Kontras Desak Kasus Penembakan di Timika
Kontras Desak Kasus Penembakan di Timika Ditangani Pengadilan Umum
KOMPAS.com/Dani Prabowo Aktivis Kontras Arif Nurfikri
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
mendesak, agar proses hukum kasus penembakan warga sipil oleh oknum TNI di Kabupaten Timika,
Jumat (28/8/2015) lalu, ditangani pengadilan umum. Kontras khawatir jika kasus tersebut dipegang
pengadilan militer, maka akan ditangani secara tidak transparan.
"Pangdam Cendrawasih serahkan kasus penembakan tersebut ke instusi kepolisian, agar diproses
melalui mekanisme pengadilan umum," kata aktivis Kontras Arif Nurfikri di Sekretariat Kontras,
Selasa (1/9/2015).
Dari catatan Kontras, kata dia, selama tiga tahun terakhir ada tujuh kasus yang melibatkan oknum
anggota TNI yang dibawa ke pengadilan militer. Menurut dia, selama proses pengadilan berlangsung,
pengadilan militer dianggap kerap mengabaikan aspek transparansi dan akuntabilitas.
"Berdasarkan pengalaman tersebut, kami berpendapat bahwa mekanisme pengadilan militer hanya
dijadikan panggung sandiwara dan alat impunitas dalam proses penegakan hukum terhadap anggota
TNI yang terbukti melakukan tindak pidana," ujarnya.
Ia menambahkan, Pangdam Cendrawasih juga harus memastikan bahwa tidak ada ancaman atau teror
terhadap keluarga korban. Selain itu, Komnas HAM juga didesak agar memantau jalannya proses
pemeriksaan hingga berakhirnya masa persidangan terhadap para pelaku.
"Terakhir, pemerintah dan DPR segera merevisi UU Pengadilan Militer, agar setiap anggota TNI yang
melakukan tindak kriminal tunduk pada peradilan umum," kata dia.
Sebelumnya, dua warga meninggal dunia dan dua lainnya kritis akibat terkena tembakan oknum
anggota TNI di Jalan Bhayangkara, Timika, Jumat dini hari. Yulianus Okoare (18) meninggal di
tempat setelah tertembak di perut tembus ke punggung, sementara Imanuel Marimau (23) yang
tertembak di bawah telinga akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat di Instalasi Gawat
Darurat RSU Mimika.
Kasus Pemerasan AKBP PN Diserahkan ke Peradilan Umum
Githa Farahdina - 25 Juni 2015 19:18 wib
Komjen Pol Budi Waseso--Metrotvnews.com/Lukman
Metrotvnews.com, Jakarta: Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditipikor) Bareskrim Polri
menahan oknum polisi tersangka kasus pemerasan terhadap pengusaha tempat hiburan. Tindak lanjut
kasus ini tetap diberlakukan.
Menurut Kabareskrim Komjen Budi Waseso, polisi berinisial PN dengan pangkat AKBP itu
dikenakan sanksi disiplin dan kode etik di internal kepolisian.
"Tapi itu tidak menggugurkan pidananya. Jadi di sini (Ditipikor) dalam rangka pidananya. Putusannya
kita ajukan ke peradilan umum. Kode etiknya tetap berjalan. Itu kewenangan Propam," kata Budi
Waseso di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (25/6/2015).Saat ini, proses pelanggaran kode etik
masih berjalan. Jika nantinya Propam menyelesaikan pemeriksaan dan masuk tahap persidangan, PN
bisa dipinjam dari tahanan Bareskrim Polri.
Sejauh ini, tambah jenderal bintang tiga itu, kuat indikasi PN benar-benar melakukan pemerasan
terhadap pengusaha tempat hiburan. "Ya sementara alat buktinya ada," tegasnya.
Alat bukti yang sudah disita berupa uang dan logam mulia. Sayangnya, tidak diketahui persis berapa
jumlah total barang yang disita jika dirupiahkan.
Terkait mobil yang sempat dikabarkan dibeli dari hasil pemerasan masih dalam proses pemeriksaan
penyidik dan belum disita. "Belum. Itu TPPU-nya. Nanti kemungkinan disita," terangnya.
Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar 80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8
kecamatan yang ada di Jakarta Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan
persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran mengenai
garis sempadan sungai.
Sanksi administrasi yang diberikan yang pertama adalah surat peringatan secara berjenjang namun
apabila tidak ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan tersebut
juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir
Bentuk Sanksi Administratif
Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007 yakni
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi
administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan yang
dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan
yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut (Siti Sundari Rangkuti, 2005:217)
Bentuk sanksi tersebut dapat berupa:
·
peringatan tertulis;
·
penghentian sementara kegiatan;
·
penghentian sementara pelayanan umum;
·
penutupan lokasi;
·
pencabutan izin;
·
pembatalan izin
·
pembongkaran bangunan
Bentuk pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi pidana melalui
kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu perbuatan tertentu (dalam hukum
administrasi) sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana. Proses
kriminalisasi ini dapat diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana perbuatan
itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat dilihat sebagai
asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan pergeseran peran atau fungsi pidana dari
ultimum menjadi premium remedium yang menyatakan sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan
apabila instrumen hukum lain tidak efektif (asas subsidaritas) serta pendekatan apabila terdapat
perluasan dalam berlakunya hukum pidana.
Victor Situmorang berpendapat bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang diulang
kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada pelanggaran kaidah
hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana”
SIDOARJO- Massa pendukung calon bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari,
mendatangi kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, di jalan Letjen Sutoyo,
Medaeng, Waru Sidoarjo. Mereka memberikan dukungan kasus sengketa Pilkada 2013 yang ada di
Kabupaten Pamekasan.
Massa yang menamakan Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Pamekasan (KOMPAS), menuding
KPUD Pamekasan diduga berkonspirasi dengan pasangan incumbent Bupati Pamekasan
Kholilurahman dengan pasangannya.
"Panwas merekomendasikan pasangan incumbent. Tapi mendiskualifisikan Achmad Syafii
berpasangan dengan Khalil Asy'ari, yang mencalonkan diri sebagai Bupati Pamekasan periode 20132018," kata Hanafi, salah seorang pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, kepada
detiksurabaya.com, Selasa (27/11/2012).
Tidak hanya itu, lanjut Hanafi, KPUD juga mencabut penetapan calon bupati pamekasan. Dan justru
kini membuka pendaftaran baru untuk para calon yang mau maju sebagai bupati periode 2013-2018.
Tapi, pendukung dari mantan Bupati Pamekasan Achmad Syafi’i dan Khalil Asy'ari (ASRI) dari
partai Demokrat, PPP, PKS dan Hanura cukup menyesalkan sikap Panwaslu Pamekasan.
Dinilai tidak fair dalam pendaftaran calon bupati pamekasan saat ini karena, pasangan Kholilurahman
dengan pasangannya saat ini Masduki yang tidak mempunyai ijazah bisa meloloskannya jadi calon
incumbent.
"Pasangan incumbent tidak mempunyai ijazah, justru diloloskan untuk maju kembali mencalonkan
bupati pamekasan periode 2013-2018. Tapi yang mempunyai ijazah yakni Achmad Syafii dan Khalil
Asy'ari, justru didiskualifikasi. Lantaran nama Khalil tidak sesuai dengan yang ada di ijazah mulai
tingkat MI, MTS dan MA bernama Halil," terang koordinator KOMPAS.
Namun, nama tersebut sudah diganti, masih kata Hanafi, setelah Halil maju mencalonkan diri sebagai
legislative jadi Khalil Asy’ari yang kini jadi ketua DPRD kabupaten Pamekasan. Dan sudah
dinonaktifkan untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil bupati berpasangan dengan Achmad
Syafi’i.
"Makanya dengan ketidak fairnya dalam pemilihan kepala daerah Pamekasan, masyarakat dari
pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN Surabaya,"
tandasnya.
Secara terpisah, M. Sholeh kuasa hukum dari pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari yang sudah
mengajukan gugatan terhadap KPUD Pamekasan di PTUN Surabaya, meminta agar bersikap adil.
Karena, kliennya itu mempunyai ijazah yang asli dan dikeluarkan oleh Kanwil Departemen Agama
Jatim waktu itu.
"Makanya kita menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN dengan nomor 144/G/2012/PTUN.Sby. yang
isinya dan intinya agar PTUN Surabaya meloloskan pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari,"
kata M. Sholeh singkat kepada detiksurabaya.com. (bdh/bdh) Selasa, 27/11/2012 13:55 WIB
ANALISIS
Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering
memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah: (g) Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”.
Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat
diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat
maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain
tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui
mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan
KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam
PTUN.
Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun 2005,
Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua tahapan pemilu
tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada
butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan
atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan
merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang
dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum, haruslah
diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum.
Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya,
padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama,
yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum,
maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan.
Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA
juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi
Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang
lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali
mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi
SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8
Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi
SEMA No. 8 Tahun 2005.
Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil
pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan
yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di
bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa
PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah
berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum,
termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh
KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN
dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap.
Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal
Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya,
PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut
berkompetisi dalam Pilkada.
Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa persoalan
penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah mekanisme penerapan
tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun
1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara’. Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan
KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam
perkara Pilkada.
Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang
Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui verifikasi yang cermat dan
valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah
pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat
Penggugat baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah pelantikan
berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.
Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan
KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan
persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu
namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan
yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan
yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu
gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau
solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan
PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.
Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan,
yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara
dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD
melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009
menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April
2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90
hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya
dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.
Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting
untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut
bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau
badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui
peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).
Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN menurut
pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan
dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal
835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30
tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972.
Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana
putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171).
Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN
(pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke
III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi
masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara
pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya
kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan
kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada
pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah
sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.
Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di
PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari,
tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA
tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun
silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12
Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.
Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan
selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan
berakhir atau bahkan sudah selesai.
Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa
kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa
anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa
dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa
lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi
titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal
informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai.
Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu
yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak
ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor
kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja
KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah
ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.
Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap
orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti
pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang
waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu
proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum
diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.
Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh
lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah
Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide
Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus
dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan
sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi
kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan
tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan
gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima
Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang
waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang
diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus
sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang
yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku.
Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara
hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun
ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa
Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada.
Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional
dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu
mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu
diterbitkan atau diumumkan
.
Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan
hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau
pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat
sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat
menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya
tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah,
maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan
pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan
suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi.
Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi
wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan
mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang
terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau
sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan),
tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.
Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila
pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa
memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang
menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat.
Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang
mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal
55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam tahapan pilkada.
D. Kesimpulan
m Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010
tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan hukum
acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah
penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad.
Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan
pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi
karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan
dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum.
Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan
akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun
apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih
berlaku.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Maward
Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis
derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam pasal 55 harus
memberikan ruang khusus bagi kasus sengketa pemilukada.
Kasus Penembakan Diselesaikan di Pengadilan Militer
Senin, 3 November 2014 16:03
banjarmasinpost.co.id/faturahman
Komandan Datasemen Polisi Militer (Dandenpom) XII Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Letkol
CPM Sigit Himawan
BANJARMASINPOST.CO.ID, PALANGKARAYA- Komandan Datasemen Polisi Militer
(Dandenpom) XII Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Letkol CPM Sigit Himawan, Senin (3/10/2014)
menegaskan, kasus penembakan yang dilakukan oleh Bripka Ariffin terhadap Briptu Sumeh Priyono,
anggota Polda Kalteng, akan diselesaikan dalam Sidang pengadilan militer.
Sigit menegaskan, saat ini, Bripka Arifin, masih ditahan di jeruji besi di Markas Denpom sembari
menjalani proses hukum terkait tindakannya yang menembak paha kiri Briptu Sumeh dalamsebuah
perkelahian di halaman parkir Hotel Aquarius Palangkaraya, Minggu (2/11/2014) dini hari.
"Saya memastikan kasus ini akan segera dilimpahkan ke pengadilan militer, saya belum tau apa
nantinya sanksi yang akan diberikan kepada Bripka Ariffin, tapi yang jelas, kasus ini akan kami
lakukan dengan transparan tanpa ada yang ditutup-tutupi," katanya seraya mengatakan, tindakan
oknum intel Korem 102 Panju Panjung tersebut tentu akan ditudingkan melakukan tindakan
penganiayaan dan penyalahgunaan senjata dalam kasus tersebut.
Oknum TNI Penyiksa Warga Papua Divonis Penjara
Peradilan militer ini digelar setelah sejumlah tekanan internasional, menyusul beredarnya video
kekerasan keempat oknum TNI itu terhadap sejumlah warga Papua di laman Youtube yang memicu
kecaman banyak kalangan.
Empat tentara yang menyiksa warga sipil di puncak Jaya Papua, Kamis (11/11) divonis oleh
Pengadilan Militer III–19 Kodam XVII/Cendrawasih. Komandan pasukan Letnan dua Cosmos
divonis 7 bulan penjara. Sementara, tiga anak buahnya, yaitu, Praka Syahminan Lubis, Prada Joko
Sulistyo dan Prada Dwi Purwanto dihukum masing-masing 5 bulan penjara.
Keempatnya diseret ke pengadilan setelah terlibat dalam penganiayaan warga di Puncak Jaya, Papua,
9 Maret 2010. Namun hukuman kepada mereka diberikan karena melakukan tindak pidana militer,
berupa melawan perintah atasan, melanggar sumpah prajurit serta dianggap mencoreng nama baik
TNI. Juru bicara Kodam Papua, Letkol Susilo, meyakinkan, hukuman ini sudah sesuai aturan dan
memenuhi rasa keadilan. "Dari TNI kami meyakini bahwa itu sudah sesuai prosedur hukum yang
berlaku dan hukuman itu sudah sesuai dengan yang kita dakwakan kepada yang bersangkutan. Ini
bukan sekedar sandiwara belaka."
Meski vonis pengadilan ini lebih berat dibanding tuntutan oditur militer sebelumnya, namun tetap saja
memicu kecaman karena hukumannya dianggap terlalu ringan. Anggota Dewan Adat Papua, Markus
Haluk, mempermasalahkan pasal yang diajukan untuk keempat anggota TNI itu. "Mestinya masuk
dengan pasal yang berkaitan dengan kekerasan atau pelanggaran HAM. Oleh karena itu harus
diberikan hukuman yang berat. Bukan 4 atau 7 bulan..... Dengan demikian itu sudah jelas, bahwa
peradilan yang digelar di Jayapura itu hanya sandiwara politik untuk menyenangkan hati masyarakat
internasional dan masyarakat Indonesia dan orang Papua tidak percaya dan kami sangat tidak terima.”
Lebih jauh, Markus Haluk menyatakan, akan meminta Komnas HAM turun ke Papua dan menyelidiki
kasus kasus kekerasan lain yang dilakukan tentara terhadap warga sipil.
Kasus kekerasan ini terungkap setelah rekaman video penyikasaan ini beredar di situs Youtube.
Keempat oknum TNI itu terlihat menganiaya beberapa warga Papua yang diduga terlibat gerakan
separatis. Markas besar TNI segera mengirim tim untuk menyelidiki kasus itu, menyusul janji
Presiden Yudhoyono untuk mengkhiri budaya impunitas atau kekebalan hukum bagi tentara
Kelompok-kelompok HAM menyebut, kasus kekerasan ini merupakan dampak operasi militer oleh
TNI. Namun TNI membantah adanya operasi militer di Papua. Presiden Yudhoyono sendiri
menegaskan bahwa pemerintah Indonesia memiliki alasan hukum untuk menegakkan NKRI termasuk
menugaskan TNI di Papua. Meski ia menekanan agar para prajurit tetap mentaati hukum dan disiplin
militer.
Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah
indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke
Pengadilan. Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan Agama
Bekasi. Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi
sengketa antara Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya
memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi
mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum anaknya.
Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak akan menjual,
menunggu Chavia besar.
Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan penyelesaiannya secara
damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia. Kita sudah coba secara
kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga dikasih untuk
Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan untuk saya, Nielsa
dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah besar."
Terlepas dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan.
Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat di sayangkan jika
gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan Nielsa jadi tambang meruncing.
Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik harus terus
dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh pada perkembangan
psikologis Chavia.
"Saya tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah berkomunikasi dengan
Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan
mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)
Solusi:
Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi
rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum telah memiliki anak
dari mantan istrinya.
Untuk status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum memiliki
rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama mantan istri maka status
rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh dari almarhum saat masih
bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai dengan pengertian harta bersama menurut ketentuan pasal 35
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut hukum
masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh suami dan istri
dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua
belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).
2.
Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi
perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau
istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2
UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan,
maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila
terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3.
Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau
warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri almarhum
mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa melihat
alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun seorang anak
secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah dapat dilakukan jika tidak
merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu mantan istri almarhum juga berhak
atas harta warisan tersebut.
antusias dengan PK yang diajukan tersebut.
Dhani diminta untuk mengajukan PK. Karena memang harapannya Dhani ingin mendapatkan
hak asuh anak-anaknya
Dhani mengetahui dengan baik apa yang dilakukannya. Ia sangat berharap bisa mendapatkan hak
asuh ketiga putranya. Meski hak asuh anak berada di tangan Maia, sampai saat ini, Al, El dan Dul
berada dalam pengawasan Dhani.
Perceraian Dhani dan Maia memang menjadi sorotan. Maia menggugat cerai Dhani ke Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Proses perceraian pasangan ini berlangsung lama karena keduanya tetap
bersikeras dengan pendapatnya masing-masing. Selama proses perceraian, pasangan ini saling
melemparkan tuduhan.
Dan akhirnya pada 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan gugatan
cerai Maia. Hakim juga menjatuhkan hak asuh anak kepada Maia. Tak terima keputusan tersebut,
Dhani diwakili pengacaranya mengajukan banding.
Namun, banding tersebut ditolak. Tak patah semangat, bos Republik Cinta Manajemen ini
memutuskan mengajukan kasasi. Lagi-lagi, kasasinya ditolak. Dhani pun akhirnya memutuskan
mengajukan PK.
Sesuai keputusan hakim pada 23 September 2008, seharusnya hak asuh anak jatuh ke tangan
Maia. Hasil putusan Mahkamah Agung pada 12 Januari 2011 juga menguatkan hak asuh anak untuk
Maia.
Namun, Dhani tak mau menyerahkan anak-anak kepada Maia. Sempat terjadi pergolakan
hubungan Dhani-Maia karena berebut hak asuh anak. Kini, hubungan Dhani dan Maia tak lagi seperti
anjing dan kucing.
namun kini , Al, El dan Dul sekarang sering berkunjung dan menginap ke rumah Maia. Dari
Dhani sendiri yang mengizinkan. Bahkan, Al sudah tinggal serumah dengan Maia sekarang. Sudah
sekira satu bulan lebih
perasaan Maia akhirnya bisa berkumpul dengan ketiga darah dagingnya? Tentu saja bahagia. Tak
sia-sia Maia membangun rumah mewah lengkap dengan kolam renang dan kamar tidur bagi ketiga
anaknya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.
“Saya sedang bahagia. Kemarin bantuin anak-anak bikin tugas. Alhamdulillah, sekarang sudah
mulai bisa bertemu anak-anak. Hubungan dengan anak-anak mulai lancar karena anak-anak sudah
mulai tidur di rumah saya,” ujar Maia di Studio RCTI, Jakarta Barat, 30 Mei 2011.
Dhani juga pernah mengakui, tak mau memaksakan kehendak kepada Al, El, Dul harus tinggal
bersamanya. Apalagi, anak-anak sudah beranjak dewasa sehingga sudah bisa mengerti pembagian
waktu yang dirasa tepat.
“Ya sesuka-suka dia saja. Kadang di rumah temannya. Kalau saya sih terserah dia. Kan memang
dari awal saya demokratis dengan hal ini. Saya rasa saya sudah cukup memberikan jiwa kelaki-lakian
kepada mereka, sehingga saya tidak terlalu ngotot Al harus tinggal di rumah saya atau bundanya. Saya
berikan pilihan kepada anak saya,” ujar Dhani di Studio RCTI, Jakarta Barat, 26 Mei 2011.
KOMPAS.com/Dani Prabowo Aktivis Kontras Arif Nurfikri
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
mendesak, agar proses hukum kasus penembakan warga sipil oleh oknum TNI di Kabupaten Timika,
Jumat (28/8/2015) lalu, ditangani pengadilan umum. Kontras khawatir jika kasus tersebut dipegang
pengadilan militer, maka akan ditangani secara tidak transparan.
"Pangdam Cendrawasih serahkan kasus penembakan tersebut ke instusi kepolisian, agar diproses
melalui mekanisme pengadilan umum," kata aktivis Kontras Arif Nurfikri di Sekretariat Kontras,
Selasa (1/9/2015).
Dari catatan Kontras, kata dia, selama tiga tahun terakhir ada tujuh kasus yang melibatkan oknum
anggota TNI yang dibawa ke pengadilan militer. Menurut dia, selama proses pengadilan berlangsung,
pengadilan militer dianggap kerap mengabaikan aspek transparansi dan akuntabilitas.
"Berdasarkan pengalaman tersebut, kami berpendapat bahwa mekanisme pengadilan militer hanya
dijadikan panggung sandiwara dan alat impunitas dalam proses penegakan hukum terhadap anggota
TNI yang terbukti melakukan tindak pidana," ujarnya.
Ia menambahkan, Pangdam Cendrawasih juga harus memastikan bahwa tidak ada ancaman atau teror
terhadap keluarga korban. Selain itu, Komnas HAM juga didesak agar memantau jalannya proses
pemeriksaan hingga berakhirnya masa persidangan terhadap para pelaku.
"Terakhir, pemerintah dan DPR segera merevisi UU Pengadilan Militer, agar setiap anggota TNI yang
melakukan tindak kriminal tunduk pada peradilan umum," kata dia.
Sebelumnya, dua warga meninggal dunia dan dua lainnya kritis akibat terkena tembakan oknum
anggota TNI di Jalan Bhayangkara, Timika, Jumat dini hari. Yulianus Okoare (18) meninggal di
tempat setelah tertembak di perut tembus ke punggung, sementara Imanuel Marimau (23) yang
tertembak di bawah telinga akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat di Instalasi Gawat
Darurat RSU Mimika.
Kasus Pemerasan AKBP PN Diserahkan ke Peradilan Umum
Githa Farahdina - 25 Juni 2015 19:18 wib
Komjen Pol Budi Waseso--Metrotvnews.com/Lukman
Metrotvnews.com, Jakarta: Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditipikor) Bareskrim Polri
menahan oknum polisi tersangka kasus pemerasan terhadap pengusaha tempat hiburan. Tindak lanjut
kasus ini tetap diberlakukan.
Menurut Kabareskrim Komjen Budi Waseso, polisi berinisial PN dengan pangkat AKBP itu
dikenakan sanksi disiplin dan kode etik di internal kepolisian.
"Tapi itu tidak menggugurkan pidananya. Jadi di sini (Ditipikor) dalam rangka pidananya. Putusannya
kita ajukan ke peradilan umum. Kode etiknya tetap berjalan. Itu kewenangan Propam," kata Budi
Waseso di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (25/6/2015).Saat ini, proses pelanggaran kode etik
masih berjalan. Jika nantinya Propam menyelesaikan pemeriksaan dan masuk tahap persidangan, PN
bisa dipinjam dari tahanan Bareskrim Polri.
Sejauh ini, tambah jenderal bintang tiga itu, kuat indikasi PN benar-benar melakukan pemerasan
terhadap pengusaha tempat hiburan. "Ya sementara alat buktinya ada," tegasnya.
Alat bukti yang sudah disita berupa uang dan logam mulia. Sayangnya, tidak diketahui persis berapa
jumlah total barang yang disita jika dirupiahkan.
Terkait mobil yang sempat dikabarkan dibeli dari hasil pemerasan masih dalam proses pemeriksaan
penyidik dan belum disita. "Belum. Itu TPPU-nya. Nanti kemungkinan disita," terangnya.
Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar 80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8
kecamatan yang ada di Jakarta Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan
persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran mengenai
garis sempadan sungai.
Sanksi administrasi yang diberikan yang pertama adalah surat peringatan secara berjenjang namun
apabila tidak ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan tersebut
juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir
Bentuk Sanksi Administratif
Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007 yakni
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi
administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan yang
dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan
yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut (Siti Sundari Rangkuti, 2005:217)
Bentuk sanksi tersebut dapat berupa:
·
peringatan tertulis;
·
penghentian sementara kegiatan;
·
penghentian sementara pelayanan umum;
·
penutupan lokasi;
·
pencabutan izin;
·
pembatalan izin
·
pembongkaran bangunan
Bentuk pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi pidana melalui
kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu perbuatan tertentu (dalam hukum
administrasi) sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana. Proses
kriminalisasi ini dapat diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana perbuatan
itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat dilihat sebagai
asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan pergeseran peran atau fungsi pidana dari
ultimum menjadi premium remedium yang menyatakan sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan
apabila instrumen hukum lain tidak efektif (asas subsidaritas) serta pendekatan apabila terdapat
perluasan dalam berlakunya hukum pidana.
Victor Situmorang berpendapat bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang diulang
kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada pelanggaran kaidah
hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana”
SIDOARJO- Massa pendukung calon bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari,
mendatangi kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, di jalan Letjen Sutoyo,
Medaeng, Waru Sidoarjo. Mereka memberikan dukungan kasus sengketa Pilkada 2013 yang ada di
Kabupaten Pamekasan.
Massa yang menamakan Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Pamekasan (KOMPAS), menuding
KPUD Pamekasan diduga berkonspirasi dengan pasangan incumbent Bupati Pamekasan
Kholilurahman dengan pasangannya.
"Panwas merekomendasikan pasangan incumbent. Tapi mendiskualifisikan Achmad Syafii
berpasangan dengan Khalil Asy'ari, yang mencalonkan diri sebagai Bupati Pamekasan periode 20132018," kata Hanafi, salah seorang pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, kepada
detiksurabaya.com, Selasa (27/11/2012).
Tidak hanya itu, lanjut Hanafi, KPUD juga mencabut penetapan calon bupati pamekasan. Dan justru
kini membuka pendaftaran baru untuk para calon yang mau maju sebagai bupati periode 2013-2018.
Tapi, pendukung dari mantan Bupati Pamekasan Achmad Syafi’i dan Khalil Asy'ari (ASRI) dari
partai Demokrat, PPP, PKS dan Hanura cukup menyesalkan sikap Panwaslu Pamekasan.
Dinilai tidak fair dalam pendaftaran calon bupati pamekasan saat ini karena, pasangan Kholilurahman
dengan pasangannya saat ini Masduki yang tidak mempunyai ijazah bisa meloloskannya jadi calon
incumbent.
"Pasangan incumbent tidak mempunyai ijazah, justru diloloskan untuk maju kembali mencalonkan
bupati pamekasan periode 2013-2018. Tapi yang mempunyai ijazah yakni Achmad Syafii dan Khalil
Asy'ari, justru didiskualifikasi. Lantaran nama Khalil tidak sesuai dengan yang ada di ijazah mulai
tingkat MI, MTS dan MA bernama Halil," terang koordinator KOMPAS.
Namun, nama tersebut sudah diganti, masih kata Hanafi, setelah Halil maju mencalonkan diri sebagai
legislative jadi Khalil Asy’ari yang kini jadi ketua DPRD kabupaten Pamekasan. Dan sudah
dinonaktifkan untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil bupati berpasangan dengan Achmad
Syafi’i.
"Makanya dengan ketidak fairnya dalam pemilihan kepala daerah Pamekasan, masyarakat dari
pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN Surabaya,"
tandasnya.
Secara terpisah, M. Sholeh kuasa hukum dari pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari yang sudah
mengajukan gugatan terhadap KPUD Pamekasan di PTUN Surabaya, meminta agar bersikap adil.
Karena, kliennya itu mempunyai ijazah yang asli dan dikeluarkan oleh Kanwil Departemen Agama
Jatim waktu itu.
"Makanya kita menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN dengan nomor 144/G/2012/PTUN.Sby. yang
isinya dan intinya agar PTUN Surabaya meloloskan pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari,"
kata M. Sholeh singkat kepada detiksurabaya.com. (bdh/bdh) Selasa, 27/11/2012 13:55 WIB
ANALISIS
Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering
memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah: (g) Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”.
Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat
diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat
maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain
tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui
mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan
KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam
PTUN.
Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun 2005,
Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua tahapan pemilu
tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada
butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan
atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan
merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang
dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum, haruslah
diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum.
Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya,
padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama,
yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum,
maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan.
Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA
juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi
Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang
lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali
mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi
SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8
Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi
SEMA No. 8 Tahun 2005.
Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil
pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan
yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di
bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa
PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah
berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum,
termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh
KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN
dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap.
Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal
Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya,
PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut
berkompetisi dalam Pilkada.
Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa persoalan
penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah mekanisme penerapan
tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun
1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara’. Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan
KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam
perkara Pilkada.
Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang
Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui verifikasi yang cermat dan
valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah
pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat
Penggugat baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah pelantikan
berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.
Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan
KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan
persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu
namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan
yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan
yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu
gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau
solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan
PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.
Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan,
yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara
dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD
melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009
menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April
2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90
hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya
dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.
Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting
untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut
bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau
badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui
peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).
Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN menurut
pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan
dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal
835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30
tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972.
Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana
putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171).
Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN
(pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke
III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi
masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara
pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya
kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan
kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada
pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah
sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.
Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di
PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari,
tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA
tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun
silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12
Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.
Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan
selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan
berakhir atau bahkan sudah selesai.
Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa
kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa
anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa
dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa
lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi
titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal
informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai.
Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu
yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak
ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor
kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja
KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah
ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.
Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap
orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti
pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang
waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu
proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum
diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.
Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh
lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah
Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide
Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus
dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan
sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi
kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan
tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan
gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima
Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang
waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang
diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus
sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang
yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku.
Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara
hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun
ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa
Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada.
Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional
dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu
mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu
diterbitkan atau diumumkan
.
Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan
hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau
pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat
sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat
menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya
tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah,
maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan
pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan
suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi.
Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi
wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan
mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang
terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau
sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan),
tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.
Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila
pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa
memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang
menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat.
Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang
mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal
55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam tahapan pilkada.
D. Kesimpulan
m Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010
tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan hukum
acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah
penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad.
Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan
pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi
karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan
dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum.
Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan
akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun
apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih
berlaku.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Maward
Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis
derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam pasal 55 harus
memberikan ruang khusus bagi kasus sengketa pemilukada.
Kasus Penembakan Diselesaikan di Pengadilan Militer
Senin, 3 November 2014 16:03
banjarmasinpost.co.id/faturahman
Komandan Datasemen Polisi Militer (Dandenpom) XII Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Letkol
CPM Sigit Himawan
BANJARMASINPOST.CO.ID, PALANGKARAYA- Komandan Datasemen Polisi Militer
(Dandenpom) XII Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Letkol CPM Sigit Himawan, Senin (3/10/2014)
menegaskan, kasus penembakan yang dilakukan oleh Bripka Ariffin terhadap Briptu Sumeh Priyono,
anggota Polda Kalteng, akan diselesaikan dalam Sidang pengadilan militer.
Sigit menegaskan, saat ini, Bripka Arifin, masih ditahan di jeruji besi di Markas Denpom sembari
menjalani proses hukum terkait tindakannya yang menembak paha kiri Briptu Sumeh dalamsebuah
perkelahian di halaman parkir Hotel Aquarius Palangkaraya, Minggu (2/11/2014) dini hari.
"Saya memastikan kasus ini akan segera dilimpahkan ke pengadilan militer, saya belum tau apa
nantinya sanksi yang akan diberikan kepada Bripka Ariffin, tapi yang jelas, kasus ini akan kami
lakukan dengan transparan tanpa ada yang ditutup-tutupi," katanya seraya mengatakan, tindakan
oknum intel Korem 102 Panju Panjung tersebut tentu akan ditudingkan melakukan tindakan
penganiayaan dan penyalahgunaan senjata dalam kasus tersebut.
Oknum TNI Penyiksa Warga Papua Divonis Penjara
Peradilan militer ini digelar setelah sejumlah tekanan internasional, menyusul beredarnya video
kekerasan keempat oknum TNI itu terhadap sejumlah warga Papua di laman Youtube yang memicu
kecaman banyak kalangan.
Empat tentara yang menyiksa warga sipil di puncak Jaya Papua, Kamis (11/11) divonis oleh
Pengadilan Militer III–19 Kodam XVII/Cendrawasih. Komandan pasukan Letnan dua Cosmos
divonis 7 bulan penjara. Sementara, tiga anak buahnya, yaitu, Praka Syahminan Lubis, Prada Joko
Sulistyo dan Prada Dwi Purwanto dihukum masing-masing 5 bulan penjara.
Keempatnya diseret ke pengadilan setelah terlibat dalam penganiayaan warga di Puncak Jaya, Papua,
9 Maret 2010. Namun hukuman kepada mereka diberikan karena melakukan tindak pidana militer,
berupa melawan perintah atasan, melanggar sumpah prajurit serta dianggap mencoreng nama baik
TNI. Juru bicara Kodam Papua, Letkol Susilo, meyakinkan, hukuman ini sudah sesuai aturan dan
memenuhi rasa keadilan. "Dari TNI kami meyakini bahwa itu sudah sesuai prosedur hukum yang
berlaku dan hukuman itu sudah sesuai dengan yang kita dakwakan kepada yang bersangkutan. Ini
bukan sekedar sandiwara belaka."
Meski vonis pengadilan ini lebih berat dibanding tuntutan oditur militer sebelumnya, namun tetap saja
memicu kecaman karena hukumannya dianggap terlalu ringan. Anggota Dewan Adat Papua, Markus
Haluk, mempermasalahkan pasal yang diajukan untuk keempat anggota TNI itu. "Mestinya masuk
dengan pasal yang berkaitan dengan kekerasan atau pelanggaran HAM. Oleh karena itu harus
diberikan hukuman yang berat. Bukan 4 atau 7 bulan..... Dengan demikian itu sudah jelas, bahwa
peradilan yang digelar di Jayapura itu hanya sandiwara politik untuk menyenangkan hati masyarakat
internasional dan masyarakat Indonesia dan orang Papua tidak percaya dan kami sangat tidak terima.”
Lebih jauh, Markus Haluk menyatakan, akan meminta Komnas HAM turun ke Papua dan menyelidiki
kasus kasus kekerasan lain yang dilakukan tentara terhadap warga sipil.
Kasus kekerasan ini terungkap setelah rekaman video penyikasaan ini beredar di situs Youtube.
Keempat oknum TNI itu terlihat menganiaya beberapa warga Papua yang diduga terlibat gerakan
separatis. Markas besar TNI segera mengirim tim untuk menyelidiki kasus itu, menyusul janji
Presiden Yudhoyono untuk mengkhiri budaya impunitas atau kekebalan hukum bagi tentara
Kelompok-kelompok HAM menyebut, kasus kekerasan ini merupakan dampak operasi militer oleh
TNI. Namun TNI membantah adanya operasi militer di Papua. Presiden Yudhoyono sendiri
menegaskan bahwa pemerintah Indonesia memiliki alasan hukum untuk menegakkan NKRI termasuk
menugaskan TNI di Papua. Meski ia menekanan agar para prajurit tetap mentaati hukum dan disiplin
militer.
Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah
indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke
Pengadilan. Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan Agama
Bekasi. Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi
sengketa antara Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya
memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi
mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum anaknya.
Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak akan menjual,
menunggu Chavia besar.
Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan penyelesaiannya secara
damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia. Kita sudah coba secara
kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga dikasih untuk
Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan untuk saya, Nielsa
dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah besar."
Terlepas dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan.
Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat di sayangkan jika
gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan Nielsa jadi tambang meruncing.
Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik harus terus
dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh pada perkembangan
psikologis Chavia.
"Saya tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah berkomunikasi dengan
Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan
mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)
Solusi:
Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi
rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum telah memiliki anak
dari mantan istrinya.
Untuk status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum memiliki
rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama mantan istri maka status
rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh dari almarhum saat masih
bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai dengan pengertian harta bersama menurut ketentuan pasal 35
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut hukum
masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh suami dan istri
dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua
belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).
2.
Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi
perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau
istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2
UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan,
maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila
terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3.
Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau
warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri almarhum
mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa melihat
alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun seorang anak
secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah dapat dilakukan jika tidak
merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu mantan istri almarhum juga berhak
atas harta warisan tersebut.
antusias dengan PK yang diajukan tersebut.
Dhani diminta untuk mengajukan PK. Karena memang harapannya Dhani ingin mendapatkan
hak asuh anak-anaknya
Dhani mengetahui dengan baik apa yang dilakukannya. Ia sangat berharap bisa mendapatkan hak
asuh ketiga putranya. Meski hak asuh anak berada di tangan Maia, sampai saat ini, Al, El dan Dul
berada dalam pengawasan Dhani.
Perceraian Dhani dan Maia memang menjadi sorotan. Maia menggugat cerai Dhani ke Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Proses perceraian pasangan ini berlangsung lama karena keduanya tetap
bersikeras dengan pendapatnya masing-masing. Selama proses perceraian, pasangan ini saling
melemparkan tuduhan.
Dan akhirnya pada 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan gugatan
cerai Maia. Hakim juga menjatuhkan hak asuh anak kepada Maia. Tak terima keputusan tersebut,
Dhani diwakili pengacaranya mengajukan banding.
Namun, banding tersebut ditolak. Tak patah semangat, bos Republik Cinta Manajemen ini
memutuskan mengajukan kasasi. Lagi-lagi, kasasinya ditolak. Dhani pun akhirnya memutuskan
mengajukan PK.
Sesuai keputusan hakim pada 23 September 2008, seharusnya hak asuh anak jatuh ke tangan
Maia. Hasil putusan Mahkamah Agung pada 12 Januari 2011 juga menguatkan hak asuh anak untuk
Maia.
Namun, Dhani tak mau menyerahkan anak-anak kepada Maia. Sempat terjadi pergolakan
hubungan Dhani-Maia karena berebut hak asuh anak. Kini, hubungan Dhani dan Maia tak lagi seperti
anjing dan kucing.
namun kini , Al, El dan Dul sekarang sering berkunjung dan menginap ke rumah Maia. Dari
Dhani sendiri yang mengizinkan. Bahkan, Al sudah tinggal serumah dengan Maia sekarang. Sudah
sekira satu bulan lebih
perasaan Maia akhirnya bisa berkumpul dengan ketiga darah dagingnya? Tentu saja bahagia. Tak
sia-sia Maia membangun rumah mewah lengkap dengan kolam renang dan kamar tidur bagi ketiga
anaknya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.
“Saya sedang bahagia. Kemarin bantuin anak-anak bikin tugas. Alhamdulillah, sekarang sudah
mulai bisa bertemu anak-anak. Hubungan dengan anak-anak mulai lancar karena anak-anak sudah
mulai tidur di rumah saya,” ujar Maia di Studio RCTI, Jakarta Barat, 30 Mei 2011.
Dhani juga pernah mengakui, tak mau memaksakan kehendak kepada Al, El, Dul harus tinggal
bersamanya. Apalagi, anak-anak sudah beranjak dewasa sehingga sudah bisa mengerti pembagian
waktu yang dirasa tepat.
“Ya sesuka-suka dia saja. Kadang di rumah temannya. Kalau saya sih terserah dia. Kan memang
dari awal saya demokratis dengan hal ini. Saya rasa saya sudah cukup memberikan jiwa kelaki-lakian
kepada mereka, sehingga saya tidak terlalu ngotot Al harus tinggal di rumah saya atau bundanya. Saya
berikan pilihan kepada anak saya,” ujar Dhani di Studio RCTI, Jakarta Barat, 26 Mei 2011.