telaah kritis terhadap kebijakan pendidi

TELAAH KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN
PENDIDIKAN INDONESIA

Di Indonesia memang banyak didirikan sekolah-sekolah elite. Sekolah-sekolah elit
tersebut banyak terdapat di daerah perkotaan. Walaupun terdapat di perkotaan tetapi
masih banyak sekali warganya yang tidak dapat bersekolah. Hal itu dikarenakan
mahalnya biaya sekolah. Masyarakat sangat menyesal dengan hal tersebut,dikarenakan
orang miskin selalu tidak di anggap oleh pemerintah. waktu itu ada seorang anak yang
begitu pintar dalam pelajaran tetapi iya putus sekolah yang disebabkan oleh biaya sekolah
yang begitu mahal,seharusnya pemerintah memberikan kesempatan kepada orang yang
tidak mampu untuk belajar,sangat disayangkan anak emas Negara kita tidak selalu di
dukung oleh pemerintah,sehingga mereka hanya diam, melihat orang – orang kaya yang
terus di perhatikan nasib pendidikannya. Apalagi di daerah pedesaan,di pedesaan sangat
banyak warganya yang tidak bisa bersekolah,Itu dikarenakan tidak adanya biaya dari
orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Tidak hanya itu saja alasannya, masih banyak
lagi alasannya antara lain : letak sekolah yang begitu jauh dari rumah, fasilitas yang
kurang memadai untuk bersekolah, rasa malas dari diri sendiri.
Adapun warga yang bersekolah namun fasilitasnya tidak memadai sehingga
kurang menunjang. Oleh karena itu, seharusnya Pemerintah lebih memperhatikan
pendidikan di Indonesia supaya semua warganya dapat bersekolah dengan nyaman dan
baik, Agar tidak terjadi kebodohan dimana-mana dan negara kita tidak di pandang

sebelah mata oleh negara lain.

Pada masa sekarang pemerintah sudah mengajukan bahwa akan diadakannya
sekolah gratis yang ditujukan kepada keluarga yang tidak mampu. Namun selain itu juga
di Negara kita masih kekurangan tempat untuk kegiatan ngajar – mengajar. Masyarakat
mungkin sangat senang atas diadakannya sekolah gratis, tapi tidak bagi masyarakat yang
berada dipelosok desa. Mereka mungkin senang dengan diadakannya sekolah gratis, tapi
yang jadi permasalahannya adalah di daerah mereka tinggal tidak didirikannya bangunan
sekolah, jadi mereka pergi bersekolah ketempat yang lain dan jaraknyapun jauh dari
tempat mereka tinggal. Mereka harus menempuh jarak ber kilo-kilo untuk mencapai
sekolah. Contohnya daerah terpencil di Tana Toraja kac. Bau, siswanya harus
menyebrangi sungai untuk mencapai sekolah, bahkan ada yang berangkat dari rumah
sekitar jam 4 subuh karena harus menempuh perjalanan yang jauh. Mengapa pemerintah
tidak memikirkan hal itu ? padahal sebelum pemerintah melakukan program sekolah
gratis wajib 9 tahun, sebaiknya pemerintah memperhatikan dahulu yaitu membangun
sekolah-sekolah baru di daerah-daerah terpencil.
Hal tersebut sangat bermamfaat dan setelah itu pemerintah baru melaksanakan
program yang kedua yaitu sekolah gratis bagi keluarga yang tidak mampu. Sehingga
tingkat pendidikan kita seimbang dan kita pun telah memberi peluang bagi calon penerus
bangsa untuk pergi bersekolah. Di televisi sudah banyak iklan selogan-selogan yang

mencirikan “ jika bapaknya seorang supir angkot maka anaknya seorang pilot “ selogan
itu sering kita dengar setiap saat. Marilah kita wujudkan Negara kita itu menjadi Negara
yang berpendidikan dan ucapkan selamat tinggal kepada kebodohan. Mari kita bantu
usaha pemerintah dalam melaksanakan program pembelajaran. Kita ciptakan Negara kita
ini menjadi lebih maju dari sebelumnya. dan rinkuslah para korupsi-korupsi yang telah

melantarkan dana untuk dana pendidikan. Karena pendidikan saat ini Negara kita sangat
terperosok dan tingkat pendidikannya pun perbedaannya sangat jauh dari Negara-negara
lain.

A. Kondisi Pendidikan Indonesia saat Ini
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain
dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996),
ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah
Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia

memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya
berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya
adalah, jelas ada masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif
ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan
dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari
keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu
berbagai

problem


yang

berkaitan

aspek

praktis/teknis

yang

berkaitan

dengan

penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa,
rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya.
Mahalnya pendidikan masih menjadi perbincangan dan permasalahan masyarakat
setiapkali pergantian tahun ajaran, bukan hanya terjadi pada sekolah swasta tetapi juga
sekolah yang berstatus negeri. Orangtua siswa harus berfikir kembali untuk melanjutkan
anaknya pada jenjang yang lebih tinggi akibat semakin tingginya biaya pendidikan. Sehingga

muncul kata dalam salah satu buku Eko Prasetyo kalau “orang miskin dilarang sekolah”.
Padahal pendidikan adalah suatu bentuk hak asasi yang harus dipenuhi dari lembaga
atau institusi yang berkewajiban memenuhinya secara merata, sehingga semua masyarakat
dalam suatu bangsa tersebut dapat menikmatinya. Bukannya hanya ditujukan untuk orang
yang mampu membayarnya. Mengingat pentingnya pendidikan untuk semua warga, sehingga
posisinya sebagai salah satu bidang yang mendapat perhatian serius dalam konstitusi Negara
kita, dan menjadi salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu
Negara dalam hal ini pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara murah dan
bahkan gratis untuk masyarakatnya.

Dari pergantian tahun ajaran pendidikan, masyarakat selalu mengharapkan kapan sebuah
institusi pendidikan atau sekolah akan memasang spanduk atau iklan di depan sekolahnya
yang bertuliskan “sekolah ini gratis”. Namun harapan tersebut mungkin tahun ini belum ada,
mengingat anggaran pendidikan masih tergolong sedikit. Jika dibandingkan dengan teks yang
dianjurkan oleh UUD. Oleh sebab itu dibutuhkan keseriusan pengambil kebijakan untuk
memperhatikan hal tersebut.

B. Penyebab Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya

biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, "sesuai keputusan
Komite Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang
dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan
Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala
Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan
(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan
perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas
pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan
Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya

BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi
favorit.
Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU
No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator
LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.
Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang
mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

C. Dampak Mahalnya Pendidikan

Secara umum, dampak dari mahalnya biaya pendidikan adalah:

1. Lemahnya Sumber Daya Manusia
Salah satu sektor strategis dalam usaha pengembangan Sumber Daya Manusia
(SDM) di Indonesia adalah sektor pendidikan. Sektor pendidikan ini memberikan peran
yang sangat besar dalam menentukan kualitas dan standar SDM di Indonesia untuk
membangun Indonesia yang lebih baik kedepannya. Sebagai salah satu elemen yang
terlibat secara langsung dalam dunia pendidikan, pelajar merupakan pihak yang paling
merasakan seluruh dampak dari perubahan yang terjadi pada sektor pendidikan di
Indonesia. Tak peduli apakah dampak tersebut baik atau buruk. Permasalahan yang ikut
membawa dampak sangat besar pada pelajar adalah permasalahan mengenai mahalnya
biaya pendidikan di Indonesia. Permasalahan ini dinilai sebagai permasalahan klasik
yang terus muncul kepermukaan dan belum selesai hingga sekarang. Padahal, tingginya
biaya pendidikan saat ini tidak sesuai dengan mutu atau kualitas serta output pendidikan
itu sendiri. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari masih tingginya persentase
pengangguran terdidik (Sarjana) yaitu sekitar 1,1 juta orang (Data BPS - 2009). Penyebab
banyaknya pengangguran terdidik ini terlihat beragam dan menjadi semakin ironis jika
dilihat dari mahalnya seorang pelajar (terdidik) telah membayar uang kuliah atau uang
sekolah mereka.
2. Lemahnya Taraf Ekonomi Masyarakat
Pendidikan memiliki daya dukung yang representatif atas pertumbuhan ekonomi.
Tyler mengungkapkan bahwa pendidikan dapat meningkatkan produktivitas kerja


seseorang, yang kemudian akan meningkatakan pendapatannya. Peningkatan pendapatan
ini berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang bersangkutan, untuk
kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat berpendapatan
rendah. Sementara itu Jones melihat pendidikan sebagai alat untuk menyiapkan tenaga
kerja terdidik dan terlatih yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Jones melihat, bahwa pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan
siswa menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap latih dalam pekerjaannya
yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, yang secara langsung akan
meningkatakan pendapatan nasional. Menurutnya, korelasi antara pendidikan dengan
pendapatan tampak lebih signifikan di negara yang sedang membangun. Sementara itu
Vaizey melihat pendidikan menjdi sumber utama bakat-bakat terampil dan terlatih.
Pendidikan memegang peran penting dalam penyediaan dan tenaga kerja. Ini harus
menjadi dasar untuk perencanaan pendidikan, karena pranata ekonomi membutuhkan
tenaga- tenaga terdidik dan terlatih.
Permasalahan yang dihadapai adalah jarang ada ekuivalensi yang kuat antara
pekerjaan

dan


pendidikan

yang

dibutuhkan

yang

mengakibatkan

munculnya

pengangguran terdidik dan erlatih. Oleh karena itu, pendidikan perlu mengantisipasi
kebutuhan. Ia harus mampu memprediksi dan mengantisipasi kualifikasi pengetahuan dan
keterampilan tenaga kerja. Prediksi ketenagakerjaan sebagai dasar dalam perencanaan
pendidikan harus mengikuti pertumbuhan ekonomi yang ada kaitannya dengan
kebijaksanaan sosial ekonomi dari pemerintah.

3. Kurangya Kesadaran Masyarakat Akan Kesehatan
Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin sadar akan pentingnya

kesehatan. Pada jenjang pendidikan tinggi, peran pendidikan sangat sentral dalam
menghasilkan output-output yang akan berkontribusi untuk mentransformasikan
pengetahuan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya
kesehatan

bagi

kesejahteraan

bangsa

Indonesia.

Untuk

mereflesikan

dan

mengimplementasikan manajeman kesehatan yang berkualitas, saat ini telah banyak
pendidikan-pendidikan tinggi baik universitas maupun institusi yang telah membuka
program kesehatan seperti jurusan kedokteran, manajemen kesehatan, keperawatan, dan
sebagainya. Dengan adanya program seperti ini diharapkan terlahir generasi-generasi
baru yang paham dan memiliki kemampuan serta kredibiolitas dalam menguapayakan
penyelenggaraan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.
Selain itu, pendidikan tinggi diantaranya universitas merupakan pendidikan
tertinggi yang bertugas memberikan pengabdian kepada masyarakat dalam berbagai
bentuk yang bermanfaat. Dalam hal ini, jurusan dari berbagai pendidikan kesehatan
dalam melakukan program pengabdian masyarakat seperti pengobatan gratis dan
sebagainya yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam membantu
masyarakat yang membutuhkan mendapatkan pemeriksaan kesehatan.

D. Cara Mengatasi Mahalnya Biaya Pendidikan

Besar dan kecilnya subsidi pemerintah itulah yang membuat mahal atau murahnya
biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh orang tua atau masyarakat. Kalau kita ingin

biaya pendidikan tidak mahal maka subsidi pemerintah harus besar.Kecuali Jepang,
Australia memiliki pengalaman bagus untuk membuat biaya pendidikan tidak mahal bagi
masyarakat. Dengan mengembangkan konsep CBE, Community-Based Education, maka
pemerintah melibatkan tokoh masyarakat, kaum bisnis, pengusaha, dan kaum berduit
lainnya dalam urusan pendidikan. Mereka diminta membantu pemikiran, gagasan, dan
dana untuk mengembangkan pendidikan baik melalui komite sekolah (school committee),
dewan pendidikan (board of education), atau secara langsung berhubungan dengan pihak
sekolah. Banyak hasil yang dipetik dari program ini.
Usaha untuk menjadikan pendidikan tidak mahal untuk 'dikonsumsi' orang tua
dan masyarakat sebenarnya sudah dilaksanakan pemerintah Indonesia, baik dengan
meningkatkan subsidi maupun membangkitkan partisipasi masyarakat.
Dalam Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan
APBD. Ketentuan semacam ini juga ada dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Sayangnya,
pemerintah sendiri tidak konsisten dalam menjalankan ketentuan ini. Seandainya saja
ketentuan UU dan UUD tersebut direalisasi maka sebagian permasalahan tentang
mahalnya biaya pendidikan di negara kita tentu akan teratasi.
Usaha kedua yang sudah dicoba oleh pemerintah ialah membangkitkan peran
serta masyarakat melalui dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan komite
sekolah/madrasah di tingkat sekolah. Dalam Pasal 56 ayat (2) dan (3) dijamin eksistensi
dan perlunya dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah untuk membantu sekolah,
termasuk mengatasi mahalnya pendidikan bagi rakyat banyak. Sekarang hampir di
seluruh kabupaten/kota dan provinsi sudah dibentuk lembaga yang disebut dewan

pendidikan; di samping komite sekolah/madrasah yang dibentuk pada banyak sekolah.
Sayangnya, banyak dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah yang tidak dapat
menjalankan fungsinya secara benar. Celakanya, banyak dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah hanya menjadi aksesori saja. Lagi-lagi kita tidak konsisten
menjalankan konsep.
Sebenarnya kita sudah memiliki konsep yang bagus untuk mengatasi mahalnya
biaya pendidikan. Namun, karena kita tidak bisa menghilangkan penyakit 'tidak
konsisten', akhirnya biaya pendidikan kita pun tetap mahal bagi masyarakat kebanyakan.

E. Pendidikan Gratis di Indonesia
Biaya merupakan faktor penting dalam pendidikan. Namun memenuhi hajat hidup
dalam hal ini kebutuhan pokok lebih penting. Hal ini yang menyebabkan banyak
orangtua yang tidak menyekolahkan anaknya. Banyak sekali anak usia sekolah yang
harus membantu orang tuanya mencari nafkah. Oleh karena itu undang-undang
mengamanatkan agar pemerintah memperhatikan anak-anak usia sekolah agar dapat
mengikuti pendidikan dasar tanpa dibebani biaya yang dapat menghambat proses
pendidikan. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003
pasal 11 ayat 2 yang berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Kalau kita kaji isi dari pasal 11 ayat 2 UU
Sisdiknas tahun 2003, banyak makna yang terkandung didalamnya, diantaranya :
a. Dana untuk pendidikan dasar merupakan tanggung jawab pemerintah

b. Usia sekolah yaitu usia tujuh sampai lima belas tahun berhak mendapatkan
pendidikan dasar tanpa dikenakan biaya. Anak yang berhak mendapatkan pendidikan
dasar tanpa biaya ini tidak memandang dari golongan miskin atau kaya. Mereka
semua merupakan tanggung jawab pemerintah.
Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah
menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam
UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya
keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali
dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di
dalamnya terdapat kewajiban yang harus dilakukan pemerintah termasuk masalah
biaya. Kewajiban pemerintah yang menyediakan biaya pendidikan dasar. Berdasarkan
amanat UUD 1945 pada pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
Pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 berbunyi “Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia
tujuh sampai lima belas tahun”
Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 berbunyi “Pemerintah dan pemerintah
derah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya”
Berdasarkan undang-undang tersebut seharusnya pemerintah mempunyai komitmen
yang tinggi untuk melaksanakannya. Karena selain tuntutan dari undang-undang, pendidikan
juga dapat meningkatkan kesejahteraan warganya.

Dengan adanya pendidikan gratis, semua masalah pun dapat teratasi. Selain itu,
pendidikan gratis juga tidak lepas dari peran serta pemerintah daerah karena pemerintah
daerahlah yang mengaplikasikannya. Selain itu juga jika ada aturan yang jelas tentang
program wajib belajar, maka tidak ada satupun orangtua yang membiarkan anaknya tidak
bersekolah, serta pemerintah dapat memberi sanksi terhadap orangtua yang tidak
menyekolahkan anak pada usia wajib belajar.