Chapter II Pengaruh Magnetasi Terhadap Emisi Gas Buang, Temperatur Air Pendingin Dan Oli Pada Mesin Diesel Stasioner Satu Silinder Dengan Bahan Bakar Solar Murni

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Minyak Solar
Minyak solar adalah suatu produk destilasi minyak bumi yang khusus

digunakan untuk bahan bakar mesin Compretion Ignation (udara yang dikompresi
menimbulkan tekanan dan panas yang tinggi sehingga membakar solar yang
disemprotkan Injector) dan di Indonesia minyak solar ditetapkan dalam peraturan
Dirjend Migas No. 002/P/DM/MIGAS/2007.
Minyak solar berasal dari Gas Oil, yang merupakan fraksi minyak bumi
dengan kisaran titik didih antara 2500C sampai 3500C yang disebut juga midle
destilat. Komposisinya terdiri dari senyawa hidrokarbon dan non-hidrokarbon.
Senyawa hidrokarbon yang ditemukan dalam minyak solar seperti parafinik,
naftenik, olepin dan aromatik. Sedangkan untuk senyawa non-hidrokarbon terdiri
dari senyawa yang mengandung unsur-unsur non-logam, yaitu sulfur, nitrogen,
dan oksigen serta unsur logam seperti vanadium, nikel, dan besi.

2.2


Karakteristik Minyak Solar
Syarat umum yang harus dimiliki oleh minyak solar adalah harus dapat

menyala dan terbakar sesuai kondisi ruang bakar. Minyak solar sebagai bahan
bakar memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh sifat-sifat seperti Cetana
Number (CN), Cetana Index (CI), nilai panas, densitas, titik analin dan kandungan
sulfur.

2.2.1 Cetana Number (CN)
Cetana Number menunjukkan bahan bakar minyak solar untuk menyala
dengan sendirinya (auto ignation) dalam ruang bakar karena tekanan dan suhu
ruang bakar. Angka CN yang tinggi menunjukkan bahwa minyak solar dapat
menyala pada temperatur yang relatif rendah dan sebaliknya angka CN yang
rendah menunjukkan minyak solar baru menyala pada temperatur yang relatif
tinggi.

2.2.2 Cetana Index (CI)
Cetana Index merupakan perkiraan matematis dari CN dengan basis suhu
destilasi, densitas, titik anilin dan lain-lain. Apabila terdapat aditif yang bersifat
meningkatkan CN maka perhitungan CI tidak dapat langsung digunakan tetapi

variabel-variabel seperti API gravity dan suhu destilasi harus disesuaikan karena
karakteristik bahan bakar akan berubah.

2.2.3 Nilai Panas
Nilai panas bahan bakar dapat diukur dengan menggunakan Bomb
kalorimeter dan hasilnya dimasukkan kedalam rumus perhitungan :

8100C + 3400 (H-0/8)
Nilai panas =

kkal/kg
100

Nilai H,C, dan O dinyatakan dalam persentasi berat dalam setiap unsur yang
terkadang dalam satu kilogram bahan bakar. Hasil perhitungan tersebut
merupakan suatu nilai panas kotor (gross heating value) suatu bahan bakar
dimana termasuk didalamnya panas laten dari uap air yang terbentuk pada
pembakaran hidrogen dari bahan bakar. Selisih nilai panas kotor dan bersih
umumnya berkisar antara 600-700 kkal/kg tergantung besar persentase hidrogen
yang ikut terbakar.

Secara kasar nilai panas suatu bahan bakar dapat diperkirakan dari berat
jenis yang bersangkutan :
Berat Jenis pada 150C

: 0,85; 0,87; 0,89; 0,91; 0,93

Nilai panas kotor (kkal/kg) : 10900; 10800; 10700; 10600; 10500.

Menurut spesifikasi minyak solar di indonesia mempunyai berat jenis antara
0,820 – 0.870 pada temperatur 600F, dengan demikian dapat diperkirakan
mempunyai nilai panas kotor minimal 10800 kkal/kg karena semakin rendah berat
jenisnya semakin tinggi nilai panas kotornya dan berdasarkan pengukuran

laboratorium minyak solar berat jenisnya 0,8521 dengan panas kotor 10917
kkal/kg.

2.2.4 Densitas
Berat jenis adalah perbandingan antara berat persatuan volume minyak
solar. Berat jenis suatu minyak solar mempunyai satuan kilogram per meter kubik
(kg/m3). Karakteristik ini sangat berhubungan erat dengan nilai panas kalor dan

daya yang dihasilkan oleh mesin diesel persatuan bahan bakar yang digunakan.
Densitas yang disarankan untuk minyak solar berdasarkan Masdent Point Refinery
untuk tahun 2000 yaitu 826 – 859 km/m3.

2.2.5 Titik Anilin
Titik yang menunjukkan suhu terendah saat dimana dalam volume yang
sama destilasi anilin dan bahan bakar bersangkutan bercampur dengan sempurna.
Titik anilin yang rendah menunjukkan bahwa minyak solar tersebut mempunyai
angka cetana yang rendah.

2.3

Karakteristik Bahan Bakar Minyak Solar Indonesia
Minyak solar berdasarkan CN dikategorikan menjadi tiga bagian, seperti

tabel 2.1. kategori 3 pada tabel 2.1 merupakan batasan yang tertinggi yang
diharuskan pada tahun 2005. Negara swedia sudah menerapkannya sejak tahun
2000. Kebanyakan negara berkembang masuk kategori 1. Secara bertahap
karakteristik dari minyak solar ini harus bergeser menuju pada kategori 3 dengan
minyak solar ber CN diatas 55.

Tabel 2.1 Kategori Minyak Solar
SIFAT

Kategori 1

Kategori 2

Kkategori 3

Cetana Number

48

53

55

Cetana Index

45


50

52

Densitas @150C,kg/m3

820 – 860

820 – 850

820 – 840

Viscositas @400C,mm2/s

2 – 4.5

2 – 4.0

2 – 4.0


Kandungan Sulfur, %wt

0.5

0.03

Bebas

T95, 0C max

370

355

340

Sumber : Gaikindo, 2012

Minyak solar indonesia belum masuk kategori 1 karena CN minyak solar

Indonesia 45 (lihat Tabel 2.1), walaupun hal ini memenuhi baku mutu dari
pemerintah sesuai keputusan ditjend Migas No. 002/P/DM/MIGAS/1979.
Karakteristis minyak solar Indonesia menurut keputusan diatas dapat dilihat pada
Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Karakteristik Minyak Solar Indonesia
Unit

Min.

Max.

ASTM method

Spesifik grafite at 60/600F

0.815

0.87


D 1298

Cetana Number

45

-

D 613

Calculated Cetana Index

48

-

D 976

Viscosity kinematik at 400C


CSt

1.6

5.8

D 445

Pour point

0

F

-

65

D 97


Conradson carbon residue

%wt

-

0.1

D 189

-

3

D 1500

140

-

D 93

Color ASTM
Flash point

0

Sulfur content

% wt

-

0.5

D 1551

Water content

% vol

-

0.05

D 95

F

Sediment

% wt

-

0.01

D 473

Ash content

% wt

-

0.01

D 482

Total acid number

MgKOH

-

0.6

D 974

Destilation : recovery at 3000C

% vol

40

-

D 86

Sumber : DITJEN MIGAS No. 113 K 172/DJM/1999, Tanggal 27 Oktober 2011.
Dari tabel 2.2 dapat dilihat bahwa minyak solar Indonesia masih
mempunyai CN dibawah 48.

2.4

Motor Diesel

2.4.1 Siklus Diesel Ideal
Siklus diesel adalah siklus ideal untuk mesin torak pengapian-kompresi yang
pertama kali dinyatakan oleh Rudolph Diesel tahun 1890. Prinsip kerjanya sama
halnya dengan mesin torak pengapian-nyala, yang dinyatakan oleh Nikolaus A.
Otto tahun 1876, hanya perbedaan utamanya dalam hal metode pembakarannya.
Pada mesin torak pengapian-nyala (mesin bensin) campuran udara-bahan bakar
dikompresi ke temperatur dibawah temperatur pembakaran sendiri (auto ignition)
dari bahan bakarnya, kemudian proses pembakarannya oleh percikan bunga api
dari busi. Sedangkan pada mesin torak pengapian kompresi (mesin diesel), udara
dikompresi ke temperatur di atas temperatur auto ignition dari bahan bakarnya,
kemudian pembakaran dimulai saat bahan bakar yang diinjeksikan kontak dengan
udara panas tersebut. Maka pada mesin diesel, busi dan karburator digantikan oleh
penginjeksi bahan bakar (fuel injector).

Gambar 2.1 Diagaram P-v dan Diagram T-s Siklus Ideal Diesel
(Buku Thermodinamika Teknik Jilid 2)
Siklus diesel (ideal) pembakaran tersebut dimisalkan dengan pemasukan
panas pada volume konstan (Y. A. Çengel and M. A. Boles, 2006). Siklusnya
seperti pada diagram P-v dan T-s di atas (Gambar 2.1). Siklus tersebut terdiri dari
empat buah proses berantai yang reversible secara internal. Proses 1-2 isentropik,
2-3 penambahan kalor. Pada siklus Otto kalor dipindahkan ke fluida kerja pada
volume konstan, sedangkan pada siklus diesel, kalor dipindahkan pada tekanan
konstan. Proses 3-4 ekspansi isentropic, dan proses 4-1 pelepasan kalor pada
volume konstan, di mana kalor keluar dari udara ketika piston berada pada titik
mati bawah.
2.4.1.1 Air Fuel Ratio (AFR)
Didalam mesin, bahan bakar dibakar oleh udara. Udara kering
merupakan campuran berbagai gas yang memiliki komposisi representatif 20%
oksigen, 78,09% nitrogen, 0,93% argon, dan sisanya berupa CO2, neon, helium,
metana dan gas lainnya. Pada pembakaran, oksigen merupakan komponen reaktif
dari udara. Bahan bakar yang digunakan pada motor bakar merupakan campuran
dari berbagai komponen hidrokarbon yang didapat melalui proses penyulingan
minyak. Bahan bakar ini didominasi oleh karbon sekitar 86% dan hidrogen 14%.
Walaupun demikian bahan bakar diesel bisa mengandung kadar sulfur hingga 1
%. Pada pengujian mesin ini, aliran massa udara dan aliran massa bahan bakar

biasanya diukur, namun jika tak terdapat alat ukur dapat dihitung melalui rumus
berikut:
AFR =

. ............................................................................. (2.4.1)

2.4.1.2 Thermal Brake
Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil daripada energi yang
dibangkitkan piston karena sejumlah energi hilang akibat adanya rugi rugi
mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja
maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar.
Efisiensi ini disebut juga sebagai efisiensi thermal brake (thermal efficiency, ηb).
Jika daya keluaran Pb dalam satuan kW, laju aliran bahan bakar mf dalam
satuan kg/jam, nilai kalor bawah bahan bakar LHV dalam satuan kJ/kg, maka:

ηb =

x 3600 ......................................................................... (2.4.2)

Motor diesel dikategorikan dalam motor bakar torak dan mesin pembakaran
dalam (internal combustion engine) (simplenya biasanya disebut “motor bakar”
saja). Prinsip kerja motor diesel adalah merubah energi kimia menjadi energi
mekanis. Energi kimia di dapatkan melalui proses reakasi kimia (pembakaran)
dari bahan bakar (solar) dan oksidiser (udara) di dalam silinder (ruang bakar).
Pembakaran pada mesin Diesel terjadi karena kenaikan temperatur campuran
udara dan bahan bakar akibat kompresi torak hingga mencapai temperatur nyala.
Tekanan gas hasil pembakaran bahan bakar dan udara akan mendorong torak
yang dihubungkan dengan poros engkol menggunakan batang torak, sehingga
torak dapat bergerak bolak-balik (reciprocating). Gerakan bolak-balik torak akan
diubah menjadi gerak rotasi oleh poros engkol (crank shaft). Dan sebaliknya
gerak rotasi poros engkol juga diubah menjadi gerak bolak-balik torak pada
langkah kompresi. Motor diesel pembakaran terjadi karena kenaikan temperatur
campuran udara dan bahan bakar akibat kompresi torak hingga mencapai
temperatur nyala. Karena prinsip penyalaan bahan bakarnya akibat tekanan maka

motor diesel juga disebut compression ignition engine (Mathur ML, 1980) seperti
pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Proses Kerja Motor Diesel
(http://www.motordiesel.com)

Adapun langkah kerja motor diesel adalah sebagai berikut :
1. Langkah Isap
Sewaktu piston bergerak dari TMA ke TMB, maka tekanan diruang
pembakaran menjadi hampa (vakum). Perbedaan tekanan udara luar yang
tinggi dengan tekanan hampa, mengakibatkan udara akan mengalir dan
bercampur dengan gas. Selanjutnya udara murni tersebut masuk melalui
katup masuk yang terbuka mengalir masuk dalam ruang cylinder.
Prosesnya adalah :
a. Piston bergerak dari Titik Mati Atas (TMA) menuju Titik Mati Bawah
(TMB).
b. Katup buang tertutup dan katup masuk terbuka, udara murni masuk ke
silinder.
c. Tekanan negatif piston menghisap udara murni dengan tekanan yang
tinggi masuk ke silinder. (Seperti pada gambar 2.2)

Gambar 2.2 Langkah Isap
(http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)

2. Langkah Kompresi
Setelah melakukan pengisian, piston yang sudah mencapai TMB kembali
lagi bergerak menuju TMA, dimana katup masuk dan katup buang tertutup,
ini memperkecil ruangan diatas piston, sehingga udara murni tersebut
menjadi padat, tekanan dan suhunya naik. Tekanannya naik kira-kira tiga
kali lipat. Beberapa derajat sebelum piston mencapai TMA terjadi
semprotan bahan bakar dari nozle dalam bentuk kabut. Prosesnya sebagai
berikut :
a. Piston bergerak kembali dari TMB ke TMA;
b. Katup masuk menutup, katup buang tetap tertutup;
c. Bahan Bakar termampatkan ke dalam kubah pembakaran (combustion
chamber) sehingga suhu dan tekanan akan naik;
d. Sekitar ± 8 derajat sebelum TMA, injektor menyemprotkan bahan bakar
keruang bakar dalam bentuk kabut dan memulai proses pembakaran.
(Seperti pada gambar 2.3)

Gambar 2.3 Langkah Kompresi
(http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)

3. Langkah Usaha/Tenaga
Dengan cepat campuran yang terbakar ini merambat dan terjadilah
ledakan yang tertahan oleh dinding kepala silinder sehingga menimbulkan
tendangan balik bertekanan tinggi yang mendorong piston turun ke silinder
bore. Gerakan linier dari piston ini dirubah menjadi gerak rotasi oleh poros
engkol. Enersi rotasi diteruskan sebagai momentum menuju flywheel yang
bukan hanya menghasilkan tenaga, counter balance weight pada kruk as
membantu piston melakukan siklus berikutnya. Prosesnya sebagai berikut :
a. Ledakan tercipta secara sempurna di ruang bakar, dan Piston terlempar
dari TMA menuju TMB.
b. Katup masuk menutup penuh, katup buang menutup tetapi menjelang
akhir langkah usaha katup buang mulai sedikit terbuka.
c. Terjadi transformasi energi gerak bolak-balik piston menjadi energi
rotasi pada poros engkol.(Seperti pada gambar 2.4)

Gambar 2.4 Langkah Kerja
(http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)

4. Langka Buang (Exhaust stroke)
Pada langkah buang, piston bergerak dari TMB menuju TMA, katup
masuk tertutup dan katup buang terbuka, Langkah buang ini menjadi sangat

penting untuk menghasilkan operasi kinerja mesin yang lembut dan efisien.
Prosesnya adalah :
a. Counter balance weight pada poros engkol memberikan gaya untuk
menggerakkan piston dari TMB ke TMA;
b. Katup buang terbuka Sempurna, katup masuk menutup penuh;
c. Gas sisa hasil pembakaran didesak keluar oleh piston melalui port
exhaust menuju knalpot.(Seperti pada gambar 2.5)

Gambar 2.5 Langkah Buang
(http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)

2.5

Pembakaran

2.5.1 Definisi Pembakaran
Pembakaran merupakan suatu reaksi kimia yang melibatkan kombinasi
bahan bakar dan oksigen untuk menghasilkan panas dan produk pembakaran.
Definisi pembakaran adalah suatu reaksi oksidasi dan oksigen dan material yang
mudah terbakar, yang ditandai nyala api dan menghasilkan cahaya panas. Dalam
pembakaran dengan bahan bakar, yang dimaksud dengan Cumbutible materials
adalah jenis-jenis material yang mudah terbakar, seperti hidrokarbon. Sedangkan
yang bertindak sebagai oksidator adalah oksigen, yang sumber utamanya

diperoleh dari udara untuk pembakaran spontan yang mengandung 21 % O2. Dari
definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada terjadinya peristiwa
pembakaran atau oksidasi setidaknya ada tiga komponen yang dilibatkan, yaitu :
1. Material yang akan mengalami peristiwa pembakaran (dapat berupa
cairan, gas, maupun padatan);
2. Oksigen (komponen dalam udara yang memicu terjadinya oksidasi);
3. Letupan energi yang terjadi saat pembakaran berlangsung (yang
berfungsi sebagai pengaktivasi jalannya reaksi oksidasi).
Jenis-jenis pembakaran ditentukan oleh rasio dari udara (air) dan bahan
bakar (fuel) atau ratio A/F.

2.5.2 Proses Pembakaran
Proses pembakaran dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Complete combution, terjadi apabila semua unsur C, H, dan S yang
terkandung dalam bahan bakar bereaksi membentuk C02, H2O, dan SO2.
Pembakaran ini umumnya dapat dicapai pada kondisi pembakaran
dengan udara lebih.
b. Perfect combution, terjadi apabila jumlah bahan bakar dan oksidatornya
sesuai dengan reaksi stokiometris. Campuran dikatakan stokiometris jika
jumlah oksigen dalam campuran tepat untuk bereaksi dengan unsur C,
H, dan S membentuk CO2, H2O, dan SO2.
c. Incomplete combution, terjadi proses pembakaran bahan bakar
menghasilkan produk antara seperti CO, H2, dan aldehit disamping CO2,
H2O, dan N2 (jika oksidatornya dalam udara). Pembakaran parsial ini
dapat terjadi akibat suplai oksidator yang terbatas, nyala ditiup atau
dihembus, nyala didinginkan dengan dikenai permukaan dingin,
pencampuran bahan bakar, dan oksidator yang tidak sempurna.
d. Spontaneous combution, terjadi apabila bahan bakar mengalami oksidasi
secara perlahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak terlepas,
menyebabkan temperatur bahan bakar naik secara perlahan sampai

mencai titik bakarnya (ignation point) hingga bahan bakar habis terbakar
dan menyala.
Pada kenyataannya sangat sulit bagi reaksi untuk pembakaran
untuk berlangsung dalam kondisi stokiometris, karena itulah dikenal
istilah pembakaran dengan udara berlebihan. Alasan utama akan
kebutuhan terhadap udara berlebihan (excees air) adalah karena
kegagalan aliran (bahan bakar) dan udara untuk dapat bercampur
sempurna pada daerah diamana pembakaran dapat seharusnya dapat
teradi.

Berlangsungnya

pembakaran

dipengaruhi

oleh

frekuensi

tumbukan antara molekul bahan bakar dengan molekul oksigen. Bila
terjadi deefisiensi dari pencampuran kedua fluida, maka dibutuhkan
oksigen berlebih untuk meningkatkan frekuensi tumbukan antara
molekul tersebut.
Metode yang digunakan untuk menghubungkan kondisi udara aktual
dalam sistem pembakaran dengan jumlah teoritis yang diperlukan dinyatakan
sebagai air factor (AF). Air factor (AF) dinyatakan sebagai ratio dari udara
aktual yang digunakan (Arismunandar W, 1983).

2.5.3 Pembakaran Dalam Mesin Diesel
a. Mesin Injeksi Udara
Pemecahan, yang disebut pengabutan, dan distribusi bahan bakar
dalam mesin injeksi udara adalah sedemikian efisien sehingga
keterlambatan penyalaan sangat sedikit dan tidak timbul masalah yang
berkaitan dengan pembakaran sampai injeksi tanpa udara menjadi makin
diterima secara luas dan kecepatan putar mulai jauh melebihi kecepatan
dari mesin injeksi udara.
b. Mesin Injeksi tanpa Udara
Ketika injeksi dimulai, partikel bahan bakar yang dikabutkan halus
dan bersinggungan dengan udara yang telah dipanasi lebih dahulu oleh
langkah kompresi. Pertama kali, suhunya naik, kemudian mulai
menguap, dan suhu partikel uap meningkat. Kalau suhunya mencapai

titik nyala, maka reaksi cepat akan dimulai, yang mengakibatkan
kenaikan tekanan dan suhu akan menyebar kepada sisa bahan bakar
dalam ruang bakar. Penyalaan tidak selalu melalui pada titik yang sama,
tetapi pada tempat atau beberapa tempat yang ditentukan oleh keadaan
suhu dan distribusi bahan bakar, dan dapat berawal pada beberapa titik
secara serentak.
c. Pusaran (turbulence)
Keadaan yang terpenting untuk pembakaran yang efisien, terutama
dalam mesin kecepatan tinggi, adalah gerakan yang cukup antara
tetesan bahan bakar dengan udara. Kalau bahan bahan bakar dipecahkan
dalam bentuk kabut, maka kecepatan semprotan dan jangkauan
penyusupannya ketitik yang jauh dalam ruang bakar akan turun sampai
nilai yang agak rendah. Jadi distribusi bahan bakar dan campurannya
dengan udara harus tergantung pada gerakan udara. Gerakan ini yang
disebut pusaran, didapatkan dengan berbagai cara, misalnya dengan
memberikan bentuk tertentu pada ruang bakar atau puncak torak atau
dengan mengarahkan aliran dari pemasukan udara dalam jalur tertentu,
dan sebagainya.
d. Mesin dengan Kecepatan Tinggi
Pemahaman yang lebih baik tentang apa yang dalam silinder mesin
diesel selama priode pembakaran dapat diperoleh dengan penyajian
grafik. Perubahan tekanan dibuat petanya sebagai ordinat terhadap
sebagai absis. Karena putaran poros engkol untuk kegunaan umumnya
dapat dianggap seragam, maka derajat dari perjalanan engkol dapat
dianggap sebanding dengan waktu, dan absisnya dapat dinyatakan
secara sesuai dalam sudut dari perjalanan engkol. Sebuah diagram
tekanan tertentu ditunjukkan pada gambar dibawah ini, diagram ini
menunjukkan perubahan tekanan selama 1800 dari 900 sebelum titik mati
atas (TMA).
Sampai 900 sesudahnya. Belahan pertama dari diagram, yaitu garis
penuh sampai titik 2 yang titik-titik sampai titik 0, menyatakan

perubahan tekanan dalam sislinder selama langkah kompresi, seperti
pada grafik berikut:

Gambar 2.6 Grafik tingkat pembakaran motor diesel pada kecepatan tinggi

Kalau bahan bakar di injeksikan dan terjadi pembakaran, maka proses dalam
sebuah mesin diesel dengan kecepatan tinggi dapat dianggap terbagi menjadi
empat tingkat atau periode yang terpisah. Periode pertama mulai pada titik 1,
ketika injeksi dimulai, bahan bakar mulai memasuki silinder, dan berakhir sampai
pada titik 2. Ini adalah periode keterlambatan (delay priode), ini sesuai dengan
sudut perjalanan engkol. Selama periode ini tidak terdapat kenaikan tekanan
melebihi yang dihasilkan dengan kompresi udara oleh torak. Bahan bakar terus
menerus masuk melalui nosel dan titik 2, terdapat sejumlah bahan bakar dalam
ruang bakar, yang dipecah halus dan sebagian menguap, dan siap untuk
pembakaran. Ketika bahan bakar akhirnya dinyalakan, akan menyala dengan cepat
yang mengakibatkan kenaikan tekanan mandadak sampai titik 3 tercapai. Priode
pembakaran cepat ini yang sesaui dengan sudut engkol b, membentuk tingkat
kedua. Setelah titik 3, bahan bakar yang belum terbakar dan bahan bakar yang
masih tetap diinjeksikan terbakar pada kecepatan yang tergantung pada kecepatan
injeksi dan jumlah serta distribusi oksigen yang masih ada dalam udara pengisian.

Periode ini adalah tingkat ketiga dari pembakaran terkendali atau pembakaran
sedikit demi sedikit, ini berakhir pada titik 4 dengan berhentinya injeksi. Selama
tingkat ini tekan dapat naik, tetap konstan, atau turun. Pembakaran pasca tidak
terlihat pada diagram karena pemunduran torak mengakibatkan turunnya tekanan
meskipun panas ditimbulkan oleh pembakaran bagian akhir bahan bakar (Cengel,
Yunus A, 1994).

2.5.4 Nilai Kalor Bahan Bakar
Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan
panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar
sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value). Berdasarkan asumsi
ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai
kalor bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai
kalor atas dan nilai kalor bawah.
Nilai kalor atas (High Heating Value) HHV, merupakan nilai kalor yang
diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan bom kalorimeter dimana hasil
pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar
uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan
panas latennya. Data yang diperoleh dari hasil pengujian bom kalorimeter adalah
temperatur air pendingin sebelum dan sesudah penyalaan. Selanjutnya untuk
menghitung nilai High Heating Value (HHV), dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
HHV = ( T2 – T1 – Tkp ) x cv………(persamaan 2.5.4.1)
Dimana :
HHV = Nilai Kalor Atas (kJ/kg)
T1

= Temperatur air pendingin sebelum penyalaan (0C)

T2

= Temperatur air pendingin sesudah penyalaan (0C)

Cv = Panas jenis bom kalorimeter (73529,6 kJ/kg 0C)
Tkp = Kenaikan temperatur akibat kawat penyala (0,05 0C)
Sedangkan nilai kalor bawah atau Low Heating Value (LHV) dihitung
dengan persamaan berikut:

LHVrata-rata = HHVrata-rata - 3240………(persamaan 2.5.4.2)

Secara teoritis besarnya nilai kalor atas

(HHV) dapat dihitung bila

diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulog :

HHV = 33950 C + 144200 (H2 – (O2/8)) + 9400 S………(persamaan
2.5.4.3)

Dimana :
HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg)
C

= Komposisi karbon dalam bahan bakar

H2

= Komposisi hidrogen dalam bahan bakar

O2

= Komposisi oksigen dalam bahan bakar

S

= Komposisi sulfur dalam bahan bakar

Nilai kalor bawah Low Heating Value (LHV), merupakan nilai dari kalor
bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya
kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15% yang berarti setiap satu
satuan bahan bakar 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran
sempurna, air yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari
jumlah mol hidrogen.
Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap yang terbentuk pada proses
pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada
didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada
tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah
sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besar nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung
berdasarkan persamaan berikut:
LHV = HHV – 2400 (H20 + 9H2)………(persamaan 2.5.4.4)
Dimana:
LHV

= Nilai kalor bawah (kJ/kg)

H2O

= komposisi uap air dalam bahan bakar (moisture

Dalam perhitungan efisiensi panas dari mesin bakar, dapat menggunakan
nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang
meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga
menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umunya lebih cepat
tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American Society of
Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV),
sedangkan peraturan SAE (Society OF Automotive Engineers) menentukan nilai
kalor bawah (LHV) (Amir Isril, 1996).

2.5.5 Proses Terbentuknya Gas Buang
Setiap pembakaran pasti mempunyai gas produk atau yang kita kenal emisi,
dibawah ini merupakan emisi yang dihasilkan dari pembakaran selain dari gas
CO2 yaitu :
a. Karbon monoksida (CO)
Bila karbon didalam bahan bakar terbakar dengan sempurna, akan
terjadi reaksi yang menghasilkan CO2 seperti yang terlihat dibawah ini :
C + O2

CO2

Apabila oksigen dalam udara tidak cukup, maka pembakaran akan
berlangsung secara tidak sempurna, sehingga karbon yang terbakar akan
menjadi :
C + ½ O2

CO

Dengan kata lain, emisi CO dalam suatu pembakaran dipengaruhi
oleh perbandingan campuran antara udara dengan bahan bakar.
b. Hidrokarbon
Sumber emisi hidrokarbon dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Bahan bakar yang tidak terbakar dan keluar menjadi gas mentah:
2. Bahan bakar terpecah karena reaksi panas berubah menjadi
gugusan hidrokarbon lain yang keluar bersama dengan gas
buang.

Sebab utama timbulnya hidrokarbon pada emisi gas buang
adalah sekitar tempat terjadinya pembakaran bersuhu rendah,
diamana suhu itu tidak mampu melakukan pembakaran.
c. Nitrogen Oksigen (NOX)
Jika terdapat N2 dan O2 pada suhu 18000C s/d 20000C, akan terjadi
reaksi pembentukan gas NO seperti berikut ini:
N2 + O2

2NO

Di udara NO mudah berubah menjadi NO2, NOx, didalam gas
terpilih dari 95% NO, 3-4% NOx, dan sisanya N2O, N2O3, dan
sebagainya.
d. Sulfur Oksidasi (SOx)
Bahan bakar minyak solar mengandung unsur belakang (sulfur).
Pada saat terjadi pembakaran, S akan bereaksi dengan H dan O untuk
membentuk senyawa sulfat dan sulfur oksidasi.
H + S + O

HSO

S + O2

SO2

e. Nitrogen (N2)
Udara yang digunakan untuk pembakaran sebagian besar terdiri
dari senyawa nitrogen (N2). Pada saat terjadi pembakaran, sebagian kecil
N2 akan bereaksi dengan O2 dan membentuk NO2. Sebagian besar
lainnya tetap berupa senyawa nitrogen hingga keluar sebagai emisi.
f. Uap air (H2O)
H2O merupakan hasil reaksi pembakaran, dimana air yang
dihasilkan tergantung dar mutu bahan bakar. Makin banyak uap air
dalam gas buang, menandakan pembakaran makin baik.

2.6

Magnet

2.6.1 Asal Kemagnetan
Sifat kemagnetan makroskopik material adalah konsekuensi momen magnet
material penyusun, karena adanya pergerakan partikel listrik. Pada skala atom,

momen magnet berasal dari pergerakan elektron, ini dipengaruhi oleh konfigurasi
elektron yang berbeda tiap atom atau ikatan antara atom.
Elektron mempunyai dua pergerakan, yakni spin dan orbit, dimana momen
magnet magnet spin elektron memberikan efek lebih besar dari pada orbitnya.
Besar momen magnet di indikasikan oleh Borh magneton, μB = 9,27 x 10-24 A-M2.
Untuk spin keatas dan kebawah bernilai berturut-turut + μB dan - μB. Untuk orbital
yang bernilai μB. m, dimana m nilai kuatum magnetik. Pada orbital atom yang
terisi penuh, momen orbital dan spin dari pasangan elektron saling meniadakan,
material menjadi bukan magnet permanen (Sears & Zemansky Addison Wesley
5th edision).

2.6.2 Dipol Magnetik
Dipol magnet dapat dianalogikan sebagai magnet batang yang terdiri dari
kutub utara dan kutub selatan, pengganti dengan kutub + dan – dari dipol listrik.
Pada lingkungan suatu medan magnet, dipol magnetik pada suatu material
cenderung terorientasi terhadap medan. Dipol magnet dapat menimbulkan medan
magnet, yang dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.7 Dipol Magnetik
(http://www.dipolmagnetik.com)

2.6.3 Medan Magnet
Suatu partikel bermuatan listrik yang bergerak pada suatu medan magnet
akan mengalami gaya Lorentz yang mendorongnya kearah tegak lurus dengan
medan magnet dan arah gerak (kaidah tangan kanan). Medan magnet aksternal, H
dapat diubah dengan kumparan kawat silinder yang dialiri kawat listrik, sehingga
memberikan medan magnet terinduksi B. Medan magnet terinduksi, B (wb.m-2),
adalah besar kekuatan magnet internal suatu material yang diberikan H, dimana H
= (N/I) I, dengan I adalah arus listrik. (Seperti pada gambar 2.8)

Gambar 2.8 Medan Magnet Induksi
(http://www.elektronikabersama.com)

Dari gambar diatas, menjelaskan derajat magnetasi material atau suatu
material dapat diinduksi oleh H. Magnetasi suatu material M, dapat memperkuat
pengorientasian momen magnet terhadap H.
B = μ0 H + μ0 M
Dimana: M = XM H dan XM = k-1.
Medan magnet yang timbul pada magnet permanen dihasilkan dari medanmedan magnet yang sangat kecil dari tiap atom dalam magnet tersebut yang saling
menguatkan. Tingkatan ini dihasilkan oleh pergerakan spin dan orbital dari
elktron. Material feromagnetik yang dapat menghasilkan fenomena ini. Unsur
yang umumnya digunakan sebagai bahan utama material ferromegnetik adalah
besi, cobal, dan nikel.

Kekuatan magnet dihasilkan oleh magnetik flux density. Yang diukur dalam
satuan Gauss. Jenis magnet yang digunakan untuk refrigerator mempunyai
kekuatan sekitar 1000 Gauss sedangkan water treatment dan bahan bakar
mempunyai tingkatan sekitar 2000 sampai 4000 Gauss.

2.6.4 Jenis Material Magnet
Berdasarkan konfigurasi elektron, efek magnet pada material terbagi :
a. Diamagnetik
Material yang semua momen spin elektronnya bercouple. Pada
suatu

medan

magnet

elsternal

momen,

magnet

terinduksi

(termagnetisasi) secara lemah karena Xm ˂ O (lemah); Xm menandakan
magnetisasi yang didapat pada suatu medan magnet. Asal momen
magnet berasal dari orbit elektron sekitar inti, yang menghasilkan medan
magnet. Pada suatu medan magnet eksternal, ekstra torque diaplikasikan
ke elektron menghasilkan orientasi anti-paralel mmomen magnet atom,
yang lemah terhadap medan magnet, karena XM ˂ 0.
b. Paramagnetik
Material yang memiliki atom, ion, dan molekul yang berspin tak
terkompensasi dan batas momen magnet spin permanen. Pada non
medan magnet eksternal, orientasi momen magnet atom acak, karena
dipol atom bergerak bebas. Momen spin yang lebih besar dari pada
momen orbitnya menyebabkan perilaku material saat medan magnet
eksternal mengindikasikan momen magnet spin. Pada suatu medan
magnet, momen spin yang tak terkompensasi terorientasi (terinduksi, Xm
˃ 0) hingga beberapa derajat terhadap arah medan magnet(magnetisasi).
c. Ferromagnetik
Kasus khusus parakmagnetik dimana momen magnet spin atomatom terdekat (coupling) terorientasi (matually spin alignment) saat nonmedan eksternal. Material memiliki Xm ˃˃˃ 0 (magnetic susceptibility
yang sangat kuat). Spin yang tak terkompensasi pada individu atom-

atom dapat saling berpasangan langsung (direct exchange) atau melalui
anion intermediat seperti oksigen (super exchange).
Tidak seperti paramagnetik, saat medan magnet eksternal dilepas, material
menyisakan bagian yang termagnetisasi permanen (penomena histerisis).
Magnetisasi maxsimum (saturasi), MS menggambarkan magnetisasi yang
dihasilkan semua dipol magnet yang terorientasi dengan medan magnet eksternal.

2.6.5 Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Magnet
Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan vibrasi atom-atom, sehingga
mengacak beberapa momen yang terorientasi. Pada ferro-, antiferro-,dan ferrimagnetik, vibrasi termal meniadakan gaya coupling antara momen dipol atomatom berdekatan (beberapa dipol akan kehilangan orientasi), sehingga magnetisasi
menurun. Magnetisasi bernilai maksimum pada saat vibrasi minimum (0 K).
Peningkatan suhu menurunkan secara perlahan magnetisasi, yang turun hingga nol
pada suhu curie Tc (spesifik untuk material). Saat Tc gaya coupling spin mutual
(ferro- dan ferri- magnetik) hilang sempurna (paramagnetik). Peningkatan suhu
juga menurunkan kemagnetan anti ferromagnetik hingga suhu Neel, TNe, setelah
itu kemagnetan meningkat.

2.7

Efek Magnetisasi pada Bahan Bakar Diesel

2.7.1 Reaktifitas Molekul
Adanya medan magnet statis yang besar, awan elektron mengelilingi
molekul, sehingga molekul bersifat terpolarisasi dan memberikan kenaikan pada
medan yang kecil. Posisi inti atom, pada medan yang sesungguhnya tidak hanya
tergantung sekitarnya, akan tetapi sekeliling molekul sendiri. Pada keadaan cair,
reorientasi molekul terjadi secara acak.
Jika atom yang diletakkan dalam medan magnet yang seragam, elektron
yang mengelilingi inti menjadi berputar. Perputaran ini menyebabkan medan
magnet sekunder yang arahnya berlawanan dengan arah medan magnet yang
diberikan.

Ketika solar masih berada dalam suatu penyimpanan bahan bakar, molekul
hidrokarbon, yang merupakan penyusun utama solar, cenderung untuk saling
tertarik satu sama lain, membentuk molekul-molekul yang bergerombol
(clustering). Penggumpalan ini akan terus berlangsung, sehingga menyebabkan
molekul-molekul hidrokarbon tidak saling berpisah pada saat bereaksi dengan
oksigen diruang bakar. Akibat buruk yang ditimbulkannya adalah ketidak
sempurnaan pembakaran yang dapat dibuktikan secara sederhana dengan
ditemuinya kandungan hidokarbon pada gas buang.
Adanya suatu medan magnet permanen yang cukup kuat pada melekul
hidrokarbon yang bersifat diamagnetik akan menyebabkan reaksi penolakan antar
molekul hidrokarbon (desclustering) sehingga terbentuk jarak yang optimal antar
molekul hidrokarbon.
Partikel-partikel atom yang membentuk molekul hidrokarbon tersebut akan
terpengaruh oleh medan magnet yang ditimbulkan sehingga akhirnya akan
menjadi semakin aktif dan arahnya akan tersejajar (reorientasi) sesuai dengan arah
medan magnet. Aktifitas molekular yang meningkat akibat medan magnet akan
menyebabkan pengumpulan molekular terpecah. Oksigen akan lebih mudah
bereaksi dengan masing-masing molekul hidrokarbon yang tidak lagi berada
dalam gumpalan, sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna dan
penurunan kadar emisi gas buang. (Seperti pada gambar 2.9)

Gambar 2.9 Declustering molekul hidrokarbon yang melewati magnet
(:http://www.bahanbakarsolarmelewatimagnetcom)

Pemecah gumpalan-gumpalan (desclustering) molekul hidrokarbon ini dapat
dijelaskan juga melalui teori mengenai momen ikatan. Sebagai contoh, apabila
ikatan polar seperti O-H dibiarkan dalam medan magnet, maka ikatan akan
mengalami sejumlah gaya balik tertentu. Gaya ini secara sederhana mendorong
medan magnet untuk membebaskan ikatan dalam medan. Ikatan yang lebih polar
mengalami gaya lebih besar daripada ikatan yang kurang polar. H-C termasuk
ikatan non-polar, karena nilai momen ikatannya hanya sebesar 0,4 D (Debye).
Namun medan magnet yang kuat dapat mengganggu dan mempengaruhi ikatan HC. Meskipun ikatan antara atom H-C tidak sampai terlepas satu sama lain, namun
setidaknya kekuatan ikatannya akan sedikit melemah, sehingga atom-atom
hidrogen dan karbon akan lebih mudah tertarik dengan oksigen pada proses
pembakaran.

2.7.2 Perubahan Spin Elektron Hidrogen
Hidrokarbon pada dasarnya memiliki struktur seperti sangkar (cage like).
Sebagai contoh metana (CH4), tersusun atas satu atom karbon yang posisinya
berada dibagian paling dalam dan 4 atom hidrogen yang mengelilinginya, dimana
secara kelistrikan netral. Itulah sebanya timbul hambatan untuk mengoksidasi
secara sempurna atom-atom karbon bagian dalam selama proses pembakaran.
Kondisi ini dideteksi dari kadar CO dalam gas buang kendaraan bermotor,
disamping gas CO2. Berbeda halnya dengan atom-atom hidrogen, karena berada
pada posisi paling luar, maka atom-atom hidrogen akan lebih dulu bereaksi
dengan atom-atom oksigen.
Sangat menarik untuk meneliti atom hidrogen, karena dari sudut pandang
energi, jumlah energi terbesar yang besar yang bisa dilepas terletak pada atom
hidrogen. Pada oktana (C8H18), persentasi karbon yang terdapat dalam molekul
adalah 84,2% dari berat molekul total. Ketika dibakar, atom karbon melepaskan
energi sebesar 12,224 BTU/lbm. Sementara itu, atom hidrogen yang persentasinya
hanya 15,8% dari berat molekul total dapat melepaskan energi panas sebesar
9.810 BTU/lbm. Ini menunjukkan bahwa hidrogen secara nyata merupakan unsur
utama dalam menghasilkan energi pada pembakaran hidrokarbon.

Hidrogen memiliki satu muatan positif (proton) dan satu muatan negatif
(elektron) sehingga menimbulkan momen dipol. Hidrogen juga mempunyai sifat
kemagnetan yang berbeda, yakni bisa menjadi diamagnetik atau paramagnetik
tergantung orientasi relatif dari spin-spin intinya. Hidrogen memiliki dua jenis
isomer yang berbeda sifat yaitu para dan ortho, yang karakternya ditandai melalui
perbedaan spin-spin inti yang berlawanan. Dalam molekul para, keadaan spin
antara satu atom hidrogen dengan atom hidrogen yang lain saling berlawanan arah
(counter clockwise/ antiparalel/ one up - one down), sehingga sifat kemagnetan
yang ditimbulkan adalah diamagnetik. Sedangkan dalam molekul ortho, keadaan
spin antara satu atom hidrogen dengan yang lainnya adalah searah, sehingga sifat
kemagnetan yang ditimbulkan adalah paramagnetik.
Orientasi spin memiliki efek nyata pada prilaku fisik (panas spesifik, tekan
uap) sama seperti perilaku molekul gas. Bentuk orthohidrogen sangat tidak stabil
dan pada kenyataannya akan lebih mudah bereaksi bila dibandingkan dengan
parahidrogen. Bentuk orthohidrogen lebih menguntungkan, karena kemungkinan
meningkatkan energi hasil pembakaran. Untuk menjaga perubahan dari bentuk
para ke ortho maka penting untuk mengubah energi dari interaksi antara arah spin
dari molekul hidrogen
Pada suhu 200C (suhu kamar), 75% hidrogen dalam keadaan parahidrogen.
Hanya dengan jalan menurunkan suhu hidrogen cair hingga -2350. Medan magnet
dapat menimbulkan efek terhadap perubahan arah putaran spin-spin elektron dari
hidrogen. Seperti telah diketahui bahwa hidrogen memiliki momen magnet dan
momentum sudut yang tidak dapat dihilangkan, dan tidak ada cara yang dapat
dilakukan untuk mengubah besarnya. Namun arah sumbuh putaran elektron dapat
diubah dengan bantuan torsi yang dikerjakan oleh medan magnet.

2.7.3 Polarisasi Senyawa Hidrokarbon
Ketika

ikatan

kimia

terbentuk

antara

dua

atom

yang

berbeda

elektrinegativitasnya, maka terdapat beda kerapatan elektron pada dua atom
tersebut. Atom dengan kerapatan elektron yang rendah akan bersifat parsial positif
dan atom dengan kerapatan elektron yang tinggi akan bersifat parsial negatif. Hal

ini mengakibatkan muatan dipol, yang didefinisikan sebuah muatan positif dan
negatif yang setara (+Q) pada jarak tertentu (r).
Sebuah molekul poliatomik terdiri dari dua atau lebih dipol pada ikatan
yang berbeda, jaringan momen dipol dari molekul tesebut merupakan resultan
vektor dari tiap momen dipol ikatan. Ketika molekul diletakkan pada sebuah
medan magnet, momen dipol dapat terinduksi sesuai dengan arah yang diberikan.
Oksigen yang terdapat pada udara diperlukan untuk pembakaran merupakan
senyawa yang bersifat polar, sedangkan solar memiliki struktur molekular netral
(non polar). Oleh sebab itu, ketika kedua atom tersebut bertemu, keduanya akan
cenderung sulit terlarut/bercampur dalam proses pembakaran. Sehingga dihasilkan
pembakaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pembakaran dapat
dibuktikan secara sederhana dengan ditemuinya kandungan hidrokarbon pada gas
buang.
Salah satu tujuan pemagnetan adalah mempolarisasi solar agar memiliki
kecenderungan bersifat polar. Apabila hal ini dapat terlaksana, ketertarikan
senyawa hidrokarbon dengan oksigen akan lebih kuat bila dibandingkan
hidrokarbon tersebut sama sekali netral. Seperti diketahui, apabila suatu molekul
bersifat polar, maka kecenderungan menarik molekul lain yang bersifat polar akan
semakin kuat. Hal ini kan meningkatkan proses pencampuran oksigen dan
molekul hidrokarbon sehingga akan menyempurnakan pembakaran.
Pendekatan ini menyebutkan bahwa sebagian besar senyawa hidrokarbon
apabila dikenai medan magnet maka akan mempengaruhi bidang rotasi dari
molekul pembentuk hidrogen.

2.7.4 Sistem Monopol Magnet
Arah gaya medan magnet bergerak/dari kutub selatan dan masuk kekutub
utara. Sistem monopol (selatan-selatan) akan memberiakan gaya tolak (repulsif)
yang lebih besar dibanding sistem dipol, namun demikian, sistem dipol
mempunyai garis gaya medan magnet yang lebih padat dan seragam.
Menurut Peter Kulish, sifat dan pengaruh kutub magnet utara dan selatan
berbeda pada suatu sistem magnetisasi dalam proses pembakaran atau treatment

yang lain. Penggunaan dua kutub yang bersamaan (dipol), menjadi kurang efektif
karena penggabungan kedua kutub magnet memberikan efek yang saling
menetralkan magnetisasi. Magnetisasi monopol, dalam hal ini kutub selatanselatan, akan menghasilkan efek yang lebih baik dalam meningkatkan efesiensi
pembakaran.

2.8

Sistem Pelumasan Pada Motor Diesel

2.8.1 Pengertian Pelumasan
Pada dasarnya pelumasan adalah pemisahan dari dua permukaan benda
padat yang begerak secara tangensial terhadap satu sama lain dengan cara
menempatkan suatu zat diantara kedua benda padat tadi yang (Karyanto E, 1986):
a. Mempunyai jumlah yang cukup dan secara terus menerus dan dapat
memisahkan kedua benda sesuai dengan kondisi beban dan suhu.
b. Tetap membasahi permukaan kedua benda.
c. Mempunyai sifat netral secara kimia terhadap kedua benda.
d. Mempunyai komposisi tetap stabil secara kimia pada kondisi operasional.
Suatu zat yang dapat memenuhi persyaratan tersebut diatas disebut
pelumas / lubricant.
Suatu benda atau logam yang tampak halus, sebenarnya tidak pernah
mempunyai permukaan yang licin secara sempurna, seperti yang terlihat dengan
mata biasa, tetapi jika dilihat dengan mikroskop akan terlihat bahwa pada
permukaan tersebut merupakan tonjolan - tonjolan dan lekukan - lekukan
mikroskopis. Sehingga bila kedua permukaan tersebut bersinggunan satu dengan
yang lain, bagian yang merupakan tonjolan dan lekukan pada kedua benda akan
saling mengait. Sehingga apabila kedua permukaan tadi bergerak satu dengan
yang lain maka terjadi suatu tahanan yang besar karena tonjolan dan lekukan
yang saling mengait harus saling mematahkan. Patah nya tonjolan dan lekukan
tadi akan menimbulkan panas, dan tahanan tadi disebut tahanan gesekan. Dan
gesekan yang tadi di sebut gesekan kering.

Permukaan yang kasar tidak dapat dihaluskan seluruhnya dengan cara
digosok atau diamplas, karena tonjolan dan lekukan tadi sangat tidak teratur,
sehingga efek keausan akan berjalan terus.
Jika pemisahan antara kedua permukaan dengan menggunakan pelumas,
gesekan masih tetap ada, yang di sebut gesekan cair. Nilai gesekan cair jauh lebih
kecil dibandingkan gesekan kering.
Fungsi Pelumasan
a.

Mengurangi tingkat keausan pada benda yang saling bergerak bergesekan.

b.

Mengurangi timbulnya panas yang berlebihan

Fungsi lain dari pelumasan :
• Sebagai media pendingin
Maksudnya, menghilangkan panas dari bsagian-bagian yang bergesekan
• Sebagai zat perapat kebocoran
Artinya, menyekat udara antara ring piston dengan dinding silinder
• Sebagai zat pembersih.
Menghilangkan karbon didalam silinder, debu dan menyaringnya.
• Sebagai peredam suara dari getaran

2.8.2 Sifat-Sifat Minyak Pelumas
a. Umum
Agar menghasilkan suatu pelumasan yang baik, maka diperlukan minyak
pelumas yang dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai
kebutuhan. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan
minyak pelumas adalah :
1) Tekanan bantalan
2) Kecepatan pergesekan
3) Bahan yang bergesekan
4) Ruang antara bahan yang bergesekan
5) Aksesabilitas
6) Suhu dan tekanan kerja

b. Viskositas
Viskositas adalah sifat dari suatu fluida, sebagai gesekan internal, yang
menyebabkan fluida tersebut melawan untuk mengalir.
Tabel 2.3 Viskositas SAE Untuk Pelumas Motor
Angka

Rentangan Viskositas, Saybolt seconds

viskositas
Pada suhu 1300F
SAE

Min

Max

10

90

119

20

120

184

30

185

254

40

255

Pada suhu 2100F
Min

Max

80

50

80

104

60

105

124

70

125

150

c. Viskositas Index
Viskositas index adalah suatu ukuran perubahan viskositas dari minyak
terhadap suhu dibandingkan dengan dua macam minyak referensi yang
mempunyai viskositas yang sama pada suhu tertentu.
d. Pour Point
Pour point atau suhu tuang (titik tuang) ialah suhu terendah dimana
minyak dapat mengalir.
e. Flash Point
Flash point atau titik nyala adalah suhu dimana minyak harus dipanaskan
didalam alat percobaan, sehingga timbul uap yang dapat menyala sebentar bila
suatu nyala api kecil didekatkan pada uap tadi.
Titik nyala minyak pelumas yang digunakan pada motor berkisar antara
175º C - 260º C tergantung pada penggunaan motor dan jenis minyak
pelumasnya.

f. Karbon Residu
Karbon residu ialah berat sisa dari minyak pelumas yang telah terbakar.
g. Acidity atau Neutralization Number
Acidity atau keasaman dinyatakan sebagai jumlah dalam milligram dari
potassium hydroxide, yang diperlukan untuk menetralkan suatu gram minyak.
h. Warna
Warna minyak pelumas berguna hanya untuk tujuan identifikasi, dan
bukan menunjukan kualitas suatu minyak.

2.8.3 Bagian-Bagian yang Dilumasi
Umumnya bagian-bagian yang dilumasi pada motor diesel ialah semua
bagian-bagian yang saling bergesekan misalnya :
a. Antara torak dan tabung silinder
b. Antara poros dengan bantalan poros
c. Antara roda-roda gigi dan sebagainya.

2.8.4

Macam-Macam Sistem Pelumasan

1. Sistem pelumasan sump kering
Sistem pelumasan motor yang tidak memanfaatkan karakternya sebagai
penampung minyak pelumas, tetapi menggunakan tanki tersendiri diluar motor.
Minyak pelumas yang jatuh ke dalam sump, selanjutnya dialirkan dengan
pompa, melalui sebuah filter, dan dikembalikan lagi ke dalam tangki supply yang
terletak diluar dari pada motor tersebut. Pompa ini mempunyai kapasitas yang
besar, sehingga dapat mengosongkan sama sekali sumpnya.
Pada umumnya dengan sistem ini, dipergunakan juga sebuah oil cooler,
baik yang menggunakan air atau udara sebagai medium pendinginannya untuk
keperluan pendinginan dari pada minyak pelumasnya.

2.

Sistem pelumasan sump basah
Sistem pelumasan sump basah ialah sistem pelumasan motor yang

memanfaatkan karakternya sebagai penampung minyak pelumas.
Dalam sistem ini, dibagian bawah pada karter terdapat sebuah piringan (pan)
yang merupakan tangki supply, dan ada kalanya sebagai alat pendingin untuk
minyak pelumasnya. Minyak yang jatuh menetes dari silinder-silinder dan
bantalan-bantalan kembali jatuh ke tempat ini, yang selanjutnya dialirkan kembali
dengan sebuah pompa minyak kedalam sistem pelumasanya lagi. Tipe sistem
sump basah yang umum diguunakan ialah:
a.

Sistem percikan dan sirkulasi pompa

b.

Sistem percikan dan tekanan

c.

Sistem tekanan

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45