung.
Disaat inilah mulai muncul ketidak puasan dari sejumlah kelompok tentara berjumlah
kurang lebih 12.000 orang yang sebelumnya pendukung setia Ali dari kabilah Bani Hanifah dan
Bani Tamim. Mereka menganggap Ali sudah tidak berhukum dengan qur‟an karena menerima
tahkim. Karena menurut mereka, Qur‟an menyatakan bahwa kaum bughot/ pemberontak harus
diperangi, sampai mereka sadar kembali. Mereka menganggap dengan menerima tahkim berarti

Ali telah melanggar ayat: “Waman lam yahkum bimaa anzalallohu fa‟ulaaika humul Kaafiruun,
Dhoolimuun, Faasiquun.” (Al- Ma‟idah 44- 47)
Abu Musa Al‟Asy‟ary pun diterima dengan baik dan ramah tamah oleh Amr bin Ash.
Sahabat Abdullah bin Abbas sudah memperingatkan kepada Abu Musa Al- Asy‟ary agar hatihati menghadapi sikap ramah tamah Amr bin Ash, mungkin ada siasat yang sedang Amr
persiapkan. Amr pun meloby Abu Musa agar lebih baik mereka memakzulkan/ melengserkan
kedua Khalifah tersebut yang telah membuat kaum muslimin terbelah. Lebih baik mencari
pemimpin lain yang tidak tersangkut kasus fitnah besar tersebut atas dasar pemilihan secara
demokratis dari perwakilan yang ditunjuk (Ahlul Halli Wal-Aqdi). Rupanya siasat ini termakan
oleh Abu Musa yang tua dan jujur itu, maka merekapun mempersiapkan sebuah pertemuan besar
untuk mengumumkan kesepakatan itu.
Kemudian pada hari pemakzulan ditentukan dan sejumlah besar perwakilan kaum
muslimin berkumpul di dummatul jandal pada tanggal 21- Romadhon 37 H/ February- 658 M,
secara bergantian Amr bin Ash dan Abu Musa Al- Asy‟ary nanti akan mengumumkan
pemakzulan kedua Khalifah itu. Dengan halus dan sopan Amr bin Ash mempersilahkan Abu
Musa Al- Asy‟ary yang lebih tua agar mengumumkan pemakzulan Ali terlebih dulu sebagai
penghormatan. Siasat ini sungguh tidak disadari oleh Abu Musa yang lugu itu.Ia pun menerima
kehormatan mengumumkan lebih dulu pemakzulan Ali. Dia naik ke mimbar dan berkata: ”
Dengan ini kami memakzulkan Ali dari jabatan Khalifah”.

6


Pada saat itu juga Amr bin Ash kemudian Amr bin Ash segera naik kemimbar dan
membuat pengumuman yang mengejutkan dan tidak disangka- sangka bagi Abu Musa:” Maka
dengan ini Khalifah yang sah adalah Mu‟awiyah. Gegerlah seluruh masyarakat, namun sebagian
mereka percaya dan menganggap memang itulah keputusan tahkim yang telah disepakati, yang
berarti Ali sudah tidak memiliki legitimasi lagi sebagai Khalifah yang sah.
Sekitar 12.000 tentara yang mulanya setia kepada Ali dan memang sejak awal sudah
tidak puas dengan dibentuknya badan arbitrase kemudian menyatakan diri Walk Out (Khowarij)
dan menganggap mereka semua yang terlibat tahkim telah kafir, termasuk Ali dan Mu‟awiyah.
Inilah cikal bakal kelompok ekstrim dan radikal dalam Islam. Mereka kemudian berkumpul dan
menyusun kekuatan di sebuah desa yang bernama Khoruroh, sehingga mereka sering juga
disebut golongan khoruriyah, atau khowarij karena mereka keluar dari jama‟ah kaum muslimin
yang telah menerima tahkim. Sering juga mereka disebut khoriji lafadh mufrod dari khowarij
atau kadang disebut juga al- muhakkamah yang artinya : hanya mengakui hukum- hukum Allah,
atau nahrawandi karena mereka pernah dihancurkan oleh Ali dalam peperangan hebat di
Nahrawand, Persia pada tahun 38 H/ 658 M.

2.2 Aliran-aliran Dalam Islam
Selain beberapa aliran yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat beberapa aliran yang
muncul sebagai efek domino dari sejarah panjang pergulatan politik di dalam dunia islam.

Diantaranya adalah sebagai berikut.
2.2.1 Aliran Murji`ah
Nama Murji`ah di ambil dari kata irja atau arja`a yang bermakna penundaan,
penangguuhan, dan pengharapan. Kata arja`a mengandung pula arti memberi harapan, yakni
memberikan harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat
Allah. Selain itu, arja`a bearti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang
yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu Murji`ah artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji‟ah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
7

tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga
bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji‟ah, baik sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij. Kelompok ini
merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murji‟ah.
Muncul pertama kali sebagai gerakan politikyang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, AlHasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan
bahwa 20 Tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680, di dunia Islam dikoyak oleh
pertikaian sipil. Al-Mukthar membawa faham Syi‟ah ke kufah dari Tahun 685-687 ; Ibnu Zubayr
meklaim kekhalifahan di Mekkah hingga yang berada di bawah kekuasaan islam. Sebagai respon
dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan (postponement). Gagasan ini pertama
kali di pergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad AlHanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap
politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi dengan
menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan
Usman, Ali, dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Mekah). “Dengan sikap politik ini, AlHasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan
dengan kelompok syiah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya,
serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan
alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Usman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi persetruan antara Ali dan Muawiyah,
dilakukan tahkim (abitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok
Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya
menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan Al-Qur‟an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan Hukum Allah.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya
dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina,riba,membunuh wanita
baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji‟ah, yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan
kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
2.2.2 Aliran Mu’tazilah
8

Aliran mu‟tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat
dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, disamping maturidiyah samarkand. Aliran ini
muncul sekitar abad pertama hijriyah, di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu
pengetahuan dan kebudayaan islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam
agama bertemu dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak
pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya, baik dari internal umat islam secara politis
maupun dari eksternal umat islam secara dogmatis.
Dalam sejarah, mu‟tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha‟ (80-131)
dan temannya, amr bin „ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orangorang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah.
suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang
kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku dosa besar
khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang
berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar
bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina
al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan
sang guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i‟tazalna”
(Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu‟tazilah dikenakan kepada mereka.
2.2.3 Aliran Asy-‘Ariyah
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan AlAsy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma‟il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy‟ari, seorang
sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy‟ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy‟ariyah.
Abul Hasan Al-Asya‟ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal
dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang
fakih madzhab Syafi‟i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba‟i,
seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba‟i, salah
seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam

9

sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk
membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy‟ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah.
Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut
jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba‟i seputar
masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang
pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua,
dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil
keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy‟ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar
menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab
Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur‟an,
Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi‟in, serta imam ahli hadits.
Aliran ini kemudian lebih dikenal sebagai Ahlussunnah-Waljama‟ah atau Sunni.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan
bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para
shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan
atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat
radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan
apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

10

Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di
mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka
maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

3. Penutup
Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan peradaban Islam,
seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah, Jabbariyah, Asy‟ariyah, Maturudiyah,
dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua
aliran itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah (biasa disebut dengan kelompok Sunni) dan Syiah.
Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat komunitas Muslim.
Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut aliran ini.
Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak dibandingkan
yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar 90 persen umat Muslim di dunia
merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen menganut aliran Syiah.
Namun, sumber lain menyebutkan, paham Syiah dianut oleh sekitar 20 persen umat Islam.
Sementara itu, penganut Islam Sunni diikuti lebih dari 70 persen. Rujukan lain menyebutkan,
penganut Islam Sunni sebanyak 85 persen dan Syiah 15 persen.
Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir di seluruh dunia.
Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di Afghanistan, Pakistan, India, Lebanon,
Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa negara pecahan Uni Soviet, beberapa negara di Eropa,
dan sebagian di Amerika Serikat.
Seperti halnya Syiah, paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara tersebut.
Tetapi, itu dalam komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan negara yang lain. Paham
Sunni dianut lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.
Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan penganut Syiah dan
hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah. Karena jumlahnya
mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran teologi, tetapi juga sebagai
gerakan politik di Iran.
Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen merupakan
Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di negeri „Seribu Satu
11

Malam‟ ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37 persen. Para penganut Syiah di Irak
merupakan orang dari suku Arab. Sementara itu, penganut Islam Sunni adalah mereka yang
berasal dari suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.
Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80 persen, Syiah
19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70 persen penduduknya
merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di wilayah utara Sudan. Di Mesir,
90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran Suni. Sementara itu,
sisanya menganut ajaran sufi lokal.
Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan Syiah, juga
menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon yang beragama Islam, tidak
diketahui secara pasti berapa komposisi penganut paham Sunni, Syiah, dan Druze.
Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari satu persen)
yang bermukim di Lebanon, termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka diperkirakan
antara 75 ribu hingga 100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Badui Arab yang tinggal
di wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut paham Sunni.
Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut paham Sunni, seperti
Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak diperhitungkan, baik sebagai aliran teologi
maupun gerakan politik.

4. Referensi
Nasrah. Kalam dan Sekte-sekte Dalam Islam. Jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara. 2005
http://www.emakalah.com/2013/02/aliran-murjiah.html#ixzz2p8pKGMme
http://tanbihun.com/usulidin/asal-usul-khowarij/#.UsPUDvQW05m
http://www.islamquest.net/ms/archive/question/fa2381
http://www.jhaylover.blogspot.com
http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html

12