Metafora Kesehatan Dalam Kampanye Anti

Metafora Kesehatan Dalam Kampanye Anti Komunis Masa Orde Baru

Martina Safitry

Sejak ditetapkan sebagai ideologi terlarang dengan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli
1966, komunisme berubah menjadi momok menakutkan bagi orang-orang yang terlibat dalam
organisasi berideologi komunis. Ideologi komunis dianggap seperti sebuah penyakit menular yang
harus dijauhi. Upaya yang dilakukan untuk menjauhkan dan menyembuhkan mereka dari ideologi
“berpenyakit” adalah dengan menempatkan mereka ke dalam Instalasi Rehabilitasi (Inrehab).
Plantungan, dan Pulau Buru merupakan tempat inrehab yang menampung pasien dengan kategori
“berpenyakit berat”. Sebagai tahanan politik, sering kali mereka mendapat perlakukan diskriminatif
dari pemerintah dan masyarakat termasuk dalam urusan kesehatan. Label “berpenyakit” tidak hanya
dilekatkan pada diri tapol tetapi juga keluarganya. Pemerintah kemudian menetapkan peraturan
“bersih diri” dan “bersih lingkungan” untuk mengontrol dan membendung agar ideologi ini tidak
tumbuh kembali.
Ideologi komunis dianggap seperti sebuah penyakit menular berbahaya yang harus dimatikan
dan dijauhi. Hal tersebut terus berlangsung bahkan ketika para tapol dibebaskan. Fokus utama dari
makalah ini adalah metafor-metafor kesehatan yang digunakan sebagai kampanye anti komunis pada
masa Orde Baru. Dengan menggunakan titik awal kisah tahanan politik, penulis berusaha melihat
bagaimana metafor-metafor kesehatan tersebut dibangun untuk membentuk sikap anti-komunis.
Berdasar pokok pikiran tersebut kemudian muncul pertanyaan istilah-istilah apa saja yang digunakan?

Kepada siapa terminologi tersebut dilekatkan? Mengapa digunakan istilah-istilah dalam terminologi
kesehatan?. Secara metodelogi, penelitian ini akan menggunakan pendekatan sejarah sehari-hari
dengan menggunakan mémoire para tapol, berita koran, dan wawancara, tulisan ini bertujan untuk
menganalisis penggunaan istilah medis dalam kampanye anti komunis di Indonesia.

Instalasi Rehabilitasi
Dalam istilah medis, rehabilitasi berarti bantuan agar pasien pulih dari cacat fisik, misalnya,
akibat stroke, amputasi, cedera tulang belakang, atau cedera otak. Layanan rehabilitasi medik
termasuk didalamnya adalah penyesuaian gaya hidup (diet, mobilitas, olahraga), layanan pediatrik
(pengobatan anak-anak), manajemen nyeri, atau perawatan pribadi (kamuskesehatan.com). Seperti
halnya fungsi dari layanan rehabilitasi medis, pemerintah kemudian menamai tempat pengasingan
para tahanan politik yang terkait (atau yang dikait-kaitkan) dengan Partai Komunis Indonesia dengan
nama Instalasi Rehabilitasi (inrehab). Hal ini merupakan upaya untuk “memulihkan” para penderita
dari “cacat ideologi” yang mereka miliki dan pemerintah ingin membuat para tahanan politik menjadi
lebih terampil dan lebih cerdas dalam memilih ideologinya (Sumiyarsi, 2011: 88).

Beberapa tempat inrebab yang tersohor diantaranya adalah Plantungan dan Pulau Buru.
Plantungan merupakan tempat tahanan politik wanita yang masuk dalam kategori B. Pada masa
Hindia Belanda Plantungan merupakan rumah sakit bagi penderita penyakit lepra. Kamp Plantungan
dan Pulau Buru menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat sekitar karena dianggap

merupakan sarang penyakit dan tempat para penjahat dibuang. Kondisi yang sama tidak jauh berbeda
dengan inrehab yang berada di Pulau Nusa Kambangan. Meski sama-sama berstatus tahanan, tahanan
kriminal mendapat perlakuan lebih layak dibandingkan dengan tahanan politik yang berada di sana.
Sebagai tahanan politik, sering kali mereka mendapat perlakukan diskriminatif dari pemerintah dan
masyarakat termasuk dalam urusan kesehatan. Meski secara medis fisik mereka sehat akan tetapi
jiwanya dianggap sakit karena berideologi komunis. Hal itu ditandai dengan adanya tindakan
“pengamanan” dan pengawasan ketat kepada mereka setiap kali bepergian. Para tahanan mengelola
sendiri pengobatan di dalam tempat Inrehab seperti yang terjadi di Plantungan dan Pulau Buru.

Pemeriksaan Tahanan Politik PKI di Tanggerang
Sumber: Perpustakaan Nasional No. 13347/PN/Foto/2008
Kisah para “Pengidap Lepra Politik”
Nama Plantungan berasal dari kata Lantung atau latung. Dalam bahasa Jawa lantung berarti
tanah liat hitam. Seolah mengikuti arti bahasa Jawanya, Plantungan menjadi tempat yang identik
dengan image kehidupan yang suram dan keras. Plantungan menjadi terkenal sejak pemerintah
kolonial Belanda membangun rumah sakit untuk menampung para penderita penyakit lepra yang
beroperasi dari tahun 1870 hingga 1964 (Hasan Wachid, 2012). Pada tahun 1970 pemerintah Orde
Baru memilih bekas rumah sakit ini menjadi tempat penampungan tahanan politik wanita karena
letaknya yang terpencil dan sulit dijangkau (Amurwani, 2011: 152). Mengingat riwayatnya sebagai
tempat pengasingan bagi para penderita lepra, pemindahan seluruh tahanan politik wanita golongan B

ke tempat ini secara implisit karena pemerintah ingin mencitrakan mereka juga sebagai para
“penderita lepra politik”. Pencitraan yang sudah melekat pada Plantungan sebagai tempat pengobatan
penyakit menular semakin mengukuhkan citra bahwa wanita pengidap “lepra politik” harus

“direhabilitasi ideologinya” agar dapat “bersih diri” dan tidak menulari lingkungan sekitarnya ketika
mereka sudah dibebaskan.
Seperti halnya layanan rehabilitasi medik, tahanan politik penghuni inrehab Plantungan juga
melakukan penyesuaian gaya hidup. Porsi makanan yang diterima oleh para tapol sangat dibatasi.
Tidak sedikit yang berat badannya turun lebih dari 10 kg. Menu makan yang mereka terima
salahsatunya adalah jagung grontol. Dalam masyarakat Jawa jagung grontol adalah panganan ringan
yang berasal dari jagung yang dikukus hingga merekah lalu diberi taburan kepala sedangkan “jagung
grontol PKI” yang mereka terima wujudnya jauh dari jagung grontol yang biasa dijual di pasar.

(Jagung grontol di pasar tradisional)

(ilustrasi,“Jagung grontol PKI”)

Mobilitas mereka di dalam inherab juga sangat tinggi dan beragam. Kegiatan rutin dilakukan
sejak pukul 04.00 hingga pukul 16.00 dengan unit kerja kesehatan, pertanian, peternakan, pembatikan,
penjahitan, dan kerajinan (Amurwani, 2011: 185-186). Sedangkan dalam hal layanan perawatan

pribadi, inherab Plantungan memang tidak memiliki dokter atau ataupun petugas kesehatan
pemerintah yang bertugas di sana sehingga semua kegiatan pengobatan dan perawatan kesehatan
dilakukan oleh tahanan itu sendiri. Adalah dr. Sumiyarsi Siwirini yang menjadi satu-satunya dokter
untuk 500 orang tahanan yang berada di Plantungan. Sumiyarsi adalah bendahara HIS (Himpunan
Sarjana Indonesia) yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Ketika terjadi penggeledahan kantor PKI
tahun 1965 ditemukan secarik dokumen sekretaris comite seksi (CS) PKI setempat yang berisi
permintaan kepada Sumiyarsi agar menulis keterangan izin libur bagi anggota PKI yang akan berlatih
dalam rangka Dwikora. Berdasar dokumen itu ia dituduh sebagai dokter Gerwani yang memotong dan
menyilet kemaluan pada jenderal. Penangkapan Sumiyarsi membuatnya harus terpisah dari ketiga
anaknya. Suaminya juga ikut ditangkap dan dikirimkan ke Pulau Buru. Ketika ada pihak keluarga
membesuknya di tahanan, ia harus menahan kerinduan untuk tidak memeluk dan bercengkrama
dengan anak kandungnya karena ingin melindungi mereka.
Serupa dengan dr. Sumiyarsi, mayoritas tahanan politik yang dianggap terlibat dengan Partai
Komunis Indonesia berusaha menutupi identitas keluarganya. Hubungan suami dan istri terputus,

orang tua dan anak harus terpisah, bahkan ada yang tidak diakui oleh anggota keluarganya, dan
dijauhkan dari lingkungan sosial. Orang yang berideologi kiri seolah dianggap sebagai orang sakit dan
harus dijauhi. Semua itu adalah akibat dari kebijakan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” yang
digalakkan oleh Orde Baru.
Upaya pemerintah untuk “membersihkan diri” tahanan politik salah satunya dengan

mengadakan berbagai santiaji atau pemberian petunjuk dan pengarahan. Di inrehab Plantungan,
santiaji diberikan setiap hari Sabtu. Materinya berupa pengertian tentang GBHN, Repelita, P4 dan
lain-lain (Bustam, 2008: 216). Pada waktu-waktu tertentu akan diadakan semacam ujian dengan
materi yang pernah disampaikan. Bagi mereka yang tidak bisa membaca dan menulis ujian diberikan
secara lisan. Santiaji kadang juga diberikan ketika kunjungan para rohaniawan kepada para penghuni
Kamp. Ada hal menarik sehubungan dengan sisi keagamaan pada tahanan politik. Karena mereka
dikatakan atheis dan tidak beragama, maka ketika penahanan berlangsung tidak sedikit yang
melakukan konversi agama. Salah satunya adalah Mia Bustam, seorang anggota Lekra dan mantan
istri dari pelukis Sudjojono. Dogma agama rutin diberikan secara rutin kepada para tahanan politik
oleh karena mereka dianggap “kotor” dan salah satu upaya “bersih diri” adalah lewat santiaji dan
pemberian dogma-dogma agama.
Tindak “pembersihan” dan “pengamanan” tidak hanya dialamatkan kepada individu yang
dikatakan menderita lepra politik tetapi juga kepada keluarga tapol. Hal ini dialami oleh istri Hardi,
Ibu Mumun, Ibu Eti yang suaminya merupakan anggota PKI dan dikirim ke Pulau Buru. Mereka yang
masih berada di rumah menghadapi pengucilan sosial. Tak jarang mereka menerima perlakuan tidak
manusiawi dari aparat yang sewenang-wenang yang menginginkan untuk “dipijat atau dikerok”.
Dalam kebudayaan Jawa, pijat dan kerok adalah tindakan pengobatan yang dilakukan dengan tujuan
menyehatkan dan menyegarkan tubuh yang sakit. Namun pada kenyataannya, para wanita keluarga
tapol dipaksa untuk melayani keinginan seksual pada aparat yang mengatasnamakan tindakan
“mengamankan” keluarga tapol (Mariana, 2015: 136-156).

Pembebasan seluruh penghuni tahanan inherab di Indonesia dilakukan pada tahun 1979.
Namun pembebasan mereka semata-mata hanya bersifat pembebasan fisik, pada kenyataannya
mereka harus menghadapi penjara sosial dari lingkungan sekitar. Para eks tapol dikenakan wajib lapor
kepada kodim setempat selama bertahun-tahun. Demikian halnya dengan anggota keluarga mereka
yang terkena aturan “bersih lingkungan”.
Reproduksi Ingatan dan Dusta Eufemisme
Istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” dalam kacamata dunia kesehatan adalah suatu
upaya untuk menjaga diri dan lingkungan dari hal-hal yang akan merugikan kesehatan. Namun dalam
konteks kampanye anti-komunis oleh orde baru istilah “bersih diri” diartikan bahwa seseorang tidak
pernah terlibat peristiwa G30S. Sedangkan “bersih lingkungan” di sini bukan lingkungan alam tetapi

lingkungan sosial politik yaitu tidak memiliki keluarga atau tidak termasuk lingkungan yang pernah
terlibat G30S.
Pelegalan aturan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” dikeluarkan oleh Departemen Dalam
Negeri pada tahun 1981, di mana dalam peraturan ini melarang orang-orang yang tidak bersih diri
atau tidak bersih lingkungan menjadi PNS, TNI/Polri, guru atau profesi yang dianggap bisa
mempengaruhi masyarakat (Indonesia. 1988).Pegawai Pemerintah (PNS dan TNI/Polri) yang pernah
terlibat sebagai anggota partai atau organisasi yang berafiliasi dengan PKI langsung diberhentikan
tanpa status jelas dan bahkan ada yang dipenjara tanpa proses peradilan. Anggota keluarganya pun
dilarang menjadi pegawai pemerintah atau BUMN (Susanto.2007: 110-111). Akses mereka untuk

mendapatkan pekerjaan di pemerintahan dan berbagai kesempatan berkarir di bidang lain benar-benar
ditutup. Jika seseorang berminat menjadi calon pegawai seperti yang disebutkan di atas, maka ia harus
siap melewati proses Litsus (Penelitian Khusus) untuk memeriksa apakah ia memang benar bersih diri
dan bersih lingkungan. Secara administasi para mantan tapol di dalam KTP-nya diberi tanda/kode ET
(Eks Tapol).

(kartu tanda penduduk ex-tapol PKI
memiliki tanda ET)

(Surat Keterangan Bersih Lingkungan)
Ekses dari pemberlakuan aturan “bersih lingkungan” juga terjadi dikalangan elit
pemerintahan Indonesia. Pada 1988 terjadi ketegangan ketika muncul dua nama kandidat wakil
presiden dari ABRI oleh Jenderal L.B. Moerdani sebagai Komandan dan dari Golkar oleh Jenderal

(purn) Sudharmono sebagai wakil presiden. Moerdani kemudian membongkar bahwa Sudharmono
tidak bersih lingkungan masa lalunya. Kampanye untuk mendeskriditkan Sudharmono memicu suatu
gelombang pembersihan oleh kelompok anti-komunis dengan mengusung bersih diri dan bersih
lingkungan yang ditujukan kepada perorangan dalam pemerintahan dan dalam pers yang diduga
mempunyai simpati atau kaitan dengan kelompok komunis di masa lalu (McGregor, 2008:346).
Pada tahun 1990 kampanye anti-komunis disegarkan kembali oleh keputusan Suharto pada

bulan April, yang menyetujui gerakan anti-komunisme yang diperbarui dengan menggunakan istilahistilah “keterpengaruhan”. Kategori ancaman “komunis” ini meliputi “bertindak, berbicara, menulis
atau menunjukkan sikap-sikap yang menyerupai atau membantu strategi PKI” atau “kiri ekstrim”
(McGregor, 2008: 349). Istilah “bersih lingkungan” juga digunakan untuk meredam gejolak yang
mulai terasa sejak 1998. Sasaran utamanya kepada anak-anak atau keluarga eks-tapol dalam 3
generasi. Baik hubungan vertikal: saudara, istri, mertua, menantu, kawan dekat dan hubungan
horizontal: ibu, ayah, anak dan cucu (Setiawan. 2003).
Reproduksi ingatan menggunakan terminologi kesehatan untuk kampanye anti-komunis
G30S/PKI begitu lekat. Hal ini terbukti ketika ada upaya untuk menggali makam para korban antikomunis pada tahun 2000. Tim Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65/66)
mendapat penolakan dari warga sekitar hutan Wonosobo (Kompas, 21 November 2000 dan Rosa.
2008). Sudah lebih dari setengah abad yang lalu Partai Komunis Indonesia dibubarkan, tapi hingga
kini kampanye terhadap gerakan anti komunis masih selalu didengungkan. “Awas bahaya laten
Komunis” adalah slogan yang sering diperdengarkan hingga saat ini.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penggunaan metaphor kesehatan dalam kampanye
anti komunis menyiratkan dusta yang dikemas dalam bahasa yang bermakna ganda. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia eufemisme adalah penghalusan bahasa yang dirasa kasar tanpa mengubah

makna, namun kata-kata yang dipakai Orde Baru seperti yang sudah diuraikan di atas pada kenyataan
mengalami perubahan yang sangat berbeda. Lebih jauh menurut Prof. Dr. Daulat Tampubolon dalam
sebuah artikel mengatakan (Kompas, 28 Oktober 1998) Orde Baru telah menggunakan pengistilahan
yang telah menindas makna bahasa, memonopoli semantik dan melakukan dusta eufemisme. Istilah

lepra politik, bersih diri, bersih lingkungan, instalasi rehabilitasi, dipijat/dikerok adalah contoh dari
terminologi kesehatan yang digunakan untuk membangun stigma kepada para tahanan politik. Stigma
tidak hanya dilekatkan pada pribadi yang terlibat akan tetapi juga dilekatkan pada keluarga tahanan
politik. Meskipun seluruh tahanan politik sudah dibebaskan akan tetapi stigma tersebut terus
direproduksi oleh Negara dan menjadi semua memori kolektif di masyarakat Indonesia untuk selalu
waspada pada “bahaya laten komunis” dan penggunaan metafor-metafor kesehatan merupakan alat
untuk “mengontrol penyakit ideologis” meskipun pasiennya sudah dinyatakan keluar dari tempat
rehabilitasi.

Daftar Pustaka
Amurwani Dwi Lestariningsih. 2011. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan . Jakarta:
Penerbit Kompas
Anna Mariana. 2015. Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan
Neofasisme Orde Baru. Jakarta: Marjin Kiri.

Budi Susanto (ed). 2007. Sisi Senyap Politik Bising. Yogyakarta: Kanisius.
Foucault, Michel. 1988. Madness and Civilization. New York: Vintage book
Hasan Wachid. 2012. Pengaruh Keberadaan Rumah Sakit Lepra Plantungan Kendal terhadap
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakatnya (1958-1964). Skripsi. Universitas Negeri
Semarang.

Hersri Setiawan. 2003. Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press.
Indonesia. 1988. Himpunan peraturan bersih diri dan bersih lingkungan dari G30S/PKI. Jakarta:
Darma Bakti.
Jhon Roosa. 2008. Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra.
McGregor, Katharine E. 2008. Ketika Sejarah Berseragam; Membongkar ideologi militer dalam
menyusun sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat.

Mia Bustam. 2008. Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan. Jakarta: Spasi & VHR Book.
Sumiyarsi. 2011. Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma
Sontag, Susan. 2001. Illness as Metaphor . New York: Picador

Sumber Majalah dan Internet
“Bahasa Orba, Komponen Terbesar Kebangkrutan Bangsa Indonesia”, Kompas 28 Oktober 1998.
Kompas, 21 November 2000.

http://dokumentasi.elsam.or.id/reports/view/34
http://kamuskesehatan.com/arti/rehabilitasi-medik/