8. Tiga Tesis tentang Posmodernisme

Tiga Tesis tentang Posmodernisme
Martin Suryajaya
Kita akan mengajukan tiga tesis tentang posmodernisme:
1. Posmodernisme adalah tendensi imanen dari modernisme
2. Posmodernisme bermula dari common sense dan selamanya berada di
sana
3. Posmodernisme, pada dasarnya, bersifat religius
Ketiga tesis inilah yang akan kita elaborasi dan problematisir dalam kesempatan
diskusi kita kali ini, untuk kemudian mensketsakan kemungkinan yang tersisa
bagi kita sesudah posmodernisme.
Posmodernisme adalah tendensi imanen dari modernisme. Dikatakan
bahwa ciri distingsif posmodernisme adalah primasi pada fiksi, atau konsep
kebenaran sebagai sejenis fiksi. Namun orang modern juga sadar bahwa
modernitas bertumpu pada sejenis fiksi, yakni mitos tentang kehidupan seharihari. Seperti dikatakan Balzac, mitos modern lebih kuat ketimbang mitos zaman
antik sejauh mitos ini muncul sebagai imajinasi sehari-hari (dari seorang borjuis,
Raja maupun para partisan komune) ketimbang sebagai legenda ajaib tentang para
dewa.1 Mitos-mitos ini tampil memberi arah baru pada umat manusia, yaitu
sebagai Ide Besar yang mereka yakini dan sadari bahwa sesungguhnya Ide ini tak
lain ketimbang fiksi. Itulah sebabnya, bagi Baudelaire, modernitas mesti dipahami
sebagai ikhwal yang selintas, kontingen, dan bukannya sebagai ikhwal yang
abadi.2 Dalam kaitan dengan ini, kita dapat melihat pula apa yang dikatakan

Walter Benjamin tentang arsitektur arkade di Paris. Pada masa kejayaan
Kekaisaran Kedua (Second Empire), Kaisar Louis Philippe memberikan
wewenang pada Georges Eugène Haussmann untuk mengatur ulang tata kota
Paris. Haussmann inilah yang bertanggung jawab bagi menjamurnya arkadearkade di Paris, yaitu koridor raksasa beratapkan kaca dan pelat baja di mana di
sepanjang jalan itu berderetan segala jenis toko barang mewah. Benjamin melihat
arkade pada jantung modernitas Paris ini sebagai “residu dunia mimpi” 3, yakni
mimpi tentang transubstansiasi segala hal-ikhwal menjadi benda, menjadi
komoditi.4 Di sepanjang lorong arkade di mana setiap ikhwal adalah komoditi,
Benjamin menemukan bahwa salah satu ciri mendasar dari modernisme itu sendiri
tak lain adalah mimpi, mitos, dengan kata lain, fiksi.
Dikatakan pula bahwa ciri distingtif posmodernisme adalah penekanan
pada fakultas di luar rasio, entah itu perasaan, ketaksadaraan maupun imajinasi
tentang yang-sublim. Demikianlah Lyotard menekankan pengalaman akan yang1

Lih. David Harvey, Paris, Capital of Modernity (New York: Routledge), 2003, hlm. 23.
Ibid., hlm. 16.
3
Walter Benjamin, The Arcades Project diterjemahkan oleh Howard Eiland dan Kevin
McLaughlin (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press), 2004, hlm. 898
4

Ibid., 944.
2

54

sublim yang meletak di batas-batas rasionalitas dan para anarkhis kontemporer
berbicara mengenai pembebasan hasrat/ketaksadaran secara total. Namun adakah
ini suatu hal yang sama sekali baru? Kita tahu bahwa para pemikir kontemporer
dari Prancis yang memungkinkan lahirnya posmodernisme, seperti Bataille,
Klossowski dan Lacan, pada mulanya merupakan figur yang dekat dengan wacana
Surealisme. Dan Surealisme sendiri, sebagai aliran lukisan dan gaya pemikiran
yang menentang hegemoni rasionalitas, walaupun baru digagas oleh Tristan Tzara
di tahun 1918 dalam Manifesto Dada-nya, sebetulnya memiliki sejarah yang
merentang hingga ke awal era Modern, yakni dalam lukisan-lukisan Hieronymus
Bosch dan Giuseppe Archimboldo pada masa Renaissance.5 Penekanan pada
yang-sublim juga bukanlah sesuatu yang baru pada posmodernisme. Jauh
sebelumnya, Kant telah mengelaborasi persoalan ini panjang lebar dalam Kritik
Ketiga-nya—teks yang secara eksplisit menjadi sumber Lyotard. Bagaimana
dengan primasi pada peran perasaan (feeling) yang dipandang lebih lincah
ketimbang rasio? Romantisisme dari abad ke-18 sudah mengekplorasinya. Dan

jauh sebelumnya, pada permulaan masa Modern, Miguel de Cervantes dalam
novel seminalnya, Don Quixotte. Perasaan, ketaksadaran dan imajinasi adalah
kategori dari modernitas itu sendiri.
Posmodernisme, dengan demikian, tidak mengkonstitusikan secara efektif
suatu patahan radikal (radical break) dengan modernisme. Ia hanyalah aksentuasi
dari kelanjutan terhadap modernisme. Artinya, ada tendensi posmodernis di dalam
jantung modernitas itu sendiri. Ia eksis sebagai tendensi imanen dari modernisme.
Apa artinya? Dalam Imanensi dan Transendensi, saya menulis bahwa
posmodernisme adalah fenomena kultural.6 Posmodernisme adalah sebuah gejala
kultural yang timbul di zaman modern. Ia tumbuh, pertama-tama, sebagai
pesimisme terhadap ideal-ideal modernitas sendiri. Dalam arti inilah kita dapat
memahami mengapa Nietzsche berbicara tentang “nihilisme pasif” sebagai
ekspresi subyektif pertama di era kematian Tuhan—sejauh Nietzsche tidak
membedakan ide, atau Idea, dari Tuhan. Pesimisme posmodern ini, walau
bagaimanapun, tidak pernah membuktikan kegagalan teoretik ide-ide modernitas.
Ia hanyalah simtom atau gejala dari daya-daya yang lemah, yang lebih memilih
untuk menyerah pada kefanaan hal-ikhwal ketimbang mencari, di dalam kefanaan
itu, suatu inti pejal yang tak lekang oleh waktu—sesuatu yang Platon kenali
sebagai Idea. Modernitas, sedari mula, berpegang pada Idea ini: bahwa ada
kepastian di tengah dunia yang lalu-lalang, bahwa ada kebenaran yang berbeda

secara kualitatif dari opini kebanyakan orang, bahwa ada prinsip yang mesti
dipegang teguh dalam laku kehidupan.
Lantas bagaimana posmodernisme bisa berakhir pada kesimpulan
penumbangan segala “Narasi Besar” ini? Ada sebuah kekeliruan yang sudah
terjadi sejak dari sumber posmodernisme, yakni dalam filsafat Nietzsche.
Modernisme tumbuh dengan semangat yang khas, yakni sekularisasi. Semangat
dasar inilah yang menjadi alasan mengapa dikotomi filsafat x teologi adalah
dikotomi modern. Semangat dasar ini jugalah yang membimbing proyek kritik
5

Bdk. Sarane Alexandrian, Surrealist Art diterjemahkan oleh Gordon Clough (London: Thames
and Hudson), 1991, hlm. 10-14.
6
Lih. Martin Suryajaya, Imanensi dan Transendensi (Jakarta: AksiSepihak), 2009, hlm. 127.

55

atas metafisika yang telah bermula sejak Kant. Apa yang implisit di sini ialah
gestur distansiasi terhadap agama berikut dengan kategori sentralnya, Tuhan.
Inilah yang termaterialisasikan secara konkret dalam Revolusi Prancis 1789—

konfrontasi terhadap kaum klerus atau rohaniawan karena mereka ini menjadi
“golongan kedua” (deuxième etat) yang mendukung golongan pertama atau Raja
dan kaum bangsawan menindas golongan ketiga atau rakyat—berikut juga zaman
Pencerahan yang melingkupinya—pembangunan patung Dewi Rasio di atas
puing-puing gereja dan pengusiran pater-pater Jesuit dari Eropa. Semangat sekuler
ini sudah menampak di fajar zaman modern, yakni dalam adegan dramatis
pemenggalan raja Charles oleh Oliver Cromwell. Pada momen itulah rakyat
menyaksikan bahwa apa yang tertumpah dari kepala terpenggal Sang Raja tak lain
adalah darah manusia biasa, bukan darah figur semi-supranatural, bukan darah
sesosok imago Dei yang konon ditakdirkan oleh Tuhan untuk memimpin Britania
Raya. Modernisme, dengan demikian, telah sedari mula bergerak dalam semangat
penolakan atas transendensi dan afirmasi atas imanensi. Modernitas selalu
dilandasi oleh Idea imanensi. Dan persis inilah locus kekeliruan Nietzsche. Ia
tidak pernah mampu membedakan Tuhan dari Idea. Baginya, segala yang
memberikan pegangan untuk orientasi hidup, entah apapun nama bagi pegangan
itu (Idea kesetaraan, emansipasi, militansi), adalah sama saja dengan Tuhan. Oleh
karena itu, tatkala Nietzsche memproklamirkan kematian Tuhan dalam Also
Sprach Zarathoustra, Idea-Idea Besar ini mesti ikut mati bersama Tuhan. Dan
dalam penyamaan antara Tuhan dan Idea inilah posmodernisme berangkat. Jadi,
di satu sisi, posmodernisme seolah meneruskan proyek sekularisasi modern

namun, di sisi lain, ia ikut membuang pula Narasi atau Idea Besar yang telah
mereka persamakan terlebih dahulu dengan Tuhan.
Lantas apa yang mesti kita jadikan pijakan jika Idea dihapuskan? Tak
pelak lagi: common sense. Dan inilah tesis kedua kita: posmodernisme bermula
dari common sense dan selamanya berada di sana. Kita telah sering mendengar
tentang bagaimana posmodernisme memprimasikan partikularitas di atas
universalitas, kesementaraan di atas keabadian, kelabilan di atas kestabilan,
fragmentasi di atas totalisasi. Begitu juga dengan pengertian bahwa ide tentang
totalitas, keabadian dan universalitas itu totaliter dan bahwa apa yang mesti kita
upayakan hanyalah afirmasi atas kefanaan, kerapuhan manusia. Pengertianpengertian macam ini sebetulnya merupakan pengertian yang “alamiah”. Tanpa
berpikir berat-berat pun kita tahu bahwa di dunia ini segalanya fana, bahwa
kebenaran sejati, kalaupun ada, mestilah di luar dunia ini, dan bahwa kita apa
yang kita ketahui hanyalah fragmen partikular saja. Dalam konfigurasi ini,
pengetahuan manusia dipandang tidak lebih dari pencerapan inderawi, yakni
pengetahuan dasariah tentang hal-hal yang partikular: kopi itu pahit, pagi ini
hujan, rokok ini nikmat. Semua ini tidak lebih dari akal sehat (common sense).
Di mana peran filsafat? Peran itu justru terletak pada semangat ilmiah
yang berjuang mencari tahu apa itu yang-benar, apa itu yang-universal, dan apa
itu Idea yang tetap namun sekaligus menyatukan segala ikhwal yang berbeda.
Filsafat eksis sejauh manusia tak mau berhenti pada common sense, pada opini,

atau pada takhayul-takhayul sosial tentang mana yang pantas dan tidak pantas,
mana yang dosa dan mana yang berpahala. Semangat menolak tunduk pada opini

56

(doxa) inilah yang telah mendasari sikap filsafat sejak Platon. Adalah jauh lebih
mudah mengatakan kita tidak tahu kebenaran ketimbang mengerahkan segala
upaya untuk menjawab apa itu kebenaran. Dan jalan yang sulit inilah jalan
filsafat. Inilah juga jalan yang, lebih dari dua milenia yang lampau, ditempuh oleh
Parmenides ketika ia membedakan jalan pemikiran tentang yang tetap dan tak
terubahkan (Ada) dari jalan dugaan tentang yang berubah-ubah (ikhwal sensibel).
Parmenides memilih jalan pertama dan inilah momen fondasional dari filsafat:
filsafat memilih untuk berpikir tentang yang benar ketimbang berdiam dalam
pengenalan inderawi tentang realitas yang senantiasa berubah dan partikular.
Itulah sebabnya Alain Badiou dapat menyatakan bahwa kaum filsuf selalu
berangkat dari tesis Parmenides.7 Separasi dari opini tentang partikularitas—itulah
momen fondasional dari filsafat. Tanpa separasi ini, tanpa pengakuan pada
kekuatan pemikiran, tak akan ada filsafat apapun. Saya rasa Badiou benar ketika
ia memberikan label “anti-filsafat” kepada setiap orientasi pemikiran (di
antaranya, Wittgenstein awal, Lacan, Nietzsche, Kierkegaard) yang, pada analisis

terakhir, mengebawahkan fakultas rasio pada sesuatu yang lain.8
Optimalisasi peran rasio sebagai tulang punggung filsafat inilah yang
diperjuangkan di era modern. Dalam penegasan pada kekuatan pemikiran dan
gagasan inilah Pencerahan terlahir. Inilah juga yang ditegaskan oleh Kant dalam
esainya, “Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?” (Beantwortung der Frage:
Was ist Aufklärung?): Pencerahan adalah keberanian untuk berpikir sendiri
(sapare aude) lepas dari dogma dan takhayul sosio-religius. Keberanian untuk
berpikir tanpa minta restu dari guru agama dan norma sosial—inilah semangat
subversif modernisme. Posmodernisme tampil sebagai subversi atas otonomi rasio
ini. Jika demikian, maka apakah hasil dari subversi atas subversi? Jawabnya tak
lain adalah konservasi.
Maka, tesis ketiga kita: posmodernisme, atau subversi atas subversi, pada
hakikatnya bersifat religius. Lepas dari retorika pembebasannya, posmodernisme
merupakan sebuah ideologi konservatif. Ketika kebenaran rasional ditampik, Idea
emansipasi dan kesetaraan universal dicurigai, dan militansi dalam
memperjuangkan Idea-Idea besar dianggap totaliter, maka apakah yang tersisa
bagi posmodernisme sendiri? Jawabnya: afirmasi atas kerapuhan manusia,
kefanaan segala sesuatu dan sikap resignatif pada tatanan hal-ikhwal.
Posmodernisme berakhir pada afirmasi akan ke-dhaif-an manusia, pada
“kesadaran” tentang betapa kecilnya manusia di hadapan alam ciptaan Tuhan.

Badiou kembali benar ketika ia menulis bahwa selama “keterhinggaan” (finitude)
tetap dipandang sebagai faktor hakiki dari eksistensi manusia, maka kita
sebetulnya tengah menjalankan konsolidasi agama.9 Dengan membuang kategori
kebenaran rasional dan proyek emansipasi militan, posmodernisme tak pelak lagi
menjadi benteng terakhir dari transendensi di mana rasio dikebawahkan pada
iman akan yang-Maha Lain (Levinas dan Derrida) dan manusia dikonstitusikan
7

Lih. misalnya Alain Badiou, Logics of Worlds diterjemahkan oleh Alberto Toscano (London:
Continuum), 2009, hlm. 99.
8
Lih. rangkuman Peter Hallward dalam karyanya, Badiou: A Subject to Truth (Minneapolis:
University of Minnesota Press), 2003, hlm. 20.
9
Lih. Alain Badiou, Theoretical Writings diterjemahkan oleh Ray Brassier dan Alberto Toscano
(London: Continuum), 2006, hlm. 28.

57

secara hakiki oleh kekurangan dan kerapuhan, finitude of Dasein (Heiddeger).

Dalam posmodernisme, filsafat berakhir pada agama dan mistisisme.
Posmodernisme dipimpin oleh pathos untuk mengkonservasi yang-Transenden,
entah dalam nama “yang-Tak Terkatakan” (L’ineffable) ataupun “yang-Maha
Lain” (Tout Autre).
Menyadari konfigurasi ini, pertanyaan sentral filsafat zaman kita,
karenanya, adalah: Bagaimana menyudahi posmodernisme? Itu artinya:
mengembalikan takhta bagi pemikiran, rasionalitas dan Idea serta mengusir keluar
“Akademia” semua “yang tidak mengerti matematika”, sebagaimana inskripsi di
pintu gerbang Akademia Platon. Semua yang tidak mengerti “matematika”—itu
artinya, bagi kita di zaman sekarang, semua yang mengesampingkan peran
dianoia atau pikiran dan mengebawahkannya pada yang di luar pikiran, mulai dari
gugon tuhon religius hingga jual-beli intelektualitas untuk kepentingan pasar. Apa
yang pertama-tama mesti diupayakan oleh filsafat zaman kita, sejauh filsafat mau
tetap eksis, adalah memikirkan ulang proyek modernitas: menegaskan otonomi
rasio manusia dalam pertempuran melawan tirani politik dari agama dan modal.
Namun ini memang bukan upaya yang mudah. Jauh lebih mudah mengakui
keterbatasan rasio dan mencari ketenangan dan keamanan melalui opini banyak
orang untuk lantas takluk pada rezim status quo, ketimbang mendorong rasio
untuk mematerialisasikan kebenaran-kebenaran baru yang merombak situasi
secara radikal. Dan justru dalam tugas yang nyaris mustahil inilah filsafat menjadi

ikhwal yang layak dijalani. Memang kita, sekarang, tidak mengetahui segala
sesuatu. Namun, seperti pernyataan Mao yang optimis namun tetap sederhana
(frase yang juga kerap dikutip Badiou): “kita akan mengetahui segala yang
sebelumnya tak kita ketahui.”10 Inilah semangat kita semua, orang modern—
semangat yang terekam dalam lagu mahasiswa Jerman dari abad ke-19:
Die Gedanken sind frei!

Pikiran itu Bebas!

Die Gedanken sind frei
wer kann sie erraten?
Sie fliehen vorbei
wie nächtliche Schatten
Kein Mensch kann sie wissen
kein Jäger erschießen
menembaknya
Es bleibet dabei:
Die Gedanken sind frei!

Pikiran itu bebas
siapa gerangan dapat menerkanya?
Dia lewat berlari
ibarat bayang-bayang malam
Tak seorang pun bisa mengetahuinya
Tak
ada
pemburu
sanggup

Und sperrt man mich ein
in finsteren Kerker
Das alle sind rein
vergebliche Werke
denn meine Gedanken
zerreißen die Schranken
und Mauer entzwei:

Dan orang lantas mengunci aku
di dalam bui yang gelap
Tapi semua itu hanyalah
tindakan sia-sia belaka
sebab pikiranku sanggup
menjebol batas-batas
dan memecah tembok:

Karena memang benar:
Pikiran itu bebas!

10

Alain Badiou, Metaphysics and the Critique of Metaphysics diterjemahkan oleh Alberto Toscano
dalam jurnal Pli 10 (2000), hlm. 189.

58

Die Gedanken sind frei!

Pikiran itu bebas!

Ketimbang membuang begitu saja visi radikal tentang rasionalitas yang otonom,
kita, kini, lebih dari kapanpun, memerlukan otonomi pikiran—dan membuktikan
bahwa kebebasan, kesetaraan, bukanlah privilese bagi para malaikat dan
jurubicara kapitalisme melainkan milik para pemikir otonom yang adalah kita
semua, rakyat itu sendiri.

---o 0 o---

59

Dokumen yang terkait

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

Konstruksi Media tentang Kontroversi Penerimaan Siswa Baru di Kota Malang (Analisis Framing pada Surat Kabar Radar Malang Periode 30 Juni – 3 Juli 2012)

0 72 56

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PEMBENTUKAN CITRA POSITIF RUMAH SAKIT Studi pada Keluarga Pasien Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tentang Pelayanan Poliklinik

2 56 65

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Persepsi para guru tentang perpajakan dan pemotongan pajak penghasilan orang pribadi atas dana bantuan operasional sekolah (studi kasus SDN dan SMPN se-Jakarta Barat)

2 46 99

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Rancangan media informasi tentang makanan tradisional Peyeum Bandung

5 77 1

makalah Geografi tentang Bintang

0 8 4

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22