Perbandingan Novel Salah Asuhan Karya Ab

Perbandingan Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
dan Burung Pipit Dari Timur karya Taufiq El Hakim
(Pembacaan Poskolonialisme)

Oleh: Hizbulloh Huda, M.Pd.

Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan Burung Pipit Dari Timur (‫عصفور‬
‫ )من الشرق‬karya Taufiq El Hakim memberikan daya tarik luar biasa, di dalamnya
terkisah sebuah romantika muda mudi yang terhalang banyak aral.

Pengarang

menyuguhkan konflik-konflik yang bertubi-tubi serta dilatari dengan permasalahan
realitas kehidupan, dari ideologi, filsafat, sampai

masalah kebangsaan. Karena

masalah-masalah tersebut, sepertinya Abdoel Moeis ataupun Taufiq El Hakim sengaja
mengajak dialog dengan pembacanya. Memahami serta mendiskusikan pemikiranpemikiran tersebut.
Mengikuti alur romantis yang tertuang dalam novel, tentunya dapat membawa
pembaca kepada pemikiran-pemikiran yang sedang diusung oleh Abdoel Moeis

maupun Taufiq El Hakim.Namun hal ini bukanlah cara membaca yang baik, karena
seorang pembaca harus dapat menyelami serta memilih dengan cerdas kandungan apa
yang patut diambil. Dalam rangka melakukan telaah perbandingan antara dua
sastrawan yang mempunyai lingkungan dan budaya yang berbeda, diperlukan usaha

lebih untuk dapat mengungkapkan bagian-bagian tertentu yang yang menjadi kehasan
masing-masing pengarang, serta perbedaan ideologis yang melatarbelakanginya.
Salah satu kekhasan novel angkatan Balai Pustaka adalah keterlibatan
langsung dengan Belanda, baik dari segi cerita, penulis, maupun masyarakat
sekitarnya. Sehingga nuansa yang terkandung di dalamnya lekat dengan budaya
Eropa atau Belanda lebih khususnya. Karena keterlibatan langsung dengan kolonial,
novel ini mengandung banyak ketegangan baik mengenai urusan kebangsaan maupun
adat istiadat. Pada bagian yang lain, karya ‫ عصفور من الشرق‬yang ditulis pada tahun
1939, merupakan naskah karya sastra yang juga sangat kental dengan kondisi
penjajahan Inggris di Mesir, sehingga sangat tepat pula untuk didekati dengan bentuk
analisis poskolonial. Pendekatan poskolonial adalah salah satu pendekatan yang
berusaha mengkaji perubahan-perubahan sosial serta ketimpangan yang terjadi akibat
penjajahan. Salah satu ciri mendasar dalam wacana poskolonial adalah hibriditas,
yakni perubahan indifidu terjajah menjadi sebuah kedirian baru yang berbeda dengan
akar budaya dan adat istiadat yang asli, menjadi seperti penjajah namun tidak pernah

bisa seperti mereka, sehingga keasliannya masih terlihat namun ditutup-tutupi.
Macaulay memberikan contoh, ”sebuah kelas orang-orang, yang darah dan warnanya
India, tetapi selera, opini, moral, dan inteleknya Inggris.” (Loomba, 2003: 224).
Poskolonial mula-mula diperkenalkan dalam karya sastra oleh Bill Ascroft,
dkk. dalam The Empire Writes Back (1989) untuk menunjukkan perbedaan sastra
poskolonial, yaitu model “national” dan model “black writing”. (Leela Gandi, 1998:
vi). Pada makalah ini, dengan bertujuan untuk melakukan analisis yang terfokus dan
tidak terbawa pada wacana poskolonial yang sangat luas, penulis menjadikan isu

hibriditas sebagai fokus utama penelitian. Sehingga kebingungan karena keluasan isu
wacana poskolonial dan perbedaan tokoh serta latarbelakang ideologinya dapat
diminimalisir.
Hibriditas dihasilkan dari persinggungan dua kultur yang berbeda namun
tidak seimbang, kultur yang satu dianggap unggul, prestise dan menekan, dibawa oleh
penjajah (Eropa), orang yang berkulit putih serta memegang pemerintahan. Kultur
kedua dianggap rendah, bukan budaya yang baik, dan tertekan. Hal ini membuahkan
bentuk baru. Manusia-manusia inlander/bumiputra/kulit hitam, namun memitoskan
barat.

Hanafi dan Muhsin sebagai Tokoh Hibriditas

Merupakan pilihan yang tidak semena-mena bila mengajukan konsep
hibriditas sebagai fokus utama dalam analisis novel pada dua novel ini, karena dua
tokoh utama Hanafi dan dan Muhsin adalah simbol utama pergesekan dua budaya
besar penjajah dan terjajah, Eropa dan Hindia. Hanafi adalah orang inlander yang
mendapatkan pendidikan ala Eropa. Begitu pula Muhsin adalah seorang pribumi
mesir yang mempunyai banyak teman dari pemuda-pemuda inggris.
Hibriditas yang banyak tertuang dalam novel ini tidak hanya terjadi pada diri
Hanafi sebagai simbol utama, tetapi Abdoel Moeis juga memunculkan banyak
fenomena hibriditas. Masyarakat sekitar, orang-orang yang menduduki jabatan
pemerintahan, dan bahkan kedudukan keagamaan juga mengalami hal yang sama.
Karena hibriditas pada dasarnya tidak berlangsung dengan wadag atau kasat mata,
akan tetapi berangsur-angsur dan dalam waktu yang panjang. Seperti halnya dengan

perubahan mode pakaian. Tidak semerta-merta pakaian dengan model baru dapat
langsung diterima oleh masyarakat, akan tetapi dengan proses yang panjang, akhirnya
sebuah model pakaian dapat diterima dan diminati oleh masyarakat. Tentunya dengan
tidak meninggalkan strategi penguasaannya, baik dengan jalan iklan maupun
pemaksaan. Begitu juga hibriditas, dengan cara yang sangat lunak, melalui
pendidikan, keagamaan, dan bermacam propaganda yang lain, lambat-laun bentuk
budaya baru yang dibawa oleh penjajah dapat dipakai dan diminati, bahkan dipercaya

sebagai bentuk budaya baru yang lebih tinggi.
Sejalan dengan tokoh hanafi, Tokoh Muhsin pada novel Taufiq Al Hakim juga
menjadi tokoh sentral dalam menggambarkan perubahan-perubahan yang dialami
oleh pemuda saat itu, yang mulai berlaku seperti orang-orang eropa. Meskupun
Muhsin tetap memaksakan diri terhadap keunggulan budaya khas Mesir, dengan
mengkritik secara tajam bentuk-bentuk budaya Eropa, Taufiq juga tetap memberikan
ruang dalam proses penyerapan budaya baru tersebut pada bagian modernisasi
pemikiran, sehingga terhadap budaya lama yang penuh takhayul dengan halus Taufiq
berusaha untuk membumbuinya agar dapat sedikit demi sedikit dapat terhapus dan
lebih kepada rasionalisme.
Perubahan seperti ini digambarkan dengan sangat gamblang oleh Abdoel
Moeis. Dengan memakai tokoh

Hanafi, Abdoel Moeis menunjukkan perubahan

mendasar dan perilaku hybrid pada diri Hanafi. Setelah menamatkan sekolah HBS di
Betawi, muncullah Hanafi baru. Mulailah ia mengolok-olok segala adat istiadat
Melayu asalnya. Mengibaratkan dengan budaya rendahan yang tidak cocok dengan
orang berpendidikan, rumah dan segala perabotan tempat tinggalnya dibuat


sebagaimana bentuk rumah Belanda, ada kursi dan meja berbeda dengan kebiasaan
rumah bumiputra di Solok yang biasa duduk lesehan ketika menerima tamu,
membuang jauh-jauh kebiasaan bersirih di rumah, meskipun itu adalah kebiasaan
ibunya. Dengan pangkat sebagai Komis, Hanafi lebih suka berkawan dengan orang
Belanda.
Bentuk kritik Taufi dengan memakai tokoh Muhsin, tidak seperti cara Abdoel
Moeis yang secara merta-merta memasukkan Hanafi sebagai ikon perubahan. Taufiq
lebih menggunakan Muhsin sebagai tokoh yang melanglang buan dalam budaya
barat, akan tetapi juga tidak terlalu meniru, meski dalam beberapa hal, Muhsin
tampaknya juga menjadi ikon dari perubahan juga. Taufiq lebih menggunakan
Muhsin sebagai bentuk kritik terhadap budaya Eropa pada awal-awal cerita, akan
tetapi selanjutnya Muhsin lebih banyak belajar sehingga dapat dibilang Muhsin
banyak mendapat bentuk-bentuk baru dari budaya Eropa.
Sebagaimana kritik yang digambarkan oleh Taufiq pada awal cerita, yang
lebih mengedepankan konsepsi teologis, sehingga seperti memposisikan Muhsin
sebagai pribadi yang memang kualitas rasionalnya masih belum mumpuni, sehingga
pemaknaan-pemaknaan teologis menjadi tolak ukur utama dalam menerjemahkan
budaya.
Ketika itu, Muhsin telah mengenal, bahkan juga telah
mempelajari makna agung „Peradaban Barat“ yang senantiasa

berkehendak membentangkan sayapnya di muka bumi. Menebarkan
kemewahan dan kelezatan hidup di ambang kekufuran, dosa dan nafsu.
(Taufiq Al Hakim, 2003: 23)

Tidak seperti Abdoel Moeis yang secara gamblang memposisikan hanafi
sebagai manusia yang berubah sejak awal cerita, Taufiq memakai Muhsin sebagai
indifidu yang awalnya kokoh seperti batu, tak lapuk perubahan sekelilingnya, namun
karena derasnya airbah yang bertubi-tubi menerjangnya, akhirnya batu tersebut meski
tak pecah terjebur juga kedalam air, dan tenggelam.
Dan Cella mengikutinya dari baris ke baris, Muhsin mendekat
dan membaca bersama untuk yang kedua kalinya. Mengulang dan
mengulang lagi. Hingga Muhsin merasakan bau harum rambutnya .
merasakan basah bibirnya. Merasakan lembut kulitnya. Saling memeluk
dan beraduk seperti layaknya kehidupan Paris. (Taufiq Al Hakim, 2003:
98)
Perilaku hybrid anak negeri yang digambarkan oleh Hanafi, sejurus memang
terkesan sesuai dengan alur perubahan zaman, lebih suka bercelana dari pada
memakai sarong, memakai jas daripada baju gamis Melayu. Namun dari alasan alihalih perubahan zaman inilah modernitas Eropa menggerus budaya lain. Eropa dengan
isu modernitasnya, membangun sebuah kerangka ideologi baru yang menerjang
ideologi-ideologi dunia ketiga, dengan menganggapnya anti modernitas dan

irrasional, sehingga ditegakkanlah budaya baru Eropa yang superior.
“itulah kesalahannya, Ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka
menurutkan putaran zaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk
mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita,
Bu! Dan segala sirih menyirih itu … brrr!” (Moeis, 2006: 25).
Poskolonial sebagai bentuk antithesis dari ideologi modernitas Eropa,
melayangkan kritik dengan mengungkap perubahan-perubahan mendasar yang terjadi
di dunia ketiga bekas kolonialisme Eropa. Namun bukan hanya yang terlihat ini saja
yang menjadi titik dasar kritik poskolonial. Namun yang lebih penting adalah mental.
Mentalitas inferior dunia ketiga tidak lain adalah kibat dari propaganda modernitas.

Serangan utama poskolonial adalah mental inferior dunia ketiga. Sikap
inferior merupakan masalah mental yang nyata menyebabkan sikap tidak menghargai
eksistensi diri. Seakan kediriannya hanyalah pelengkap terhadap dominasi superior.
Untuk menghilangkan kesan ini, identitas harus dibersihkan dari sifat-sifat rendah
yang dimiliki oleh budaya asal. Budaya Belanda maupun Inggris adalah budaya
penjajah, budaya Eropa, dan budaya dominan, tentunya kebudayaan ini adalah
kebudayaan unggul dan superior. Budaya Melayu adalah budaya terjajah, Asia, dan
Subaltern, tentunya adalah budaya rendah dan inferior. Demikianlah sikap inferior,
karena merasa diri lebih rendah derajatnya tiada jalan lain untuk menjadi lebih baik

kecuali dengan menghapuskan budaya rendah yang dimilikinya.
Keadaan seperti itu tidak hanya terjadi pada Hanafi maupun Muhsin, namun
juga berlangsung secara fenomenal pada masyarakat terjajah. Subjektivitas yang
dimiliki masyarakat terjajah sama sekali hilang, karena dominasi wacana yang ada
dan dapat dianggap benar adalah wacana kolonial. Dalam “Black Skin, White Masks”
Frantz Fanon mengungkapkan bahwa kolonialismelah yang mengasingkan dan
melencengkan

kejiwaan

mereka

yang

terjajah. Yang

terjajah

tidak


bisa

menanggulangi apa yang sedang terjadi karena kolonialisme mengikis kediriannya,
subjektifitasnya. (Loomba, 2003: 185)
Dalam memahami konsepsi di atas, Abdoel Moeis dan Taufiq dapat dilihat
sebagai seorang nasionalis sejati, mengingat novel yang banyak menggambarkan
Hanafi dan Taufiq sebagai orang yang telah menghapus eksistensi kediriannya, diberi
judul Salah Asuhan. Sepertinya Abdoel Moeis juga ingin melakukan kritik terhadap
masyarakat berpendidikan di sekitarnya, yang dengan mudah berubah menjadi seperti

Belanda. Terlihat sangat gamblang dan seakan hal itu terjadi secara lumrah bagi
orang-orang muda yang telah mengenyam pendidikan ala Belanda pada zamannya.
Yakni orang-orang bumiputra yang menjadi Belanda karena pendidikannya.
“sepuhan semua Bu! Sepuhan semua. Anak-anak itu tahu abc,
pandai sedikit-sedikit bahasa Belanda, disangka orang mereka sudah ada
di puncak gunung kepandaian. Tapi pengetahuan umum, yang dikatakan
orang Belanda algemene ontwikkeling, itu semua hanya didapatkan dari
HBS saja dan kalau lama bercampur gaul atau tinggal di rumah orang
Belanda. (Moeis, 2006: 32).
Kata-kata tersebut diucapkan oleh Hanafi yang sedang berdebat dengan

Ibunya mengenai adat kebiasaan. Ibunya memegang teguh budaya asalnya Melayu,
sedang Hanafi bersikeras mengunggulkan Eropa dan memandang rendah budaya
ibunya. Kalau orang-orang muda berpendidikan yang di bawah Hanafi saja sudah
dianggap banyak orang sebagai orang-orang yang berperadaban tinggi, apalagi
Hanafi.
Hibriditas yang terjadi pada diri Hanafi maupun Muhsin dan kaum terpelajar
lainnya, tidak terjadi dengan sendirinya, namun banyak dibumbui oleh pandanganpandangan baru mengenai ideologi. Pandangan hidup yang dibawa Eropa merupakan
pandangan hidup yang logis dan rasional, karena semuanya didasarkan kepada
pemikiran rasional. Berbeda dengan pemahaman dunia ketiga yang banyak dibumbui
oleh tahayul dan irrasional.

Kembalinya Si Anak Hilang
Taufiq Al Hakim, memeragakan Muhsin sebagai tokoh yang penuh dengan
gelombang kehidupan yang menderu dan berulangkali menghempasnya. Muhsin

diawal cerita yang sangat kokoh dalam memegang konsep-konsep teologisnya, harus
masuk kedalam bentuk budaya baru yang tidak bisa tidak selalu mengitarinya dan
akhirnya menyeretnya dalam rengkuhan budaya Eropa tersebut.
Dalam keadaan yang selalu terombang-ambing dalam kehidupan baru
tersebut, yang secara mental selalu menyiksanya karena pada dasarnya bertentangan

dengan hati nuraniya, pada akhirnya Muhsin dapat kembali menguatkan dirinya dan
kembali memegang teguh keyakinannya.
Dalam hal ini, Taufiq memang sengaja melakukan kritik terhadap budaya
barat, dengan tidak membabi buta, masuk kedalamnya untuk kemudian kembali
mengambil bagian di budaya asalnya secara lebih baik dan rasional. Hal inilah yang
membedakannya dengan Abdoel Moeis, Taufiq tetap memepercayakan kekuatan
teologis dan keyakinan timurnya pada diri Muhsin. Muhsin meski juga pernah lapuk
dalam budaya Eropa, namun terus menerus proses terjerumus tersebut menjadi bahan
tersendiri bagi Taufiq untuk melakukan kritik terhadap Barat simbol kolonialisme.

Kesombongan Bangsa
Pertentangan terhadap kawin campur merupakan masalah yang sangat umum
dalam kebudayaan. Seseorang yang mungkin tidak terlalu memperdulikan perbedaan
budaya dan tidak merasa rendah diri terhadap budaya lain, akan menjadi berbeda
ketika dihadapkan kepada masalah perkawinan campur. Artinya, bagian tertentu
dalam mental seseorang masih saja dihinggapi masalah ‘kesombongan bangsa.’
Dengan memakai istilah ‘kesombongan bangsa’, Abdoel Moeis memberikan
kritik pedas terhadap sikap dan mental masyarakat Belanda. Belanda yang mengakui

sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, masyarakatnya tentu akan menolak keraskeras perkawinan campuran dengan bumiputra. Karena hal itu akan mengakibatkan
nista dan merendahkan martabat bangsa Eropa. Di sisi lain, Hanafi seorang
Bumiputra, telah menanggalkan segala kebumiputraannya. Bahkan telah mendaftar
sebagai warga Belanda.
Kawin campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya,
yang ditimbulkan oleh manusia juga Corrie! Karena masing-masing
manusia dihinggapi oleh suatu penyakit ‘kesombongan bangsa’. Sekalian
orang, masing-masing dengan perasannya sendiri, menyalahi akan
bangsanya … (Moeis, 2006: 15).
Kritik ini menjadi semakin pedas, karena Abdoel Moeis memakai tokoh du
Bussee bapak Corrie seorang pejabat tinggi di Solok berbangsa Perancis. Hal ini
menunjukkan bahwa sikap seorang penjajah pun belum tentu benar-benar sombong
dan mementingkan keunggulan budayanya. Namun kenyataan tersebut tidaklah
menyurutkan terjadinya perubahan pada warga bumiputra. Karena mereka yang
berpendidikan sebagaimana tokoh Hanafi, adalah manusia-manusia hybrid, manusiamanusia berpendidikan yang menjadi Belanda karena malu menjadi bangsa sendiri.
Merasa kehilangan eksistensi kebangsaan sehingga lebih suka menghamba dan
mengakui superioritas penjajah.
Tidak salahlah Fanon dalam menyebut kolonialisme dengan sebutan penyakit
psikopatologis. Penyakit mental yang memelencengkan hubungan-hubungan manusia
dan menyebabkan semua orang yang berada di dalamnya sakit. (Loomba 184). Si
bumiputra sakit karena ingin menjadi setingkat dengan penjajah, dengan
menanggalkan dan melepaskan adat istiadat serta kepercayaan asalnya. Sedangkan

penjajah selalu melakukan othering dengan berpandangan bahwa kebalikan putih
adalah hitam, selain putih adalah hitam, maka bumiputra adalah orang lain (the
other).
Keberpihakan Abdoel Moeis dalam menonjolkan nasionalisme terlihat dari
konflik-konflik yang terjadi antara corrie dan Hanafi setelah keduanya menikah. Hal
yang diidamkan baik Hanafi maupun corrie benar-benar dapat terjadi dan akhirnya
meski telah berpisah lama, jalinan cinta mereka tetap merekah dan akhirnya mereka
menikah. Hanafi mendaftarkan diri menjadi warga Belanda dengan mengganti
namanya menjadi Hannetje.
Setelah keduanya menikah, ternyata keindahan yang dibayangkan keduanya
tidaklah sesuai dengan kenyataan. Corrie yang dicintainya seringkali marah-marah
dan tidak manja seperti dahulu ketika masih gadis. Setelah diturut ternyata
masalahnya adalah hilangnya teman-teman Belanda corrie, karena menganggap corrie
telah menjadi nista karena kawin dengan orang bumiputra. Berlarut-larutnya masalah
tersebut dan keduanya tidak dapat memadamkannya, akhirnya keduanya bercerai dan
kemudian corrie meninggal karena kholera.
Abdoel Moeis mengingatkan kepada pembaca bahwa keinginan tidak selalu
sesiai dengan kenyataan. Akan tetapi tidak sesederhana itu, Hanafi adalah seorang
bumiputra yang menjadi Belanda. Menimang masalah yang mengakibatkan
keterpurukan itu adalah orang-orang Belanda sendiri, semakin jelaslah bahwa Abdoel
Moeis kembali mengingatkan mengenai kesombongan bangsa. Tentusaja yang
dimaksudkan adalah bangsa Belanda. Betapapun juga pengaruh besar europanisasi
tetap menjadi titik pangkal penilaian, sedekat apapun seorang bumiputra menyeret

dirinya untuk menjadi Eropa, tetap saja dia tidak pernah diakui sebagai Eropa karena
kebumiputraannya. Inilah inti dari maksud kesombongan bangsa yang sebenarnya
ingin dikatakan oleh Abdoel Moeis. Akan tetapi karena penulisan terjadi pada masa
kolonialisasi, tidak akan mungkin ditulis dengan cara lugas. Kalaupun tertulis secara
lugas, tidak akan terbaca sampai sekarang.

Kesimpulan
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan Burung Pipit dari Timur karya
Taufiq Al Hakim ini, mengingatkan penulis pada komentar-komentar beberapa
penulis teori poskolonial terhadap Fanon dalam Black Skin, White Masks-nya.
Seorang yang dikatakan sebagai pendekar dunia ketiga, karena kritik pedasnya
terhadap kolonialisme. Gambaran Hanafi sebagai tokoh utama benar-benar
menggambarkan tokoh hybrid, karena mental dan perangainya seperti memakai
White Mask.
Lebih-lebih yang menarik adalah sifat antagonis dalam novel ini tidaklah
tersirat secara jelas, karena semua tokoh tidak dapat dihukumi secara langsung
dengan ciri-ciri antagonistik. Satu-satunya yang mempunyai sifat antagonis adalah
‘keadaan’. Yakni keadaan kolonialisme. Keadaan yang menjadikan Hanafi ataupun
Muhsin harus kehilangan eksistensi kebangsaannya.
Meski tidak menyertakan secara keseluruhan ciri-ciri poskolonial dan akibat
kolonialisme dalam pembahasan, konsep hibriditas yang sengaja penulis ambil
sebagai pisau analisis telah cukup membentangkan pengaruh-pengaruh kolonialisme

yang ada dalam novel. Pengarang banyak menyuguhkan masalah-masalah mental
akibat penjajahan. Meski tidak memunculkan akibat-akibat fisik seperti kesengsaraan
dan kemelaratan akibat penjajahan, pengarang dapat menunjukkan masalah yang
lebih sulit dicarikan obatnya, yakni masalah mental orang-orang terjajah.
Dengan memberikan contoh-contoh perubahan perilaku yang terjadi pada
hasil pendidikan Belanda dan Inggris, Abdoel Moeis dan Taufiq Al Hakim pada
dasarnya bersuara “bolehlah berpendidikan akan tetapi ingatlah pada bangsa sendiri”.
Sebagaimana Fanon memberikan contoh Mahatma Gandhi yang banyak belajar
tentang ideologi-ideologi barat, akan tetapi menggunakan dan memanfaatkannya
untuk perjuangan bangsanya.

Kepustakaan
Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial; Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Jogjakarta: Penerbit Qalam.
Hakim, Taufiq Al, 2003. Terj. Burung Pipit Dari Timur ( ‫)عصفور من الشرق‬. Jogjakarta:
Tawang Press.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Jogjakarta: Bentang Budaya.
Moeis, Abdoel. Cet. 32. 2006. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka

Dokumen yang terkait

PESAN SOSIAL DALAM FILM (Sebuah Analisis Isi pada Film Me vs High Heels Karya Pingkan Utari)

0 45 2

"REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM FILM MEMOIRS OF A GEISHA"(Analisis Semiotika pada Film Memoirs Of a Geisha Karya Rob Marshall)

11 75 2

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

CITRA PEREMPUAN BERCADAR DALAM FILM (Analisis Semiotika Pada Film Khalifah Karya Nurman Hakim 2011)

2 44 53

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Kolokial Bahasa Inggris Dalam Novel A Diary OF Wimpy Kid Karya Jeff Kinney Dan Terjemehannya Diary Bocah Tengil

4 132 1

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60

Studi Perbandingan Sikap Sosial Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Think Pair Share Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

3 49 84