Membingkai Potret Kaum Intelektual Muda

Membingkai Potret Kaum Intelektual Muda Indonesia, Sebuah
Refleksi
Alikta Hasnah Safitri | CP 085647978993
Sekretaris Bidang Medkominfo KAMMI Shoyyub UNS 2014 | Pegiat Forum Diskusi Kultural Solo

Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’ adalah karena
dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di depan album waktu yang kita
beri nama ‘sejarah’. Dalam studi sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan
adanya recurrent pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan
beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku ketika
memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke masa? Tentunya, ini akan
menarik bila kita telaah bersama. Namun, saya tidak akan membuat cerita ini
menjadi panjang dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya
hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya yang
sederhana.
Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya nasional
mencatat kaum terpelajar dalam dinamika masyarakatnya memang amat
menonjol. Bahkan terlihat sejak menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya
sejumlah kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap
pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang sudah berani
mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan. Perlawanan menentang

kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh mereka yang mengenyam pendidikan
barat, tapi juga oleh kaum terpelajar yang berlatar pendidikan Islam. 1
Pada 16 Oktober 1965, seorang saudagar batik asal Kampung Batik
Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI),
sebuah organisasi modern berasas Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak
menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selain
memperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia
juga mengenyam pendidikan di Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School.
Ini membuktikan bahwa Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha
yang memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual Islam yang
anti terhadap segala bentuk penjajahan.
Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo, murid STOVIA yang
sering dikenal sebagai pelopor wartawan Indonesia. Ia senantiasa melakukan
kritik pedas terhadap pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat
kabar tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah
dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang sebelumnya mendirikan
Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari Boedi Oetomo menulis:
Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat maksud
yang begitu2, akan tetapi antara maksud dan kesampaiannya maksud itu
masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan,

1

Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat

1

sebab anggota Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan
penghidupan senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan
yang baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir” 3
Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus mengalami
pembuangan ke Lampung. Namun, di masa pembuangannya pun ia tak pernah
berhenti menulis karangan-karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta
melawan praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang dialami oleh
Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi pulau burunya yang terkenal itu. Termasuk juga kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco,
serta Hadji Misbach.
Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun 1915 dan Islam
Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya yang dirilisnya dalam Medan
Moeslimin berjudul Sroean Kita mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir
umat Islam yang kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang
memiliki ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya, malah

mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri.
“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu
daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim
harus melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah bergeraknya
jujungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah
Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya,
tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa
yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!” 4
Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah keberagamaan yang baru.
Agama tidak lagi menjadi anjuran beramal shalih yang diterjemahkan hanya
sebagai ibadah ritual, tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial.
Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan propaganda dan
memimpin beragam aksi pemogokan. Langkahnya semakin masif setelah ia
bergabung dengan Sarekat Islam. 5
Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama dengan Hadji
Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui tulisan. Ia menulis dalam
novelnya, Student Hijo:
“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada
orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa... “Orang Jawa bodoh”,
kata Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin

bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah
2

maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme

3

Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180

4

Ibid, hal 182

Sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 hal 181
5

Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan kalangan SI sehingga ia keluar
dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan
dihilangkan karena dianggap sebagai aib.


2

secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang
mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita
Nederland?”6
Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif, kotor, dan
terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi kaum penjajah
melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia. Hal ini juga yang membuat kaum
terpelajar kita kala itu ‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun
tidak ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor, dan
terbelakang.
Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max Havelaar menulis
bagaimana dogma agama menjadi pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa
Hindia dalam ceramah yang dilakukan oleh Blatherer.
“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera Hindia, dihuni oleh
berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang sangat terkutuk-Nuh yang
mulia7, yang menemukan rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam
ketidaktahuan mereka merangkak di sekitar sarang ular berhala yang
menjijikan-di sana mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah
penindasan pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan,

memohon pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan
Tuhan...”8
Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia klaim harus
mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para penyembah berhala miskin’, yang
di dalam salah satu poinnya berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar
dibawa ke Tuhan dengan cara bekerja.”
Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah. Belanda memang
memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk belajar (berhitung dan baca
tulis), akan tetapi tujuan pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan
upah rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah Rakyat’ 9 bersama
SI Semarang. Sekolah ini tak hanya mengajarkan pada para muridnya agar
memiliki keterampilan untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga
menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan
penindasan.
Begitulah, kaum intelektual di zamannya mentransformasikan ide dan
gagasan yang mereka yakini dalam praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada
saat dimana terjadi pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik,
baik konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk dikaji
6


Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189

7

Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan mengimani risalah yang
dibawa ayahnya.
8

Multatuli, Max Havelaar halaman 165

9

Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah Kerakyatan”. Para sejarawan lah
yang kemudian menamakan dengan nama tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada
permasalahan dan kebutuhan rakyat.

3

lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis masa itu mengatasi
perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh

Moeso lewat SI Merahnya. SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena
tak senang dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak
di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah
terjadi, namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap kelakuan
Semaoen sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi
antara kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih berjuang
dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-Sjahrir yang memilih
berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) yang berasas
sosialis.
Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai disana, generasi
tua yang memegang tampuk pemerintahan pasca proklamasi kini diimbangi
dengan gerakan kaum muda. Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun
setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika pemuda
Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Kelahiran
HMI erat kaitannya dengan realitas kebangsaan, keagamaan, dan
kemahasiswaan yang hidup di masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut
dapat dilihat dari upaya HMI guna turut serta dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan, kehadiran HMI
terkait pula dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan, dimana agama
Islam saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam sendiri,

terutama mahasiswa. Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat
pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan mahasiswa, seperti
sholat tepat waktu, dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif terlibat dalam
melakukan pengkaderan generasi muda bersama PMII dan IMM (yang lahir
setelahnya), serta beberapa organisasi mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI,
CGMI, dan lain-lain.
Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya mengenal
beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca kemerdekaan. Mereka
menuliskan sepenggal perjalanan hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya,
Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang
Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran Islam). Ketiga
orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah mahasiswa Ilmu Sejarah UI
yang berafilisasi terhadap PSI. Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran UI yang juga merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966.
Ahmad Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM yang juga
merupakan kader HMI.
Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simak dengan jeli
bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang berbagai persoalan yang
terjadi di pada tahun yang diklaim bersejarah bagi gerakan mahasiswa di

Indonesia (yang katanya) menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965
ketika meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan mengulas lebih
4

lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata ada hal menarik yang
terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa
tersebut.
Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966 mahasiswa sebenarnya
bukanlah kekuatan yang independen. Ia menekankan agar mahasiswa tak
berilusi bahwa orde baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja,
dan tidak benar. Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah pertarungan
antara ABRI melawan PKI dengan gerakan mahasiswa sebagai ujung tombak.
Mahasiswa sendiri tidak mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena
itu, kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari
pertarungan yang lebih besar dan mungkin tidak kelihatan. 10
Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief Budiman katakan,
“Sekali lagi memang salah apabila ada anggapan Orde Baru dilahirkan oleh
mahasiswa. Tetapi juga tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak
berperan apa-apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang
sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya. ABRI berperan

besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi memfokuskan persitiwa
1965/66 hanya pada pertarungan yang besar antara PKI dan ABRI, dapat
menimbulkan interpretasi yang mungkin lain, yang mungkin juga kurang
menguntungkan.”11
Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut dan
pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-organisasi
mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:
Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden
Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI,
PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal).
Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI
(Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).12
Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film Gie yang
mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar organisasi mahasiswa
tersebut, kemudian bersatunya mereka saat berusaha menumbangkan
kekuasaan Orde Lama. Namun, yang patut kita cermati lebih lanjut adalah
adegan saat Gie bertemu kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca
lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya calon borjuis
kecil yang diam-diam membina hubungan intim dengan pemerintah hingga
berimbas pada untung dan proyek, akhirnya idealisme dan semangat militan
pun dibonsai jadi kepatuhan pada kenikmatan dan kemegahan. Gagasan
demokrasi kemudian dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang
dulu antusias mengutuk rezim Soekarno duduk antusias di kursi parlemen,
10

Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115

11

Ibid, hal 121

12

Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85

5

berkoalisi menguras lebih dalam kekayaan bangsa untuk kantong pribadi
bersama rezim baru yang kini berkuasa.
Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis ruang gerak mahasiswa baik
internal maupun ekstra kampus mengalami pengebirian yang luar biasa.
Dampaknya, kampus menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik
mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian akademis.
Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi menyebabkan munculnya pola-pola
gerakan baru yang berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya
gerakan mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah
ada sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa Islam yang
bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3) munculnya aktivitas
keislaman berbasis masjid-masjid kampus.
Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini dimotori oleh seorang
tokoh HMI bernama Imaduddin Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini
mengakar ke seluruh kampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal
lahirnya FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah beberapa
kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna membahas khittah LDK agar tercipta
kesamaan pemahaman dan kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi
dakwah kampus, hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah
Kampus tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi perpolitikan
nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas acara, dideklarasikanlah
kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada
tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni perubahan
statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang permanen.
Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan penuh kebanggaan
bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah reformasi ternyata gerakan
mahasiswa belum berhasil membangun mimpinya akan sebuah negara yang
ideal. Gerakan mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masa
kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena ketidakmampuan gerakan
dalam menggalang massa. Gerakan mahasiswa menjadi kebingungan
membawa peran, saat mereka pulang kandang ke kampusnya, mereka punya
aturan-aturan baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturanaturannya sendiri.
Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup. Konsep tanpa prinsip
dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide mahasiswa menghantam kekuatan
yang jauh lebih besar. Wujud eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak
kiri-kanan yang menggaungkan politik progresif pun digempur militer. Habislah
intelektual kampus. Mereka yang pintar akan masuk ke dalam birokrasi,
sementara yang radikal akan tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi
intelektual menjadi menurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek
reformasi sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin oleh
Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri). Gerakan Mahasiswa
6

pun hanya hidup saat pergantian kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita
pun kian terjebak, antara keinginan untuk melakukan pemberontakan atas
tatanan dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena itu
kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling realistis:
mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.
Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para intelektual hari ini?
Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427 H, sebagai berikut:
Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya
pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan
itu tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang lain. Gerakan
mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan
bergerak sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan,
maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun
ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar atas
itu merupakan wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya
lebih kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa.
Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai terhadap
permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan turun tangan. Kaum
intelektual
wajib
menjunjung
tinggi
dasar
ilmiah
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban atas pilihan sikapnya.
Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan guna melawan kaum
penjajah, saat ini pers berubah menjadi penjajah baru yang mematikan
intelektualitas dan moral bangsa, kaum intelektual muda memiliki tanggung
jawab yang besar untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam
organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding fathers guna
mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia (dan mereka berhasil), kaum
terdidik kita hari ini pun memiliki organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama
(Indonesia yang lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi
yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-baik, disamping
turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi solusi permasalahan umat dan
bangsa.
Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak. Pertemuan mahasiswa
semakin mudah, tukar menukar gagasan pun semakin mudah. Yang perlu kita
ciptakan adalah momentum dan kesempatan mengambil peran. Sebelum
menuju kesana, yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali
kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita harus lebih
banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan berdasar kata senior ataupun
pendapat mainstream para ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi
‘pelayan pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan.
Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat, dan kita hanya
akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat manakala kita mengidentifikasi
diri sebagai rakyat, bukan bagian terpisahkan yang menempatkan diri dengan
narsis sebagai agent of change, agent of social control, iron stock, moral force,
dan lain-lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada posisi
7

yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih intelek-lah, lebih
rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena mahasiswa adalah rakyat, maka tiap
langkah yang kita ayun, tiap jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita
torehkan, merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan
bernama rakyat.
Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas mitologi yang
membangun kerangka diri kita selama ini, menyadari sepenuhnya bahwa
sebagai rakyat kita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga
negara. Mudah-mudahan dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi
terjadi dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab kita sendiri pun
harusnya menempatkan diri sebagai bagian inheren dari rakyat, tanpa
menafikan kapasitas keilmuan yang kita miliki secara teori maupun praksis yang
kita dapat di perguruan tinggi.
Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian kolektif dari
rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri sebagai individu, sebagai
pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa berkaca pada Hadji Misbach yang
menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas
nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap
otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem pendidikan yang
memerdekaan, merakyat, dan membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM
Tirtohadiserjo yang menolak kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan
kekuatan pena. Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada
sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran kita sendiri,
tanpa menunggu naskah maupun skenario dari sutradara. Mengambil peran
adalah kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku sebagai kaum
intelektual!
Akhirul kalam,
Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus Ya Tuhan
kami..
Sumber Bacaan:
Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4,
2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi; Pejuang yang Ter(Di)Lupakan:
http://www.jejakislam.net/?p=225
Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.
Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin. Yogyakarta:
Resist Book.
Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N. Saluz,
Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book.

8

Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana
Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda. Jakarta:
Pustaka Republika.
Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah
Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74).
Yogyakarta: Pustaka Republika.

9