Memahami nilai komunikasi dalam proses i (1)

Memahami nilai komunikasi dalam proses instruksional
Dalam proses pendidik terutama kegiatan belajar mengajar, sebagian besar kegiatan yang
difasilitasi oleh pendidik adalah berkomunikasi dengan peserta. Proses komunikasi yang
berlangsung mayoritas berlangsung di dalam kelas untuk membahas hal-hal substansial
tentang kegiatan akademik peserta didik, misalnya penyampaian materi, pembagian tugas
(kelompok/individu) dan lain-lain serta komunikasi interpersonal untuk membangun relasi
secara personal antara pendidik dengan peserta didik. Namun, pendidik seringkali belum
mampu menginternalisasi nilai komunikasi dalam proses pengajaran, penulis mencoba untuk
mengaitkan dengan konsep komunikasi dalam kegiatan belajara yang belum digarap secara
tekun oleh pendidin atau dengan kata lain pendidik belum mampu menyentuh secara
substantif titik tersebut. Dalam buku the Handbook of Instructional Communication, Mottet,
Frymier, and Beebe (2006) mengusul the rhetocal dan relational goals theory dalam
komunikasi instruksional. Komunikasi instruksional merujuk pada komunikasi dalam
kegiatan belajar mengajar yang berlangsung, terutama proses komunikasi yang diinisiasi oleh
pendidik. Teori tujuan rhetorical dan relational dalam komunikasi instruksional
diimplemntasikan dalam dua tujuan utama ketika berkomunikasi: (1) untuk mempengaruhi
dan/atau mencapai tujuan dan (2) untuk mengembangkan dan memperthankan hubungan”.
(Mottet et al., 2006, p. 266).
Sebelum menjabarkan lebih mendalam tentang konsep dari teori tersebut, penulis mencoba
mengingatkan kepada pendidik ataupun calon pendidik tentang makna penting dari nilai
komunikasi instruksional. Beberapa waktu yang lalu, terjadi peristiwa yang cukup mencoreng

wajad pendidikan di Indonesia, dimana seorang pendidik dilaporkan ke pihak yang berwajib
karena “mencubit” peserta didiknya. Penulis tidak ingin berpskekulasi terkait dengan
kronologi tergait dengan peristiwa yang terjadi, namun penulis mencoba menyoroti
permasalah tersebut dari perspektif komunikasi yang efektif sehingga kedepannya masalah
tersebut tidak terjadi lagi. Penulis ingin menekankan bahwa walaupun komunikasi adalah
proses yang selalu dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan sehari, namun dalam
konteks pendidikan, seorang pendidik perlu menyadari bahwa proses komunikasi dalam
kegiatan pembelajaran memiliki perbedaan secara esensial dalam peran dan fungsi yang
dimiliki. Sekali-kali, pendidik diharapkan tidak mengeneralisasi proses komunikasi yang
dilakukan dilingkungan masyarakat dan keluarga dengan komunikasi yang dilakukan dalam
kegiatan belajar mengajar. pendidik perlu mendifernsiasi pola komunikasi dalam proses
pendidik, mengingat bahwa tedapat perbedaan antara individu baik dalam konteks

lingkungan sosial, usia, jenjang pendidikan, yang merupakan variabel yang harus
dipertimbangkan oleh pendidik dalam proses komunnikasi dalam kegiatan belejar mengajar,
agar komunikasi yang efektif dalam terbina untuk pengembangan potensi secara optimal oleh
setiap peserta didik.

Pada hakikatnya, setiap individu memiliki kecakapan dalam berbicara, namun tidak sertamerta kecakapan dalam berbicara memiliki keterkaitan langsung dengan kemampuan dalam
berkomunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa banyak individu memiliki kecakapan dalam

berbicara, namun tidak banyak yang memiliki kemampuan yang mempuni dalam
berkomunikasi. Walaupun penulis mencoba untuk membuat diferensiasi antara berbicara
dengan berkomunikasi, namun proses komunikasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan
individu dalam berbicara, namun dalam berkomunikasi individu perlu memperhatikan
beberapa komponen yang menyertai proses komunikasi yang efektif, misalnya aspek
moralitas, aspek psikologis, dan aspek sosial-ekonomi. Terdapat perbedaan secara substansial
antara berbicara dengan berkomunikasi, berbicara memiliki tendensi untuk ‘asal’
mengeluarkan kata-kata, sedangkan berkomunikasi memiliki indikator dan prasyarat yang
harus dipenuhi oleh individu sehingga dapat berkomunikasi secara efektif. Hal ini dapat
ditinjau berdasarkan definisi dari dirumuskan oleh DeVito (1997) yang menyatakan bahwa
komunikasi mengacu pada suatu tindakan oleh individu atau kelompok, yang mengirim dan
menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu,
serta memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik. Gerald R. Miller menjelaskan
bahwa komunikasi terjadi jika sumber mengirim pesan kepada penerima secara sadar dan dan
terencana untuk mempengaruhi aspek kognitif dan perilaku individu yang menerima.
Semakin masifnya penerapan ICT (Information Communication and Technology)
dalam kehidupan sehari, berbading lurus dengan semakin berkembangnya instrumen
komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan antara individu yang
satu dengan lainnya. salah satu saluran komunikasi yang menjadi trend adalah komunikasi
melalui media sosial. Komunikasi merupakan salah satu komponen vital dalam kehidupan

sehari-hari yang berperan untuk menyambungkan (connecting) antara individu yang satu
dengan lainnya. terciptanya connecting yang baik, maka memberikan support dalam upaya
penyampaian penyampai atau penerima pesan (informasi) melalui proses interpersonal yang
berlangsung. Komunikasi dalam konteks relasi sosial dintara individu merupakan dinamika

yang sangat kompleks, karen berkaitan dengan proses metakognisi sehingga dapat
meningkatkan persepsi dari setiap individu terhadap informasi yang diperoleh. Dalam the
Handbook of Instructional Communication, Mottet, Frymier, and Beebe (2006) mengusul
teori tujuan rhetorical/relational dari komunikasi instruksional. rhetorical/relational dari
komunikasi instruksional diimplemntasikan dalam dua tujuan utama ketika berkomunikasi:
(1) untuk mempengaruhi dan/atau mencapai tujuan dan (2) untuk mengembangkan dan
memperthankan hubungan”. (Mottet et al., 2006, p. 266).
The rhetorical and relational goal teory of instruction adalah pendekatan dalam konteks
komunikasi instruksional yang diharapkan mampu menumguhkan relasi (relational) antara
pendidik dan peserta didik untuk disukai dan diterima diterima dikelas. Selan itu, pendidik
dan peserta didik juga memiliki kebutuhan retorika (rhetorical) untuk mencapai tugas atau
prestasi secara akademik. Jadi, aspek retorikal lebih mengarah pada pencapai tugas-tugas
dalam tujuan akademik peserta didik, sedangkan relasi adalah dukungan faktor psikologsi
perilaku dengan kegiatan pengajaran.
Dalam konteks pendidikan (kegiatan belajar mengajar), tujuan komunikasi unruk

mempengaruhi peserta didik dalam meningkatkan motivasi dan antusiasme sehingga dapat
terciptanya kegiatan belajar mengajar yang efektif sehingga tujuan instruksional untuk
membelajarkan siswa dapat tercapai karena peserta didik mampu memahami informasi yang
diberikan oleh pendidik terkait dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan dan penyampaian
materi secara komprehensif. Sementara itu, komunikasi untuk mempertahankan dan
mengembangkan hubungan adalah komunikasi yang lebih bersifat informal (diluar rutinistas
didalam kelas), penulis mengatakan demikian karena proses komunikasi dalam konteks
membina dan mempertahankan hubungan sosial (interaksi sosial) antara peserta didikpendidik, jika pendidik mampu menginisiasi komunikasi secara personal dengan peserta
didik atau komunikas interpersonal. Ketika proses komunikasi yang dilaksanakan dalam
format klasikal, persepsi dari peserta didik terhadap informasi yang disampaikan oleh
pendidik sangat berbeda karena kebermaknaan dari komunikasi yang terbangun relatif
memiliki sedikit kohesivitas antara pendidik- peserta didik seperti yang dibangun dalam
komunikasi dalam format kelas. Seringkali pendidik tidak menyadari bahwa proses
pendidikan dalam perkembangannya, tidak hanya berbicara tentang kemampuan peserta didik
dalam meningkatkan kemampuan kognitif peserta didik, tetapi bagaimana kemampuan
pendidik dalam memanage faktor-faktor psikologis terutama dalam aspek afektif dari peserta
didik. Penulis menilai bahwa, peserta didik pada dasarnya memiliki kemampuan untuk

mencapai prestasi secara akademik, namun proses komunikasi yang kurang efektif seringkali
yang menjadi hambatan bagi peserta didik untuk menunjukkan kemampuan secara optimal.

Oleh karen itu, pendidik yang mampu meningkatkan komunikasi efektif dengan peserta didik
maka prestasi belajar tidak hanya dalam bentuk pemahaman secara konseptual akademik
yang diperuntukan bagi dirinya sendiri tetapi adanya tanggung jawab secara “moril” dari
peserta didik bahwa keberhasilan ataupun kegagalan dalam proses pendidik yang ditempuh
merupakan proses yang berimplikasi kepada significant others di sekitarnya, salah satunya
pendidik. Komunikasi dalam membangun dan mempertahankan relasi sosial, dapat menjadi
triger bagi peserta didik untuk belajar tidak hanya berhenti pada memahami materi yang
disampaikan, tetapi memiliki pandangan yang futuristik terhadap implikasi sosial bagi orangorang disekitarnya.

Peserta didik dan pendidik memiliki tujuan retorikal dan relasi setting kelas. Peserta didik
dalam konteks instruksional memiliki kebutuhan akademik (kemampuan untuk membuat
nilai yang baik) dan kebutuhan akan relasi (merasa dihargai sebagai seorang pribadi).
Walaupun tidak semua peserta didi didorong oleh kebutuhan akademik dan relasi cara yang
sama, menghadapi kebutuhan ini penting untuk keberhasilan hasil instruksional. Pendidik,
disisi lain, pada dasarnya didorong oleh dua tujuan utama komunikasi.
Pertama, pendidik memiliki tujuan retorika yang spesifik, oleh karena itu pendidik fokus pada
mempengaruhi peserta didik untuk belajar dan memahami konten seperti yang disajikan oleh
pendidik (Mottet et al., 2006, p. 267).
Kedua, pendidik memiliki tujuan relasi yang spesifik, atau tujuan komunikasi berhubungan
dengan menetapkan jenis spesifik dari hubungan pendidikan ingin memiliki dengan peserta

didik mereka (Mottet & Beebe, 2006). Pendidik yang menekankan tujuan hubungan mencoba
untuk menciptakan hubungan tertutup dengan peserta didik mereka; sedangkan, pendidik
yang tidak menekankan tujuan hubungan akan mencoba untuk menjauhkan (menjaga jarak)
hubungan antara dirinya dan siswanya.
Secara historis, tujuan komunikasi rhetorical dan relation merupakan bagian dari instructorcentered (focus is on the content) or student-centered (focus is on the receiver); dengan
instructor-centered and student-centered pengajaran ada pada sebuah (rangkaian) kesatuan
(Chall, 2000).

Pendidik yang menekankan tujuan rhetorical and relational dalam kelas besar kemungkinan
untuk memberikan kepuasan peserta didik akan kebutuhan akademik dan relasi dalam kelas,
yang mengarah untuk meningkatkan motivasi peserta didik dan hasil positif dalam akademik.
Mottet et al. Menyatakan bahwa pendidik yang menekankan tujuan relational and rhetorical
akan lebih berhasil memanfaatkan perilaku berkomunikasi seperti menyegerakan, hubungan
(keterkaitan), kejelasan, dan memenuhi-keuntungan untuk mencapai tujuan mereka yang
paling mungkin untuk dihadapi peserta didik terkait kebutuhan relational and academic.
Disamping tujuan rhetorical and relational penting pada semua level pendidikan, Mottet et al.
Memprediksi bahwa sebagai “peserta didik dewasa dan berkembang, berkurangnya
kebutuhan relasi mereka, walaupun beberapa peserta didik akan selalu ingin penegesan dari
pendidik mereka dan membutuhkan dukungan ego untuk mempertahankan motivasi untuk
pembelajaran. Sebagai usia peserta didik, kebutuhan relasi memungkinkan tidak penting

seperti kebutuhan akademik mereka.
Menguji tujuan retorika dan relasi dalam kelas, perlunya pembelajaran efektif menjadi sangat
nyata/jelas. Mottet and Beebe (2006) mencatat, “banyak peserta didik tidak datang ke kelas
nilai yang tidak dapat dipisahkan apa yang menentukan pembelajaran. Mereka harus
diajarkan bagaimana untuk nilai pengetahuan”. Esensinya, pembelajaran afektif adalah
fondasi dari setiap jenis dari kognitif atau psikomotor pembelajaran, jadi itu harus menjadi
dasar dari tujuan retorikal dan relasi maupun dalam kelas. Terlalu sering pendidik yakin
bahwa mereka disewa untuk mengajar subjek spesifik tidak memperoleh siswa untuk seperti
subjek. Penelitian telah menunjukkan secara konsisten kita bahwa jika siswa tidak seperti
subjek tingkat dari kognitif dan psikomotor belajar sangat berkurang. Wrench, McCroskey,
and Richmond (2008) mencatat, “jika secara individual tidak memiliki pengaruh positif untuk
konten atau guru di kelas, mungkin sangat sulit untuk pribadi belajar (pada tingkat kognitif
atau behavioral). Esensinya, ketika peserta didik tidak memiliki pengaruh positif untuk salah
satu dari konten atau instruktor proses belajar dapat berkurang. Faktanya, tanpa pengaruh
positif tujuan dari long-life pelajar yang banyak pendidik menganggap untuk mustahil.
McCroskey, Richmond, and McCroskey (2006) mencatat, “hampir semua dari tujuan jangka
panjang kami untuk pendidikan berdasarkan pada pendekatan pembelajaran efektif. Jika
semua fokus dari perhatian kami pada tujuan jangka pendek kognitif dan psikomotor, ini
mengherankan bahwa tujuan jangka panjang kami tidak bertemu.
Mengajar sebagai proses komunikasi


Mengajar adalah tentang penetapan hubungan yang efektif dan komunikasi afektif dengan
peserta didik anda. Pendidik yang efektif adalah komunikator yang efektif. Mereka adalah
yang memahami komunikasi dan belajar yang saling bergantung dan pengetahuan serta sikap
peserta didik diambil dengan mereka dari kelas secara selektif diambil dari berbagaimacam
pesan verbal dan nonverbal yang kompleks tentang subjek, pendidik, dan diri mereka sendiri.
Mereka yang lebih konsen dengan yang peserta didik telah pelajari dari pada dengan yang
telah mereka ajarkan, mereka menyadari dua hal yang tidak perlu sinonim. Mereka adalah
yang secara sadar dan secara terencana membuat keputusan tentang apakah komunikasi dan
bagaimana berkomunikasi.
Komunikasi instruksional didefinisikan sebagai proses dari pendidik menetapkan hubungan
komunikasi yang afektif dan efektif dengan peserta didik maka peserta didik telah
berkesempatan untuk mencapai secara optimal keberhasilan dalam lingkungan instruksional.
Mengajar adalah tentang hubungan dengan peserta didik dan tentang pencapaian peserta
didik. Jika anda bertanya kepada banyak pendidik mengapa mereka memilih mengajar
sebagai karir, atau mengapa mereka melanjutkan untuk bekerja di sekolah, mereka akan
mengatakan kepada anda karena anak. Menetapkan hubungan komunikasi yang efektif berarti
fokus pada apa yang dikomunikasikan, bagaimana hal tersebut “dibungkus” maka peserta
didik memahami secara luas dan, dan bagaimana pendidik dan peserta didik biarkan satu
sama lain mengetahui bagaimana/apa yang mereka lakukan. Menetapkan hubungan

komunikasi yang efektif berarti fokus pada bagaimana pendidik dan peserta didik merasa satu
sama lain, tentang proses komunikasi, dan tentang apa yang diajarkan dan dipelajari.
Efektifitas dari instructional communication sangat terkait dengan implikasi efektif dari
pilihan yang pendidik buat-dan hasil afektif merfleksikan beberapa tujuan yang paling
penting dari pengajaran.
Terdapat beberapa variabel pada kerja: pendidik, konten pembelajaran, strategi instruksional,
peserta didik, umpanbalik atau evaluasi, dan lingkungan belajar atau konteks dimana
instruksion terjadi. Bekerja bersama, ini element yang didefinisikan the instructional
communication process.
The Instructional Communication Process
Instructional communication adalah proses dimana pendidk memiliki dan merencanakan
(menyusun) apa yang peserta didik untuk belajar (konten), memutuskan cara terbaik untuk
membantu memereka belajar (the instructional strategy), dan menentukan bagaimana

keberhasilan dalam belajar akan ditentukan dan bagaimana progres peserta didik akan
dikomunikasikan dari dan untuk mereka (evaluation/feedback).
Terdapat dinamika yang saling mempengaruhi antara sejumlah beberapa element dari proses - apa yang bekeja untuk setiap pendidik, dengan salah satu grup dari peserta didik mungkin
pilihan yang tidak paling efektif untuk pendidik lainnya dengan peserta didik yang berbeda.
Proses ini mengambil tempat dalam konteks yang diberikan, atau lingkungan. Pendidik juga
harus mengambil tanggung jawab pengaruh faktor eksternal dalam membuat proses-terkait

pilihan.

Pendidik
the instructional communication process pendidik secara langsung. Pendidik orientasi efektif
terhadap konten, the instructional strategies, peserta didik, dan hanya menjadi pendidik
mempengaruhi efektivitas dari proses- - dan efektivitas proses, mempengaruhi pendidik
terhadap orientasi afektif. Pendidik akan kemungkinan tidak efektif jika mereka tidak
memiliki cukup pengetahuan dari area subjek dimana mereka mengajar atau metode yang
sesuai untuk mengajar subjek (matapelajaran mereka); mereka juga perlu untuk seperti apa
yang mereka lakukan. Kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif berkontribusi
pada kepuasan kerja. Pendidik - - dan konten, strategi, dan keputusan evaluation/feedback
mereka buat- - yang utama berpengaruh pada siswa mempegaruhi terhadap subjek.
Bloom et al. Dalam bukunya membahas bahwa terdapat tiga domain dari pembelajaran
penting peneliti pendidikan untuk dipahami: kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam setiap
wilayah konten, apa yang pendidik ajarkan harus dipilih dengan perhatian untuk hasil belajar
afektif dan kognitif. Bergantung pada subjek, mungkin juga terdapat tujuan belajar
psikomotor.