Labelisasi Halal sebagai Wujud Perlindun

Labelisasi Halal sebagai Wujud Perlindungan Konsumen Muslim
A. Pendahuluan
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan dan kosmetika dewasa ini
sungguh sangat luar biasa. Jika dahulu pengolahan serta pemanfaatan bahan-bahan baku sangat sederhana
dan apa adanya dari alam, maka sekarang manusia dengan IPTEK-nya telah dapat merekayasa apa yang
terdapat dalam alam, sampai hal-hal yang mikro sekalipun. Dengan demikian, pengidentifikasian tentang
proses dan bahan yang digunakan dalam suatu industri pangan, obat-obatan atau kosmetika tidak lagi
menjadi suatu yang sederhana. Jika dulu untuk mengetahui kehalalan dan kesucian ketiga hal tersebut bukan
merupakan persoalan, karena bahan-bahannya dapat diketahui secara jelas, serta prosesnya tidak terlalu
rumit, kini persoalannya tidak sesederhana itu. Sehingga kita sebagai umat Islam sering dihadapkan pada
pertanyaan seperti, bolehkah kita mengkonsumsi makanan ini, atau bolehkah kita menggunakan obat atau
kosmetika itu ?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bagi ummat Islam tidaklah dipandang berlebihan. Sebab bagi ummat
Islam, kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsusmsinya atau dipakai mutlaq harus diperhatikan,
karena hal tersebut sangat menentukan diterima atau ditolaknya amal ibadah kita oleh Allah SWT kelak di
akhirat. Jika apa yang kita konsumsi atau kita gunakan itu suci dan halal, amal ibadah kita diterima olah Allah.
Sebaliknya, jika haram atau tidak suci, amal ibadah kita pasti ditolak-Nya, selain kitapun dipandang telah
berbuat dosa.
Permasalahan selanjutnya, dapatkah setiap orang mengetahui mana yang halal dan suci, dan mana pula
yang haram dan tidak suci? Sebab, sebagaimana yang telah disampaikan di atas, kini dengan kemajuan
IPTEK yang luar biasa pada pengolahan pangan, obat-obatan dan kosmetika, kiranya tidak berlebihan jika

dikatakan bahwa untuk mengetahui kehalalan dan kesucian hal-hal tersebut bukanlah persoalan yang
mudah. Dengan kata lain, tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya. Karena,
untuk mengetahuinya diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam tentang IPTEK di bidang pangan, obatobatan dan kosmetika, selain juga pengetahuan-pengetahuan tentang kaidah-kaidah hukum Islam. Hal ini
sesuai dengan hadist nabi yang cukup populer, yang artinya :
" Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun sudah jelas, dan diantara kedua hal tersebut terdapat yang
musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui
hukumnya. Barangsiapa yang berhati-hati dari perkara syubhat, sebenarnya ia telah menyelamatkan agama
dan harga dirinya..."(H.R. Muslim)
Selanjutnya, menurut pendapat Ibrahim Hosen, produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan,
maupun kosmetika dikategorikan ke dalam kelompok musytabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut
berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non-muslim, sekalipun bahan-bakunya berupa barang suci
dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pengolahannya tercampur, atau menggunakan
bahan-bahan yang haram atau tidak suci. Dengan demikian, produk-produk olahan tersebut bagi ummat
Islam jelas bukan merupakan persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan besar dan serius. Terlebih lagi
jika mengingat lanjutan hadits di atas yang menyatakan bahwa " Barang siapa yang terjerumus ke dalam
syubhat, sesungguhnya ia sudah terjerumus ke dalam yang haram." Padahal, seperti telah disinggung di
atas, bahwa, keharaman atau ketidaksucian merupakan faktor tidak diterimanya amal ibadah kita. Maka,
wajarlah jika ummat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum produkproduk tersebut, sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak menimbulkan keresahan dan keraguan.
Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4 (a) disebutkan bahwa
hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa. Pasal ini menunjukkan, bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang
merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi
olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak
bertentangan dengan kaidah agamnya, alias halal.
Selanjutnya, dalam pasal yang sama point. c disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hal ini memberikan pengertian
kepada kita, bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji
terlebih dahulu. Dengan demikian perusahaan tidak dapat dengan serta merta mengklaim bahwa produknya
halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan.
B. Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Terlebih dahulu mari kita jawab pertanyaan, apakah perlu ada sertifikasi-labelisasi halal ini ? Bukankah kita
sebagai pribadi bisa memilah-milah atau membedakan mana yang halal dan mana yang tidak ?
Untuk puluhan tahun yang lalu mungkin pertanyaan itu bisa dijawab dengan ya. Untuk masa kini jawabannya
sudah berubah. Sebagaimana telah disampaikan di atas, Ilmu dan teknologi pangan sudah melaju demikian
rupa sehingga kita tidak bisa lagi membedakan sepintas kilas suatu makanan itu halal atau tidak.

Perkembangan IPTEK serta perubahan sosial yang begitu cepat, terutama di kota-kota besar menyebabkan
perubahan pula dalam jenis dan bentuk makanan yang diminta oleh konsumen. Di kota-kota besar di mana
penduduknya padat dan terjadinya perubahan gaya hidup menyebabkan, konsumen ingin efisien dalam
menyediakan makanan. Mereka membutuhkan makanan yang mudah disajikan, berpenampilan yang

menimbulkan selera, bertahan segar dengan warna, aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan.
Dengan IPTEK semua yang diinginkan tadi dapat disediakan. Dalam hal ini diperlukan berbagai \"zat
tambahan dalam memproses makanan. \" Zat tambahan\" ini dapat dibuat secara kimiawi, atau secara
bioteknologi serta dapat juga diekstraksi dari tanaman atau hewan. Disinilah kemungkinan terjadinya
perubahan makanan dari halal menjadi tidak halal, yaitu jika bahan tambahan berasal dari ekstraksi hewan
tak halal. Pengaruh IPTEK ini juga dapat melanda makanan tradisional. Kue mangkok yang disajikan oleh
orang tua kita sekian tahun yang lalu misalnya. tidak sama dengan kue mangkok yang diperoleh di pasar
swalayan masa kini yang mungkin telah diberi pemanis buatan, pewarna yang tidak alami dan lain-lain bahan
yang sesuai permintaan konsumen. Lain dari pada yang diungkap di atas pemakaian alkohol sebagai bahan
penolong atau bahan tambahan dalam pengolahan sering terjadi. Beberapa zat pemberi aroma, zat pemberi
rasa, zat pewarna dan lain-lain sering tidak bisa larut dalam air, karena itu dilarutkan dalam alkohol. Pada
produk akhir minuman, alkohol ini sering masih bisa terdeteksi, ini menjadikan minuman tadi menjadi tidak
halal.
Sebagai tuntutan dari bertambah banyaknya permintaan daging akibat meningkatnya jumlah penduduk, cara
penyembelihanpun mengalami perubahan. Jika tadinya hewan dipotong seekor demi seekor dengan cara
yang sesuai dengan syariat Islam, kini sebelum dipotong hewan terlebih dahulu dipingsankan. Berbagai cara
pemingsanan disesuaikan dengan teknologi masa kini. Masalahnya disini ialah pemingsanan itu dapat
menyebabkan hewan menjadi bangkai sebelum dipotong.
Dalam persoalan daging, ada tiga masalah yang perlu diperhatikan. Pertama cara penyembelihan, kedua
penggunaan campuran daging hewan tidak halal dan ketiga daging impor. Ketiga macam masalah ini, tidak

dapat ditentukan hanya dengan sekilas pintas, tetapi harus ditelusuri dari dasar dan cara pemotongan serta
pengolahannya.
Jika disimpulkan apa yang telah diungkapkan di depan, masalah alkohol, masalah babi serta zat ikutannya
dan cara penyembelihan hewan, merupakan hal yang sangat kritis bagi ummat Islam. Dalam arus IPTEK
masa kini,masalah ini banyak berubah dan sulit untuk dilacak. Bagi ummat Islam semua hal ini menyebabkan
sukar membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Apalagi jika makanan itu sudah mengalami
proses setengah jadi ataupun yang sudah siap makan. Masalah ini pula yang terjadi pada tahun 1988 dimana
ummat Islam tiba-tiba dikejutkan oleh isu lemak babi. Berita ini cepat menyebar dan beberapa produk yang
diisukan haram tidak laku, hampir-hampir menimbulkan goncangan ekonomi. Jadi adanya SertifikasiLabelisasi halal bukan saja bertujuan memberi ketentraman batin pada ummat Islam Indonesia tetapi juga
ketenangan berproduksi bagi produsen. Menghadapi globalisasi ekonomi tahun 2003, Sertifikasi-Labelisasi
halal makin diperlukan untuk menangkis saingan dari luar.
C. Proses Sertifikasi Halal dan Fatwa MUI
Mulai tahun 1994 Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah produk mengalami pemeriksaan ilmiah yang
seksama oleh LP.POM dan kemudian disidangkan oleh Komisi Fatwa MUI. Sertifikat halal adalah fatwa
tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini
merupakan syarat untuk mencantumkan label halal.
Yang dimasud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat
Islam yaitu:
* Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
* Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam.

* Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan tempat pengelolaan dan
transportasinya tidak digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang tidak halal
lainnya harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat Islam.
• Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar..
E. Kerjasama DEPKES - DEPAG - MUI
Banyak ummat bertanya, bagaimana kami tahu bahwa suatu makanan itu halal atau tidak kalau tidak ada
label ? Dalam hal ini MUI memang tidak berdaya. Sebab masalah label adalah haknya Pemerintah. MUI akan
mendukung labelisasi melalui sertifikasi yang dikeluarkan oleh MUI.
Pada tahun 1996 setelah mengalami diskusi yang panjang maka dapatlah dicapai kerjasama antara Depkes Depag - MUI tentang labelisasi Halal. Hingga saat ini, piagam kerjasam tersebut menjadi landasan tindak
bagi pihak terkait dalam melaksanakan sertifikasi dan labeliasi.
Dalam lampiran 1 dapat dibaca bahwa permintaan Sertifikat dan Label Halal dilakukan melalui satu pintu

Pemeriksaan dilakukan oleh tim gabungan Depkes-Depag-MUI, kemudian disidangkan oleh tenaga ahli MUI
dan akhirnya kehalalan ditentukan oleh Komisi Fatwa MUI. Izin label halal diberikan oleh Depkes
berdasarkan Fatwa MUI yang dikeluarkan sebagai Sertifikat Halal.
Penulis: Lukmanul Hakim:
- Staf Ahli Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
- Ketua Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Djuanda – Bogor

E-Sign Act: Keberlakuan dan Hambatannya

Ari Juliano Gema
e-mail: ari.juliano@lawyer.com

Pada tanggal 30 Juni 2000, Presiden Clinton telah menandatangani the Electronic Signatures in Global and
National Commerce Act (E-Sign Act), yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 2000. Keberlakuan
E-Sign Act ini sangat besar pengaruhnya bagi negara-negara lain, karena selain berlaku terhadap transaksi
yang terjadi antar negara bagian di Amerika Serikat, juga berlaku untuk transaksi dengan negara lain (foreign
trading). Bukan hal yang mustahil apabila Amerika Serikat menggunakan kekuatan ekonomi dan teknologi yang
dimilikinya untuk “memaksakan” keberlakuan undang-undang tersebut.
E-Sign Act yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kegiatan e-commerce ini, menjamin kontrak-kontrak,
dokumen-dokumen serta tanda tangan yang berbentuk elektronis memiliki status dan akibat hukum yang sama
dengan kontrak-kontrak, dokumen-dokumen serta tanda tangan konvensional. Oleh sebab itu, E-Sign Act
melarang penyangkalan maupun pembatalan terhadap keabsahan, pelaksanaan atau akibat hukum dari suatu
kontrak atau dokumen lainnya hanya karena dibuat dalam format elektronis, serta digunakannya electronic
signature dalam format tersebut.
Electronic signature dalam E-Sign Act didefinisikan sebagai: “an electronic sound, symbol, or process, attached
to or logically associated with a contract or other record and executed or adopted by a person with the intent to
sign the record.” Sedangkan electronic record didefinisikan sebagai: “a contract or other record created,
generated, sent, communicated, received, or stored by electronic means.” Dari pengertian tersebut, terlihat
bahwa electronic signature dapat mencakup berbagai jenis aplikasi teknologi, termasuk penggunaan password,

smart cards, sound code serta biometrics (contoh: teknologi pengenalan sidik jari atau penginderaan retina
mata).
Ruang Lingkup E-Sign Act
E-Sign Act berlaku terhadap transaksi perdagangan antar negara bagian di Amerika Serikat maupun transaksi
perdagangan luar negeri, di mana E-Sign Act berlaku terhadap segala jenis transaksi yang berkaitan dengan
kegiatan usaha, hubungan produsen-konsumen, atau hubungan dagang antara dua orang atau lebih.
Apabila suatu undang-undang maupun ketentuan hukum lainnya menentukan bahwa suatu tanda tangan atau
dokumen harus dibuat dihadapan notaris atau dibuat di bawah sumpah, E-Sign Act memperbolehkan notaris
atau pejabat yang berwenang melakukan tugasnya secara elektronis, sepanjang memenuhi ketentuan hukum
yang berlaku. Untuk kepentingan tersebut, E-Sign Act menghilangkan segala persyaratan mengenai
penggunaan materai, segel, stempel, cap, atau benda sejenis lainnya agar proses pengesahan suatu tanda
tangan atau dokumen dapat dilakukan secara elektronis.

Keabsahan dan pelaksanaan suatu kontrak dalam format elektronis tetap tunduk pada hukum kontrak yang
berlaku, sehingga apabila suatu kontrak ditentukan harus dibuat dalam bentuk tertulis, maka kontrak elektronis
tersebut harus dapat disimpan atau dicetak dalam bentuk tertulis pada saat kontrak tersebut disepakati atau
ditandatangani. Kontrak elektronis tersebut baru dapat dilaksanakan hanya apabila telah memenuhi keabsahan
berdasarkan hukum kontrak yang berlaku.
Suatu electronic signature dianggap sah hanya apabila digunakan oleh orang yang berwenang untuk
menggunakannya untuk menandatangani atau mengesahkan suatu kontrak. Jadi setiap orang atau badan

usaha yang menerima penggunaan electronic signature memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tanda
tangan tersebut memang benar-benar dibuat oleh pihak yang berwenang.
Apabila peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan bahwa suatu kontrak atau dokumen harus
disimpan untuk suatu jangka waktu tertentu, maka hal ini berlaku juga untuk dokumen elektronis, dengan
ketentuan bahwa dokumen elektronis yang disimpan tersebut (i) merefleksikan secara akurat keterangan yang
terdapat dalam kontrak atau dokumen tersebut, dan (ii) dokumen elektronis tersebut tetap dapat diakses oleh
setiap orang yang berwenang. Dokumen elektronis yang berkaitan dengan suatu transaksi juga harus
memenuhi ketentuan hukum yang berlaku mengenai penyimpanan atau penyediaan dokumen tersebut dalam
bentuk aslinya.
Hal-hal yang Dikecualikan
E-Sign Act tidak berlaku pada beberapa hal yang berkenaan dengan undang-undang maupun ketentuan
hukum sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu:










Undang-undang ataupun ketentuan hukum lainnya yang mengatur mengenai pembuatan atau
pelaksanaan surat wasiat serta ketentuan tambahannya.
Undang-undang ataupun ketentuan hukum lainnya yang mengatur mengenai adopsi, perceraian atau
hal-hal yang berkenaan dengan hukum keluarga;
The Uniform Comercial Code (Kitab Undang-undang Hukum Dagang Amerika Serikat), selain dari Bab
1-107, 1-206, serta Pasal 2 dan 2a;
Putusan pengadilan atau dokumen-dokumen resmi pengadilan lainnya;
Pemberitahuan mengenai pembatalan jasa pemanfaatan fasilitas, kesehatan atau asuransi jiwa; dan
pemberitahuan yang berhubungan dengan kelalaian, pengembalian kepemilikan, penyitaan, serta
pengusiran terhadap penghuni bangunan;
Kontrak, persetujuan atau dokumen-dokumen yang melibatkan badan pemerintah/negara, jika badan
tersebut tidak bertindak selaku pihak dalam suatu transaksi perdagangan antar negara bagian;
Pemberitahuan mengenai penarikan kembali produk atau bahan-bahan yang cacat dari suatu produk,
yang beresiko membahayakan kesehatan ataupun keamanan; dan
Semua dokumen yang dibutuhkan untuk mengiringi setiap pengangkutan atau penanganan bahanbahan berbahaya, pestisida, atau bahan-bahan beracun lainnya.

E-Sign Act juga menugaskan kepada Securities and Exchange Commision (Badan Pelaksana Pasar Modal
Amerika Serikat) untuk membuat peraturan yang mengesampingkan ketentuan dalam E-Sign Act mengenai
dokumen-dokumen yang diperlukan dalam rangka pengumuman, penerbitan literatur penjualan, ataupun

informasi lainnya mengenai surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan investasi terdaftar.
Suatu badan federal atau negara bagian di Amerika Serikat, dalam kondisi tertentu, dapat melepaskan diri dari
beberapa kewajiban yang berkenaan dengan penyimpanan secara elektronis dari suatu dokumen. Sebagai
contoh, suatu badan pembuat regulasi federal atau negara bagian dapat mewajibkan penyimpanan suatu
dokumen dalam bentuk tercetak atau kertas jika: (1) ada kepentingan pemerintah yang mendesak berkaitan
dengan penegakan hukum atau keamanan nasional untuk menentukan sejumlah persyaratan; dan (2)
menentukan sejumlah persyaratan tersebut adalah penting untuk mencapai suatu kepentingan tertentu.
Pemerintah Amerika Serikat juga dapat mengesampingkan persyaratan-persyaratan yang disetujui berkaitan
dengan dokumen-dokumen yang diatur dalam E-Sign Act, jika pengesampingan tersebut penting untuk
mengurangi beban yang substantif pada kegiatan e-commerce dan tidak akan meningkatkan resiko materil
yang merugikan konsumen.
Perlakuan Khusus terhadap Konsumen
Dalam hubungan produsen-konsumen, agar penggunaan tanda tangan dan dokumen elektronis tidak
merugikan kepentingan konsumen, E-Sign Act mengatur ketentuan khusus yang mengharuskan penyedia

dokumen elektronis (provider) membuat atau menyediakan dokumen konvensional untuk konsumen. Dokumen
elektronis yang disediakan tersebut harus dapat dibaca kembali, disimpan, dan dicetak oleh konsumen,
dengan hardware dan software yang dipersyaratkan oleh provider.
E-Sign Act mengatur bahwa konsumen harus mengemukakan persetujuannya untuk menggunakan dokumen
elektronis. Sebagai syarat persetujuannya tersebut, konsumen harus menyetujui atau menegaskan

persetujuannya secara elektronis dengan perbuatan yang selayaknya menunjukkan bahwa konsumen dapat
mengakses dokumen dalam bentuk elektronis yang digunakan oleh provider.
Pelaku usaha diharuskan mengikuti prosedur operasi yang telah ditentukan, sebelum mulai menyediakan
dokumen dalam bentuk elektronis untuk konsumen. Prosedur tersebut harus memberikan informasi yang tegas
dan jelas mengenai hal-hal sebagai berikut:








Pernyataan yang berkenaan dengan hak konsumen untuk mendapatkan dokumen dalam bentuk kertas
ataupun bentuk non-elektronis lainnya;
Pernyataan yang berkenaan dengan hak konsumen untuk menarik persetujuannya terhadap
penggunaan dokumen elektronis dan setiap kondisi serta konsekuensi yang mungkin terjadi sebagai
akibat penarikan persetujuan tersebut;
Pernyataan yang menginformasikan konsumen dimana persetujuan berlaku (a) hanya untuk transaksi
tertentu yang menimbulkan kewajiban untuk menyediakan dokumen elektronis, atau (b) untuk
memperkenalkan kategori-kategori dari dokumen elektronis yang dapat disediakan sebagai bagian dari
hubungan para pihak;
Deskripsi mengenai prosedur yang harus diikuti oleh konsumen dalam rangka (a) persetujuan
penarikan, atau (b) pembaharuan informasi yang dibutuhkan untuk menghubungi konsumen secara
elektronis;
Pernyataan yang menginformasikan bahwa konsumen, atas permintaannya, dapat memperoleh
salinan kertas dari dokumen elektronis, dengan biaya yang dibebankan kepada konsumen atas salinan
tersebut; dan
Pernyataan yang menjelaskan spesifikasi dari hardware dan software yang harus digunakan
konsumen untuk mengakses dan menyimpan dokumen elektronis tersebut.

Apabila provider mengubah persyaratan hardware dan software yang digunakan konsumen untuk
berkomunikasi secara elektronis dengan provider dan hal ini menimbulkan resiko konsumen tidak dapat lagi
mengakses dokumen yang disediakan provider secara elektronis, maka provider harus melakukan langkahlangkah sebagai berikut:




Memberikan penjelasan yang mendetail kepada konsumen mengenai perubahan hardware dan
software yang harus digunakan;
Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menarik persetujuannya dari penggunaan dokumen
elektronis tanpa dibebani biaya dan persyaratan apapun, jika belum dijelaskan sejak awal mengenai
hal ini;
Mendapatkan persetujuan, atau penegasan persetujuan, dari konsumen, baik secara elektronis,
maupun dengan perbuatan yang selayaknya menunjukkan bahwa konsumen bisa mengakses
informasi dalam bentuk elektronis;

Ketidakmampuan provider dalam memenuhi prosedur di atas dapat diperlakukan sebagai penarikan
persetujuan atas pilihan konsumen.
Hambatan yang Mungkin Timbul
Karena E-Sign Act berlaku untuk transaksi dalam dan luar negeri, maka E-Sign Act menugaskan Menteri
Perdagangan Amerika Serikat untuk mempromosikan pemberlakuan E-Sign Act agar mendapat dukungan di
tingkat nasional maupun internasional. Menteri Perdagangan juga ditugaskan untuk mengadakan penyelidikan
secara berkala mengenai hambatan serta pengaruh pemberlakuan E-Sign Act di dalam maupun di luar negeri.
Mengkaji ketentuan-ketentuan dalam E-Sign Act dan praktek transaksi bisnis yang berlaku pada umumnya,
penulis berpendapat ada beberapa hambatan yang mungkin timbul berkenaan dengan pemberlakuan E-Sign
Act tersebut, yaitu:
1. Hambatan Teknologi

Penggunaan electronic signature dan electronic document sangat tergantung pada kemampuan setiap negara
dalam mengadopsi teknologi yang digunakan untuk penerapan E-Sign Act. Apabila suatu perusahaan Amerika
Serikat akan mengadakan transaksi elektronis dengan perusahaan negara lain, tentunya kedua belah pihak
akan menyepakati dulu format electronic signature dan electronic document seperti apa yang akan mereka
gunakan dalam transaksi tersebut. Bisa jadi perusahaan Amerika Serikat tersebut mengajukan suatu format
electronic signature dan electronic document yang biasa mereka gunakan dan terbukti aman, namun ternyata
perusahaan negara lain tersebut belum sanggup mengadopsi teknologi yang digunakan untuk format tersebut.
Selain itu, penerapan teknologi juga tergantung pada nilai dari transaksi tersebut, sehingga semakin besar nilai
suatu transaksi, semakin besar pula kebutuhan untuk mengaplikasikan prosedur dan teknologi canggih yang
dapat menjamin keamanan transaksi tersebut (contoh: digital certificate yang menggunakan public key
encryption sebagai bentuk lebih canggih dari sekedar password). Hal ini akan menyulitkan negara yang belum
mampu mengadopsi teknologi dan prosedur yang menjamin keamanan transaksi elektronis untuk
mendapatkan keuntungan yang signifikan dari transaksi tersebut.
Luasnya cakupan aplikasi teknologi yang dapat digunakan sebagai electronic signature juga dapat
menimbulkan masalah. Tanpa standar aplikasi teknologi yang menjamin kemudahan bertransaksi, transaksi
elektronis tidak akan menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi para pihak. Demikian pula, tanpa standar
aplikasi teknologi yang menjamin keamanan bertransaksi, transaksi elektronis akan berlangsung di luar kendali
para pihak yang berwenang melakukan transaksi.
2. Hambatan Hukum
Belum semua negara di dunia yang memiliki undang-undang atau ketentuan hukum yang mengatur mengenai
transaksi elektronis. Meskipun the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)
telah mengeluarkan Model Law on Electronic Commerce sejak tahun 1996, namun baru sedikit negara di
dunia yang telah mengadopsinya. Amerika Serikat baru mengundangkan Uniform Electronic Transaction Act
(UETA), yang mengkodifikasi undang-undang negara-negara bagiannya mengenai hal tersebut, pada tanggal 9
November 1999, yang kemudian disusul dengan diundangkannya E-Sign Act sebagai salah satu tindak lanjut
pemberlakuan UETA.
Ada beberapa hal yang akan menjadi “batu sandungan” bagi pemberlakuan E-Sign Act apabila melibatkan
pihak dari negara lain yang mampu secara teknologi namun ternyata belum memiliki undang-undang atau
peraturan mengenai transaksi elektronis, yaitu antara lain, adanya kontrak atau dokumen-dokumen tertentu
yang masih membutuhkan notaris atau pejabat yang berwenang untuk pengesahannya, masalah hukum
negara mana yang akan dipakai apabila terjadi sengketa, masalah keabsahan electronic signature dan
electronic document untuk pembuktian di pengadilan, belum adanya standar baku untuk penggunaan
electronic signature dan electronic document yang aman dan terpercaya, dan sebagainya.
3. Hambatan Kultural
Belum semua orang di dunia ini yang terbiasa bertransaksi secara on-line. Penelitian menunjukkan lebih dari
50 % warga Amerika Serikat belum pernah bertransaksi melalui internet, dan lebih dari 2/3 warga Amerika
Serikat meragukan keamanan bertransaksi melalui internet, sebagaimana hasil polling yang dilakukan EDI,
suatu perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang TI (Indonesian Observer, 26/06/2000).
Bagi sebagian orang, melakukan transaksi jual-beli ataupun transaksi lainnya bukan sekedar suatu mekanisme
memindahkan kepemilikan suatu benda/barang dari satu pihak kepada pihak lainnya, namun juga memiliki
segi-segi kemanusiaan, seperti menjalin silaturahmi atau sebagai bagian dari strategi humas. Hal ini berbeda
dengan sifat transaksi elektronis, yang meskipun menawarkan cara cepat dengan biaya ringan dalam
bertransaksi namun sangat individualistik.
Indonesia Harus Bersikap
Meskipun beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan Australia, telah memiliki undang-undang
mengenai transaksi elektronis di negara mereka, namun Pemerintah RI sampai saat ini belum mengambil sikap
tegas apakah transaksi elektronis perlu diatur dalam suatu undang-undang khusus atau tidak? Apakah
electronic signature dan electronic document memiliki keabsahan dan keberlakuan yang sama dengan tanda
tangan dan dokumen konvensional? Apakah semua transaksi dapat dilakukan secara on-line? Apakah
electronic signature dan electronic document dapat dijadikan bukti di pengadilan? Apakah perlu dibuat standar
aplikasi teknologi dan prosedur untuk menjamin keamanan bertransaksi secara on-line? Apakah regulasi
mengenai transaksi elektronis akan diberikan kepada para pelaku usaha untuk mengaturnya sendiri?

Transaksi elektronis mungkin akan mengurangi beban waktu dan biaya, namun bukan berarti mengurangi
resiko keamanan dan kerugian yang sangat besar apabila tidak ada kepastian hukum yang mengatur
mengenai transaksi secara on-line tersebut. Oleh sebab itu Pemerintah RI harus mengambil sikap tegas
sebelum Indonesia kembali menjadi obyek penderita dalam fora perdagangan internasional.
TEROBOSAN HUKUM DI DALAM
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Kita sudah amat sering mendengar tentang lahirnya sebuah Undang-undang, baik itu yang menyangkut lalu
lintas, ketenagakerjaan, kesehatan, Pangan, Larangan Praktek Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
dan sebagainya.
Kesemuanya itu bertujuan untuk kepentingan umum, walaupun di dalam perjalanannya banyak menemui likuliku. Demikian pula Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan piranti hukum yang melindungi
konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha tetapi justru sebaliknya akan dapat mendorong
lahirnya pelaku usaha yang tangguh dan handal sehingga mampu bersaing di pasar global yang terbentang di
hadapan kita. Untuk itu sering muncul di benak kita, apakah kelebihan UUPK jika dibandingkan dengan
Undang-undang lain?
Ada beberapa hal yang unik di dalam UUPK yang tidak terdapat dalam undang-undang lainnya sehingga para
pakar menyebutnya merupakan "terobosan hukum" . Bilamana terobosan hukum seperti ini tidak direspon oleh
masyarakat, khususnya pada penegak hukum, dikhawatirkan UUPK , terobosan hukum semacam apakah yang
ada di dalam UUPK ? marilah uraikan satu per satu :
Pertama :
Adanya " Pembuktian Terbalik"
Selama ini kita mengetahui atau mendengar, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahwa di dalam
semua undang-undang menyebutkan, bahwa barang siapa yang mendalihkan,maka ia harus membuktikannya.
Hal ini berbeda dengan UUPK dimana yang mendalihkan (menggugat) tidak mempunyai kewajiban untuk
membuktikan, bahkan sebaliknya, dimana tergugatlah yang harus membuktikan benar atau tidaknya gugatan
terhadapnya.
Contoh :
Seorang produsen (pelaku usaha) memproduksi makanan atau minuman atau lainnya. Manakala produk
tersebut dibeli kemudian dikonsumsi oleh konsumen dan ternyata konsumen jatuh sakit atau bahkan sampai di
rawat di rumah sakit. Konsumen dapat mengadukan kasusnya kepada Badan penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) atau ke Peradilan Umum. Pada penyelesaian pengaduan konsumen, untuk membuktikan
apakah kerugian konsumen (menjadi jatuh sakit) disebabkan karena mengkonsumsi makanan tersebut. Maka
harus dilakukan pemeriksaaan laboratorium terhadap sisa makanan atau terhdapa produksi yang sama .
Pemeriksaan semacam ini dilakukan guna membuktikan benar atau tidaknya sumber kesalahan yang diadukan
dan hal tersebut menjadi tanggungjawab produsen/pelaku usaha dan bukan merupakan tanggungjawab
konsumen. Pembuktian benar atau tidaknya pengaduan konsumen terhadap pelaku usaha yang menjadi
tanggungjawab produsen inilah yang disebut: "Pembuktian Terbalik".
Kedua :
Adanya gugatan kelompok atau "Class Action"
UUPK memberi ruang kepada sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
atau PEmerintah untuk melakukan gugatan kelompok untuk kepentingan konsumen. Gugatan kelompok
tersebut diajukan kepada peradilan umum.
Contoh :
YLKI pernah melakukan gugatan kelompok/class action kepada Pertamina/Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral atas kenaikan harga bahan baker gas elpiji. Tujuan gugatan yang diajukan YLKI tidak lain adalah
untuk membela kepentingan konsumen. Walaupun gugatan ini belum membawa hasil, akan tetapi upaya
tersebut telah membuktikan nuansa baru bagi masyarakat terutama penegak hokum, bahwa telah ada sebuah
undang-undang yang menampung/mengkoordinir gugatan kelompok.

Ketiga:
Membentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). UUPK mengamanatkan untuk membentuk kedua badan dimaksud. BPKN adalah sebuah badan untuk
membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. Badan ini di ibukota negara, dan bila dipandang
perlu dapat dibentuk perwakilannya di ibukota propinsi tingkat I. Adapun fungsinya adalah memberikan saran
dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Unsur - unsur BPKN terdiri dari unsur Pemerintah, Pelaku usaha, LPKSM, akadmi dan tenaga ahli dengan
jumlah anggota sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima )
orang . Sedangkan tugasnya antara lain memberikan saran dan rekomendasi kepada Pemerintah dalam
rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, melakukan penelitian dan pengkajian
terhadap perundang-undangan yang berlaku dibidang perlindugan konsumen dan mendorong
perkembangannya LPKSM.
Adapun BPSK adalah sebuah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen. Badan ini dibentuk disetiap kabupaten/kota, beranggotakan sedikitnya 3 (tiga) orang dan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang dari unsur-unsur yang terdiri dari pemerintah, pelaku usaha dan LPKSM
yang mewakili konsumen. Adapun tugas dan wewenang BPSK antar lain melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha dengan cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Selain
itu juga memberikan konsultasi perlindungan pengaduan baik tertulis atau tidak tertulis dan melakukan
penelitian dan pemeriksaaan sengketa konsumen.
Keempat:
Memberdayakan keberadaan LSM yang bergerak dibidang perlindungan konsumen. UUPK memberikan ruang
gerak bagi LSM tersebut. Setiap LSM dapat mendaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota dan bagi LSM yang
terdaftar diberikan "Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen" (TDLPK). Pendaftaran ini bukanlah
semacam bentuk perizinan akan tetapi tidak lebih dari registrasi biasa. TDLPK tersebut berlaku selama LSM
masih menjalankan kegiatannya. Bagi LSM yang berstatus cabang/perwakilan tidak diperlukan mendaftar lagi
pada pemerintah kabupaten/kota dan cukup menunjukkan foto copy / salinan TDLPK kantor pusat.
Kelima:
UUPK memberdayakan masyarakat umum dimana UUPK tersebut mengamanatkan bahwa masyarakat adalah
penyelenggara Perlindungan Konsumen. Sehingga mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan
terhadap barang yang beredar di pasar. Namun tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa proses
produksi.
Dari kelima uraian diatas, maka cukup jelas dan tidak perlu diragukan lagi bahwa UUPK merupakan terobosan
hukum dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen, Semoga masyarakat luas dapat menyikapi
dan memberikan respon positif.