Perkembangan Ekonomi Jepang pasca perang

Perkembangan Ekonomi Jepang
Jepang merupakan salah satu Negara paling maju di dunia. Saat ini
ekonomi pasar bebas dan industri Jepang merupakan yang ketiga terbesar di
dunia setelah Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina, dilihat dari segi
varitas daya beli internasional. Ekonomi jepang ini dibentuk dari semua
elemen yang membentuk ekonomi modern yaitu : industri, perdagangan,
pertanian, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini disokong oleh sistem
informasi dan transportasi serta perbankan yang baik.
Faktor lain, yang juga mendukung perekonomian Jepang adalah hubungan
baik dengan berbagai banyak negara yang akhirnya membantu melancarkan
perdagangan luar negerinya. Ciri-ciri khas ekonomi Jepang di antaranya
adalah kerja sama yang erat diantara perusahaan yang bergerak di bidang
pengilangan, perbekalan, pengedaran, dan bank (kelompok kerja sama ini
disebut keiretsu), negosiasi upah antara perusahaan swasta dengan serikat
buruh (shunto), hubungan baik dengan birokrasi pemerintahan, dan jaminan
karir sepanjang hayat (shushin koyo) untuk hampir sepertiga tenaga kerja di
kota, serta jaminan kontrak kerja bagi buruh.
Secara keseluruhan, selama tiga dekade, pertumbuhan ekonomi Jepang
sebenarnya amat mengagumkan: rata-rata 10% pada dekade 1960-an, ratarata 5% pada 1970-an, dan rata-rata 4% pada 1980-an. Hal itu didorong dari
banyaknya investasi di sektor-sektor industri dan juga tingginya tabungan
rakyat pada saat itu yang membantu pertumbuhan perbankan yang solid.

Modal ini kemudian banyak digunakan dalam hal pengenalan teknologi baru,
kebanyakan dibawah lisensi perusahaan asing.
Dalam pertumbuhan ekonominya, Jepang sering mengalami pasang surut.
Salah satu contoh penurunannya adalah pada tahun 1974, pertumbuhan
ekonomi jepang turun sampai –0.5%, sangat berbeda dari pertumbuhan
ekonominya pada tahun 1960-an hingga awal 1970-an yang bisa mencapai
11%. Ini disebabkan karena terjadinya krisis minyak. Hal itu membuktikan
kelemahan ekonomi Jepang yang sangat tergantung pada impor minyak
sebagai sumber energi dari negara lain.

Pertumbuhan ini pun kembali melesu pada dekade 1990-an, terutamanya
disebabkan dampak sampingan perburuhan secara berlebihan selepas tahun
1980-an dan dasar-dasar ekonomi pengurangan inflasi yang bertujuan
membebaskan diri dari kelebihan spekulasi pasaran saham dan harga
penjualan tanah.
Di awal tahun 2008 ini, pertumbuhan ekonomi Jepang kembali bergerak
lambat, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya yaitu
merosotnya investasi perumahan.
Menurunnya investasi di sektor perumahan tersebut disebabkan
berkurangnya aktivitas konstruksi akibat pengetatan regulasi Juni tahun lalu.

Hal tersebut dilakukan menyusul skandal pemalsuan data bangunan
pendirian beberapa blok apartemen oleh seorang arsitek Jepang. Para
pengusaha di sektor perumahan juga mengaku kesulitan menyesuaikan diri
dengan kebijakan baru tersebut, sehingga mereka memilih untuk menahan
dulu investasi di sektor tersebut.
Tantangan terbesar yang dihadapi Pemerintah Jepang, menurut mereka,
adalah membenahi sektor belanja konsumen yang mengalami keterpurukan
akibat menurunnya sentimen, lambatnya pertumbuhan upah, dan
melambungnya sejumlah harga komoditas. Jepang mengkoreksi turun
pertumbuhan ekonominya pada kuartal kedua tahun ini. Penurunan ini
disebabkan oleh berbagai faktor dari dalam dan luar negeri.
BBC memberitakan pada Senin 10 September 2012, pemerintah Jepang
mengumumkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,7 persen pada periode April
hingga Juni tahun ini. Pertumbuhan ekonomi ini menurun dari estimasi
sebelumnya yaitu 1,4 persen.
Dibandingkan kuartal sebelumnya, perekonomian Jepang hanya tumbuh 0,2
persen. Pertumbuhan ini juga meleset dari estimasi sebelumnya yaitu 0,3
persen.
Diperkirakan, penurunan pertumbuhan ekonomi Jepang ini diakibatkan
melemahnya ekspor dan lesunya permintaan dalam negeri. Penurunan ekspor

Jepang terjadi akibat turunnya permintaan dari pasar-pasar kunci seperti
Amerika Serikat dan negara-negara zona euro yang tengah terlilit krisis.

Martin Schulz, pengamat dari Fujitsu Research Institute mengatakan,
menurunnya ekspor Jepang menjadi pukulan bagi investasi korporat dan
mengganggu pertumbuhan. Selain itu, anjloknya permintaan domestik Jepang
juga gagal menutupi kerugian akibat penurunan ekspor.
"Penurunan ekspor memberikan dampak negatif, tidak hanya bagi
pertumbuhan Jepang dari juga bagi sentimen bisnis dan investasi korporat di
negara tersebut," kata Schulz.
Selain itu, pertumbuhan di negara-negara Asia, seperti China dan India, juga
menyumbang pada penurunan ekonomi Jepang. China dan India yang selamat
dari krisis ekonomi yang melanda Barat, berhasil merebut pasar negara
kompetitor.

NAMA .
I gusti ngurah a.p
Chaerul
M . prasetyo
Arief

Muh amriansyah