PENANGANAN MASALAH PERMUKIMAN pada INFORMAL

PENANGANAN MASALAH PERMUKIMAN INFORMAL DI PERKOTAAN
(studio proses perencanaan 2010)
Saat ini, jumlah penduduk perkotaan dunia semakin mengalami
peningkatan. Dalam 50 tahun terakhir penduduk perkotaan dunia telah
bertambah sebanyak 6 kali lipat, sementara Indonesia mengalami
pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu bertambah sekitar 7 kali lipat.
Adanya peningkatan penduduk ini juga diiringi dengan adanya proses
unbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Proses urbabisasi ini sanagt dirasakan negara-negara di Kawasan
Asia. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan antara persentase
penduduk yang tinggal di kota di Asia, dengan total populasi penduduk
secara keseluruhan yang terus meningkat. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang di Asia juga merasakan dampak dari adanya proses
urbainsasi ini, terutama di kota metropolitan Jakarta. Pada tahun 2005
saja tercatat bahwa penduduk Kota Jakarta mencapai 13,22 juta jiwa.
Angka ini merupakan angka tertinggi ke-6 di Asia setelah Kota Tokyo,
Mumbai, Delhi, Shanghai, dan Kolkota.
Tingginya arus urbanisasi ini menjadikan kota yang sudah padat
menjadi semakin padat dengan jumlah penduduk yang semakin
meningkat. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan semakin
tingginya jumlah permintaan lahan permukiman, yang pada akhirnya

akan merdampak pada meningkatnya nilai suatu lahan permukiman.
Tingginya harga lahan menyulitkan kalangan masyarakat
berpendapatan rendah dan kaum miskin untuk memperoleh perumahan
formal yang layak sebagai tempat tinggal. Di perkotaan Indonesia,
pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan perumahan kaum
miskin. Oleh karenanya, kaum miskin membangun rumah secara
swadaya di lahan yang rawan bencana atau di daerah pinggiran kota
dengan kemampuan ekonomi yang ala kadarnya, tanpa adanya
pendampingan dalam perencanaan, pelayanan dasar, legalitas
kepemilikan lahan atau pengakuan dari aparat. Rumah-rumah tersebut
kemudian tumbuh menjadi sebuah permukiman masyarakat yang
berkembang secara sporadis dan biasanya memiliki pola pembangunan
yang tidak teratur dan biasa disebut sebagai permukiman informal.
Permukiman informal sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu areal
permukiman di suatu kota yang dihuni oleh masyarakat yang sangat
miskin yang tidak mempunyai kepemilikan lahan yang legal.
Banyaknya permukiman informal merupakan suatu cerminan tentang
kemiskinan di perkotaan. Ketidakmerataan ekonomi di Indonesia,
meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya jumlah kemiskinan


merupakan pendorong munculnya permukiman informal ini. Masyarakat
yang tidak mampu menjangkau harga perumahan yang ditawarkan
dalam pasar formal akhirnya memilih perumahan informal sebagai
tempat tinggal mereka. Ketidakmampuan masyarakat miskin dan
berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah yang layak dan
terjangkau serta memenuhi standar lingkungan permukiman yang
responsif sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan) disebabkan karena
terbatasnya akses terhadap sumber daya kunci termasuk informasi,
terutama yang berkaitan dengan pertanahan dan pembiayaan
perumahan.
Seperti pada kota-kota besar lainnya, di Semarang juga terdapat
berbagai lokasi permukiman kumuh. Sebagai kota besar yang merupakan
ibukota provinsi Jawa Tengah menjadikan kota Semarang sebagai daerah
tujuan kaum urban dari daerah-daerah hinterlandnya. Hal ini
menyebabkan berbagai permasalahan, salah satunya yaitu munculnya
permukiman informal di Kota semarang, terutama pada wilayah pusat
kota yang memiliki banyak lapangan kerja dengan kebutuhan tenaga
kerja berpendidikan rendah dalam jumlah yang banyak. Disamping itu,
beberapa lahan marginal yang terbengkalai dan tidak jelas statusnya di
wilayah pusat kota menjadi faktor pendorong kuta bagi para urban untuk

mendirikan hunian di area tersebut.. Permukiman informal di Kota
semarang sendiri antara lain yaitu berada di Kecamatan Semarang barat
yaitu di Kelurahan Gisikdrono, (di bawah jalan tol RE Martadinata), dan
Kecamatan Utara yang berada di Kelurahan Tanjungmas (di sepanjang
Tambak), dan Kelurahan Purwosari (dekat rel kereta api dan di Bekas
Pasar Grobogan).
Kawasan permukiman informal sendiri berkembang di luar kendali
kebijakan dan system penataan ruang kawasan perkotaan. Oleh sebab
itu, keberadaan permukiman ini tidak didukung dengan fasilitas yang
memadai. Sarana dan prasarana yang ada dibangun secara spontan oleh
warga, itupun dalam keadaan jauh di bawah Standar Nasional Indonesia
(SNI). Keadaan jalan yang sempit, berlubang, dan rusak terlihat di
seluruh area permukiman informal. Prasarana drainase sangat tidak
sesuai standar, sehingga sering terjadi banjir ataupun rob di permukiman
informal. Kondisi fasilitas sanitasi juga sangat memprihatinkan.
Kebanyakan warga tidak memiliki toilet pribadi dan cenderung
menggunakan toilet komunal. Fasilitas lain seperti daya listrik dan supply
air bersih juga sebagian besar diperoleh secara komunal. Hanya ada
beberapa orang saja yang memiliki toilet maupun listrik secara pribadi.
Selain adanya fasilitas yang tidak memadai, kondisi rumah yang

mereka tinggali juga sanagt memprihatinkan. Material untuk
membangun rumah sebagian besar menggunakan bahan semi
permanen, seperti : seng, kayu, bamboo, dan triplek. Beberapa syarat

rumah sehat seperti ventilasi udara juga masih belum dapat terpenuhi.
Oleh karena itu, masyarakat permukiman informal sangat rentan
terhadap bahaya penyakit.
Dalam banyak kasus, masyarakat yang bermukim di permukiman
informal selalu dihadapi dengan isu terkait dengan ketidakpastian status
hokum penguasaan dan penggunaan lahan. Masyarakat permukiman
informal tinggal di lahan illegal milik pemerintah maupun instansi
pemerintah, sebagian besar dari mereka hanya mendapatkan ijin hak
sewa dari pemilik lahan sehingga mereka tidak memiliki hak milik lahan
dan dapat digusur kapan saja saat tanah tersebut dibutuhkan oleh
pemiliknya. Seperti pada permukiman informal di Semarang misalnya.
Masyarakat permukiman informal yang berada di kelurahan Gisikdrono,
Kelurahan Purwosari, dan kelurahan Tanjungmas tidak memeiliki hak
kepemilika lahan karena lahan yang mereka gunakan bukanlqah milik
mereka melainkan milik pemerintah maupun instansi pemerintah. Pada
permukiman informal di Kelurahan Gisikdrono yang berada di bawah

jembatan layang R.E.Martadinata lahan yang digunkana adalah milik
pemerintah. Warga hanya mendidrikan rumahnya di bawah jembatan
tersebut karena lahan di bawah jembatan tersebut merupakan lahan
kososng yang tidak dimanfaatkan. Berbeda dengan permukiman informal
di Kelurahan Gisikdrono, permukman informal di Kelurahan Purwosari dan
Kelurahan Tanjungmas didirikan pada lahan milik instansi pemerintah
yaitu masing-masing PT.KAI dan Dinas Pengairan. Warga yang tinggal di
lokasi tersebut telah diberikan hak sewa untuk menempati lahan tersebut
oleh dinas terkait dengan membayarnya dengan harga yang cukup
murah. Namun, meskipun telah membayar hak sewa tersebut,
masyarakat juga tidak luput dari adanya penggusuran yang sewaktuwaktu akan terjadi jika lahan dibutuhkan oleh pemiliknya.
Dalam pembangunan perkotaan, pemerintah memang cenderung
melihat permukiman kumuh sebagai kesalahan pembangunan dan harus
dihilangkan. Biasanya penggusuran merupakan solusi yang digunakan
untuk mengatasi masalah permukiman informal. Tentu saja permukiman
yang padat, kotor dan tidak terencana bukanlah tempat tinggal yang
ideal, dengan kualitas rumah , infrastruktur yang buruk dan tidak adanya
jaminan kepemilikan lahan. Adanya permukiman informal juga sangat
mengganggu keindahan dan ketertiban kota. Tetapi sebetulnya,
keberadaan permukiman informal tersebut dapat menyediakan

keamanan, sumber harapan dan perkembangan bagi masyarakat miskin.
Kondisi lingkungannya memang di bawah standar, akan tetapi
permukiman semacam ini menjadi jaringan pendukung yang dibutuhkan
oleh kaum miskin dalam memenuhi berbagai kebutuhannya dan
membantu mereka keluar dari kemiskinan.

Proses penggusuran bukanlah hal yang dilakukan untuk penyelesaian
masalah permukiman informal. Penggusuran bukanlah satu-satunya
solusi untuk mengatasi permukiman informal. Untuk itu diperlukan upaya
memahami permukiman informal ketimbang melakukan penggusuran.
Penggusuran justru menambah keberadaan permukiman kumuh dan
informal tetap melaju, selain itu juga tidak menyelesaikan masalah warga
yang digusur tersebut. Pemahaman terhadap permukiman informal
memiliki potensi dalam penanggulangan kemiskinan kota karena sifatnya
yang dikembangkan secara swadaya, partisipatif, dan sedikit investasi
publik, memberi kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan
terjangkau oleh masyarakat miskin.
Rencana pembangunan yang berpotensi menyebabkan penggusuran
bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak bisa diubah. Perencanaan kota
adalah proses yang sangat politis: setiap aspek di dalam rencana

tersebut dapat dinegosiasikan, dan hampir semua penggusuran serta
kesengsaraan yang disebabkannya dapat dihindari. Alternatif terhadap
penggusuran terletak pada kemampuan untuk menghasilkan solusi di
mana semua keluar sebagai pemenang (“win-win solution”), yaitu
dengan tetap memungkinkan kota untuk berkembang namun sekaligus
memungkinkan semua lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dari
perkembangan tersebut. Ada beberapa alternatif lain selain
penggusuran, yaitu:
1. Keamanan bermukim (secure tenure) dan perbaikan
permukiman setempat
Secure tenure diberikan kepada masyarakat permukiman informal
sebagai jaminan akan kepastian hokum dari lahan yang mereka
tinggali. Secara umum, ada dua aspek penting dari keamanan
bermukim, yaitu pertama, adanya keamanan pemanfaatan tanah
(secure land tenure) untuk bertempat tinggal dan pengakuan adanya
hak perumahan (housing right) yang layak bagi semua warga
masyarakat (shelter for all). Selain adanya keamanan bermukim juga
dilakukan perbaikan permukiman denagn peningkatan kualitas
permukiman untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat. cara ini merupakan cara yang lebih baik daripada

menggusur. Banyak program perbaikan kampung berskala besar yang
menunjukkan bahwa pemerintah kota dan warga miskin dapat
bekerjasama dalam memberikan kepastian hukum dan memperbaiki
permukiman kumuh. Ini adalah cara yang lebih manusiawi dan
ekonomis dalam menjaga dan memperbaiki jumlah rumah layak dan
terjangkau dibanding penggusuran yang justru mengurangi
ketersediaan rumah. Perbaikan kampung juga dapat memperbaiki
hubungan antara pemerintah kota dan komunitas miskin yang
cenderung antagonistic.

2. Resettlement
Selain pemberian kepastian hokum program pemukiman kembali
(resettlement), merupakan salah satu contoh penanganan
permukiman informal (liar). Proyek percontohan dapat dilakukan di
berbagai lokasi permukiman liar seperti di bantaran sungai, bantaran
rel kereta api, di tanah negara maupun di tanah lembaga tertentu.
Resettlement ini bisa dilakukan di lokasi awal (in situ resettlements)
jika lokasi awal berada pada lahan yang tidak rentan maupun di lokasi
yang berbeda atau relokasi (ex situ resettlements) jika lokasi awal
berada pada lahan yang rentan. Relokasi ini bias dengan program

RUSUNAWA maupun perumahan biasa.
Dalam penanganan permukiman informal di Indonesia, program
relokasi ini sudah sering dilakukan. Akan tetapi, relokasi tidak pernah
menjadi proses yang mudah, dengan segala kerumitannya, biayanya
yang tinggi, serta dampak negatifnya terhadap keberlangsungan
hidup dan sistem pendukung komunitas yang ada.
Kebanyakan dalam hal relokasi, kaum miskin digusur secara paksa
dan dipindahkan ke lahan di pinggir kota, tanpa adanya kompensasi
yang memadai untuk membangun kembali kehidupan mereka.
Padahal, bila mereka dilibatkan di tiap tahap dalam proses
pemukiman kembali, relokasi dapat memberikan kesempatan untuk
meningkatkan kondisi ekonomi dan kapasitas mereka. Seharusnya
dalam relokasi, pemerintah juga perlu menyediakan lahan beserta
tempat tinggal yang layak bagi masyarakat miskin, sehingga
masyarakat bisa secara langsung menempatinya dengan biaya yang
murah dan terjangkau bagi mereka.
3. Land Sharing
Land sharing adalah strategi kompromi antara kaum miskin yang menempati
lahan illegal dan pemerintah ataupun swasta pemilik lahan. Melalui proses
negosiasi yang panjang, perjanjian dibuat untuk membagi penggunaan

lahan. Terdapat bagian lahan yang dihibahkan, dijual atau disewakan bagi
kaum miskin, dan sebagian lain dikembalikan ke pemilik untuk
dikembangkan sesuai dengan keinginannya. Pemukim informal mungkin
mendapat ruang yang lebih sempit dibanding sebelumnya tetapi lebih
memiliki kepastian hukum, sementara pemilik lahan tidak memperoleh
kembali seluruh lahannya masih dapat mengembangkan sebagian dan
mendapat keuntungan. Sehingga semua pihak tidak dirugikan satu sama
lain. Kunci sukses dari pendekatan “land-sharing” ini adalah kemampuan
untuk mentransformasikan kebutuhan dan kepentingan yang berbeda ke
dalam solusi kompromi yang diterima semua.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

MASALAH YANG DIHADAPI SISWA PADA JURUSAN YANG TIDAK SESUAI MINAT

10 183 1

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22