Aurat Wanita di Depan Mahramnya Bagian 2

Aurat Wanita di Depan Mahramnya
(Bagian 2)
February 20th, 2011/Fikih/16 Comments

Penjelasan Khusus Tentang Batasan Aurat
Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram
1. Batasan aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firmanNya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita
menampakkan perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana
telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi
akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan
menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu
Katsirrahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31,
“Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan
dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain) memang
diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh
melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di
hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir (III/284)]Allah ta’alaberfirman dalam kitab-Nya,

‫ن ۝ إِل َ ع َلَى‬
ََ ِ ‫وَالَذ‬

َ ‫ح ِفظُو‬
َ ‫م‬
ْ ِ‫جه‬
ِ ‫م لِف ُُرو‬
ْ ُ‫ين ه‬
َ
َ ‫أَزوجه‬
‫ين‬
ِ ‫ملُو‬
َ ‫م غَي ْ ُر‬
ْ ُ‫م فَإِنَه‬
ْ ُ‫منُه‬
َ ْ ‫ت أي‬
ْ َ ‫ملَك‬
َ ‫ما‬
َ ْ ‫م أو‬
ْ ِ ِ َ ْ
َ ‫م‬
‫۝‬
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap

istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 2930)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk
melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan
istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami
dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka
apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat alMabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di
antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya.
Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku,
sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam
keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim
(no. 46)]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari
hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk
memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya
hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya
adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya
untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang

lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib (579/29/1),
dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]
Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan
aurat istrinya, termasuk kemaluannya.
2. Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya. Aurat seorang wanita

yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat
lelaki di depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga

lutut. [Lihat al-Mughni(VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam
kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak
mengerti) pada umumnya tidak merasa sungkan untuk membuka aurat
atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara
perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka
adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu mengetahui
bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu,
ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh melihat
auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,

ُ ‫ج‬

‫م ْرأَة ُ إِلَى‬
ُ ‫الر‬
ُ ‫الر‬
َ ْ ‫ وَل َ ال‬،‫ل‬
ِ ‫ج‬
َ ِ‫ل إِلَى ع َوْ َرة‬
َ ‫يَنْظ ُ ُر‬
َ ْ ‫ع َورة ال‬
ُ ‫ج‬
‫ل فِي‬
ِ ‫ وَل َ ي ُ ْف‬،ِ‫م ْرأة‬
ُ ‫الر‬
ُ ‫الر‬
َ ِ َْ
ِ ‫ج‬
َ ‫ل إِلَى‬
َ ‫ضي‬
ََ ‫ ول َ ت ْفضي الْمرأَة ُ إلَى الْمرأة‬،‫حد‬
ِ ُ َ ِ ِ ‫ب الْوَا‬
ِ ْ‫الثَو‬

ْ َ
ْ َ
ِ
ِ َ‫ب الْو‬
ِ ‫حد‬
ِ ْ‫ فِي الثَو‬.
ُ ‫ج‬
ِ‫َُريَة‬
ُ ‫الر‬
ْ ‫ل إِلَى ع‬
َ ‫ وَل َ يَنْظ ُ ُر‬: ‫و في روية‬
َ ْ ‫ ول َ تنظُر الْمرأَة ُ إلَى ع َُرية ال‬،‫ الرجل‬.
ِ‫م ْرأة‬
َ ِ َ ْ
ْ َ
ُ َْ َ ِ ُ َ
ِ
“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah
pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya). Seorang pria tidak
boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang

wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh
seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” [Hadits shahih. Riwayat
Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793),
Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa'id AlKhudriy radhiyallahu "anhu]
Makna “uryah (

‫( )عَرية‬aurat) pada hadits di atas adalah tidak

memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal.
100)]
Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di
depan wanita kafir, maka sebagian ulama berpendapat bahwa
seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya
kepada selain muslimah, karena lafazh

‫أو نسآئهن‬yang tercantum

dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanitawanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar tidak

termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah tetap
wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22)
dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “

‫نسآئهن‬

‫أو‬

bermakna wanita secara umum, baik dia seorang

muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab
hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang bukan mahram,
sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara
wanita muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami' Ahkaamin
Nisaa' (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264)
dan Fataawaa al-Mar'ah (I/73)]
Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan
-insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat tersebut

(Qs. An-Nuur: 31), Allahta’ala memulai perintah hijab dengan

‫ وقل للمؤمنت‬yang artinya, “Dan katakanlah kepada
wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu ‫أو‬
‫ نسآئهن‬lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan
lafazh

kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
3. Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas,
disebutkan

‫أو ما ملكت أيمنهن‬

atau budak-budak yang

mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki
maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh
melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya adalah bertatap
muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu' al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi

seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas
yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
4. Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat
(syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu
Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh

‫ارربة من الرجال‬,

‫أوِ التبعين غير أولى‬

, “Maknanya adalah para pelayan dan

pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat
kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah
orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan
usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita
penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh
Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orangorang tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun
mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum
wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita,

sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh
karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka,
kecuali yang biasa nampak darinya.
5. Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti

‫أو الطَفَل الذين لم‬
‫ يظهروا على عورت النسآء‬adalah anak yang masih

tentang aurat wanitaMaksud lafazh

kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum wanita dan aurat
mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia
masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki
masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti tentang
semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang
tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]

Catatan Penting
Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal

batasan aurat seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan para mahram,
yaitu:
1. Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat
perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahuludengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai
dengan syahwat. Jika hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak
ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal
itu terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
2. Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman
dari kemungkinan adanya orang-orang asing yang dapat melihatnya
dan ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi

mahramnya), di mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuanketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan kesucian
seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan
tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah al-Arba'un alUswah(no. 26)]
3. Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya
dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak darinya, di depan
seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan)
dan “iffah (kesucian diri) dapat senantiasa terjaga.
Seorang wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat
menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk
menjaga dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai penjuru. Untuk
itu, rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum wanita, sehingga dengannya
seorang wanita muslimah dapat menjadi uswah (teladan) bagi saudarinya yang
lain dalam berakhlaqul karimah.
Wallahu a’lam wal musta’an.
***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
 Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet.
Pustaka Ibnu Katsir
 Fataawaa an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah
 Fat-hul Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet.
Daar al-Hadits
 Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
 Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan
 Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir
 Syarah al-Arba’uun al-Uswah Min al-Ahaadiits al-Waaridah fii anNiswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan

http://muslimah.or.id/fikih/aurat-wanita-di-depan-mahramnya-bagian2.html