Analisis Kandungan Sianida (Cnˉ) di Sungai Bone

  LEMBAR PENGESAHAN “Analisis Kandungan Sianida (CN

  ˉ) Di Sungai Bone”

  Oleh NIKMA BADJEBER Telah diperiksa dan disahkan Pembimbing I Pembimbing II Dr. Abd.Hafidz olii, S.Pi, M.Si NIP. 19730810 200112 1 001

  Analisis Kandungan Sianida (Cn

  ˉ) di Sungai Bone

  1

  2

  3 Nikma Badjeber ;Abd. Hafidz Olii. ;Femy M. Sahami.

  Jurusan S1 Menajemen Sumberdaya Perairan Fakultas: Perikanan dan Ilmu-Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Gorontalo

  Email:nikmaxiaga@yahoo.com

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kandungan sianida (CN ‾) di Sungai Bone. Penelitian dimulai dari Bulan Mei sampai Desember 2014. Penentuan lokasi menggunakan metode purposive sampling, dengan menentukan 3 stasiun yaitu stasiun I (setelah bak permandian Lombongo) stasiun II (sebelum PDAM) dan stasiun III (daerah muara sungai). Pengambilan sampel menggunakan metode sampel sesaat dengan menggunakan botol tertutup. Jumlah sampel yang diambil setiap stasiun disesuaikan dengan klasifikasi sungai.

  Pengumpulan data yaitu mencakup data Laboratorium dan Lapangan. Analisis kandungan sianida (CN ‾) menggunakan spektofotometer UV-vis di Laboratorium Kimia Universitas

  Negeri Gorontalo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosentrasi (CN ‾) di Sungai Bone pada ketiga stasiun rata-rata telah mencapai

  ≥ 0.2 ppm, dan kosentrasi sianida (CN‾) tertinggi berada pada stasiun III dengan nilai 0.2085 ppm. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air serta ketentuan dalam Alaerts & Santika (1987), bahwa tingkat kandungan sianida (CN ‾) di Sungai Bone telah melebihi batas kadar maksimum yang diperbolehkan.

  Kata Kunci: Sungai Bone, sianida (CN ‾), kualitas air.

  1 2 Nikma Badjeber, 633410021, Jurusan S1 Menajemen Sumberdaya Perairan 3 Pembimbing I, Dr. Abd. Hafidz olii, S.Pi, M.Si Pembimbing II, Femy M. Sahami, S.Pi, M.Si.

I. PENDAHULUAN

  Sungai merupakan salah satu tipe ekosistem perairan umum di darat yang berperan bagi kehidupan biota dan juga dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk berbagai macam kegiatan seperti perikanan, pertanian, keperluan rumah tangga, penambangan dan transportasi. Berbagai macam aktivitas manusia dalam pemanfaatan sungai tersebut pada akhirnya dapat antara lain penurunan kualitas air. Penambahan bahan buangan dalam jumlah besar dari bagian hulu hingga hilir sungai yang terjadi terus menerus akan mengakibatkan sungai tidak mampu lagi melakukan pemulihan, dikarenakan limbah yang dihasilkan melebihi kemampuan daya dukung. Hal ini akan menimbulkan masalah yang serius bagi kesehatan lingkungan perairan, apabila kalau bahan bungan atau limbah dari berbagai aktivitas manusia yang dibuang ke sungai merupakan bahan pencemar yang berbahaya.

  Masuknya bahan pencemar ke sungai akan mengancam kelangsungan hidup berbagai macam organisme yang terdapat di sungai yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di perairan tersebut. Di Indonesia beberapa sungai besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana. Selain itu beberapa sungai di Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di Gorontalo terdapat pula beberapa sungai yang relatif besar yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat antara lain adalah Sungai Bone.

  Sumber daya air Sungai Bone memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat umum yang bermukim di

  Wilayah Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Air Sungai Bone terutama diperuntukkan sebagai sumber utama air baku untuk PDAM. Selain itu, sebagian masyarakat memanfaatkan untuk kegiatan rekreasi, serta untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada di dalamnya. Melihat pentingnya sumberdaya air Sungai Bone menuntut keterjaminan kualitas ataupun kesehatan lingkungan perairan Sungai memenuhi kriteria penggunaan sumber air sesuai dengan peruntukannya.

  Kesehatan lingkungan sumberdaya air di Sungai Bone tentu saja sangat dipengaruhi oleh kegiatan ataupun aktivitas masyarakat yang berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone itu sendiri.

  Secara administrasi Daerah Aliran sungai (DAS) Bone terletak di wilayah Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo, yang merupakan salah satu dari 2 aliran sungai besar yang terdapat di Provinsi Gorontalo. Menurut Rauf (2012), luas total DAS Bone adalah 104.193,53 ha, dengan rincian luas DAS bagian hulu adalah 77.948,37 ha, bagian tengah DAS seluas 18.746,84 ha dan bagian hilir DAS adalah 7.499,84 ha.

  Aktivitas masyarakat pada bagian hulu yang berpotensi mencemari Sungai Bone yaitu penambangan emas tanpa ijin (PETI). Kegiatan pertambangan rakyat yang ada di hulu Sungai Bone menggunakan sianida (CN

  ˉ) dalam kegiatan pengolahan, yaitu sebagai pereaksi untuk mengekstraksi emas. Limbah hasil pengolahan tersebut biasanya dibuang dekat aliran sungai. Pembuangan limbah menjadi persoalan besar, manakala air yang tercemar dikonsumsi oleh (manusia, hewan dan organisme), maka kondisi ini dapat menimbulkan bahaya bagi semua makhluk hidup yang memanfaatkannya dengan beragam pemanfaatan.

  Sianida (CN ˉ) dalam bentuk logam secara luas digunakan dalam industri pertambangan dan pelapisan logam. Menurut Yuningsih (2012), sianida (CN

  3.1 Waktu dan lokasi

  (CN ˉ)

  dengan menggunakan alat dan bahan serta lembar hasil pengukuran. Kadar sianida

  (CN ˉ)

  b. Uji laboratorium dilakukan untuk memperoleh nilai kadar sianida

  a. Data lapangan mencakup hasil pengukuran faktor fisik kimia yang meliputi kecerahan, pH, DO dan arus, yang langsung dilakukan di lapangan.

  Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Data yang dikumpulkan mencakup data laboratorium dan lapangan.

  3.2 Pengumpulan data

  Gambar 1. Peta lokasi penelitian

  Penelitian dilakukan selama 8 bulan yaitu mulai dari Bulan Mei-Desember Tahun 2014, dari persiapan hingga pelaporan hasil akhir penelitian. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Bone Bolango bagian Barat dan Kota Gorontalo. Dengan mengambil 3 stasiun seperti yang terlihat pada Gambar 1.

  Bone”

  ˉ) adalah zat yang sangat beracun bagi organisme air dan manusia. Ketika sianida (CN diukur setelah melakukan beberapa perlakuan dengan pereaksi, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknologi spektrofotometri UV-vis. Pengukuran kadar sianida (CN

  ˉ) di Sungai

  Kandungan Sianida (CN

III METODOLOGI PENELITIAN

  ˉ) terhadap manusia, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Analisis

  Melihat pentingnya sumberdaya air Sungai Bone dan besarnya bahaya sianida (CN

  ˉ) khususnya pada sumberdaya air Sungai Bone. Sementara bila melihat peruntukannya, sumberdaya air Sungai Bone merupakan suatu kebutuhan vital masyarakat yang ada di daerah Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yaitu sebagai sumber air baku PDAM untuk kedua wilayah tersebut. Peruntukan lainnya juga adalah untuk kegiatan rekreasi dan perikanan oleh masyarakat yang ada disekitar Sungai Bone.

  Adanya kegiatan (PETI) di wilayah hulu DAS Bone dikhawatirkan dapat memberikan konstribusi yang besar terhadap pencemaran sianida (CN

  ˉ) mengikat enzim penting mengandung besi yang diperlukan bagi sel untuk menggunakan oksigen dan akibatnya jaringan sel tidak dapat mengambil oksigen dari dalam darah. Sianida merupakanjenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh (Ferguson, 2008).

  ˉ) yang terkandung dalam air akan diserap oleh organisme air dan kemudian organisme tersebut (misalnya ikan) dikonsumsi oleh manusia, maka manusia juga akan menerima racun tersebut dari ikan yang dimakannya. Sianida (CN

  ˉ) memasuki rantai makanan menyebabkan sianida (CN

  ‾) dilakukan di Laboratorium Universitas Negeri Gorontalo, oleh tenaga yang terampil dalam bidang ini.

  3.4 Penentuan titik sampling

  Pengambilan sampel pada stasiun I hanya diambil pada 1 titik yaitu pada kedalaman 30 cm dari permukaan. Penentuan jumlah titik ini berdasarkan pada klasifikasi sungai untuk kedalamannya kurang dari 1 meter. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Hadi (2007) bahwa sungai dengan kedalaman air rata-rata < 1 meter termasuk dalam kategori sungai kecil dan jumlah titik sampel terdiri dari 1 titik saja yaitu pada kedalaman 30 cm.

  Penentuan titik sampling dilakukan dengan metode purposive sampling. Pada masing-masing stasiun titik pengambilan sampel disesuaikan dengan debit rata-rata tahunan dan klasifikasi sungai.

3.3 Penentuan stasiun 1) Stasiun I

  Stasiun ini berlokasi di Kabupaten Bone Bolango, Kecamatan Kabila,Desa Tanggilingo. Secara geografis terletak pada koordinat N = 00 31' 46. 8" dan E=123 10' 45. 2". Lokasi ini dipilih untuk melihat apakah air yang digunakan sebagai bahan baku air minum PDAM masih aman atau tidak dari cemaran sianida (CN

  ˉ)

  3) Stasiun III

  Lombongo, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango. Secara geografis terletak pada koordinat N = 00 32'26'.1" dan E= 123 10' 45.2". Stasiun ini berada di aliran sungai setelah bak permandian Lombongo (aliran sungai yang menyatu dengan Sungai Bone).

  2) Stasiun II

  ˉ)

  Lokasi ini dipilih untuk melihat tingkat kelayakan air yang digunakan untuk rekreasi permandian dari cemaran sianida (CN

  Sampel pada stasiun II diambil dari 2 kedalaman pada masing-masing sisi sungai. Secara keseluruhan ada 4 titik sampling yaitu diambil pada kedalaman 30 cm ada 2 sampel dan pada kedalaman 60 cm juga 2 sampel. Pengambilan sampel pada lokasi ini disesuaikan dengan klasifikasi sungai. Sungai Bone termasuk dalam klasifikasi sungai sedang. Pengambilan sampel untuk sungai sedang diambil pada dua kedalaman dari dua sisi sungai, sehingga secara keseluruhan terdapat 4 titik sampling untuk kategori sungai sedang.

  Penentuan pengambilan sampel pada stasiun III seperti pengambilan yang dilakukan pada stasiun II.

  3.5 Analisis data

  Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif dalam bagan serta gambar, tabel dan grafik. Parameter penelitian yang diamati adalah konsentrasi kadar sianida di Sungai Bone pada stasiun yang telah ditentukan. Hasil pengukuran yang didapatkan disetiap stasiun dianalisis

  Stasiun ini terletak di sekitar Jembatan Talumolo I berlokasi di Kelurahan Bugis, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo dengan titik koordinat N = 00 31' 30.9" dan E=123 03' 47. 9", stasiun ini terdapat di daerah muara.Lokasi ini dipilih untuk melihat apakah air sungai masih layak atau tidak untuk kegiatan perikanan. berdasarkan hasil-hasil penelitian, ketentuan ataupun ketetapan tentang standar kualitas air berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas fisik kimia perairan.

  Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur pada skala tertentu (°C atau °F). Besarnya suhu dalam perairan cenderung mengikuti suhu udara di sekitarnya akibat intensitas cahaya matahari (Odum, 1993 dalam Prayitno, 2006).

  29 C 7,3 9,12 mg/L 0,41 m/dtk 0,27 m BAKU MUTU PP No. 82 Tahun 2001 untuk kegiatan perikanan

  3 Stasiun III

  27 C 7,6 9,37 mg/L 0,52 m/dtk 0,245m

  2 Stasiun II

  26 C 7,4 10,12mg/L 0,39 m/dtk 0,31 m

  1 Stasiun I

  No Lokasi Suhu pH DO Arus Kecerahan

  dalam Prayitno (2006) bahwa naiknya

  Menurut Mujosemedi (1985)

  C. Hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian menunjukkan perairan tersebut masih layak untuk pertumbuhan organisme perairan seperti (ikan).

  Pengukuran faktor fisika kimia perairan yang dilakukan di lapangan diukur pada setiap stasiun. Hasil dari setiap pengukuran menjadi nilai dari setiap parameter di lapangan. Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi suhu, pH, DO, arus, dan kecerahan yang dilakukan pada saat pengambilan sampel penelitian. Hasil pengukuran di lapangan disajikan pada Tabel 1 berikut:

  28 C-32

  C. Rendahnya suhu pada stasiun I kemungkinan disebabkan oleh waktu pengambilan sampel yang masih pagi sekitar pukul 09.01 Wita, sehingga penyinaran matahari belum terlalu panas. Suhu mempunyai peran penting dalam lingkungan perairan dimana suhu dapat menjadi penentu dasar pertumbuhan ikan, kisaran baik untuk menunjukkan pertumbuhan optimal ikan

  27 C, sedangkan suhu terendah terdapat pada stasiun I dengan nilai 26

  C. Tingginya suhu pada stasiun III kemungkinan disebabkan pada saat pengukuran suhu, kondisi suhu udara di lokasi sangat panas yaitu sekitar pukul 13.08 Wita, dan lokasi ini merupakan kawasan terbuka, sehingga perairan langsung terkena sinar mencapai

  Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata pengukuran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 27 C-29 C. Suhu tertinggi yaitu pada stasiun III dengan nilai 29

  o C.

  Menurut PP No.82 Tahun 2001 (kelas II) kisaran suhu untuk kegiatan budidaya air tawar adalah deviasi 3, sedangkan toleransi suhu perairan yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal dari beberapa ikan jenis air tawar seperti mas dan nila adalah 28

  Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil setiap pengukuran parameter suhu, pH, DO, arus, dan kecerahan terukur berbeda untuk stasiun I, stasiun II dan stasiun III. Adapun secara jelas gambaran tentang parameter kualitas air di lokasi penelitian sebagai berikut: 1) Suhu

  Tabel 1. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada setiap stasiun penelitian Sumber: Data primer (2014).

  Deviasi 3 6-9 Minimum 3 - 2 m oksigen dalam air, dan kenaikan suhu sebesar 10 C akan menaikkan dua kali lipat kecepatan reaksi kimia dan biologi. Secara biokimia, peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme dan respirasi organisme air, yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi oksigen, sehingga menyebabkan turunnya kelarutan oksigen dalam air dengan demikian akan terjadi kekurangan oksigen dan sering menyebabkan kematian organisme air.

  Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman nilai (pH) di stasiun penelitian (Tabel 1) menunjukkan kisaran nilai 7,3-7,6. pH perairan di lokasi penelitian tidak mengalami perbedaan yang mencolok dan masih mendukung untuk berjalannya aktifitas organisme perairan. Sebagaian besar biota perairan sensitive terhadap perubahan pH, pH yang ideal bagi kehidupan biota air tawar adalah antara 6,8-8,5. Hasil pengukuran pH di Sungai Bone masih menunjukkan bahwa pH di lokasi masih berada dalam batas alami dan masih

  Berdasarkan standar baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 (kelas II), menyatakan pH yang baik untuk kegiatan budidaya ikan air tawar berkisar antara 6–9. pH yang sangat rendah, menyebabkan kelarutan logam-logam dalam air makin besar, yang bersifat toksik bagi organisme air, sebaliknya pH yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi amoniak dalam air yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Tatangindatu, dkk, 2013).

  Keasaman adalah kapasitas kuntitatif air untuk menetralkan senyawa dengan sifat-sifat basa sampai pada pH tertentu, sedangkan nilai pH hanya menggambarkan pada kosentrasi ion H

  • dalam perairan tersebut, (Sinaga, 2006). Michael (1995), skala pH berkisar dari 1 sampai 14, dengan angka 7 mencirikan larutan netral.Bilangan dibawah 7 mencirikan keasaman, dan bilangan lebih besar dari 7, mencirikan kebasahan. 3) Oksigen terlarut (DO)

  Hasil pengukuran kadar oksigen terlarut di setiap stasiun berkisar antara 9,12mg/L-10,12mg/L Berdasarkan PP. No 82 Tahun 2001 tentang standar baku mutu (kelas II) bahwa angka batas minimum nilai DO yaitu 4 mg/L, kisaran oksigen terlarut untuk perikanan yang baik > 4 mg/L. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa jumlah oksigen terlarut di setiap stasiun memenuhi standar tapi relatif cukup tinggi. Kondisi seperti ini biasanya terjadi hanya dalam perairan alami yang tanpa adanya pencemaran.

  Bila melihat kondisi perairan Sungai Bone saat ini terdapat beragam kegiatan pemanfaatan yang dapat berpotensi menurunkan nilai DO di perairan yang salah satu aktivitas di bagian hulu yaitu kegiatan pertambangan, maka hal ini dapat menunjukkan suatu penyimpangan. Tingginya kadar oksigen terlarut terukur pada setiap stasiun penelitian kemungkinan disebabkan pada saat pengukuran kondisi alat sudah tidak stabil sehingga memberikan data yang kurang relevan, sehingga hasil yang diberikan kurang dapat digunakan sebagai tolak ukur penilaian kualitas perairan khususnya untuk kandungan DO di Sungai Bone.

  Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa kelarutan oksigen pada air permukaan diantaranya akan menurun sejalan dengan kenaikan suhu, sebaliknya suhu air yang relatif lebih rendah kelarutan oksigen dalam air akan meningkat. Kosentrasi oksigen terlarut (DO) adalah kandungan oksigen yang terlarut dalam suatu perairan yang dipengaruhi oleh suhu, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Hal ini senada dengan hasil penelitian dimana dalam (Tabel 1) dapat dilihat bahwa pada stasiun I suhunya rendah nilai DO tinggi dan selanjutnya dapat dilihat untuk stasiun II diikuti pula oleh penurunan nilai DO. Sungai juga merupakan suatu badan air yang mengalir sehingga selalu terjadi pengadukan (turbulensi air). Kemungkinan tingginya nilai DO ini dipengaruhi juga oleh turbulensi air. 4) Arus

  Tabel 1 menunjukkan bahwa kecepatan arus terukur pada stasiun I rata-rata yaitu 0,39 m/dtk. Hasil pengukuran kecepatan arus pada stasiun

  II rata-rata yaitu 0,52 m/dtk, dan pada stasiun III yaitu 0,41 m/dtk. Faktor utama yang membedakan sungai sebagai komunitas perairan lotik dengan perairan

  lentik adalah adanya arus atau aliran air.

  Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran dan kedalaman dasar perairan, Prayitno (2006). 5) Kecerahan

  Hasil pengukuran tingkat kecerahan setiap stasiun didapatkan bahwa stasiun II memiliki tingkat kecerahan yang rendah dengan nilai kecerahan yaitu 0,245 m, sedangkan pada stasiun I memiliki tingkat kecerahan Tatangindatu, dkk (2013) kisaran kecerahan perairan yang baik untuk air tawar 2 m. Hasil pengamatan dari setiap stasiun dapat dinyatakan secara umum kecerahan di lokasi penelitian berada dalam kondisi baik karena masih berada dalam kisaran kecerahan 2 m. Warna air yang tidak normal bisanya merupakan indikasi terjadinya pencemaran air. Menurut Effendi (2003), nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi.

4.2 Kadar sianiada (CN

  No Lokasi Sub- stasiun

  Rata- rata

  1

  ‾) di lokasi penelitian Hasil pengukuran kadar sianida (CN ‾) di stasiun penelitian disajikan pada Tabel 2.

  1 Stasiun I 0.2033 - - - 0.2033

  2 Stasiun II 0.2063 0.2076 0.218 0.2 0.2079

  3 Stasiun III 0.201 0.2033 0.2203 0.2016 0.2085 Rata- rata 0.2035 0.2054 0.2191 0.2008

  Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar sianida (CN ‾) terukur di lokasi penelitian tidak terlalu bervariasi yang dapat dilihat dari pencapaian rata-rata pada setiap stasiun berkisar

  ≥ 0.2 ppm, akan tetapi jika dilihat nilai pencapaian kadar sianida (CN

  ‾) berdasarkan kedalaman, dapat dilihat bahwa pada kedalaman 30 cm memiliki tingkat kadar yang lebih tinggi. Seperti yang terlihat pada Tabel 2, untuk sub-stasiun 2 yang menunjukkan bahwa pencapaian kadar sianida (CN

  ˉ) telah mencapai 0.2203 ppm (stasiun III) dan 0.218 ppm (stasiun

  II). Secara rata-rata dari keseluruhan stasiun dengan kedalaman berbeda, juga dapat dilihat bahwa kadar tertinggi sianida (CN

  2 30 cm 60cm 30 cm 60 cm

  30 cm. Untuk dapat melihat dengan jelas penggambaran tinggkat presentase kadar sianida (CN

  Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa kadar sianida (CN ˉ) terukur yang tertinggi berada pada kedalaman 30 cm, pada sub-stasiun 2 untuk stasiun II dan stasiun III.

  60 cm k en tr as i m g/ l Kedalaman pengambilan sampel

  0,25 30 cm 60cm 30 cm

  0,05 0,1 0,15 0,2

  ‾) yang diperbolehkan untuk kegiatan rekreasi adalah 0,02 mg/l. Pada Gambar 2 untuk stasiun III terlihat kadar sianida telah melebihi ambang batas yang ditentukan dengan nilai rata-rata 0,2085 mg/l seperti yang terlihat pada Tabel 2. Perairan tersebut dapat dikatakan tidak layak dimanfaatkan

  Hasil pencapaian kadar sianida yang terlihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa stasiun I kadar sianida rata-rata telah melewati ambang batas yang ditentukan yaitu dengan nilai 0,2033 mg/l. Untuk stasiun II rata-rata kadar sianida telah mencapai 0,2079 mg/l, melihat pencapaian tersebut jika disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 (kelas I) tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air telah ditetapkan bahwa persyaratan sianida (CN

  1) Peruntukan air untuk kegiatan rekreasi

  ˉ) merupakan senyawa yang bersifat ringan dan mudah menguap, dan olehnya cenderung berada di permukaan air.

  ˉ) di lokasi penelitian telah disajikan pada Gambar 2.

  ˉ) sudah melampaui ambang batas yang diperbolehkan untuk semua stasiun pengamatan. Menurut Utama (2013), sianida (CN

  ˉ) maksimum yang diperbolehkan 0,02 mg/l. Data yang diperoleh dari hasil laboratorium menunjukkan bahwa kadar sianida (CN

  ‾) di lokasi penelitian telah mencapai 0,2 ppm. Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air bahwa kadar sianida (CN

  ‾) di lokasi penelitian pada setiap stasiun dengan kedalaman yang berbeda terdapat pencapaian yang tidak memiliki perbedaan mencolok, rata- rata kadar sianida (CN

  ˉ) mg/l terlarut di perairan Sungai Bone Gambar 2 menunjukan bahwa kadar sianida (CN

   Gambar 2. Kosentrasi kadar sianida (CN

  St asiun I St asiun II St asiun III sesuai peruntukannya sebagai kegiatan rekreasi karena telah melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan. Dengan kata lain bahwa pada lokasi tersebut kadar sianida (CN

  ‾) telah melewati ambang batas yang ditentukan bagi peruntukan pemanfaatan air untuk wisata permandian, sesuai dengan pemanfaatan air untuk keperluan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan. Hasil pengukuran nilai (pH) di stasiun penelitian (Tabel 1) menunjukkan kisaran Hal ini disesuaikan kembali dengan standar baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 (kelas I) untuk parameter fisika- kimia, dalam peraturan tersebut menyatakan pH yang baik untuk kegiatan permandian berkisar 6-9, parameter DO berkisar 6 mg/l (pencapaian kadar DO di lokasi penelitian tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur penunjang penilaian status perairan tersebut), dan untuk suhu deviasinya 3, dari keadaan alamianya.

  Menurut Ferguson (2008), sianida (CN ‾) tidak bersifat karsinogenetik, namun jika paparan sub- letal diatas ambang beracun atau dosis rendah berulang seperti menghirup gas, menelan atau penyerapan melalui kulit dapat menyebabkan dampak merugikan.

  Gejala yang terkait dengan sianida adalah tremor, ataksia, parestisia, gangguan sensorik, kolaps kardiovaskular, kerusakan gastrointestinal, kerusakan parmanen pada otak, ginjal dan perkembangan janin (Mamonto, 2013).

  Stasiun I berlokasi di Desa Lombongo, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, pemanfaatan air dilokasi ini oleh masyarakat lokal digunakan untuk keperluan sehari-hari, dalam hal ini untuk penyediaan air bersih. Hasil pencapaian kadar sianida (CN

  ‾) pada Tabel 2, telah menunjukkan kisaran rata-rata dengan nilai 0,2033 mg/l, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar sianida pada stasiun I telah melewati batas kosentrasi yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 (kelas I), tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, telah ditetapkan pula bahwa kadar sianida (CN

  ‾) yang sesuai standar kualitas air Stasiun II berlokasi di daerah pemanfaatan air yang digunakan sebagai bahan baku air untuk PADM. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa aliran air di lokasi ini sebagai sumber air yang mengalir ke tempat pengolahan PDAM. Kadar sianida (CN

  ‾) terukur di stasiun II rata- rata 0.2079 ppm. Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 (kelas I) tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, telah ditetapkan bahwa kadar sianida (CN

  ‾) yang sesuai standar kualitas air untuk air baku air minum yaitu 0.02 mg/l. Stasiun

  III berlokasi di Kelurahan Bugis, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, di lokasi ini terdapat beberapa masyarakat lokal yang memanfaatkan air sebagai keperluan sehari-hari, kadar sianida (CN

  ‾) yang terukur pada stasiun

  III telah melewati ambang batas yang ditentukan dengan pencapaiaan rata-rata 0,2085 mg/l (PP No.82 Tahun 2001 (kelas I). Melihat peraturan tersebut dapat dikatakan bahwa status perairan untuk ketiga lokasi tersebut tidak layak di peruntukan sebagai air baku untuk air minum karena telah melebihi ambang batas, maka dapat dinyatakan bahwa tingkat kandungan sianida (CN

2) Peruntukan air untuk bahan baku PDAM (air bersih)

  ‾) telah melewati standar maksimum yang ditentukan. Hasil pengukuran nilai (pH) di ketiga stasiun penelitian (Tabel 1) menunjukkan kisaran nilai 7,3-7,6 masih dalam keadaan netral. Hal ini disesuaikan kembali dengan standar baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 (kelas I) untuk parameter fisika-kimia, dalam peraturan tersebut menyatakan pH yang baik untuk perairan yang dimanfaatkan sebagai keperluan air bersih berkisar 6-9. Untuk parameter DO berkisar 6 mg/l, (pencapaian nilai DO dilokasi penelitian penunjang penilaian status perairan tersebut), dan untuk suhu deviasinya 3, dari keadaan alamianya. Sianida merupakan senyawa beracun yang tidak bersifat karsinogenetik, ketika masuk melalui sistem pencernaan dimana sianida akan mengikat hemoglobin dalam tubuh, jika paparan berulang ia bersifat mengganggu fungsi hati, hal ini berkaitan dengan fungsi hati sebagai daerah filtrasi darah. Ini telah dibuktikan dalam penelitian Utama (2013), yang menggunakan hewan uji tikus.

  Stasiun I berlokasi di Desa Lombongo, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, di daerah ini terdapat salah satu aktivitas masyarakat lokal yang melakukan kegiatan perikanan, jika melihat kadar sianida yang terukur di stasiun I dengan nilai rata-rata 0,2033 mg/l, dapat dikatakan bahwa kadar sianida pada lokasi tersebut telah melewati ambang batas yang ditentukan berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 (kelas II). Stasiun III berlokasi di Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, di stasiun ini terdapat pemeliharaan ikan dalam jaring oleh masyarakat sekitar. Hasil pengukuran kadar sianida (CN

  ‾) di stasiun III mencapai rata-rata 0.2085 ppm. Ketika standar ambang untuk media perikanan telah tidak sesuai sebagaimana dimaksud, maka suatu pemanfaatan yang mengatasnamakan kegiatan tersebut, sudah tidak layak/tidak sesuai.

  Dalam Alaerts & Santika (1987) disebutkan bahwa kadar maksimum sianida (CN

  ‾) untuk kegiatan perikanan yang diperbolehkan adalah 0.02 mg/l. Hal ini sama dengan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 (kelas II) tentang pengendalian pencemaran air untuk keperluan perikanan, kadar sianida (CN

  ‾) maksimum yang diperbolehkan adalah 0.02 mg/l. Bila dibandingkan dengan beberapa ketentuan di atas tentang kadar sianida (CN

  ‾) yang diperbolehkan untuk kegiatan perikanan, maka dapat dikatakan bahwa air di lokasi ini sudah tidak layak untuk peruntukan tersebut.

  Menurut PP No.82 Tahun 2001 (kelas II) kisaran suhu untuk kegiatan budidaya air tawar adalah deviasi 3, sedangkan toleransi suhu perairan yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal dari beberapa ikan jenis air tawar seperti ikan mas dan ikan nila adalah

3) Peruntukan air untuk kegiatan perikanan

  28

  o

  C. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata- rata pengukuran suhu di lokasi penelitian berkisar antara

  27 C–29

  C, Suhu mempunyai peran penting dalam lingkungan perairan dimana suhu dapat menjadi penentu dasar pertumbuhan ikan, kisaran baik untuk menunjukkan pertumbuhan optimal ikan 28 C-32

  C. Hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian menunjukkan perairan tersebut masih layak untuk pertumbuhan organisme perairan seperti (ikan).

  Effendi (2003) menyatakan bahwa sianida bersifat toksik bagi ikan bila kadar maksimum telah mencapai 0,2 mg/l sudah mengakibatkan toksisitas akut bagi ikan. Menurut Simange (2011), biota perairan seperti ikan yang telah terpapar sianida (CN

  ‾) dengan kadar yang cukup tinggi dapat berpengaruh pada manusia yang mengkonsumsi biota itu sendiri, karena senyawa racun dalam tubuh ikan akan terakumulasi dalam tubuh manusia.

  Ferguson (2008) melaporkan Australia dan Amerika Utara selama 100 tahun terakhir menunjukan bahaya

  ‾) bagi manusia telah dikendalikan dengan meminimalkan resiko penanganannya, dalam paparan industri dengan upaya pengelolaan sianida terhadap lingkungan. Meskipun sangat beracun bagi manusia akan tetapi tidak ada dokumentasi kecelakaan kematian pada manusia yang diakibatkan oleh keracunan sianida (CN ‾).

  Menurut Hutabarat & Evans (2008) pencemaran dapat mengakibatkan kerusakan yang luas terhadap populasi hewan tanpa sampai membunuh. Pengaruh pencemaran tersebut mungkin tidak tampak mempengaruhi kesehatan, tetapi akibat adanya tekanan terhadap lingkungan hidupnya oleh bahan pencemar, mereka kemudian akan terserang penyakit. Mamonto (2013) menyatakan bahwa sianida itu sendiri menimbulkan gejala penyakit seperti tremor, ataksia, parestisia, gangguan sensorik, kolaps kardiovaskular, kerusakan gastrointestinal, kerusakan parmanen pada otak, ginjal dan perkembangan janin.

  Analisis tentang kandungan sianida (CN ‾) di perairan Sungai Bone dilakukan untuk dapat memberikan gambaran informasi mengenai kandungan sianida (CN

  ‾) pada perairan Bone saat ini. Hasil yang diperoleh telah menunjukan bahwa rata-rata hasil dari pengukuran telah berada pada nilai

  ≥ 0,2 ppm. Hal ini dapat menjadi suatu indikasi yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan DAS Bone. Pemantauan yang lebih intensif perlu dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang tidak diinginkan.

  Yuningsih (2012) menyatakan bahwa Amerika Serikat menetapkan nilai batas aman (maximum contaminant

  level, MCL) sianida dalam air sebesar

  penetapan nilai batas aman kandungan sianida dalam air didasarkan atas kriteria kualitas baku mutu air dan levelnya disesuaikan dengan kebutuhan. Sebagai contoh batas aman maksimum untuk baku mutu air sesuai peruntukannya sebagai mana yang telah diatur Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 (Lampiran 1) serta kriteria kualitas air menurut Alaerts & Santika (1987) (Lampiran 2).

  Sebagian kecil sianida dapat ditemukan pada hujan yang membawa garam-garam sianida dimana sianida di alam memasuki udara, air dan tanah baik proses alami maupun proses industri (Purba, 2009). Keberadaan sianida di udara jauh di bawah ambang batas. Menurut Effendi (2000), kosentrasi tinggi ditemukan pada limbah hasil dari buangan industri, kosentrasi ini dapat menjadi racun bagi organisme perairan, serta manusia yang memanfaatkan air sungai sebagai salah satu dari kebutuhan dalam rumah tangga. Ferguson (2008) melaporkan kasus sianida yang telah terkontaminasi dengan air Sungai Asuman dari tambang emas Tarkwa di Distrik Wassa West Ghana pada Bulan Oktober 2001 telah membunuh ikan dan mengganggu pasokan air lokal. Simange (2011) menyatakan bahwa secara umum kandungan sianida pada ikan yang terakumulasi limbah cair dari buangan industri di Teluk KAO Kabupaten Halmatahera Utara jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan merkuri (Hg). Hasil penelitian ini menggambarkan kosentrasi sianida dari limbah industri pada perairan Teluk KAO yang sudah terakumulasi pada ikan dan menyebabkan ikan mengalami biokonsentrasi kompleks yang sangat berpengaruh pada manusia yang mengkonsumsi ikan yang terakumulasi senyawa racun. Balihristi (2013), penggunaan sianida di pertambangan untuk menghasilkan biji emas, yaitu sebagai pereaksi untuk mengekstraksi emas dari bijinya.

  Simange (2011) menyatakan bahwa secara umum terdapat hubungan yang cukup signifikan antara kadar sianida dengan kegiatan pertambangan pada daerah aliran sungai. Penggunaan sianida dalam kosentrasi yang besar adalah untuk menghasilkan emas terbaik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pertambangan emas dapat menimbulkan dampak pencemaran pada lingkungan terutama pada air sungai yang merupakan media akhir pembuangan limbah dari pertambangan.

  Menurut Utama (2013) bahwa paparan hidrogen sianida dapat menimbulkan iritasi pada mata dan kulit. Kasus ini kebanyakan kecelakaan saat bekerja, sehingga cairan sianida kontak bakar. Bila sianida (CN

  ‾) masuk melalui sistem pencernaan, maka kadar tertinggi adalah di hati. Hal ini telah dibuktikan oleh Utama (2013) dalam penelitiannya yang menggunakan hewan uji (tikus). Simange (2011) menyatakan dengan kasus serupa berdasarkan uji laboratorium menujukan bahwa kandungan senyawa beracun pada hati ikan lebih tinggi dibandingkan pada dagingnya. Hal ini terkait dengan fungsi hati yang mendoktifikasi racun dan filtrasi partikel larut dalam darah.

  V KESIMPULAN

  5.1 Kesimpulan

  Kadar sianida (CN ˉ) di Sungai

  Bone telah melampaui batas maksimum yang diperbolehkan untuk peruntukkan bagi kegiatan rekreasi, keperluan rumah tangga dan perikanan.

  5.2 Saran

  1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan lokasi pengambilan sampel yang lebih banyak dengan waktu yang lebih lama, sehingga diperoleh data yang lebih memberikan gambaran terutama pada saat musim yang berbeda yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan langkah pengelolaan ke depan. 2) Perlu dilakukan penelitian terhadap kandungan sianida (CN

  ˉ) dalam biota sungai.

  3) Perlu dilakukan penelitian tentang kandungan DO kerena nilai DO terukur agak tinggi, kemungkinan ada kesalahan dalam pengukuran atau faktor lain yang turut mempengaruhinya. dipublikasikan). Universitas

  DAFTAR PUSTAKA Sumatra Utara. Medan

  Alaerts, G. & Santika, S. 1987. Metoda Pariyitno, H. 2006. Pengaruh pasokan

  Penelitian Air. USAHA NASIONAL. limbah cair tekstil pt. Batik Keris

  Surabaya Sukoharjo Terhadap Perubahan

  Suhu, pH, DO,BOD,NO3, Ca, Mg

  Balihristi. 2013. Status Lingkungan dan Plankton di Sungai Premulung

  Hidup Daerah Provinsi Gorontalo. Surakarta.Skripsi.(tidak

  Pemerintah Provinsi Gorontalo. dipublikasikan). Universitas Effendi, H. 2003.Telaah kualitas air. Sebelas Maret Surakarta

  Kanisius. Yogyakarta Ferguson, H,M. 2008. Pengelolaan Dalam Rangka Manajemen Lahan sianida (praktek kerja unggulan Pertanian.

  

program pembangunan Disertasi. ProgramPascasarjana

berkelanjutan untuk industri Fakultas Geografi Universitas pertambangan). Commonwealth Gadjah Mada.Yogyakarta.

  Copyright Administration, Attorney General’s Department, Robert Sastrawijaya, T, A. 1991. Garran.Australia Offices, National Pencemaran Lingkungan. Rineka Circuit, Canberra ACT 2600 Cipta. Jakarta

  Hadi, A. 2007. Prinsip Pengelolaan Simange, S, M. 2011. Analisis

  Pengambilan Sampel Lingkungan. kandungan merkuri (Hg) dan sianida

  PT Gramedia Pustaka Utama. (CN) pada beberapa jenis ikan hasil Jakarta tangkapan nelayan di teluk KAO

  Kabupaten Halmatahera

  Hutabarat, S. & Evans, S, M. 2008. Utara.Journal. Vol 5 (2) Pengantar Oseonografi.

  Universitas Indonesia. Jakarta Tatangindatu, F. Kalesaran, O. Rompas, R. 2013. Studi Parameter Fisika

  Mamonto, H. 2013. Uji potensi kayu apu Kimia Air pada Areal Budidaya Ikan

  (pistia stratiotes L) dalam di Danau Tondano, Desa Paleloan, penurunan kadar sianida (CN) Kabupaten Minahasa. Journal Vol. 1 pada limbah cair penambangan (2 : 8-19) emas. Skripsi. (tidak

  dipublikasikan) Universitas Negeri Utama, H.W. 2013. Keracunan sianida, O Gorontalo nline http://blog.ub.ac.id/fawzy/files/2

  013/06/Keracunan-Sianida.pdf. di Purba, M, S. 2009. Analisa Kadar Total akses 9 April (8:20)

  Suspended Solid (Tss), Amoniak (Nh ), Sianida (Cn Yuningsih. 2012. Keracunan sianida 3 ˉ), Dan Sulfida 2 ˉ

  (S ) Pada Limbah Cair pada hewan dan upaya Bapedaldasu. Diploma- 3 (tidak pencegahannya. Journal. Vol.

  31 (1)