Orang Asli Politik Identitas Suku Akit

Orang Asli :
Politik Identitas Suku Akit di Karimun
Oleh :
Febby Febriyandi.YS
Evawarni
Abstrak
Suku Akit merupakan salah satu suku yang masuk dalam daftar Komunitas Adat Terpencil yang dilansir
Kementerin Sosial Repoblik Indonesia. Selain di Karimun, suku ini tersebar di beberapa daerah seperti Pulau
Rupat, Selat Akar, Selat Panjang dan Pulau Rangsang. Suku Akit yang hidup menetap di pulau Karimun telah
lama mengalami marginalisasi. Mereka dipandang sebagai masyarakat yang terkebelakang, miskin, kotor dan
tidak berpendidikan. Era reformasi yang membuka keran desentralisasi telah memberikan peluang kepada
masyarakat di daerah untuk mengambil peran dalam kontestasi politik dan sumberdaya. Tidak terkecuali suku
Akit di Karimun, mereka turut memainkan politik identitas dengan melakukan legitimasi historis dan kultural,
membuat lembaga adat suku asli sebagai usaha untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah, melakukan
perkawinan dengan etnis lain, hingga merubah mata pencaharian. Semua ini dilakukan untuk merekonstruksi
identitas orang Akit dalam rangka kontestasi sumberdaya dan mempertahankan ruang hidup mereka.
Kata kunci : Suku Akit, politik identitas

Pendahuluan
Latif (2009) mengatakan saat ini politik identitas -yang mengukuhkan perbedaan
identitas kolektif etnis, agama dan bahasa- mengalami gelombang pasang. Menguatnya

politik identitas dapat dilihat dari maraknya gerakan-gerakan serba kedaerahan, keagamaan,
kesukuan, bahkan sampai gerakan cara berpakaian yang melambangkan kedaerahan dan
keagamaan tertentu. (Dalam Setyanto, Widya P dan Holomoan Pulungan, 2009). Mengapa
hal ini dapat terjadi?. Maarif mengatakan politik identitas berkaitan dengan kepentingan
anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi
arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Kemunculan politik identitas sesungguhnya
didorong oleh adanya perlakuan yang tidak adil sehingga ingin memberlakukan prinsip
persamaan dalam masyarakat luas. Jadi politik identitas bukan muncul karena alasan
identitasnya itu sendiri (Maarif, 2012).
Selain karena adanya tekanan dan diskriminasi, kemunculan politik identitas
didukung oleh adanya kebijakan otonomi daerah dimana aspirasi dan hak-hak daerah mulai
diakomodir. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan kewenangan
begitu besar kepada masyarakat di daerah untuk memilih kepala daerahnya secara langsung,
ternyata memunculkan fenomena politik identitas (Jumadi, dalam Buchari, 2014). Haboddin
mengatakan bahwa menguatnya politik identitas di ranah lokal bersamaan dengan politik
desentralisasi. Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah, gerakan politik
identitas semakin jelas wujudnya. Berbagai pengamat menduga gerakan politik identitas
1

makin banyak dipakai oleh para politisi dan penguasa tingkat lokal untuk mendapatkan kue

kekuasaan, baik di bidang politik maupun ekonomi (Haboddin, 2012). Selain itu, kebangkitan
politik identitas dapat juga dipahami sebagai mekanisme adaptasi masyarakat terhadap
tingginya tingkat ketidakpastian di zaman demokrasi, yang membuat kompetisi perebutan
sumber daya ekonomi dan politik menjadi semakin keras. Mobilisasi jaringan kekerabatan,
etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan yang keras
tersebut (Buchari, 2014).
Apa yang dikatakan Latif, Maarif, Haboddin dan Buchari, benar adanya. Pada masa
pemerintahan orde baru, pemerintah menjalankan politik sentralistik dimana identitas
kelokalan dibungkam demi memupuk identitas nasional. Namun kenyataannya, pemerintah
yang berasal dari etnis jawa tidak mampu mengenyampingkan etnisnya sendiri. Pemerintah
justru menjalankan politik identitas etnis, dimana etnis Jawa menjadi sangat dominan dan
menguasai bidang pemerintahan, politik bahkan sosial budaya. Sebaliknya, etnis yang lain
kurang mendapatkan akses dan kesempatan dalam berbagai bidang. Kondisi lebih parah jusru
dihadapi oleh komunitas adat yang oleh pemerintah orde baru dipandag sebagai suku
terasing, terkebelakang, primitif, masih animis dan merupakan beban bagi negara. Cara
pandang ini membuat negara menerbitkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk
memodernkan suku-suku terasing, diantaranya kebijakan pemaksaan memeluk salah satu
agama yang diakui pemerintah, dan memaksa diberlakukannya sistem pemerintahan desa
serta menghapus sistem pemerintahan adat. Pelabelan sebagai suku terasing telah menjadi
alat untuk menekan dan menguasai rakyat dengan berbagai program yang dilaksanakan

dengan dalih untuk pembangunan namun tidak memperhatikan kebutuhan dan hak-hak
masyarakat yang akan dibangun.
Berakhirnya pemerintahan orde baru merupakan moment penting bagi munculnya
politik identitas, khususnya bagi masyarakat adat di Indonesia, dimana pengakuan terhadap
hak-hak penduduk asli mulai meningkat. Gerakan ini semakin mengkristal dengan
terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tahun 1999. Menurut AMAN
komunitas adat adalah komunitas yang hidup bersama berdasarkan asal-usul leluhur secara
turun-temurun dalam suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan sumber
daya alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum dan lembaga adat yang
mengurusi kelangsungan hidup komunitas. Atas defenisi ini kemudian banyak terbentuk
lembaga-lembaga adat. Para aktivis pembela hak-hak masyarakat adat meyakini bahwa, jika
masyarakat adat mampu menyadari identitas mereka sebagai masyarakat adat dan tidak

2

menerima penamaan sebagai suku terasing, maka mereka akan dapat memperjuangkan hakhak mereka yang telah lama diabaikan (Bourchier, 2010).
Apa dan bagaimana suatu politik identitas?. Menurut Maarif, hingga hari ini tidak
jelas siapa yang menciptakan istilah politik identitas. Namun konsep ini dijelaskan pertama
kali oleh L.A. Kauffman yang melacak asal-usulnya pada gerakan mahasiswa anti kekerasan
di Amerika Serikat awal tahun 1960-an (Maarif, 2012). Ada berbagai defenisi politik

identitas, misalnya Buchari (2014) yang mengatakan Politik identitas adalah aliran politik
yang ingin melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan
karakteristik , seperti suku, agama, etnisitas, gender, jenis kelamin dan orientasinya. Castells
(2010) mengatakan politik identitas adalah partisipasi individual pada kehidupan sosial yang
lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang.
Cressida Heyes (2007) mengatakan politik identitas adalah tindakan politis untuk
mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kelompok karena memiliki
kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender atau
keagamaan. Menurutnya politik identitas adalah aktivitas politik dalam arti luas yang secara
teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidak adilan yang dirasakan kelompok
tertentu dalam situasi sosial tertentu. Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari
“kaum yang terpinggirkan” dalam kondisi sosial, politik dan kultural tertentu dalam
masyarakat (Dalam Harahap, 2014). Donald L Morowitz (1998) mendefinisikan politik
identitas sebagai pemberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan
dan siapa yang akan ditolak (dalam Habbodin, 2012). Berbagai defenisi diatas memberikan
pengertian kepada kita bahwa politik identitas memiliki ranah yang luas, tidak hanya
digunakan dalam bidang politik untuk memperoleh kekuasaan, tetapi juga digunakan dalam
bidang sosial dan ekonomi.
Bagaimana


identitas

tersebut

dibentuk?.

Castells

mengajukan

tiga

bentuk

pembangunan identitas. Pertama legitimizing identity, yaitu identitas yang diperkenalkan
oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan
melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial. Kedua resistance identity, yaitu sebuah
proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi tertekan dengan
adanya dominasi dan stereotipe oleh pihak lain sehingga membentuk resistensi dan
pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk

kelangsungan hidup kelompoknya. Ketiga project identity, yaitu identitas baru yang dibentuk
aktor-aktor sosial yang dapat menentukan posisi-posisi baru dalam masyarakat sekaligus
mentransformasi struktur masyarakat secara keseluruhan (Castells, 2010). Berdasarkan tiga
3

bentuk bangunan identitas tersebut, maka identitas yang dibangun oleh komunitas adat adalah
bentuk yang kedua, yaitu sebagai resistensi atas dominasi.
Kajian mengenai politik identitas di Indonesia telah banyak dilakukan. Kajian
Asmu’ie (2006) misalnya, berusaha menjelaskan integrasi politik yang dilakukan ketua adat,
pemuka masyarakat, tokoh agama dan pemerintah daerah Ketapang. Hasil kajiannya
menemukan bahwa teori sentimen primordial Geertz, yang mengatakan bahwa perbedaan
suku, budaya, bahasa dan agama merupakan sumber konflik, tidak berlaku dalam masyarakat
Ketapang karena kondisi sosial dan karakter budaya masyarakat mempengaruhi

pola

hubungan sosial antar etnis yang terjadi di Ketapang. Yekti Maunati (2004) telah melakukan
penelitian mengenai konstruksi identitas suku Dayak di Kalimantan Timur. Yekti
menyebutkan keterpurukan kehidupan ekonomi dan politik suku Dayak justru disebabkan
oleh label sebagai suku terkebelakang yang dilekatkan kepada mereka, yang pada akhirnya

mengakibatkan terampasnya hak-hak ekonomi dan politik mereka. Perkembangan sektor
pariwisata di Kalimantan Timur menurut Yekti telah menjadi pemantik kebangkitan identitas
dan kebudayaan suku Dayak yang baru. Kebangkitan identitas tersebut telah memungkinkan
orang-orang Dayak perlahan-lahan menghapus label sebagai etnis terbelakang, kotor dan liar
yang pernah dilekatkan kepada mereka.
Sementara itu, Buchari (2014) melakukan penelitian mengenai politik identitas etnis
Dayak di Kalimantan Barat. Ia menemukan bahwa politik identitas orang Dayak muncul
karena adanya marjinalisasi dan diskriminasi serta adanya momentum demokrasi dan
desentralisasi yang membuka ruang ekspresi politik etnis. dengan hasil penelitiannya,
Buchari mengajukan teori bahwa marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh suatu
etnis dalam waktu yang sangat lama membuat ikatan emosional etnis semakin erat dan kuat,
karena adanya common cause, common goal, common interest dan akhirnya memunculkan
politik identitas, yang merupakan aliran politik dengan melibatkan seseorang atau kelompok
masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti agama, etnis dan budaya.
Jika ketiga penelitian sebelumnya melihat bagaimana politik identitas “dimainkan
“dalam konteks pemilihan kepala daerah, Ansor dan Maksum melakukan penelitian untuk
melihat bagaimana suatu etnis menjalankan politik identitas diluar konteks pemilihan kepala
daerah. Keduanya melihat politik indentitas sebagai strategi melawan dominasi kekuasaan.
Muhammad Ansor melakukan penelitian mengenai politik identitas suku asli Anak Rawa di
desa Penyengat Kabupaten Siak dalam menghadapi dominasi negara dan korporasi. Ia

menemukan bahwa penguatan identitas merupakan strategi yang relatif efektif dalam
meningkatkan posisi tawar suku anak rawa dalam menghadapi korporasi. Resistensi yang
4

dilakukan suku anak rawa dalam menghadapi dominasi adalah dengan mengkombinasikan
antara perlawanan dengan sikap tunduk. Disatu sisi mereka melawan dengan membangun
aliansi dengan organisasi sosial di Pekanbaru untuk menyuarakan hak-hak mereka berkenaan
dengan penguasaan tata ruang. Dan di lain sisi mereka membuka diri terhadap peluang akses
sumber daya ekonomi yang diberikan perusahaan.
Maksum (2015) melakukan penelitian mengenai politik identitas masyarakat Tengger
dalam mempertahankan sistem budaya mereka. Maksum menemukan bahwa dalam
menghadapi tekanan Islam dan kekuasaan negara, masyarakat tengger memperkuat tradisi
dan sistem budaya mereka dengan memaknai ideologi Islam maupun Hindu sebagai sesuatu
yang hanya melekat secara simbolik dalam kehidupan masyarakat Tengger, sehingga
melahirkan suatu bentuk sinkretis yang tidak menghilangkan identitas budaya Tengger. Paper
ini mirip dengan dua hasil penelitian terakhir, namun mengambil fokus pada etnis yang
berbeda. Paper ini berusaha melihat politik identitas orang Akit di Karimun yang dimainkan
bukan untuk memperoleh kekuasaan politik, tetapi sebagai usaha mempertahankan
sumberdaya dan ruang hidup yang selama ini mereka miliki. Selain itu politik identitas ini
digunakan untuk melawan marginalisasi yang telah lama mereka alami.

Suku Akit di Karimun
Dalam daftar Komunitas Adat Terpencil yang dilansir Kementerin Sosial Repoblik
Indonesia, Suku Akit dikenal sebagai salah satu suku terasing yang bermukim di Pulau
Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Dalam pengertian umum mereka juga dianggap
sebagai bagian dari suku laut karena tempat bermukim dan kehidupan sehari-hari mereka
terkait erat dengan laut, selat dan sungai (Limbeng & Muchtadin, 2011) ; (Kamaruddin dan
Bunari, 2016). Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka menangkap ikan, udang atau
kepiting dan mencari kayu bakar. Menetapnya suku akit di Rupat merupakan perintah Sultan
Siak pada sekitar awal abad 18, pada masa itu suku akit turut mengabdi kepada sultan sebagai
angkatan laut kerajaan. Sebelum bermukim di Rupat, suku akit tinggal di dalam rakit dan
hidup berpindah-pindah di sepanjang bibir pantai di sekitar selat Malaka hingga ke
Semenanjung Malaya. Pola hidup mereka dalam rakit inilah yang menjadi asal usul
penamaan suku akit (Limben dan Muchtadin, 2011).
Selain mayoritas suku akit menetap di kecamatan Rupat Utara, suku akit tersebar juga
di beberapa daerah lainnya seperti di Selat Akar, Selat Panjang, Pulau Rangsang dan Pulau
Karimun. Kondisi kehidupan dan pola pemukiman Suku Akit di berbagai tempat tersebut
5

tidak sama persis, sehingga menuntut pola adaptasi yang berbeda-beda. Di Pulau Rupat, pola
pemukiman warga suku akit sudah berbaur dengan etnis lain di Indonesia seperti Batak,

Melayu, Bugis, dan Cina. Interaksi antara suku akit dengan enis lainnya sudah terjalin dengan
cukup baik. Akan tetapi di Pulau Karimun, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Karimun
Provinsi kepulauan Riau, suku akit menetap di Teluk Setimbul Darat serta Teluk Setimbul
Laut Kelurahan Pasir Panjang Kecamatan Meral. Pemukiman orang akit di Teluk Setimbul
Darat dan Laut ini terletak di bagian Barat Laut Pulau Karimun, yang berbatas langsung
dengan Selat Malaka, jauh dari pusat pemukiman masyarakat Karimun. Posisi geografis ini
menjadi salah satu sebab warga suku akit di Karimun relatif kurang berinteraksi dengan
masyarakat Karimun lainnya baik suku Melayu yang mayoritas, maupun etnis pendatang
seperti Minangkabau, Jawa, Sunda dan Batak. Kurangnya interaksi dengan etnis lain
memunculkan stereotipe terhadap Suku Akit. Stereotip adalah gambaran yang dimiliki
seseorang atau kelompok orang yang merupakan rekonstruksi subjektif terhadap kondisi atau
keadaan orang lain. Karena sifatnya yang subjektif, stereotip sering dianggap sebagai suatu
gambaran yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya [lihat : Lippman
(1922); Hayakawa (1950); Bogardus (1950)]. Stereotipe terhadap suku akit menyebar luas
dalam masyarakat Karimun, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya marginalisasi
terhadap suku akit di Karimun.

Foto : Peta letak Teluk
Setimbul
Sumber : Google Map


Foto : Tugu Selamat Datang di Teluk
Setimbul
Sumber : Data primer

6

Marginalisasi Suku Akit di Karimun
Jauh sebelum Indonesia merdeka, orang Akit Teluk Setimbul hidup dalam kecukupan.
Mereka bekerja sebagai nelayan, mencari kayu di hutan, membuat arang dan juga bertani.
Pertanian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan kelompok mereka sendiri,
sedangkan hasil laut, kayu dan arang dijual kepada toke Cina di Singapura atau Malaysia.
Dari para toke tersebut orang akit mendapatkan kebutuhan mereka yang lain seperti makanan
dan minuman kaleng, tembakau, pakaian hingga perkakas rumah tangga. Hubungan patronklien antara toke dengan suku akit berjalan baik hingga sekitar tahun 1960-an dimana orang
akit tidak bebas lagi memasuki wilayah Singapura atau juga Malaysia. Terbatasnya akses
orang akit ke Singapura dan Malaysia membuat orang akit harus mencari kebutuhannya dari
para pedagang lokal di Karimun. Hubungan dagang ini kurang menguntungkan bagi suku akit
karena para pedagang di Karimun hanya menerima hasil laut, sedangkan arang dan kayu
kurang laku, yang menyebabkan menurunnya pendapatan warga suku akit. Sementara, barang
kebutuhan pokok yang harus mereka beli dari pedagang lokal harganya lebih mahal dari pada
toke Cina dari Singapura. Masa-masa ini kemudian menjadi masa kehidupan yang sulit bagi
warga suku akit di Karimun. Karena rendahnya tingkat pendapatan warga suku akit, mereka
kemudian lebih dikenal sebagai masyarakat miskin dan kotor, suatu stereotip yang sangat
menyakitkan bagi orang Akit. Jamil (40 Th) salah seorang warga di Tanjung Balai Karimun
mengatakan :
“orang-orang akit di Sitimbul sekitar tahun 1980-an masih
terkebelakang. Kebanyakan laki-laki di Sitimbul hanya memakai celana dan
tidak memakai baju, kecuali jika mereka akan pergi ke Tanjung Balai atau ke
pasar. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang kurang bersih karena
memelihara babi di dalam kampung. Bahkan babi dan anjing leluasa masuk
ke dalam rumah mereka”.
Selain itu, orang Akit juga dikenal sebagai masyarakat yang kurang berpendidikan.
Bahkan, rendahnya tingkat pendidikan orang akit terus berlanjut hingga era reformasi saat ini.
Pendataan yang dilakukan Ardi dan Joyanis pada tahun 2013 mencatat hanya 2 orang anak
suku akit yang melanjutkan pendidikan hingga sekolah tinggi, dan dari 118 kepala keluarga,
seluruhnya tidak tamat Sekolah Dasar. Para kepala kelurga ini hanya mengikuti program
pemberantasan buta huruf yang diadakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang ada di
Kampung Sitimbul Laut.

7

Foto : Salah satu rumah warga suku Akit di
Setimbul Laut
Sumber : Data primer

Sebelum tahun 1973, satu-satunya jalur transportasi dari Tanjung Balai Karimun ke
Teluk Setimbul adalah melalui laut, sehingga pada waktu itu sangat jarang masyarakat di
Tanjung Balai Karimun pergi ke pemukiman orang akit. Hubungan mereka terjadi hanya
sebatas hubungan perdagangan kebutuhan pokok saja. Meksipun Karimun adalah wilayah
kepulauan, namun ternyata masyarakat dan pemerintah daerah pada waktu itu berpandangan
lokasi pemukiman suku akit tersebut merupakan lokasi yang jauh, karena tidak adanya akses
jalan darat. Dengan pandangan seperti itu, masyarakat suku akit menjadi kurang diperhatikan
sehingga kurang mendapat “jatah” pembangunan infrastruktur ekonomi, pendidikan dan
kesehatan. Pembangunan jalan darat ke wilayah Teluk Setimbul baru dilakukan sekitar
Tahun 1973 dengan beroperasinya PT. Karimun Granit. Namun pembukaan perusahaan ini
berdampak buruk terhadap mata pencaharian suku akit sebagai nelayan. Proses pengambilan
granit dengan cara pengeboman dinding tebing yang dilakukan oleh perusahaan membuat
menurunnya jumlah ikan di sekitar perairan Teluk Setimbul. Selain itu, getaran yang
disebabkan proses pengeboman menyebabkan kerusakan sebagian rumah warga yang sudah
terbuat dari beton. Atas gangguan tersebut suku akit melakukan perlawanan berupa
demonstrasi dan menuntut perusahaan memberikan ganti rugi. Salah seorang Ketua Rukun
Tetangga di Teluk Setimbul mengatakan bahwa perusahan belum memberikan kompensasi
atas kerusakan bangunan rumah mereka. Sebaliknya, aksi demonstrasi yang dilakukan
membuat warga suku akit mendapat stereotip sebagai suku yang gemar melakukan protes dan
kekerasan.
Selain tekanan ekonomi, suku akit di Karimun juga mendapatkan tekanan kultural.
Hal ini terjadi saat kebijakan pemerintah orde baru menetapkan bahwa agama harus masuk
kedalam kartu identitas penduduk. Orang suku akit pada waktu itu memeluk agama warisan
8

nenek moyang, yang merupakan sikretisme antara ajaran nenek moyang dan Konghucu.
Karena memeluk agama nenek moyang, pemerintah dan juga masyarakat Karimun
menganggap suku akit sebagai masyarakat yang belum beragama sehingga perlu diajarkan
untuk beragama. Sekitar tahun 1980-an mulai dibangun gereja oleh persatuan Gereja
Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB). Beberapa tahun setelah itu dibangun pula dua
buah gereja. Satu Gereja Metodhist Indonesia dengan sumber dana dari jemaat Kristen
Singapura dan satu lagi gereja yang dibangun jemaat Kristen dari Korea. Kehadiran gereja ini
tidak ditentang oleh warga suku akit, karena sering memberikan bantuan bahan makanan dan
pendidikan bagi anak-anak mereka. Namun, anak-anak mereka tidak lagi memeluk agama
tradisi nenek moyang karena telah menjadi kristiani. Untuk kepentingan pendataan penduduk,
warga suku akit memilih mencatatkan diri sebagai pemeluk Budha, karena pada masa itu
Konghucu belum diakui oleh pemerintah. Efeknya mereka tidak dapat membuat rumah
ibadah dan hanya membuat tempat memuja roh leluhur di dalam rumah masing-masing yang
mereka sebut “Lok” atau Pekong.

Foto : Lok atau Pekong di
rumah warga
Sumber : Data primer

Rekonstruksi Identitas : Resistensi Suku Akit di Karimun
Untuk menghadapi marginalisasi dan dominasi dalam kehidupan mereka, orang Akit
di Karimun melakukan perlawanan dengan merekonstruksi identitas mereka. Mereka
menekan atau berupaya menggeser penyebutan mereka sebagai suku Akit dengan
menyatakan diri sebagai orang “asli” Pulau Karimun. Rekonstruksi identitas yang dilakukan
orang Akit ini berbeda dengan politik identitas yang dimainkan dalam arena perebutan
kekuasaan sebagaimana yang disampaikan oleh Kemala Chandakirana (1989). Ia mengatakan
bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik
9

dengan sebutan kami “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka “orang
pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Singkatnya, politik identitas sekedar untuk
dijadikan alat manipulasi guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Sedangkan
dalam kasus orang Akit di Karimun, politik identitas dijalankan untuk menjaga dan
mengamankan sumber daya serta ruang hidup mereka, baik dari korporasi maupun dari
pemerintah. Saat kunjungan pertama kami ke perkampungan orang Akit di Karimun, sebagai
orang asing kami diterima dengan tatapan dan perasaan curiga. Mereka mengira kami utusan
dari pihak-pihak tertentu yang ditugaskan untuk membebaskan lahan. Sikap kecurigaan
seperti itu menunjukkan kekhawatiran mereka atas kebijakan relokasi atau “pamaksaan” alih
fungsi lahan mereka menjadi pabrik atau tempat wisata, yang pada akhirnya mengancam
sumber daya serta ruang hidup mereka.
Untuk memuluskan rekonstruksi identitas sebagai orang asli Karimun, orang Akit
melakukan berbagai usaha diantaranya : melakukan legitimasi historis dan kultural, membuat
lembaga suku asli sebagai usaha untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah, melakukan
perkawinan dengan etnis lain, hingga merubah mata pencaharian.
1. Legitimasi Historis dan Kultural
Secara Historis, klaim sebagai orang asli Karimun didasarkan pada cerita sejarah
nenek moyang mereka yang telah berkelana di laut Karimun sejak masa Sriwijaya. Dimana
pada masa itu Karimun menjadi salah satu pos keamanan laut kerajaan. Hal ini dikuatkan
dengan bukti adanya prasasti beraksara nagari dari abad ke IX yang sekarang dikenal sebagai
prasasti pasir panjang (Lihat : Suwardi, 1991). Klaim suku Akit atas keberadaan nenek
moyang mereka di Karimun pada masa Sriwijaya didasarkan kepada keyakinan turuntemurun bahwa nenek moyang mereka merupakan keturunan orang cina Tiou Cu (cina Tio
Tsjoe) yang melakukan perkawinan dengan orang laut yang ada di wilayah Kepulauan Riau
pada masa Sriwijaya. Selain itu, hingga saat ini mereka masih melaksanakan tradisi berziarah
dan berdoa ke situs prasasti pasir panjang pada tanggal 15 setiap bulan mengikuti sistem
penanggalan Tionghoa. Selain sebagai ibadah, ziarah tersebut juga menegaskan adanya
hubungan antara keberadaan nenek moyang mereka dengan prasasti pasir panjang tersebut.
Secara kultural, klaim sebagai orang asli dilakukan dengan merevitalisasi agama
lokal. Saat ini orang Akit di Karimun telah memeluk berbagai agama. Sebagian besar
generasi tua masih memeluk agama lokal yaitu perpaduan ajaran Konghucu dengan ajaran
nenek moyang mereka. Meski memeluk agama asli, namun mereka terdaftar sebagai pemeluk
10

Budha atau Konghucu. Dalam ajaran agama leluhur orang Akit di karimun, setiap orang
diajarkan untuk percaya dan berdoa kepada tiga sosok kekuatan supernatural yang dikenal
dengan sebutan Panglima Hitam, Panglima Merah, dan Panglima Kuning. Panglima Hitam
adalah yang paling kuat dan menjaga alam darat. Panglima Kuning menjaga laut dan
Panglima Merah menjaga langit dan bertindak sebagai saksi kehidupan. Selain melakukan
ritual permohonan doa kepada tiga sosok kekuatan supernatural tersebut, warga suku akit
juga melakukan pemujaan terhadap roh leluhur. Semua pemujaan tersebut dilakukan pada
waktu pagi dan sore hari, dengan membakar hio sambil berdoa di dalam hati meminta
perlindungan dan kemudahan dalam manjalani kehidupan di dunia.
Sembahyang atau pemujaan yang penting dalam ajaran agama leluhur orang Akit
adalah ritual bulanan yang dilakukan setiap tanggal 15 dalam penanggalan Cina. Ritual ini
dikenal dengan nama sembahyang lima belas hari bulan. Ritual ini dilakukan di suatu rumah
ibadah yang disebut Rumah Tamu1, dan dipimpin oleh seorang bomo atau dukun. Untuk
pelaksanaan ritual ini dibutuhkan hidangan berupa Kepala Jamu Bendera Tiga, 2 talam
ganding dan makanan lainya. Kepala Jamu Bendera Tiga adalah makanan yang terdiri dari
pulut merah (wajik), pulut kuning, 3 buah telur rebus dan 3 buah bendera warna kuning,
merah dan hitam. Pulut merah (wajik) diletakkan secara mendatar di atas talam, mengikuti
bentuk talam (bulat pipih). Di atasnya diletakkan pulut kuning dengan bentuk tumpeng
(kerucut). Kemudian di puncak pulut kuning disusun tiga buah telur rebus yang sudah ditusuk
dengan bendera kuning, merah dan hitam. Dua Talam Gandeng adalah 2 buah talam di
samping Kepala Jamu Bendera Tiga (sebagai kawan) yang berisi 1 piring pulut merah, 1
piring pulut kuning, bertih, pisang dan 1 butir telur. Sesudah prosesi sembahyang di Rumah
Tamu , 2 talam ini dibawa ke kolah (kulah) Panglima Batu Berendam yang terletak tidak
jauh dari Rumah Tamu.
Foto : Rumah Tamu
Sumber : Data
primer

Kepala Jamu dibuat oleh orang yang ditunjuk pemimpin ritual. Para peserta lain yang
hadir juga diharuskan membawa hidangan berupa kue-kue yang jenis dan jumlahnya tidak
1

Sebagian warga suku akit juga menyebut sebagai Rumah Salah Sangka.

11

ditentukan. Seorang informan bernama Ati (63 Th) mengatakan ritual ini telah diwariskan
secara turun-temurun, namun ia tidak mengetahui bagaimana sejarah mula ritual tersebut.
Pemimpin ritual terakhir yang masih mereka ingat bernama pak Koyan. Beliau adalah tokoh
karismatik kebanggan orang Akit. Setelah pak Koyan meninggal, pelaksanaan ritual dipimpin
oleh keponakannya yang bernama Engsun. Salah seorang muridnya yang bernama Likun,
kemudian juga mendirikan sebuah Rumah Tamu lain dan melaksanakan serta memimpin
pelaksanaan upacara lima belas hari bulan. Menurut Engsun, upacara yang ia laksanakan
berbeda dengan ritual yang dilaksanakan Likun dan pengikutnya. Selain ritual bulanan
tersebut, orang Akit juga merayakan Imlek dan cap go meh. Bedanya, kedua ritual tersebut
tidak dilaksanakan di Rumah Tamu, tetapi di situs prasasti pasir panjang.

Foto : Foto Pak Koyan
Sumber : Data primer

Foto : Rumah Tamu buatan
Likun
Sumber : Data primer

Generasi muda orang Akit di Karimun, terutama yang lahir periode 1980-an dan
seterusnya, telah banyak yang memeluk agama Budha atau Kristen. Mereka memilih Budha
karena ajarannya dianggap tidak melarang orang Akit memohon perlindungan kepada ketiga
Panglima dan roh para leluhur. Generasi tua orang Akit kurang menyukai anak-anak mereka
memeluk agama Kristen atau Islam karena ajarannya melarang anak mereka memuja roh
leluhur. Ajaran Islam dan Kristen dinilai memutus hubungan antara seorang manusia dengan
roh leluhurnya. Generasi muda orang Akit yang menjadi pemeluk Kristen mengatakan bahwa
mereka tidak memiliki alasan khusus memeluk ajaran Kristen. Perkenalan mereka dengan
gereja berawal dari sekolah mingguan yang diadakan oleh pengurus gereja untuk
mengajarakan anak-anak orang Akit belajar membaca dan berhitung. Anak-anak ini
kemudian menjadi pemeluk Kristen. Ada pula sedikit orang Akit yang memeluk Islam.
Mereka yang memilih Islam umumnya dilatarbelakangi oleh alasan perkawinan. Orang Akit
yang telah memeluk Islam umumnya tinggal menetap di luar Kampung Teluk Setimbul. Ada
12

yang pindah ke kampung yang berbatasan dengan Teluk Sitimbul, seperti Teluk Senang dan
Sepedas yang warganya mayoritas beragama Islam, dan ada pula yang pindah ke daerah lain
di Karimun. Saat kunjungan kami ke Teluk Setimbul, hanya satu orang yang telah memeluk
Islam dan masih tinggal di Teluk Setimbul.
Meskipun orang Akit di Karimun telah memeluk berbagai agama resmi di Indonesia,
namun ada kesadaran dalam generasi tua orang Akit untuk melestarikan agama lokal (agama
leluhur mereka2) sebagai identitas orang Akit. Mereka menyadari bahwa keberadaan agama
lokal dapat dijadikan sebagai salah satu bukti atas klaim keaslian mereka. Kesadaran ini
kemudian mereka tularkan kepada generasi muda, sehingga meskipun telah memeluk agama
lain, mereka tetap mengikuti berbagai ritual peribadatan agama leluhur dan memaknainya
sebagai suatu tradisi yang menegaskan identitas mereka sebagai orang Asli Karimun.

Foto : Situs Prasasti Pasir
Panjang
Sumber : Data Primer

2. Mendirikan Lembaga Adat Suku Asli Karimun (LASAK)
Sejak era otonomi daerah, isu-isu mengenai putera daerah mulai mengemuka dan
bahkan menjadi konflik dalam perebutan hak atas tanah, tidak terkecuali di Karimun. Melihat
kondisi ini beberapa orang warga suku Akit di Karimun berinisiatif membuat suatu lembaga
yang mewadahi suku Akit dan sekaligus melegitimasi keberadaan mereka sebagai orang Asli.
Pembentukan LASAK diawali dengan pertemuan pada tanggal 9 april 2012 di Lembah Murni
Kelurahan Pasir Panjang, yang dihadiri oleh tokoh adat dan tokoh pemuda suku asli karimun.
2

Agama lokal ini mereka sebut dengan berbagai nama. Ada yang menyebut agama Asli
namun ada pula yang menyebutkan agama Islam Kalimun. Menurut penuturan informan
bernama Lisun, penyebutan Islam Kalimun dikarenakan ada ritual agama leluhur mereka
yang sama dengan ritual dalam ajaran Islam yaitu, perayaan malam tujuh likur,
pelaksanaan kenduri 2 hari sebelum hari raya Idul Fitri dan turut merayakan hari raya
Idul Fitri. Kami menduga, ajaran islam telah masuk ke dalam ajaran agama lokal orang
Akit. Pencampuran ini terjadi karena sejak masa kejayaan kerajaan Islam di Wilayah
Semenanjung Malaya orang akit telah banyak berinteraksi dengan orang-orang Islam.

13

Musyawarah tersebut menghasilkan kesepatakan untuk membentuk kepengurusan Lembaga
Adat Suku Asli Karimun (LASAK) pada tanggal 9 April 2012, dengan ketua Kim A,
sekretaris Firmansyah, bendahara A Bun Tjun. Pada tanggal 8 september 2014 pengurus yang
telah dibentuk mendaftarkan organisasi mereka ke Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Pemerintahan Desa dan Kesatuan Bangsa (BPMPD & KESBANG) Kabupaten Karimun.
Pada tanggal 24 September 2014, BPMPD Kab Karimun menerbitkan surat keterangan
bahwa LASAK telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan. Dengan disyahkannya
LASAK, orang Akit mulai menggeser penyebutan mereka sebagai orang Akit, dan lebih
senang jika disebut orang Asli Karimun. LASAK kemudian menjadi legitimasi hukum atas
klaim mereka sebagai orang Asli Karimun. LASAK kemudian juga dijadikan sebagai alat
untuk melawan dominasi perusahaan yang terdapat disekitar Kelurahan Pasir Panjang.
LASAK kemudian menjadi alat untuk menuntut hak agar diterima bekerja di berbagai
perusahaan yang ada di wilayah Pasir Panjang, meskipun hanya bekerja sebagai buruh lepas
harian.
Foto : Papan nama organisasi
LASAK
Sumber : Data primer

3. Kawin Dengan Etnis Lain
Dalam tradisi perkawinan orang akit di Karimun saat ini, tidak ada pantangan untuk
kawin dengan etnis manapun, dengan kata lain mereka tidak terikat pada sistem perkawinan
endogami. Hal ini sepertinya disebabkan oleh kenyataan nenek moyang mereka sendiri yang
berasal dari dua etnis yang berbeda. Selain itu, kehidupan dalam lingkungan laut dan pantai
yang terbuka telah memberikan pengalaman berinteraksi dengan berbagai orang dari beragam
suku bangsa, sehingga perkawinan dengan suku lain bukanlah sesuatu hal yang aneh bagi
mereka. Pak Jantan (60 Th) misalnya, bukanlah keturunan “murni” orang akit. Ibunya adalah
orang suku akit sedangkan bapaknya adalah orang Bugis. Pak Ati (63) tahun adalah
keturunan dari seorang perempuat suku akit yang kawin dengan lelaki perantau dari Cina.
Perkawinan dengan etnis lain ini terus berlangsung pada generasi muda saat ini. Kim A (50
14

Th) misalnya, yg menikahi perempuan dari etnis Tionghoa yang secara turun temurun telah
tinggal di Tanjung Balai Karimun. Atau Firmansyah yang pindah memeluk Islam karena
kawin dengan seorang perempuan muslim.
Tradisi perkawinan yang tidak Endogami ini juga merupakan suatu strategi
mempertahankan eksistensi identitas orang akit. Meskipun kawin dengan etnis lain dan
bahkan berpindah agama, ikatan dengan kerabat asal mereka tidak putus. Sebaliknya, mereka
tetap mengidentifikasi diri sebagai bagian dari orang akit Teluk Sitimbul Karimun.
Perkawinan dengan etnis yang berbeda telah mempermudah orang akit untuk berinteraksi
lebih intens dalam lingkungan masyarakat Karimun yang lebih luas, sehingga perlahan
menghapus stereotipe yang buruk terhadap orang akit. Perkawinan dengan etnis yang berbeda
juga menumbuhkan pengakuan atas eksistensi orang akit di Teluk Setimbul sebagai orang asli
Karimun.
4. Perubahan Orientasi Mata Pencaharian
Secara tradisional orang akit bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Akan
tetapi saat ini pekerjaan sebagai nelayan dan petani tidak lagi menjadi pekerjaan yang
diminati. Generasi muda orang akit lebih berorientasi bekerja sebagai buruh di pabrik dari
pada menjadi nelayan. Jika terpaksa, mereka bahkan menjalani dua pekerjaan sekaligus.
Seperti misalnya keluarga Ibu Asih dan Pak Ati. Anak laki-laki bu Asih bekerja pada salah
satu perusahaan di Pasir Panjang. Sore hari setelah pulang dari pabrik ia pun ikut membantu
ayahnya melaut. Bu Asih menilai pekerjaan sebagai nelayan saat ini semakin tidak menentu.
Aktivitas beberapa perusahaan yang ada disekitar wilayah Pasir Panjang telah mengganggu
area tangkap mereka. Sekitar 20 tahun yang lalu mereka mendapatkan tangkapan yang cukup
banyak di wilayah sekitar Pulau Tokong Hiu yang tidak jauh dari Teluk Setimbul. Namun
sekarang area tangkap mereka menjadi semakin jauh. Ditambah lagi dengan pembangunan
perusahaan Oil Tanking di wilayah Pasir Panjang yang direncanakan mulai beroperasi pada
tahun 2017. Kapal perusahaan tersebut nantinya akan melewati area tangkap para nelayan
sehingga dikhawatirkan merusak jaring milik nelayan. Proyeksi semakin sulitnya pekerjaan
sebagai nelayan membuat generasi muda lebih tertarik bekerja di pabrik dengan penghasilan
tetap setiap bulannya.
Perubahan orientasi pekerjaan ini sejatinya tidak semata-mata dilatari oleh motiv
mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Lebih dari itu, bekerja sebagai karyawan di
berbagai tempat di Karimun telah memperbesar peluang orang akit untuk berinteraksi dengan
15

masyarakat lain. Sehingga kesempatan untuk menegaskan identitas dan eksistensi mereka
menjadi semakin besar. Perubahan mata pencaharian ini membuat mereka tidak lagi dikenal
sebagai nelayan atau petani miskin dari ujung pulau yang terkebelakang. Perubahan mata
pencaharian telah mengeluarkan mereka dari stereotipe sebagai masyarakat tertinggal
menjadi bagian dari masyarakat Industri, masyarakat pasar sebagaimana halnya dengan etnis
lain di Kabupaten Karimun. Dan sekarang, mereka mulai diakui sebagai orang asli.
Penutup
Rekonstruksi identitas yang dilakukan orang akit di Teluk Setimbul Karimun,
perlahan berhasil menghapus stereotipe buruk yang dilekatkan kepada mereka. Politik
identitas yang dimainkan orang akit sejauh ini berhasil mempertahankan ruang hidup mereka
dan bahkan memperluas kesempatan bagi orang akit untuk ikut serta dalam perebutan
sumberdaya ekonomi yang tersedia, seperti dapat bekerja di berbagai perusahaan, atau
menjadi pedagang dan pengusaha. Menurut warga suku akit di Teluk Setimbul, interaksi suku
akit di Setimbul saat ini dengan warga etnis lain di Karimun sudah lebih baik jika
dibandingkan dengan masa Tahun 1980-an. Saat ini mereka telah banyak terlibat dalam
berbagai kegiatan resmi pemerintahan seperti kegiatan pawai budaya, dan pertandingan olah
raga antar kelurahan. Mereka juga telah mendapatkan berbagai bantuan di bidang perikanan
maupun pertanian, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.

Referensi
Ansor Muhammad, ____. “Melawan Dalam Ketundukan : Politik Identitas Orang Asli di
Penyengat Kabupaten Siak Menghadapi Dominasi Negara dan Korporasi”.
Sumber : scaleup.or.id. diakses tanggal 17 April 2017.
Ardi, Ridman Hari dan Joyanis, 2013. Profil Suku Akit di Teluk Setimbul Kecamatan Meral
Kabupaten
Karimun
Kepulauan
Riau.
repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/3517/
JURNAL.pdf?
diakses 16 April 2016.
Asmu’ie, Achyar. 2006. Integrasi Politik di Kalimantan Barat : Studi Kasus Kabupaten
Ketapang, Disertasi. tidak diterbitkan.
Bogardus, E. S, 1950, “Stereotypes versus Sociotypes” dalam Sociol and Soc. Res, hlm, 34,
286-291.
Bourchier, David. 2010. “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan
masa kini”. Dalam : Adat Dalam Politik Indonesia. Jamie S. Davidson, dkk (ed).
Yayasan Pustaka Obor Indonesia : Jakarta.
Buchari, Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
16

Castells, Manuel. 2010. The Power of Identity. Oxford. UK : Blackwell Publishing Ltd.
Chandakirana,Kemala. 1989. “Geertz dan Masalah Kesukuan”. Jakarta : Prisma No. 2 /1989.
Haboddin, Muhtar. 2012. “Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal”. Jurnal Studi
Pemerintahan Vol 5 No. 1 Februari 2012.
Harahap, Fitri Ramdhani. 2014. “Politik Identitas Berbasis Agama”. Makalah dalam
Konferensi Nasional Sosiologi III, Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia,
Jogjakarta, 20-22 Mei 2014.
Maarif, Ahmad Syafii. 2012. Politik Idenitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (ed). Yayasan
Abad Demokrasi : Jakarta.
Hayakawa, S.I, 1950, “Recognizing Stereotypes as Substitutes for Thought”. Etc.
Rev.Gen.Semantic. hlm. 7, 208-210.
Kamaruddin dan Bunari, 2012. “Peranan Pendidikan Dalam Mengembangkan Sumberdaya
Manusia Suku Akit di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten
Bengkalis”. Jurnal Ilmiah Cisoc volume III No. 01 Juni 2016.
Limbeng Julianus dan Muchtadin, 2011, Suku Akit Di Pulau Rupat, Direktorat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta.
Lippmann,W, 1922, Public Opinion, Mcmillan : New York.
Maksum, Ali. 2015. “Politik Identitas Masyarakat Tengger Dalam Mempertahankan Sistem
Kebudayaan Dari Hegemoni Islam dan Kekuasaan”. Jurnal el Harakah Vol.17
No.1 Tahun 2015.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta :
LkiS.
Setyanto, Widya P dan Holomoan Pulungan. 2009. Politik Identitas : Agama, Etnisitas dan
Ruang dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga :
Percik.
Suwardi.MS, 1991. Budaya Melayu Dalam Perjalanannya Menuju Masa Depan, Yayasan
Penerbit MSI-Riau : Pekanbaru.

17

Dokumen yang terkait

APRESIASI AKTIVIS POLITIK TERAHADAP BUPATI JOMBANG SEBAGAI KOMUNIKATOR POLITIK (Studi pada Aktivis Politik Pendengar Dialog Interaktif Warung Pojok Kebonrojo di Desa Bareng)

0 22 45

Analisis Pengaruh Suku Bunga Kredit, Non Performing Loan Return On Asset dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar tehadap Penyaluran Kredit Modal Kerja Bank Persero (Bank Persero periode 2007-2012)

1 30 151

Pola Komunikasi Orang Tua Dan Anak Di Kelurahan Malaka Jaya Jakarta Timur

1 22 116

Pola Komunikasi Guru Dan Orang Tua Dalam Pembinaan Karakter Murid Di Taman Kanak-Kanak El-Fikri Yayasan Kahfi Tangerang Selatan

2 31 93

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Strategi Public Relations Politik Pks Dalam Reformulasi Citra Partai Jelang Pemilu 2014

11 91 166

Analisis Pengaruh Lnflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga Sbi, Dan Harga Emas Terhadap Ting Kat Pengembalian (Return) Saham Sektor Industri Barang Konsumsi Pada Bei

14 85 113

transformasi Identitas Diri Mustamik dalam Majelis Taklim Asy-Syifa Wal mahmuudiyyah (Studi Fenomenologi Transformasi Identitas Diri Mustamik Dalam majelis Taklim Asy-Syifaa Wal Mahmuudiyyah di Kota Bandung)

1 39 77

Pengaruh Persepsi Kemudahan dan Kepuasan Wajib Pajak Terhadap Penggunaan E Filling (Survei Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Di Kpp Pratama Soreang)

12 68 1

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22