STRATEGI PEWACANAAN HUBUNGAN ISLAM DENGA

STRATEGI PEWACANAAN
HUBUNGAN ISLAM DENGAN DEMOKRASI
DALAM RUBRIK ROOM FOR DEBATE SITUS NYTIMES.COM
Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono
Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok 16424, Indonesia
Email: alfi.syahriyani@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan perubahan keyakinan sosial mengenai kesesuaian hubungan
Islam dengan demokrasi dalam wacana di rubrik Room for Debate situs nytimes.com. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan eksplanatoris. Ancangan penelitian
yang digunakan didasarkan pada teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough (2003) dan konsep modernisme
Azra (1996). Pendekatan analisis wacana kritis digunakan untuk mengungkapkan bagaimana strategi
pewacanaan para penulis teks yang didasarkan pada analisis tekstual dari Halliday (2004), Nida (1979), dan
Toulmin (1974). Selain itu, pendekatan modernisme dipilih untuk menganalisis kondisi sosial yang tercermin di
dalam wacana, serta nilai-nilai modern yang dinegosiasikan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan Islam
dari Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), dan Ar-Rahal (2000). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
terdapat negosiasi nilai-nilai demokratis yang menunjukkan perubahan keyakinan sosial mengenai hubungan
Islam dengan demokrasi dalam pandangan modern. Perubahan tersebut diyakini terjadi karena adanya agen
sosial dalam dunia Islam yang pro terhadap sistem pemerintahan demokrasi modern.

Kata kunci: analisis wacana kritis; demokrasi; Islam; modernisme; perubahan sosial; strategi pewacanaan

Discursive Strategy of the Relationship between Islam and Democracy
on Room for Debate Rubric of nytimes.com
Abstract
This study aims to reveal the changes in social beliefs about the relationship between Islam and democracy
within the discourse on Room for Debate rubric, nytimes.com. The method used in this research is the descriptive
and explanatory qualitative method. This study employs Fairclough’s Critical Discourse Analysis (CDA) (2003),
and Azra’s modernism concept (1996). The CDA used in this study aims to identify the discursive strategy based
on textual analysis of Halliday (2004), Nida (1979), and Toulmin (1974). In addition, modernism approach is
used to analyze the social conditions reflected in the discourse, and the modern values negotiated based on the
democratic and Islamic principles of Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), and Ar-Rahal (2000). The
result show that there are some democratic values negotiated within the discourse that indicate changes in social
beliefs about the relationship between Islam and democracy in the modern view. The changes are believed to
occur because of the social agents in the Islamic world who support the system of modern democratic
government.
Keywords: critical discourse analysis; democracy; discursive strategy; Islam; modernism; social change.

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang


Dalam catatan sejarah Islam, abad ke-18 dapat dikatakan sebagai “masa kegelapan”
bagi umat Muslim. Kekuasaan sultan di bawah kepemimpinan Turki Ustmani terpecah belah
dan mengalami kemunduruan (Voll, 1982: 83). Ketika memasuki abad ke-19 1, koloni Barat
1Nasution (1986) membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode besar. Pertama, periode klasik (650—1250 M)
yang terdiridari dua fase, yaitu fase kemajuan, saat memuncaknya ilmu pengetahuan (650—1000 M) dan fase

1

melakukan ekspansi dan membuat dunia Islam mengalami benturan dengan nilai-nilai
modern. Setelah menyadari betapa mundurnya umat Islam bila dihadapkan dengan kemajuan
Barat, para pemimpin Muslim mulai memikirkan cara untuk melakukan pembaruan (tajdid).
Sejumlah asumsi mengatakan bahwa globalisasi telah menggerus fondasi dasar
agama-agama besar dunia, termasuk Islam. Sekularisasi, pemisahan agama dari politik dan
institusi sosial, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses modernisasi.
Akibatnya, banyak pihak percaya bahwa agama hanya mendapat peran yang terbatas dalam
kehidupan saat ini. Namun demikian, menurut Voll (1982), tradisi agama masih memberikan
pengaruh dalam tatanan sosial di era modern.
Dalam bidang politik, misalnya, banyak pakar yang mempersoalkan apakah Islam
sesuai dengan konsep politik modern atau konsep negara bangsa (nation-state). Ada yang

melihat Islam sebagai suatu “masyarakat sipil”; ada juga yang menilainya sebagai suatu
sistem “peradaban yang menyeluruh”. Bahkan, ada pula yang mempercayainya sebagai
agama dan negara. Perbedaan paham ini menjadi sesuatu yang problematis (Effendy, 2001: 6
—7).
Berkaitan dengan konsep agama dan negara, demokrasi menjadi salah satu tema
menarik yang sering diperbincangkan dalam berbagai media. Urbaningrum (2000: 79),
mengutip Esposito dan Voll (1999), menyatakan bahwa seiring dengan munculnya
kebangkitan Islam, muncul pula tuntutan yang kuat terhadap partisipasi rakyat dalam politik.
Praktik demokrasi di beberapa negara Islam saat ini menunjukkan pertumbuhan yang berarti.
Seiring dengan berjalannya waktu, baik konsep Islam maupun konsep demokrasi telah
menembus masuk ke berbagai wilayah negara dan mengambil tempat di tengah-tengah
masyarakat.
Gejolak pelaksanaan konsep Islam dan demokrasi salah satunya terjadi di kawasan
Timur Tengah. Kebangkitan demokrasi di kawasan Timur Tengah ini ditandai dengan
maraknya aksi demonstrasi. Aksi tersebut dipicu oleh situasi pemerintahan yang status quo
dan dianggap otoriter oleh masyarakat. Kondisi yang terjadi di kawasan Timur Tengah
tersebut berlangsung sejak tahun 2010, dimulai dari Tunisia, kemudian menjalar ke Aljazair,
Yordania, Mesir, Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Aksi tersebut dikenal dalam media Barat sebagai “The Arab Spring” (lihat Massad, 2014)


disintegrasi (1000—1250 M), saat keutuhan dalam bidang politik mulai pecah. Kedua, periode pertengahan
(1250-1800 M) yang terdiri dari fase kemunduran dan fase Tiga Kerajaan Besar, yaitu Dinasti Ummayyah,
Abbasiyah, dan Turki Utsmani. Ketiga, periode modern (1800 M—dan seterusnya) yang ditandai dengan
jatuhnya Mesir ke tangan Barat.

2

Sejalan dengan munculnya fenomena perkembangan demokrasi di negara-negara
Muslim, beberapa pakar telah berupaya untuk merespons persoalan tersebut dari beragam
sudut pandang. Bernard Lewis, seorang orientalis, berpendapat bahwa orang Arab dibebani
dengan ketidakmampuan budaya untuk mengatasi tradisi Islam yang mencegah ekonomi
neoliberal dan teknologi Barat. Peradaban Arab lumpuh oleh politik kebencian yang dikelola
dan dimanfaatkan oleh rezim-rezim otokratis (lihat Richard, 2013). Sementara itu, Effendy
(2001) menulis bahwa persepsi tentang adanya “ketidaksesuaian” antara agama dan
demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan oleh pandangan mengenai apa
yang disebut oleh Oliver Roy sebagai“political imagination” (dalam cakrawala pemikiran)
komunitas agama. Imajinasi pemikiran politik ini berujung pada tumbuhnya suatu keyakinan
terhadap ketidakterpisahan antara wilayah agama, hukum, dan politik (Effendy: 2001, 123).
Di sisi lain, Tariq Ramadhan, seorang pakar studi Timur Tengah dari Universitas Oxford,
memuat pandangannya dalam nytimes.com mengenai The Arab Spring pada tanggal 30

September 2012. Ia mengatakan bahwa negara-negara Timur Tengah masih bisa mewujudkan
cita-cita demokrasi tanpa harus melepaskan diri dari tradisi Islam (lihat Ramadhan, 2012).
Argumentasi mengenai hubungan Islam dengan demokrasi rupanya tidak hanya
muncul di kalangan Muslim, tetapi juga di kalangan Barat. Argumentasi tersebut selanjutnya
menjadi wacana dalam media dan ditanggapi secara berbeda-beda. Munculnya pandangan
dalam media tersebut tentu saja tidak terlepas dari sejarah perubahan sosial-politik yang telah
menciptakan ketegangan antara dunia Muslim dan dunia non-Muslim, seperti Peristiwa
Revolusi Dunia Arab (the Arab Spring), Peristiwa 9/11, serta perang di Afghanistan dan Irak.
Schwartz (2005) menyatakan bahwa sejak Peristiwa 9/11, media di Amerika Serikat dan dunia
Barat pada umumnya telah gagal dalam melaporkan berita tentang Islam sehingga
memunculkan reaksi Islamophobia.
Salah satu media yang sering memberitakan hubungan Barat dan komunitas Muslim
adalah nytimes.com. Media tersebut merupakan media virtual yang menempati peringkat
pertama dalam Top 50 Online Newspaper yang sering diakses di Amerika Serikat.
Menanggapi peristiwa the Arab Spring dan persoalan mengenai demokrasi, rubrik Room for
Debate,nytimes.com mempublikasikan beberapa pandangan tentang konsep Islam dan
demokrasi yang dilatarbelakangi oleh tulisan Tariq Ramadhan berjudul “Waiting for the Arab
Spring Ideas”. Tiap-tiap penulis memiliki strategi pewacanaan tersendiri dalam membangun
opini publik. Namun, ada indikasi bahwa pendapat-pendapat tersebut mengarah pada satu
pemahaman mengenai kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi. Akan tetapi, wacana

tersebut menjadi sebuah perdebatan ketika dikomentari oleh publik.
3

Pandangan yang dikemukakan dalam rubrik Room for Debate nytimes.com
terasumsikan mengarah pada konstruksi identitas, representasi suatu kelompok, serta refleksi
perubahan sosial yang terjadi antara dunia Barat dan Islam. Wacana yang disusun oleh penulis
dan redaksi Room for Debate juga mengindikasikan adanya gambaran orientasi nytimes.com
dalam mengangkat isu mengenai nilai-nilai modern, seperti demokrasi, HAM, persamaan,
kebebasan, pluralisme, dan sebagainya. Dengan bahasa, para pekerja media massa
mengkonstruksikan setiap realitas yang diliputnya dan secara massif menentukan gambaran
realitas ke dalam benak masyarakat. Apa yang disampaikan oleh pembuat teks mungkin saja
mengandung hegemoni ideologis yang tidak disadari oleh pembaca.
1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana perubahan keyakinan
sosial mengenai hubungan Islam dengan demokrasi dalam pandangan modern diwacanakan
dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com. Masalah tersebut selanjutnya melahirkan
sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana strategi pewacanaan (discursive strategy) aktor-aktor wacana dalam rubrik
Room for Debate situs nytimes.com?

2. Bagaimana nilai-nilai modern dalam wacana hubungan Islam dengan demokrasi
ditampilkan dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com?
3. Bagaimana wacana hubungan Islam dengan demokrasi dalam rubrik Room for Debate situs
nytimes.com merefleksikan perubahan sosial yang sedang terjadi?
1.3 Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah
disebutkan sebelumnya, penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengungkapkan
strategi pewacanaan aktor-aktor wacana dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com.
Kedua, mengungkapkan nilai-nilai modern yang tercermin dalam wacana hubungan Islam
dengan demokrasi dan bagaimana nilai tersebut dinegosiasikan. Ketiga, membuktikan adanya
perubahan keyakinan sosial mengenai hubungan Islam dengan demokrasi dalam rubrik Room
for Debate situs nytimes.com.

2. Kerangka Acuan Teoretis
2.1 Analisis Wacana Kritis (AWK)
4

Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan pendekatan mengenai relasi antara wacana
dan perkembangan sosial-budaya. Dalam AWK, bahasa tidak dipandang sebagaimana adanya,

tetapi dihubungkan dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Pada dasarnya, para
teoretikus AWK memandang ideologi dan kuasa sebagai konsep sentral dalam proses analisis.
Kuasa dipandang sebagai faktor yang menentukan bagaimana suatu kelompok mengklaim
kebenarannya masing-masing.
Van Dijk (2009), misalnya, berpandangan bahwa wacana berhubungan erat dengan
aspek psikologi kognitif, yaitu adanya proses konstruksi mental. Menurut Van Dijk, kognisi
sosial merupakan jembatan yang menghubungkan antara teks dan konteks. Wacana menurut
Van Dijk diperoleh, direproduksi, dan dilegitimasi melalui institusi. Berbeda dengan Van Dijk,
Fairclough (2003) berpandangan bahwa perantara antara teks dan konteks adalah praktik
wacana, bukan kognisi sosial. Praktik wacana ini merupakan aspek yang berhubungan dengan
proses produksi dan konsumsi teks. Dalam hal ini, Fairclough memahami bahasa sebagai
bentuk tindakan (action) yang memproduksi interaksi sosial.
Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan analisis wacana kritis (AWK) Fairclough
karena lebih berfokus pada pembentukan wacana akibat adanya perubahan sosial (social
change). Analisis wacana Fairclough mencakup tiga dimensi, yaitu teks (text), praktik wacana
(discourse practice), dan praktik sosiokultual (sociocultural practice). Menurut Fairclough,
teks dianalisis berdasarkan tiga elemen dasar wacana, yaitu representasi, relasi, dan identitas.
Representasi (representation) menampilkan sesuatu melalui konsep yang ada dalam pikiran
pembuat teks. Representasi dalam pandangan Fairclough (2003) sejalan dengan apa yang
disebut Halliday (2004) sebagai fungsi ideasional (ideational function). Sementara itu, relasi

sosial (social relation) berhubungan dengan bagaimana para aktor wacana saling terhubung
satu sama lain. Dalam pandangan Halliday, unsur ini bertalian dengan fungsi tekstual (textual
function). Terakhir, identitas atau identifikasi (identification) yang berkaitan dengan
bagaimana partisipan wacana mengidentifikasikan dirinya. Identitas merupakan unsur yang
bertalian dengan fungsi interpersonal (interpersonal function) dalam pandangan Halliday
(lihat Fairclough, 2003: 26—27).
Dalam analisis teks, terdapat beberapa aspek yang dianalisis. Pertama, pranggapan
(presupposition). Apabila suatu proposisi dianggapkan dalam sebuah teks, hal tersebut berarti
bahwa proposisi itu terdapat dalam teks namun bermakna implisit. Sebagai contoh, kalimat
”Dalam sejarahnya, Islam tidak mengenal bentuk pemerintahan yang pasti, melainkan etika
keadilan dalam memimpin,” memberi anggapan bahwa bagi penulis, sistem pemerintahan apa

5

pun dapat diadopsi oleh Islam selama pemimpin yang menjalankannya adalah pemimpin yang
adil.
Kedua, representasi dalam klausa. Pada bagian ini, pilihan diksi, frasa (vocabulary),
dan gramatika dapat menggambarkan seseorang, kelompok, gagasan, kondisi, atau tindakan.
Kecenderungan pilihan diksi dan frasa dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
pendekatan analisis komponen makna Nida (1979), yaitu dengan mencari komponen bersama

dan atau komponen pembeda diksi tersebut. Komponen bersama (common component) adalah
komponen makna yang menghubungkan satu kata dengan kata lain dalam satu ranah
semantik, sedangkan komponen pembeda, atau disebut juga komponen diagnostik merupakan
komponen makna yang digunakan sebagai pembeda dari satu kata dengan kata yang lain.
Sementara itu, aspek gramatika melihat bagaimana struktur kalimat memuat tiga fungsi, yaitu
secara tekstual yang meliputi tema dan rema; secara interpersonal yang meliputi pola kalimat
dan modus gramatikal (grammatical mood), dan secara ideasional yang meliputi proses
representasi atau identifikasi (Halliday, 2004: 34). Pada bagian ini juga dilihat perbedaan
antara tindakan (action) dan peristiwa (event). Penulis dapat menampilkan aktor sebagai
penyebab (tindakan) dengan memuat kalimat aktif atau tanpa aktor sebagai penyebab
(peristiwa) dengan memuat kalimat pasif.
Ketiga, representasi dalam kombinasi klausa. Realitas dapat terbentuk dengan
penggabungan dua atau lebih anak kalimat yang dapat membentuk koherensi lokal. Koherensi
pada titik tertentu dapat menunjukkan ideologi pemakai bahasa secara tersirat. Secara rinci,
Halliday (2004) memetakan tiga bentuk koherensi. Pertama, hubungan elaboration
(penjelasan), yaitu anak kalimat yang satu memperjelas anak kalimat yang lain. Umumnya,
bentuk ini ditandai dengan kata penghubung ‘yang’, ‘lalu’, atau ‘selanjutnya’. Kedua,
extension (penambahan), yaitu anak kalimat yang satu menjadi perpanjangan anak kalimat
yang lain. Bentuk ini ditandai dengan kata penghubung ‘dan’, yang menunjukkan
perpanjangan klausa, juga ‘tetapi’ dan ‘meskipun’, yang menunjukan pertentangan, serta

‘atau’, yang menunjukkan pilihan yang setara. Ketiga, enhancement (perluasan) yang
biasanya menunjukkan hubungan sebab akibat. Perluasan ditandai dengan kata penghubung
‘karena’ atau ‘diakibatkan’. Selain koherensi, alat kohesi juga dapat menunjukkan hubungan
semantis, seperti kata ganti (pronomina), kata yang diulang (repetisi), dan kata tunjuk
(demonstrativa).
Keempat, relasi dan identitas. Relasi berkaitan dengan bagaimana partisipan dalam
wacana berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Dengan demikian, individu, kelompok,
golongan, atau masyarakat lainnya saling berhubungan dan menyampaikan gagasannya
6

masing-masing. Dalam penelitian ini, relasi terjadi antara redaksi, penulis opini, dan
partisipan publik. Posisi ketiga aktor tersebut perlu diperhatikan dalam proses analisis.
Pengaruh posisi-posisi aktor tersebut akan menunjukkan konteks sosial. Analisis relasi dapat
memberikan informasi mengenai kekuasaan dominan yang berkembang dalam masyarakat,
sedangkan analisis

identitas

memberikan gambaran bagaimana partisipan wacana

mengidentifikasi dirinya, seperti berpihak pada kelompoknya, atau malah netral.
Kelima, intertekstualitas, yaitu aspek yang menandakan adanya hubungan rantai
komunikasi. Intertekstualitas digunakan dalam analisis untuk melihat bagaimana aktor
wacana menampilkan suara dan pandangan banyak pihak di dalam teks. Ada dua fokus utama
dalam analisis intertekstualitas dalam penelitian ini, yaitu manifest intertextuality dan
manifest interdiscursivity (lihat Blommaert, 2005: 29). Manifest intertextuality, yang dapat
berupa cara langsung (direct discourse) dan cara tidak langsung (indirect discourse). Cara
langsung dilakukan dengan menggunakan kutipan yang memuat pernyataan partisipan wacana
sebagaimana adanya, sedangkan cara tidak langsung disuarakan melalui bahasa si penulis
teks.
Selanjutnya, manifest interdiscursivity yaitu bentuk intertekstualitas yang menjelaskan
konfigurasi satu elemen dengan elemen yang lain. Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada
analisis genre yang menggambarkan hubungan antara satu tindakan dengan tindakan yang
lain. Peneliti menggunakan pendekatan dari Toulmin (1974) untuk menganalisis konfigurasi
elemen dalam argumen yang mencerminkan tindakan. Data penelitian yang digunakan
merupakan wacana argumentatif yang terdiri dari beberapa elemen argumen, seperti claim,
data atau ground, warrant, stated reason, rebuttal, backing, dan qualifier. Claim (C)
merupakan

pernyataan

tesis

yang

diyakini

kebenarannya

oleh

penulis.

Upaya

mempertahankan claim ini akan berhasil jika didukung oleh data (D) atau disebut juga dengan
ground (G). Jika bukti tidak cukup untuk mendukung claim, ditampilkan warrant (W) atau
jaminan. Warrant adalah elemen yang menghubungkan claim dengan ground. Walaupun
sebuah argumen yang terdiri dari claim, ground, dan warrant sudah dianggap baik, tetapi
terkadang warrant membutuhkan bukti-bukti lain yang disebut sebagai backing (B). Jika
claim mengandung keadaan tertentu, dibutuhkan elemen qualifier (Q) atau syarat. Di dalam
wacana argumentatif juga seringkali muncul rebuttal (R), yaitu penolakan atau pengecualian.
Selain teks, Fairclough juga menekankan dimensi praktik wacana yang berfokus
pada bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Teks dibentuk melalui suatu praktik wacana
yang melibatkan hubungan antarindividu, antarkelompok, atau antarindividu dan kelompok.
7

Menurut Fairclough, praktik wacana dalam media melibatkan pihak media sebagai produsen
teks, dan pihak publik sebagai konsumen teks. Misalnya, jika ada teks media yang
merepresentasikan komunitas Muslim sebagai teroris, harus dilihat terlebih dahulu bagaimana
teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi.
Terakhir, analisis praktik sosiokultural menjelaskan hasil interpretasi wacana dengan
mengaitkannya pada konteks makro. Fairclough membuat tiga level analisis praktik
sosiokultural, yaitu level situasional, institusional, dan sosial. Level situasional berarti teks
diproduksi dalam suatu kondisi yang khas sehingga teks tersebut berbeda dengan teks yang
lain. Sementara itu, level institusional berhubungan dengan pengaruh institusi organisasi
dalam praktik produksi wacanaSelanjutnya, level sosial berarti juga melihat bagaimana
wacana dilahirkan karena ditentukan oleh perubahan masyarakat.
2.2 Modernisme
Untuk mengetahui praktik sosiokultural yang tercermin dalam wacana, peneliti
menggunakan konsep modernisme dari Azra (1996) dan konsep mengenai prinsip-prinsip
dalam pemerintahan demokrasi modern dan prinsip-prinsip dalam pemerintahan Islam, hasil
sintesis dari pendapat para pakar, seperti Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), dan
Ar-Rahal (2000).
Menurut Azra (1996), modernisme dalam Islam telah mengakibatkan evolusi yang
cukup konstan ke arah westernisme, sekaligus juga melahirkan aktor-aktor pemikir modernis
yang melakukan interpretasi ulang terhadap gagasan modern, khususnya mengenai sistem
kenegaraan. Berdasarkan catatan sejarah, pada permulaan abad ke-19, Islam memasuki
periode modern yang ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Kontak dengan dunia
Barat pada akhirnya membawa konsekuensi pada timbulnya ide-ide baru, seperti
rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern yang berasal dari Barat telah menimbulkan persoalan-persoalan baru,
sehingga para pemimpin Islam mulai memikirkan cara bagaimana mengatasi persoalan
tersebut (lihat Nasution, 1986).
Azra (1996), mengutip pendapat Smith (1957) dan Sayeed (1990), menyatakan bahwa
kalangan modernis Islam menekankan pentingnya membangkitkan kembali komunitas
Muslim melalui proses reinterpretasi atau reformulasi warisan tradisi Islam dalam konteks
dunia kontemporer. Kalangan modernis tidak sekadar berupaya memperbaiki praktik yang ada
di masa-masa awal Islam, tetapi juga menjawab tantangan Barat dan kehidupan modern
dengan melakukan interpretasi ulang, bukan sekadar menolak gagasan modern. Mereka
8

berupaya menjembatani gap yang ada antara tradisi dan modernisasi dengan menawarkan
pemikiran Islam mengenai perubahan sosial, hukum, dan politik modern. Dengan kata lain,
kalangan modernis berusaha menunjukkan kesesuaian dan penerimaan Islam terhadap
gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga modern, baik itu akal, sains dan teknologi, demokrasi,
konstitusionalisme, atau pemerintahan perwakilan.
Berdasarkan rumusan Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), dan Ar-Rahal
(2000), kesesuaian prinsip demokrasi dalam Islam dibagi ke dalam lima wacana pokok, yaitu;
1. wacana kebebasan. Islam mengakui adanya kebebasan berpikir dan kebebasan politik.
Dalam kebebasan berpikir, Islam mengenal ijtihad yang merupakan perpaduan antara
rasionalitas berpikir (aqli) dan dalil-dalil naqli atau wahyu Tuhan. Dalam kebebasan
berpolitik, Islam mengenal kebebasan berpendapat melalui musyawarah;
2. wacana HAM dan keadilan. Islam mengakui adanya hak menghargai hidup manusia,
menjaga kehormatan, harta dan nyawa, menolak bentuk kezhaliman atau kesewenangwenangan, dan mendapatkan pendidikan. Sementara itu, keadilan diperlukan bagi seorang
individu tanpa memandang golongan apa pun, baik warga Muslim maupun non-Muslim;
3. wacana persamaan. Pada prinsipnya, Islam mengajarkan bahwa semua manusia sama di
hadapan Tuhan. Doktrin Islam mengedepankan egalitarianisme. Hanya kadar ketakwaan
saja yang membedakan seorang manusia dengan manusia yang lain;
4. wacana pluralisme dan pengakuan hak-hak minoritas. Islam mengedepankan prinsip
kesatuan umat dan pemenuhan hak-hak minoritas. Dalam Alquran terdapat ayat yang
menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar
saling mengenal. Konsep pluralisme Islam juga dapat ditinjau berdasarkan catatan sejarah
di masa kepemimpinan Muhammad di Madinah;
5. wacana etika politik dalam Islam, di antaranya adalah perlu adanya organisasi dan
pemimpin, wajib taat pada pemimpin selama ia memerintah dengan benar dan adil, taat
kepada pemimpin berarti taat kepada Tuhan, tidak meminta atau memperkuat pemimpin
yang berbuat dosa, tidak memilih pemimpin yang meminta jabatan, memberikan saran
kepada pemimpin, dan lain sebagainya.
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakn dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
menggunakan pendekatan AWK, yaitu suatu pendekatan secara eksplanatoris yang
dikembangkan oleh Fairclough (1995). Menurut Silverman (2000), metode kualitatif pada
dasarnya memberikan pemahaman mendalam atas fenomena sosial yang terjadi. Halfpenny
9

(1979) dalam Silverman (2000) memberikan beberapa karakteristik penelitian dengan
menggunakan metode kualitatif, seperti fleksibel, lunak, subjektif, politis, berdasarkan studi
kasus, spekulatif, dan mengakar.
3.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah situs nytimes.com. Data yang dianalisis
adalah rubrik Room for Debate edisi 4 Oktober 2012 yang merupakan bagian dari rubrik opini
dalam situs nytimes.com. Dalam rubrik ini, peneliti menganalisis segmen pengantar dari
redaksi, segmen opini yang merupakan respons atas pernyataan dari redaksi, serta komentar
publik terkait segmen pengantar dari redaksi dan segmen opini. Khusus dalam segmen opini,
terdapat enam judul artikel yang dianalisis, yaitu “Islam Can Lead in Either Direction”, “A
Hurdle That Can Be Overcome”, “The Prophet’s Plurality”, “Rejected by Religions, but Not
by Believers”, “Muslims Have Pushed for Democracy”, dan “What Islam Says, and Doesn’t
Say”.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam teknik pengumpulan data. Pertama, tahap
identifikasi, yaitu dengan melakukan penelusuran terlebih dahulu pada situs nytimes.com.
Peneliti memilih rubrik opini dalam situs nytimes.com yang terdiri dari beberapa bagian.
Rubrik Room for Debate yang terdapat dalam rubrik opini dipilih karena argumentasi yang
dimuat mengindikasikan adanya pertarungan wacana. Kedua, tahap klasifikasi. Dalam rubrik
tersebut, terdapat beberapa topik yang dipublikasikan dalam waktu yang berbeda-beda.
Penulis memilih topik “Is Islam an Obstacle to Democracy?” yang dipublikasikan pada 4
Oktober 2012. Tahap terakhir yaitu tahap justifikasi, yaitu menentukan bagian-bagian dalam
rubrik Room for Debate yang dapat penulis jadikan data. Dalam tahap ini, data yang penulis
pilih hanya berupa teks tulis (verbal), tidak termasuk foto (non-verbal).
3.3 Teknik Pengolahan Data
Dalam teknik pengolahan data, tahap pertama yang dilakukan adalah tahap
klasifikasi data. Data yang dianalisis hanya berupa teks tulis (verbal), yang terdiri dari
segmen pengantar dari redaksi, segmen opini yang terdiri dari enam artikel, dan segmen
komentar publik. Kedua, tahap kodifikasi, yaitu dengan memberi nama atau nomor untuk
tiap segmen atau korpus data. Segmen pengantar dari redaksi ditandai dengan huruf A,
sedangkan segmen opini yang terdiri dari empat artikel masing-masing ditandai dengan huruf
kapital B, C, D, E, F, dan G. Selanjutnya, komentar publik terpilih ditandai dengan huruf kecil
a, b, c, d, dan seterusnya. Setelah menandai masing-masing segmen dengan huruf, masing10

masing paragraf dan kalimat ditandai dengan angka arab, yaitu 1, 2, 3 dan seterusnya.
Misalnya, peneliti hendak mengacu kalimat keempat dari paragraf pertama dalam artikel opini
tertentu, simbol yang penulis tuliskan adalah ‘B.1.4’. ‘B’ merujuk pada salah satu artikel, ‘1’
merujuk pada paragraf ke-1, dan ‘4’ merujuk pada urutan kalimat ke-4 dalam artikel B.Tahap
terakhir adalah tahap reduksi, yaitu menyeleksi komentar-komentar publik. Penulis hanya
akan mengolah komentar publik yang mengacu pada teks, sedangkan komentar yang tidak
mengacu pada teks akan penulis abaikan.
3.4 Teknik Analisis Data
Dalam teknik analisis data, ada tiga tahap yang akan dilakukan, yaitu tahap deskripsi,
tahap interpretasi, dan tahap eksplanasi. Pertama, tahap deskripsi, yaitu tahap yang berkaitan
dengan bentuk formal teks. Pada tahap ini, fokus penelitiannya adalah bahasa. AWK dalam
hal ini mengadopsi teori gramatika fungsional (functional grammar) Halliday. Khusus untuk
pilihan diksi dan frasa digunakan pendekatan analisis komponen makna dari Nida (1979),
yaitu dengan cara mencari komponen bersama dan komponen pembeda. Setelah tahap
deskripsi, peneliti melakukan tahap interpretasi, yaitu dengan melihat bagaimana teks
diproduksi dan dikonsumsi. Dalam tahap ini, poduksi teks tidak dianalisis karena
membutuhkan keterlibatan redaksi nytimes.com. Oleh karena itu, hanya konsumsi teks saja
yang dianalisis, yaitu dengan mengamati komentar publik yang mengacu pada teks. Terakhir,
tahap eksplanasi, yaitu dengan menganalisis praktik sosial-budaya yang tercermin dalam
teks.
4. Analisis dan Interpretasi Data
Dari proses analisis yang telah dilakukan, tampak bahwa tujuan dimuatnya rubrik
Room for Debate adalah mengangkat isu terkini dan membuka kesempatan yang seluasluasnya kepada publik untuk memberikan pendapatnya secara kritis. Rubrik Room for Debate
terdiri atas tiga segmen, yaitu segmen pengantar, segmen opini, dan segmen komentar publik.
Segmen pengantar merupakan pernyataan dari redaksi yang berfungsi untuk membuka
perdebatan dan memberikan umpan, baik bagi penulis opini, maupun publik atau pembaca.
Segmen opini berfungsi untuk mengelaborasi atau menjawab permasalahan yang diangkat
secara lebih mengakar.
Hasil analisis menunjukkan bahwa para kontributor terpilih sama sekali tidak
menanggapi satu sama lain. Pada kenyataannya, kontributor yang disebut sebagai debater
memiliki pandangan yang beririsan, yaitu kesepakatan mengenai kesesuaian hubungan Islam
dengan demokrasi. Sebaliknya, pada tataran praktik wacana, publik memberikan respons, baik
11

terhadap umpan dari redaksi, maupun opini para kontributor secara pro dan kontra. Dari
penelitian yang dilakukan, terdapat sejumlah temuan sebagai berikut.
4.1 Analisis Representasi dalam Klausa
4.1.1 Pilihan Diksi dan Frasa
Ditinjau dari komponen maknanya, pilihan diksi dan frasa yang ada dalam segmen
pengantar cenderung memiliki daya yang dapat memancing publik untuk kritis dan merespons
umpan dari redaksi secara pro dan kontra. Sementara itu, dalam teks opini, pilihan diksi atau
frasa yang digunakan cenderung lugas, kritis, apresiatif, dan memihak. Pada dasarnya, pilihan
diksi dan frasa yang dimuat merefleksikan adanya perubahan sosial di dunia Muslim dan
dialektika antara hubungan Islam dengan Barat. Tabel di bawah ini menunjukkan bagaimana
pilihan diksi dan frasa yang digunakan oleh penulis cenderung menunjukkan keberpihakan
terhadap individu atau kelompok.
Tabel 1. Pilihan Diksi dan Frasa yang Mengindikasikan
Representasi terhadap Individu atau Kelompok

Diksi
Scholar
Prophet
Progressive
Conservative

Frasa
Leading Islamist Reformer
Young salafists
Muslim modernists
Muslim thinkers

Dengan melakukan strategi penamaan (naming), umumnya penulis cenderung
berpihak terhadap kalangan Muslim yang dianggap menerima ide-ide baru sebagai akibat dari
adanya modernisasi. Beberapa penulis secara eksplisit menyebutkan Muslim progressives,
Muslim modernists, Muslim thinkers, scholar, progressives, dan reformer yang menyepakati
praktik pelaksanaan sistem demokrasi di negara Muslim. Dalam merepresentasikan Islam,
umumnya penulis cenderung memandang Islam sebagai agama yang diinterpretasikan
beragam oleh para penganutnya, terutama dalam kaitannya dengan isu pemerintahan
demokrasi. Menurut mereka, penafsiran mengenai sesuai atau tidaknya pemerintahan
demokrasi dalam Islam, dan nilai-nilai demokrasi modern yang terkandung di dalamnya, tidak
terlepas dari aktor atau agen dalam Islam. Namun pada akhirnya, pembaca secara implisit
diarahkan untuk menyepakati ide yang berasal dari kalangan progresif, yang dianggap
memiliki gagasan baik dan sesuai dengan zaman modern.
Akan tetapi, terlepas dari apresiasi mereka terhadap ide dari kalangan Muslim modern,
umumnya penulis juga memberikan kritik terhadap pelaksanaan demokrasi yang tengah
12

berlangsung di negara Muslim. Tabel di bawah ini mendaftar beberapa pilihan diksi dan frasa
yang mengindikasikan hal tersebut.
Tabel 2. Pilihan Diksi dan Frasa yang Bersifat Evaluatif
atau Mengindikasikan Apresiasi dan Kritik

Compatible
Hurdle
Stability
Development
Successful
Inherent
Tensions

Diksi
Non-sensical
Anachronistic
Modern
Premodern
Dictatorship
Obstacle
-

Frasa
Significant Overlap
Role Model
Failed model
-

Pilihan diksi dan frasa yang dimuat dalam tabel di atas mengindikasikan upaya para
penulis dalam mengevaluasi, mengapresiasi, hingga mengkritik tindakan yang tidak sesuai
dengan pandangan mereka. Pada beberapa bagian, misalnya, sebagian penulis mengapresiasi
pelaksanaan demokrasi di negara-negara Islam, seperti Turki, Tunisia, Indonesia, Bangladesh,
atau India dengan menyatakan bahwa negara tersebut berhasil menjalankan demokrasi dan
dapat dijadikan role model. Akan tetapi, pada negara-negara Timur Tengah, seperti Iran,
Yordania, Maroko, dan Pakistan, beberapa penulis cenderung memberikan kritikan yang
tajam sehingga menyebut negara tersebut sebagai negara dengan pemimpin yang diktator atau
gagal dalam menerapkan demokrasi.
Kemudian, dalam meyakinkan pendapatnya, ada juga penulis yang menunjukkan
tingkat kepercayaan diri yang tinggi dalam mengemukakan argumentasinya, sehingga
mengindikasikan adanya klaim kebenaran universal atau adanya upaya legitimasi. Pendapat
para penulis dianggap sebagai satu kebenaran umum, sehingga ada indikasi upaya untuk
mempengaruhi pembaca dan membangun kesamaan paham. Contohnya, the truth,
unavoidable truth, dan in fact.
Selanjutnya, pilihan diksi dan frasa dalam teks mencerminkan nilai-nilai modern yang
dinegosiasikan dengan nilai-nilai Islam serta kondisi dunia Islam saat ini. Negosiasi nilai-nilai
tersebut memperlihatkan bahwa para aktor dalam dunia Islam, yang dikategorikan sebagai
kalangan modernis, saat ini berupaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang sedang
terjadi, atau dengan kata lain, berusaha menjembatani gap antara tradisi dan modernisasi
dengan menawarkan pemikiran Islam mengenai perubahan dalam sistem politik. Beberapa
pinsip demokrasi dinegosiasikan dengan prinsip-prinsip di dalam Islam, yaitu dengan cara
13

memuat wacana sejarah nabi, sejarah cendekiawan masa lalu, kiprah para pemimpin Muslim
saat ini, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam kitab suci. Strategi tersebut menjadi upaya
para penulis dalam meyakinkan publik bahwa dunia Islam terbuka terhadap sistem
pemerintahan

apapun,

termasuk

demokrasi,

selama

sesuai

dengan

prinsip-prinsip

kepemimpinan dalam Islam. Adapun nilai-nilai yang dinegosiasikan dalam wacana
diperlihatkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3. Nilai-nilai Demokratis yang Ditampilkan dalam Wacana

Citizen of pluralistic society

Freedom

Justice
Gender equality
Non-compulsion
Individual equality
Sovereignity

Human rights
Pluralism
Respect for diversity
Autonomy
Representation

Terakhir, modalitas (modality) yang dipilih cenderung berfungsi untuk memprediksi
dan memberikan masukan. Walaupun dari analisis terlihat bahwa para penulis cenderung
berpihak terhadap kalangan modernis, para penulis secara kritis memberikan saran dan kritik
bagi pelaksanaan demokrasi di negara-negara Muslim. Umumnya penulis menggunakan
pilihan modalitas dalam tingkatan menengah (median) untuk memprediksi kemungkinankemungkinan yang terjadi jika negara-negara Muslim menerapkan demokrasi, misalnya pada
judul teks B dan teks F.1.1.
“Islam Can Lead in Either Direction” (Judul Teks B)
If democracy is to be born in the Muslim world, religious political parties will be the
midwives (F.1.1).
Namun, di sisi lain sebagian penulis memberikan kritik untuk redaksi atau
memberikan masukan bagi pelaksanaannya dengan menggunakan modalitas dalam tingkatan
tinggi (high) dan menengah(median), misalnya pada teks E.4.14 dan G.6.17.
In order to answer this question, we must probe the intersections of Islam, culture,
colonization, socio-economics and education. (E. 4.14)
.....and today, must be — a democracy of Muslims who live side by side in a
commitment to a “greater we” alongside our neighbors. (G.6.17)
Tabel di bawah ini memuat daftar kata dan frasa yang mengindikasikan adanya tujuantujuan tersebut.

14

Tabel 4. Pilihan Modals dalam Berbagai Tingkatan

Modals
Would
Will

Tipe
Probability (Prediksi)
Probability

Tingkatan
Median (Menengah)
Median

Can

Probability

Median

May

Probability

Low (Rendah)

Might

Probability

Low

Must
Should

Obligation (Keharusan)
Obligation

High (Tinggi)
Median

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pilihan kata dan frasa yang ada
mengungkapkan tujuan penulis untuk meyakinkan serta mengarahkan pembaca agar
menyepakati pandangan penulis.
4.1.2 Gramatika
Pada tingkatan gramatika, maksud penulis dapat dilihat dari makna metafungsional
bahasa. Pada aspek tekstual, klausa yang digunakan penulis terdiri dari tema dan rema,
kecuali untuk kalimat pertanyaan yang hanya terdiri dari tema I dan tema II. Tema dalam hal
ini berfungsi sebagai titik tolak ujaran, dan rema berfungsi sebagai penjelas tema.
Dilihat dari aspek interpersonal, khususnya modus gramatikal, penulis banyak memuat
kalimat deklaratif yang lebih memberikan penekanan pada aktor dan tindakan. Struktur klausa
pada teks G.7.12 dan teks B.3.8 di bawah ini menunjukkan keberpihakan penulis terhadap
aktor Muslim yang mendukung kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi.
Muslim thinkers have long argued that fundamental Islamic texts dealing with
consultation and representation support both constitutional government and elections.
(G.712)
Fast forward to our times: Leading Islamist reformers like Rachid al-Ghannouchi in
Tunisia draw on those teachings to argue that democracy best servesthese principles.
(B.3.8)
Sementara itu, modus gramatikal interogatif digunakan pada segmen pengantar untuk
membuka perdebatan, sedangkan pada segmen opini, sebagian penulis cenderung
menggunakannya untuk memberikan kritik terhadap umpan dari redaksi, misalnya pada
kalimat D.6.16.
The question should be: “Do Muslims promote democracy?” (D.6.16)
15

Selanjutnya, pada tingkatan ideasional, penulis cenderung merepresentasikan
partisipan atau aktor-aktor wacana, baik secara apresiatif maupun secara kritis. Dengan
menggunakan wacana perbedaan (difference) yang disertai dengan alasan, dukungan para
penulis dalam rubrik Room for Debate mengarah kepada agen Muslim yang menyepakati
adanya kesesuaian nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai demokratis, walaupun mereka
menyertai pendapatnya dengan kritik. Pada bagian ini juga penulis menggunakan tipe proses
material, yaitu proses yang menitikberatkan pada tindakan.
Terakhir, ditinjau dari penggunaan tenses, klausa yang dimuat menunjukkan
konstruksi waktu dalam wacana. Dimuatnya sejarah politik Islam menunjukkan adanya
wacana perubahan sosial yang tengah terjadi dalam dunia Islam saat ini, misalnya dalam teks
C.3.11 dan teks C.3.12
Yet, this situation has been changing before our eyes. (C.3.11)
It started when Muslim modernists in Egypt in the 19th century sought ways for Islam
to rise to the challenge posed by the West, and it has accelerated because of
urbanization and technology. (C.3.12)
4.2 Analisis Representasi dalam Kombinasi Klausa
Dalam tingkatan kombinasi klausa, penulis memuat beberapa konjungsi dan pronomina
atau kata ganti yang memiliki tujuan tertentu. Dalam meyakinkan pendapatnya, sebagian
penulis memuat pronomina we, our, atau us yang bersifat inklusif, Hal ini bertujuan untuk
melibatkan pembaca dan membangun kesamaan paham, seperti pada teks B.2.5
The prophet Muhammad bequeathed to us no fixed system of government, but taught
Muslims the importance of justice and equality, and of eliminating corruption and
bringing rulers to account (B.2.5)
Konjungsi berupa hubungan pertentangan, yaitu but, however, dan rather dimuat untuk
memaparkan wacana perbedaan yang menciptakan polemik di dalam wacana. Pada akhirnya,
penulis berakhir pada keberpihakannya terhadap satu kondisi. Wacana perbedaan ini dimuat
untuk mengajak pembaca dalam membandingkan dan mengkritisi dua keadaan, misalnya
dalam teks C.2.6.
But there is a difference between these Greater Indian Ocean societies and those in the
desert Middle East (C.2.6).
Kemudian, hubungan penjelasan berupa konjungsi that juga dimuat untuk memperjelas
satu hal atau kondisi, sedangkan hubungan sebab akibat (causal condition), yaitu berupa as,

16

because, dan if, dimuat untuk memaparkan alasan yang dapat memperkuat argumennya,
misalnya dalam teks D.1.1.
The question of whether Islam is compatible with democracy is nonsensical at its core,
first because it ignores basic empirical evidence (the five most populous Muslim
countries in the world are all democracies)and second because it presumes that Islam
is somehow different, unique or special -- that unlike every other religion in the
history of the world, Islam alone is unaffected by history, culture or context. (D.1.1)
4.3 Analisis Genre
Dari analisis yang telah dilakukan, sebanyak 6 teks disusun atas claim (C) dan stated
reason yang terpisah, serta ground (G) atau bukti yang berfungsi untuk memperkuat claim
dan menunjukkan posisi keberpihakan penulis. Bukti yang dimuat di antaranya berupa uraian
sejarah Islam dan kondisi negara-negara Muslim saat ini. Kemudian, hanya 2 teks yang
memuat warrant (W) dan backing (B) secara eksplisit. Warrant yang eksplisit berupa
pernyataan yang memuat pendapat aktor untuk memperkuat claim dan menghubungkannya ke
ground.
Selanjutnya, sebanyak 4 teks memuat qualifier (Q) yang berupa persyaratan. Qualifier
mencerminkan tindakan berupa memberi masukan agar hubungan Islam dengan pemerintahan
demokratis dapat tercapai. Kemudian, sebanyak 5 teks memuat Rebuttal (R) yang
mencerminkan tindakan, yaitu mengkritik redaksi dan mengemukakan kondisi yang
bertentangan.
4.4 Analisis Praktik Wacana
Dalam tataran praktik wacana, perdebatan terdapat dalam kolom komentar publik.Teks
dikonsumsi oleh pembaca dengan cara menanggapi pandangan penulis secara pro dan kontra.
Pada segmen pengantar, lebih banyak publik yang mendebat alih-alih mendukung, sedangkan
pada segmen opini, 3 opini lebih banyak didebat, 1 opini lebih banyak didukung, dan 2 opini
lainnya seimbang antara yang mendebat dan yang mendukung (ambigu). Dengan demikian,
strategi yang dilakukan oleh para penulis dalam rubrik Room for Debate untuk meyakinkan
pembaca bahwa Islam bukan merupakan penghalang bagi demokrasi ditanggapi secara
skeptis. Publik tidak seratus persen menerima pandangan penulis, tetapi memposisikan
dirinya sebagai pihak yang kritis.
4.5 Analisis Praktik Sosial
Dilihat dari level situasional, wacana yang terdapat dalam rubrik Room for Debate
edisi 4 Oktober 2012 muncul karena banyaknya pemberitaan mengenai peristiwa The Arab
Spring atau dalam bahasa Arab disebut al-Thawrat al-`Arabiyyah, yang berarti Revolusi
17

Dunia Arab. Peristiwa ini diberitakan oleh nytimes.com dan ditanggapi oleh seorang
intelektual Muslim, Tariq Ramadhan. Pernyataan Ramadhan digarisbawahi oleh redaksi dan
diangkat menjadi topik perdebatan secara lebih luas.
Dilihat dari level sosial, setidaknya ada tiga faktor yang memunculkan wacana
hubungan Islam dengan demokrasi dalam situs nytimes.com, yaitu pertama, adanya kebebasan
pers dan sorotan media terhadap dunia Islam. Pers Amerika Serikat diberikan kebebasan oleh
Undang-undang dalam mengangkat isu apa pun di era keterbukaan. Namun, sejak Peristiwa
9/11, Islam seringkali direpresentasikan secara buruk di media-media Barat. Kedua, kondisi
politik AS yang menerapkan demokrasi liberal, tetapi di sisi lain memiliki sikap yang
kontradiktif terhadap demokrasi. Di satu sisi pemerintah AS memiliki tujuan untuk
menyebarkan demokrasi, tetapi di sisi lain melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan
dalam negeri negara-negara Timur Tengah. Terakhir, adanya perubahan pandangan Muslim
terhadap sistem pemerintahan dan munculnya kalangan Muslim intelektual dengan semangat
modernisasi politik. Kalangan modernis berupaya untuk menjembatani gap antara tradisi dan
modernisasi dengan melakukan interpretasi ulang terhadap nilai-nilai agama dan Barat. Hal
ini tidak terlepas dari pengaruh ekspansi Barat di masa lalu, sertaadanya gempuran globalisasi
yang terjadi hingga saat ini.
5. Simpulan dan Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, serta temuan yang berhasil didapatkan,
terlihat bahwa pada dasarnya para penulis memiliki pandangan yang positif terhadap
kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi, berbeda dengan pandangan lain yang
menyatakan bahwa Islam dan demokrasi adalah dikotomi yang sulit disatukan. Dari analisis
yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
sebagai berikut.
Pertama, strategi pewacanaan yang dilakukan oleh para penulis dalam rubrik Room
for Debate cenderung bersifat persuasif atau mempengaruhi pembaca. Dilihat dari aspek diksi
dan frasa, para penulis cenderung memandang Islam sebagai agama yang diinterpretasikan
beragam oleh para pengikutnya, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai demokratis.
Penulis melakukan strategi penamaan (naming) terhadap sejumlah partisipan wacana yang
menunjukkan keberpihakanmya terhadap kalangan Muslim yang mampu menerima ide-ide
baru karena modernisasi. Hal ini juga didukung dengan susunan gramatika yang cenderung
berfokus pada aktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial.Lebih lanjut, dilihat dari
kohesi dan koherensi yang digunakan, tampak bahwa kesatuan argumen yang disusun
18

diarahkan untuk melibatkan pembaca agar meyakini apa yang menjadi pandangan para
penulis. Pembaca secara implisit diarahkan untuk memilih satu di antara perbedaan-perbedaan
tersebut, atau dengan kata lain, meyakini kebenaran pandangan penulis teks.
Kedua, nilai-nilai modern yang ditampilkan di dalam wacana dinegosiasikan dengan
memuat tindakan-tindakan aktor dalam Islam yang merujuk pada sejarah nabi, kandungan
kitab suci,kiprah para cendekiawan Muslim di masa lampau, dan kalangan modernis yang
diyakini menerima sejumlah nilai-nilai modern, seperti hak asasi manusia (HAM), persamaan,
keadilan, kebebasan, pluralisme, kedaulatan rakyat, dan etika politik. Namun demikian, pada
tataran praktik wacana, pandangan penulis opini tidak secara menyeluruh diyakini
kebenarannya oleh pembaca. Teks dikonsumsi secara pro dan kontra dan umumnya ditanggapi
secara skeptis.
Selanjutnya, pada tataran praktik sosiokultural, wacana tidak dihadirkan dalam ruang
yang hampa, melainkan sebagai akibat dari munculnya peristiwa Revolusi Dunia Arab yang
telah mengubah pandangan masyarakat untuk membenahi sistem pemerintahan dengan sistem
kepemimpinan yang lebih demokratis. Keberpihakan penulis terhadap kalangan modernis
yang terungkap dalam media Barat nytimes.com mencerminkan dialektika antara hubungan
Islam dengan Barat. Dengan demikian, pembentukan wacana tidak terlepas dari perubahanperubahan sosial yang terjadi, termasuk perubahan ide atau nilai-nilai dominan yang
berkembang dan diterima oleh masyarakat.
Jawaban atas pertanyaan penelitian ini masih terbuka untuk diteliti lebih jauh,
terutama dalam kaitannya dengan praktik institusi media yang tidak peneliti sertakan. Selain
itu, keterbatasan data berupa opini mengenai hubungan Islam dengan demokrasi belum bisa
menggeneralisasi pandangan-pandangan dalam masyarakat Barat mengenai sesuai atau
tidaknya hubungan Islam dengan demokrasi, khususnya di kalangan intelektual. Oleh karena
itu, penelitian mengenai wacana hubungan Islam dengan demokrasi dalam media-media Barat
masih sangat mungkin untuk dikaji lebih dalam.

Daftar Acuan
Alatas, Syed Farid. (2005). “Introduction” dalam Covering Islam Challenges and Opportunities for Media in the
Global Village. Syed Farid Alatas (Ed.). Singapore: Centre for Research on Islamic and Malay Affairs
(RIMA)
Azra, Azyumardi. (1996). Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina.

19

Blommaert, Jan. (2005). Discourse: A Critical Introduction. Cambridge: Cambridge University Press
Clark, R., & Ivanic, R. (1997). The Politics of Writing. New York: Routledge
Dahl, A. Robert. (1992). Dilema Demokrasi Pluralis (Edisi kedua) (A Rahman Zainuddin, Penerjemah). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Dahl, A. Robert. (2001). Perihal Demokrasi (A Rahman Zainuddin, Penerjemah). Jakarta: IKAPI.
Effendy, Bahtiar. (2001). Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta: Galang Printika.
Fairclough, Norman.(1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Fairclough, Norman.(2001). Language and Power. London: Longman.
Fairclough, Norman. (2003). Analysing Discourse. Textual Analysis for Social Research. New York: Routlegde.
Halliday, M. (2004). An Introduction to Functional Grammar (Edisi Ketiga).London: Edward and Arnold.
Nasution, Harun (1986). Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Nida, Eugene A. (1979). Componential Analysis of Meaning. Cambridge: Cambridge University Press.
Philips, L., & Jorgensen, M. W. (2002). Discouse Analysis as Theory and Method (Edisi Kesatu). London: Sage
Publication Ltd.
Ramadhan, Tariq. (2012). “Waiting for the Arab Spring Ideas”. Diunduh 24 Desember 2013.
http://www.nytimes.com/2012/10/01/opinion/waiting-for-an-arab-spring-of

ideas.html?

pagewanted=all&_r=0.
Schwartz, Stephen. (2005). “4 Years After September 11th. The Failure of Western Media”. Dalam Covering
Islam Challenges and Opportunities for Media in the Global Village (hlm 5-26). Singapore: Centre for
Research on Islamic and Malay Affairs (RIMA).
Silverman, David (2000). Doing Qualitative Research, A Practical Handbook. London: Sage Publications Ltd.
Simpson, Paul & Mayr, Andrea. (2010). Language and Power. New York: Routledge.
Sjadzali, Munawir. (1990). Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Umaruddin, Masdar. (1999). Membaca Pikiran Gusdur dan Amien Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Urbaningrum, Anas. (2000). Islam dan Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid. (Tesis Magister Tidak
Dite