Representasi Perempuan di Parlemen Kuant

Representasi Perempuan di Parlemen: Kuantitas menuju Kualitas
Oleh: Antonius Panel (F1D010031)

Pengantar
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 telah menunjukkan suatu
citra demokrasi yang kembali hidup di Indonesia. Demokrasi dikatakan hadir
kembali setelah 32 tahun di ‘tidur’ kan oleh pemerintahan Soeharto dengan
regulasi yang represif dan otoriter. Reformasi pada akhirnya membuka banyak
semangaat sosial dalam segala lini kehidupan bermasyarakat, seperti adanya
semangat kesetaraan dan keadilan dengan pandangan yang lebih bebas dan tidak
terkekang.1 Kesetaraan dan keadilan merupakan suatu hak yang dimiliki
masyarakat secara individu maupun kelompoknya masing-masing. Maka dari itu,
tidak terkecuali individu maupun kelompok yang kiranya tersubordinasi
memanfaatkan semangat demokrasi untuk kehidupan yang lebih baik, seperti
halnya perempuan.
Perempuan di Indonesia, dalam hal ini dapat dikatakan sebagai individu
dan kelompok yang tersubordinasi/terdiskriminasikan dalam mendapatkan
keadilan maupun kesetaraan dibandingkan laki-laki.2 Memang dari segi
sosiologis, negara Indonesia sebagian besar suku dan budayanya merupakan
penganut sistem patriarkhis. Sehingga hal ini mengalokasikan peranan wanita
hanyalah sebagai pendukung dari sistem yang ada, atau sering dikatakan hanya

berperan pada sektor domestik dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan peranan
domestik yang diemban oleh perempuan inilah, pada akhirnya muncul pertanyaan
dimana keadilan dan kesetaraan yang dijamin oleh demokrasi sebagai sistem yang
lebih baik dari sistem pemerintahan lainnya.
Pada dasarnya ketidakadilan yang dipermasalahkan dari kehadiran
perempuan adalah minimnya aksesbilitas mereka untuk terlibat dalam ranah
publik. Kekhasan ranah publik yang sangat patriarkhis atau maskulin memang
1 Kacang Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru (Jakarta:
Kecana Prenada Media Group, 2010), 12.
2 Ida Novianti, “Subordinasi Peran Sosial Perempuan (Analisis Terhadap Cerpen ‘Laila’ karya
Putu Wijaya,” Jurnal Studi Gender dan Anak YINYANG vol.5, no. 2 (2010): 286.

mengkonstruksi kesadaran masyarakat bahwa ranah tersebut tidaklah relevan
untuk perempuan. Padalah ranah publik adalah satu-satunya ruang yang dapat
menciptakan suatu aturan yang adil dan setara terhadap perempuan di dalam
bermasyarakat. Salah satu contoh ranah publik tersebut adalah parlemen yakni
lembaga yang memiliki hak membentuk aturan dalam masyarakat.
Parlemen merupakan lembaga yang sangat strategis bagi suatu negara
demokratis, karena disinilah ditentukan kebijakan yang menyangkut masyarakat,
khususnya keadilan dan kesetaraan gender.3 Hadirnya perempuan di dalam

parlemen merupakan indikator bahwa negara demokrasi tersebut memiliki
demokratisasi yang esensial, dimana bukan hanya jargon semata. Ide tentang
perlunya kehadiran perempuan di parlemen inilah yang pada akhirnya dapat
menentukan bahwa perempuan dapat diperlakukan secara adil dan setara. Adil dan
setara yang dimaksud bukan hanya dalam ranah publik saja, setidaknya dalam
ranah domestik juga mereka tidak mendapat suatu perlakuan yang diskriminatif
maupun eksploitatif melalui aturan hukum yang dibentuk nantinya dalam
parlemen.
Munculnya semangat perempuan masuk parlemen pada akhirnya menjadi
suatu perhatian khusus bagi negara demokratis khususnya Indonesia. Hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya kebijakan affirmative action sebagai pencantuman
kuota perempuan dalam parlemen. Kuota tersebut ditargetkan mencapai 30%
sebagai kuantitas yang dikatakan representatif bagi perempuan.4 Representasi
perempuan secara kuota ini dikatakan sebagai langkah awal perjuangan
perjuangan perempuan dalam haknya sebagai warga negara. Namun kemudian
pertanyaannya, apakah kuantitas perempuan yang ada dan ditentukan tersebut
menjamin kualitasnya di dalam parlemen, khususnya sebagai wakil/representasi
perempuan di luar parlemen. Hal tersebut juga terkait dari pernyataan umum akan
perempuan, yang dimana dikatakan mereka menjadi pribadi yang pasif dan kurang
signifikan dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi kaumnya sendiri

3 Keadilan dan keseteraan gender adalah suatu bentuk upaya perjuangan bahwa tidak adanya
perbedaan hak maupun kewajiban antara dualitas gender yang ada, yakni maskulin (laki-laki)
dengan feminis (perempuan) di dalam bermasyarakat dan bernegara.
4 Wahidah Zein Siregar, “Parliamentary Representation of Woman in Indonesia: Struggle for A
Quota,” Asian Journal of Woman’s Studies (AJWS) vol. 11, no. 3 (2005): 37.

ataupun bagi masyarakat. Maka dari itu, pembahasan ini menarik untuk menjadi
topik yang selayaknya dianalisis sederhana secara deskriptif.
Kehadiran Perempuan di Parlemen
Secara kuantitas, jumlah perempuan di parlemen pada masa reformasi
dapat dikatakan lebih progres daripada pemilu-pemilu sebelumnya di zaman Orde
Baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan data meningkatnya persentase jumlah
perempuan dari waktu ke waktu sesudah reformasi , yakni tahun 1999 yang hanya
terdapat 9% representasi perempuan, tahun 2004 naik menjadi 11,3% dan terakhir
tahun 2009 lalu yang besarnya 17,9% dari total keseluruhan kursi parlemen,
khususnya DPR RI.5 Peningkatan yang ada demikian, memang dikatakan sebagai
suatu kabar baik bagi perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan, walau
memang persentase jumlah yang ada masih jauh dibawah standar komposisi kuota
yakni 30%. Namun ada juga pernyataan, masih kurangnya perwakilan perempuan
dari standar komposisi tersebut juga dapat mengindikasikan lambannya kemajuan

yang diperjuangkan oleh perempuan untuk berperan secara seimbang dengan lakilaki.
Memang pada dasarnya perhatian pada kuota perempuan dalam parlemen
ini juga menjadi suatu kritik oleh beberapa pihak karena terlihat sederhana dan
kurang signifikan dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan perempuan.
Ide “the politics of presence” yang dicetuskan oleh Anne Philip yakni perlunya
peningkatan jumlah perwakilan perempuan di parlemen untuk memperjuangkan
hak-hak mereka, saat ini rasanya kurang tepat dan relevan.6 Hal ini
dirasionalisasikan bahwa saat ini kehadiran perempuan di parlemen dengan kupta
yang ada pada realitasnya bukanlah berangkat dari kepanjangan tangan dari
perempuan lain di luar parlemen atau tidak. Melainkan kepanjangan dari
perwakilan partai yang berujung pada hubungan timbal balik terhadap partainya,

5 Wahidah Zein Siregar, “Representasi Perempuan di DPR, DPD, MPR, dan DPRD 2009-2014:
Komposisi, Peran dan Tantangan Perempuan Parlemen,” Jurnal Perempuan vol. 18 no.4 (2013):
29.
6 Anne Philip, Engendering Democracy (Cambridge: Polity Press, 1991), 72.

dengan alibi bahwa mereka perwakilan berbagai komponen masyarakat yang
bukan terdiri oleh hanya dari perempuan saja.7
Memang secara normatif bahwa anggota parlemen adalah mereka yang

berjuang demi kesejahteraan masyarakat pada umumnya, tanpa melihat jenis
kelamin yang berbeda. Namun, saat ini keadilan dan kesetaraan dapat dikatakan
belum tercapai diantara perbedaan jenis kelamin tersebut, terkhususnya pada
perempuan. Maka dari itu, adanya perwakilan perempuan yang subtantif dalam
parlemen, merupakan suatu kebutuhan khusus untuk memperjuangkannya.
Berbeda dengan ”politics of presence”, yang menekankan hanya pada aspek kuota
perempuan dalam parlemen, saat ini perlu adanya ide “politics of process” yang
menekankan pada subtansi perwakilan perempuan itu sendiri. Politics of process
berbicara tentang bagaimana implikasi dari hadirnya perempuan di parlemen itu
dan bagaimana mengukur keberhasilan dari kehadiran perempuan di parlemen.
Ide tersebut bertujuan bahwa representasi dari perempuan parlemen bukan hanya
sebagai simbol, melainkan suatu substantive representative bagi kalangan
perempuan itu sendiri.
Representasi subtantif dari perempuan di parlemen merupakan metode
yang lebih tepat untuk mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan perempuan
di luar parlemen melalui kebijakan-kebijakan strategis. Hal tersebut juga sebagai
wujud rekonstruksi kesadaran masyarakat yang masih berpandangan patriarkhis,
untuk dapat menerima dan mendukung perempuan mendapat kesempatan dalam
ranah publik dalam bermasyarakat. Selain itu juga dapat membantu dalam
pengembangan kebijakan-kebijakan yang ada untuk tidak bias gender (ramah

gender) dan merugikan salah satu jenis kelamin terkhususnya perempuan, seperti
UU pornografi, UU pidana pemerkosaan, dll yang ada pada saat ini.
Hambatan Perempuan dalam Parlemen
Perempuan Parlemen dapat dikatakan menjadi tolak ukur bagaimana
keadilan dan kesetaraan gender dapat diperjuangkan. Posisi strategis, wewenang
yang dimiliki, dan ruang yang lebih luas menjadikan suatu motivasi bahwa
7 Sri Wardani dan Eko Budi, Potret Keterpilihan Perempuan di Legislatif pada Pemilu 2009
(Jakarta: Puskapol, 2013), 23.

perempuan parlemen inilah yang menjadi pionir bagi perempuan-perempuan di
luar parlemen (dalam masyarakat). Namun adanya fakta buruk akan perempuan di
parlemen dapat membuat masyarakat menjadi acuh kembali akan representasi
perempuan di parlemen tersebut. Fakta-fakta yang disebutkan disini adalah
dimana adanya perempuan parlemen yang melakukan tindakan korupsi, pecitraan
semu dan kurangnya partisipasi aktif dalam mendukung kesejahteraan
masyarakat.
Korupsi yang terjadi di kalangan perempuan parlemen menjadi suatu
keresahan masyarakat di atas ekpektasi mereka yang meyakini bahwa perempuan
dapat lebih baik dalam parlemen sebagaimana penelitian yang dilakukan Women
Research Institute (WRI)8. Penelitian WRI melakukan data survei sekitar 71%

masyarakat lebih percaya anggota parlemen perempuan dibandingkan laki-laki.
Namun ketika dihadapkan dengan realitas seperti korupsi yang dilakukan oleh
perempuan parlemen salah satunya seperti Angelina Sondakh, maka inilah yang
akan berdampak buruk, karena akan terjadi stereotyping oleh masyarakat terhadap
perempuan yang ingin mencalonkan diri menjadi perempuan parlemen.
Korupsi perempuan parlemen merupakan suatu hambatan dalam
perjuangan perempuan di dalam sektor publik khususnya politik. Selain korupsi,
pecitraan semu dan kurangnya signifikasi partisipasi aktif perempuan dalam
parlemen juga menjadi faktor pendukung yang menghambat perempuan untuk
menjadi figur yang dikatakan cocok dalam parlemen. Melalui ketiga hambatan
yang terjadi demikian diyakini bahwa metode substantive representative
perempuan dalam parlemen belumlah tercapai di Indonesia. Hanya dengan
memperhatikan suatu jumlah kuota yang semata-mata dikatakan adil dan setara
tidaklah cukup, harus ada upaya peningkatan kualitas yang signifikan. Jika ketiga
hal tersebut terus terjadi dan tidak adanya upaya rekonstruksi kapabilitas
perempuan, dapat diyakini bahwa keadilan dan kesetaraan pada perempuan tidak
dapat tercapai.

8 Kharina Triandana, “Ridet: Masyarakat Lebih Percaya Anggota DPR Perempuan ,”
beritasatu.com, diakses pada tanggal 28 April 2014, http://beritasatu.com/nasional/160982-risetmasyarakat-lebih -percaya-anggota-dpr-perempuan.html.


Pemberdayaan Perempuan Parlemen
Memang penting adanya upaya kuota perempuan dalam parlemen
(affirmative action) sebagai bentuk hutang peradaban terhadap perempuan.
Walaupun sampai sekarang, pro dan kontra terhadap peranan perempuan dalam
parlemen masih saja berlangsung. Pro dan kontra disini berangkat dari
permasalahan apakah keterwakilan perempuan dapat menjadi figur yang mumpuni
dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan keadilan
dan kesetaraan gender pada khususnya. Oleh karena itu memang perlu adaya
suatu politik pemberdayaan perempuan, yang mau tak mau harus dilakukan
sebagai upaya konkrit menjamin representasi perempuan di dalam parlemen.
Politik pemberdayaan perempuan bukanlah sesuatu yang dilakukan hanya
dengan membuka jalan atau ruang publik begitu saja terhadap perempuan. Perlu
adanya strategi yang komperensif mulai dari hulu hingga ke hilir kepada
perempuan.9 Hulu yang patut dibentuk untuk memberdayakan perempuan pada
dasarnya dimulai dari metode rekruitmen yang jelas kepada perempuan yang akan
menjadi figur publik, bekerjasama dengan basis dukungannya sehingga dapat pola
hubungan timbal balik yang membangun, hingga pembentukan lingkungan yang
ramah gender sebagai bekal perpektif perempuan. Sedangkan hilir yang
dimaksudkan adalah menciptakan suatu produk-produk legislasi dan implementasi

kebijakan yang ramah gender sehingga tidak ada ketimpangan hukum antara
perempuan dengan laki-laki sebagai warga negara.
Melalui pemberdayaan hulu dan hilir perempuan parlemen tersebut, bisa
berimplikasi pada peningkatan kapabilitias perempuan dalam parlemen yang
mampu setara dalam politik maskulin yang eksis saat ini. Hal itu juga berarti pada
adanya peningkatan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan negara.
Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan dalam Beijing Platform bahwa
tanpa partisipasi aktif perempuan dan melibatkan perspektif perempuan dalam
setiap tingkatan pengambilan kebijakan, tujuan dari kesetaraan, pembangunan dan
perdamaian tidak akan bisa tercapai.10
9 Nur Iman Subono, “Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas,
Kesetaraan?,” Jurnal Perempuan vol. 18, no. 4 (2013): 56.

Penutup
Hadirnya perempuan dalam ranah publik terkhususnya parlemen
merupakan suatu indikator bahwa negara demokratis menjunjung tinggi nilai
keadilan dan kesetaraan gender di dalamnya. Indonesia sebagai negara negara
yang demokratis memang sepantasnya menunjukkan sikap dukungannya dengan
hal yang paling sederhana yakni kebijakan affirmative action kepada perempuan
untuk masuk dalam kursi parlemen. Namun memang ada prasyarat khusus yang

seharusnya menjadi tugas negara dan masyarakat dalam mewujudkan keadilan
dan kesetaraan gender di ranah publik, yakni pengawasan serta penilaian sebagai
sikap yang membangun kedapannya.
Penilaian dan pengawasan ini pada hakikatnya menjadi suatu tolak ukur
bagi perempuan parlemen untuk berani bertanggung jawab atas identitas
keterwakilan yang dia miliki. Sehinga setiap partisipasinya dan setiap
kebijakannya merupakan suatu napas perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan
gender.
Referensi
Iman Subono, Nur. “Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota:
Kuantitas, Kualitas, Kesetaraan?.” Jurnal Perempuan vol. 18, no. 4 (2013):
56.
Kharina Triandana, “Ridet: Masyarakat Lebih Percaya Anggota DPR
Perempuan ,” beritasatu.com, diakses pada tanggal 28 April 2014,
http://beritasatu.com/nasional/160982-riset-masyarakat-lebih -percayaanggota-dpr-perempuan.html.
Marijan, Kacang. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde
Baru. Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2010.
Novianti, Ida. “Subordinasi Peran Sosial Perempuan (Analisis Terhadap Cerpen
‘Laila’ karya Putu Wijaya.” Jurnal Studi Gender dan Anak YINYANG vol.5,
no. 2 (2010): 286.

Philip, Anne. Engendering Democracy. Cambridge: Polity Press, 1991.
United Nations Development Program (UNDP), Human Development Report
1993, New York: UNDP.

10 United Nations Development Program (UNDP), Human Development Report 1993, New York:
UNDP.

Wardani, Sri dan Eko Budi. Potret Keterpilihan Perempuan di Legislatif pada
Pemilu 2009. Jakarta: Puskapol, 2013.
Zein Siregar, Wahidah. “Parliamentary Representation of Woman in Indonesia:
Struggle for A Quota.” Asian Journal of Woman’s Studies (AJWS) vol. 11,
no. 3 (2005): 37.
Zein Siregar, Wahidah. “Representasi Perempuan di DPR, DPD, MPR, dan DPRD
2009-2014: Komposisi, Peran dan Tantangan Perempuan Parlemen.” Jurnal
Perempuan vol. 18 no.4 (2013): 29.