Peran Perempuan Dalam Politik Merujuk Pa
Arti Perempuan
Gender dan Perempuan. Kebanyakan masyarakat di dunia memberi
sambutan yang berbeda atas kelahiran anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini
berkaitan dengan Gender dan Peran yang akan dijalani oleh bayi perempuan dan
bayi laki-laki. Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah
peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan
kultur lainnya.
Gender. Secara mendasar gender berbeda dari jenis kelamin biologis.
Gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa
kita adalah feminin atau maskulin. Menurut Oakley (1972) Istilah gender berarti
perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.
Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan bahwa gender merupakan
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis,
sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural. Gender
menentukan berbagai pengalaman hidup yang akan kita alami, gender pula dapat
menentukan akses kita terhadap pendidikan, pekerjaan, alat-alat dan sumber daya
yang akan diperlukan untuk industri dan keterampilan. Sedangkan didalam
konteks pendidikan dimana percakapan yang memainkan peranan yang sangat
penting dalam belajar di kelas :
Cara mengantarkan gagasan-gagasan, cara membuat gagasan-gagasan
benar-benar tergantung seseorang mampu memikirkannya, dan cara terbaik
untuk melakukan hal ini adalah mempertimbangkannya. Jadi, perbincangan
bukan hanya sekedar suatu cara untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang
ada kepada orang lain; tapi juga merupakan suatu cara bagi kita untuk
mengekplorasi gagasan, menjelaskannya, dan menjadikannya sebagai kuasa kita.
Membincangkan berbagai hal memberi kesempatan untuk memilah gagasan dan
merumuskan penerapannya dan dengan cepat dan sungguh-sungguh mengarah
pada pewujudan gagasan tersebut. (Marland, 1977, hal 129)
Dalam penelitian Sadker dan Sadker terhadap lebih dari 100 kelas, yang
mencakup bidang studi seni dan sains, anak laki-laki rata-rata berbicara tiga kali
lebih banyak dari anak perempuan –dan angka ini sama sekali tidak mengejutkan.
1
Karena banyak alasan mengenai ketidaksepadanan semacam ini yang sekurangkurangnya dibebankan pada tanggung jawab guru. Sebagai contoh, ada bukti
bahwa guru lebih banyak memperhatikan anak laki-laki, menyampaikan lebih
banyak kritikan dan juga lebih banyak menghargai dan mendorong mereka.
(Clarricoates, 1983). Bahkan, kesadaran untuk membagi perhatian secara adil
antara anak perempuan dan laki-laki mungkin sukar dicapai. Para guru juga
memperlakukan dengan wajar pada anak laki-laki atas perilaku yang anak
perempuan dianggap tidak pantas melakukannya. Sebagai misal, Sadker dan
Sadker menemukan bahwa anak laki-laki delapan kali lebih cenderung
meneriakkan jawaban dibandingkan anak perempuan, dan para guru menerima
jawaban-jawaban semacam itu dari anak laki-laki, tapi memarahi anak perempuan
jika berteriak semacam itu. French dan French (1984a) merinci analisis bahwa
anak laki-laki memanfaatkan berbagai macam strategi untuk melakukan
partisipasi yang lebih besar –mereka mungkin saja merencanakan hal-hal yang
lebih menarik dan lebih berarti untuk dikatakan, sehingga mendorong guru untuk
mempertanyakan lebih jauh lagi.
Selain itu, gender merupakan satu-satunya faktor alam yang membentuk
kita menjadi apa nantinya. Mendasari pengertian diatas, konsep gender
menyebabkan terjadinya perbedaan peran, posisi, dan nilai yang diberikan
terhadap perempuan dan laki-laki yang terkadang menimbulkan ketidakadilan.
Dan perempuan adalah kelompok yang paling menderita dari ketidakadilan
tersebut. Di seluruh dunia, sedikit banyak perempuan mengalami tindak
kekerasan, pemerkosaan, pemukulan, perusakan atau pemotongan organ intim,
maupun pembuatan pornografi. Hubungannya adalah karena perempuan dilihat
sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan
sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. Bentuk ketidakadilan
lainnya terhadap perempuan tampak dengan keutamaan laki-laki dalam hal
mandapatkan pendidikan dan ruang lingkup pekerjaan yang lebih luas. Peran
perempuan-pun dibatasi dan dinormorduakan oleh laki-laki.
Kesetaraan
perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya 'emansipasi' di
tahun 1950-1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan
yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB.
Kesetaraan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan
2
dari konferensi PBB tahun 1975, dengan tema Women In Development (WID)
yang memprioritaskan pembangunan bagi perempuan yang dikembangkan dengan
mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.
Permasalahan Gender di Indonesia, didukung dengan lambatnya
pemahaman tentang gender itu sendiri. Perlu adanya peningkatan kesadaran dan
pemahaman mengenai gender yang harus didukung dengan adanya keterwakilan
perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga negara, terutama lembaga
pembuat kebijakan. Munculnya Konsep Hak Asasi Perempuan (HAP), yang
sedikitnya memiliki dua makna yang terkandung didalamnya. Yang pertama, Hak
Asasi Perempuan hanya dimaknai sekedar berdasarkan akal sehat. Logika yang
dipakai adalah pengakuan bahwa perempuan adalah manusia, dan karenanya
sudah sewajarnya mereka juga memiliki hak asasi. Makna yang kedua, dibalik
istilah Hak Asasi Perempuan terkandung visi dan maksud transformasi relasi
sosial melalui perubahan relasi kekuasaan yang berbasis gender. Makna Hak Asasi
Perempuan yang kedua ini memang lebih revolusioner karena adanya
pengintegrasian Hak Asasi Perempuan kedalam standar Hak Asasi Manusia
(HAM). Hak asasi perempuan di Indonesia cukup menonjol. Menurut UUD 1945
secara formal tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 27 UUD 1945 misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa semua
orang sama kedudukannya dihadapan hukum. Akan tetapi, dalam praktiknya
perempuan masih banyak mengalami diskriminasi. Dengan kata lain, kedudukan
perempuan secara de jure jauh berbeda dengan kedudukan secara de facto.
Sebenarnya, kedudukan perempuan di Indonesia secara formal cukup kuat sebab
banyak ketentuan dalam berbagai undang-undang serta peraturan lain yang
memberikan perlindungan yuridis padanya. Selain itu, Indonesia pun telah
meratifikasi dua perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan
(Convention on Political Rights of Women) dan Perjanjian mengenai Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination of All
Forms of Discrimination againts Women) atau CEDAW. Kemudian pada 1993,
Indonesia telah menerima Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan
perempuan. Pasal 1, 18 menyatakan dengan tegas bahwa “Hak asasi perempuan
3
serta anak adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable),
integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).”
Ada tiga isu utama yang berkaitan dengan hak perempuan di Indonesia,
yakni kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga,
kewarganegaraan, dan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak. Dari isu
utama itulah memunculkan tiga UU, antara lain : UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT); UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan RI; UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Hak Perempuan Dalam Naskah
1. 1945 : Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27
2. 1958 : Undang-Undang No.68 Tahun 1958, Konvensi Hak
Politik Perempuan
3. 1984 : Undang-Undang No.7 Tahun 1984, Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita (CEDAW)
4. 1966/1976 : Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 3 (Belum diratifikasi
Indonesia)
5. 1993 : Deklarasi Wina, Pasal I /18
6. 1998 : S.K. Presiden No.181, Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) didirikan
7. 2002 : Protocol dari CEDAW ditandatangani
8. 2003 : Undang-Undang No.12, Pemilihan Umum, Pasal 65
4
Mendasari dari ketiga isu utama yang telah dipaparkan diatas, kami
mencoba menganilisis dari sebuah survei yang dilakukan oleh My World 2015
Analytics, yang merupakan salah satu program survei global dari PBB (United
Nation) kepada warga dunia. Kami mengambil sampel Negara Indonesia
kemudian fokus pada jenis kelamin perempuan dan kisaran usia antara 16-30
tahun yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan ditingkat sekolah menengah
atas. Terdapat 1.583 responder perempuan (29/04), tersebut menyatakan bahwa
ada lima harapan besar dari perempuan mengenai kehidupan mereka selanjutnya,
antara lain :
1. A good education
2. An honest and responsive government
3. Better Healthcare
4. Better job opportunities
5. Protection against crime and violence
Dari kelima harapan inilah kita mampu mengamati bahwasanya kualitas
pendidikan yang baik diharapan oleh kaum perempuan sebagai pemecah batu dari
berbagai permasalahan yang terus melanda kaum perempuan. Dengan harapan
saat seorang perempuan mempunyai pendidikan yang memadai sesuai dengan
bidang yang ia tekuni maka ia akan mampu berkontribusi dalam pembangunan
nasional, seperti misalnya saja ikut terlibat dalam ranah politik, kegiatan
kelembagaan perempuan, dan pembuat kebijakan publik di negeri ini.
Perempuan dan Politik
Hak Politik Perempuan. dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan
negaranya, diatur didalam pasal 7 CEDAW, antara lain :
1. Hak untuk memilih dan dipilih
2. Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya
5
3. Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala
fungsi pemerintahan disegala tingkat
4. Hak
berpartisipasi
dalam
organisasi-organisasi
dan
perkumpulan-
perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik bernegara.
Pasal 8. Mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan
untuk mewakili pemerintah dalam tingkat internasional dan berpatisipasi dalam
organisasi-organisasi internasional.
Konvensi Hak Politik Perempuan, yang pada 1952 diterima PBB dan telah
diratifikasi oleh DPR menjadi UU No. 68 Tahun 1958, pada Pasal I menetapkan
bahwa: “Perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan
status sama dengan pria tanpa diskriminasi (Women shall be entitled to vote in all
elections on equal terms with men without any discrimination).” Hak ini telah
dilaksanakan dalam Pemilu 1955, sebelum Indonesia meratifikasi konvensi ini.
Pasal II menyatakan: “Perempuan dapat dipilih untuk semua badan elektif yang
diatur dengan hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi
(Women shall be eligible for election to all publicly elected bodies established by
national law, on equal terms with men, without any discrimination)”; “Perempuan
berhak menduduki jabatan resmi dan menyelenggarakan semua fungsi resmi yang
diatur semua hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi
(Women shall be entitled to hold public office and to exercise all public functions,
established by national law, on equal terms with men, without any
discrimination).”
Dalam suatu Kovenan yang belum kita ratifikasi, yaitu Kovenan Hak Sipil
dan Politik (International Covenant on Civil and Political rights). Dinyatakan
dalam Pasal 3 : “Negara-negara peserta Kovenan ini sepakat untuk menjamin hak
yang sama bagi pria dan perempuan untuk menikmati hak-hak sipil dan politik
yang dicanangkan dalam Kovenan ini (The State Parties to the present Covenant
undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all
civil and political rights set forth in the present Covenant).” Hak-hak ini antara
lain mencakup hak atas hidup (Pasal 6), kesamaan dibadan-badan pengadilan
(Pasal 14), kebebasan mempunyai pendapat tanpa campur tangan (pihak lain)
(Pasal 19). Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik menyatakan hal yang serupa
dalam (Pasal 3).
6
Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW—The
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women)
yang diterima oleh PBB pada 1979 dan oleh DPR diratifikasi menjadi UU No. 7
Tahun 1984, memberi perlindungan terutama dibidang ketenagakerjaan.
Hak politik perempuan dirumuskan juga dalam UU No.12 Tahun 2003
tentang pemilu memberi peluang baru dengan menetapkan dalam Pasal 65 (1) :
“Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan
dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Dalam
Pemilu 2004 ternyata perempuan belum dapat memenuhi kuota sebagaimana yang
diharapkan. Terlansir didalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (22/04)
dalam rangka memperingati hari Kartini belum lama ini, menyatakan bahwa
jangan sampai keterwakilan perempuan dalam pemilu 9 April yang lalu hanyalah
pelengkap kuota saja, namun ada harapan agar siapapun calon legislatif
perempuan yang terpilih dan menduduki kursi jabatan mampu menunjukkan
bahwa mereka bisa mewakili rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya, selain
itu ia mampu memperjuangkan berbagai dimensi perempuan seperti halnya
mengenai diskriminasi gender yang masih berkembang, perlunya regulasi yang
memberdayakan kapasitas perempuan sehingga tidak banyak lagi kaum
perempuan yang menjadi TKW. Ditambah LSI mengungkapkan, dalam hal
kemampuan laki-laki dan perempuan, masyakarat menilai sama. Bahkan, dalam
hal anti korupsi, masyarakat lebih mendukung perempuan karena dinilai lebih
mampu menahan keserakahannya untuk tidak melakukan korupsi. Tingkat
kepercayaan kepada laki-laki untuk tidak melakukan korupsi hanya 30%,
sedagkan untuk perempuan diatas 50%.
Perempuan dalam Pemilu. Keterlibatan perempuan dalam politik dan
pemerintahan merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat
negara sebuah rumah tangga, maka perempuan-lah yang memiliki peran untuk
mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut.
Maka, dapat dipastikan bahwasanya perempuan memiliki andil yang luar biasa
dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun demikian, bagi
negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan. Hal ini
7
terlihat dari total partisipasi perempuan dalam parlemen yang dibatasi hanya
sebesar 30% semata.
Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang menjunjung
genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang tak rasional bagi peran
perempuan. Hingga saat ini, peran perempuan dan representasi politiknya di
parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih
sangat rendah dan memprihatinkan. Rendahnya partisipasi perempuan tersebut
bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan
pendidikan pemilih khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang,
selain itu tidak adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik perempuan
untuk memperkuat keterampilan politiknya, kurang adanya kesadaran perempuan
untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik terutama untuk
berpartisipasi dalam institusi politik formal seperti lembaga legislatif dan partai
politik, serta masih adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi
aksesibilitas dan partisipasi perempuan dalam pemilu, parlemen dan dalam
pemerintahan. Pada dasarnya, peranan perempuan merupakan jawaban dalam
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dengan kata
lain perempuan yang berkontribusi dalam legislatif dapat menyuarakan
kepentingan perempuan dan aspirasi masyarakat.
Representasi Politik (perempuan). Di Indonesia sendiri hak untuk
memilih dan dipilih yang setara antara laki laki dan perempuan sudah berlaku
sejak pemilu 1995 sampai sekarang. Namun dalam relalitasnya partisipasi
perempuan dalam menjadi calon legislatif masih belum memenuhi harapan. UU
No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum Anggota, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 53 menegaskan bahwa daftar calon
anggota legislatif memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, namun
usaha meningkatkan status dan peran perempuan sama sekali belum maksimal
jika dibandingkan laki-laki. Jumlah perempuan wakil rakyat di DPRD secara
kuantitas belum sesuai UU.
Berikut ini adalah kursi DPR yang dimiliki perempuan dan periode waktu
seperti dikutip dari laporan IPU (Inter-Parliamentary Union) :
Pemilu tahun 1955
: 5,9%
(Data dari UNDP, 2010)
8
Pemilu tahun 1971
: 7,17%
(33 perempuan dari total 460)
Pemilu tahun 1977
: 7,39%
(34 perempuan dari total 460)
Pemilu tahun 1982
: 8,26%
(38 perempuan dari total 460)
Pemilu tahun 1987
: 11,4%
(57 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 1992
: 12,2%
(61 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 1997
: 11,4%
(57 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 1999
: 8%
(40 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 2004
: 11,2%
(62 perempuan dari total 550)
Pemilu tahun 2009
: 18,6%
(104 perempuan dari total 560)
Di DPRD Kota Yogayakarta misalnya, pada pemilu tahun 2009, meskipun
jumlah kursi perempuan naik 6 kursi namun kenaikannya baru mencapai 20%.
Secara kuantitas jumlah tersebut tentu tidak terpenuhi. Lalu secara kualitas,
perempuan yang duduk menjadi anggota dewan terkadang memiliki banyak
hambatan dalam mengembangkan potensinya, keluarga, sekolah, partai politik
dan lingkungan sosial lainnya. Namun tahun 2014 ini, jumlah partisipasi calon
legislatif Perempuan mengalami peningkatan dibanding tahun 2009 lalu. Jika
dipresentase caleg perempuan naik sebanyak 7%, dengan begitu tahun ini caleg
perempuan mencapai 37% yang dulunya hanya 30%. Dari 6.607 caleg 2.467
diantaranya adalah Caleg Perempuan.
Efektivitas Peran Perempuan dalam Pembangunan Nasional
Perempuan dalam Pembangunan Nasional. Dalam hal ini, pemerintah
telah menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional, sebagai acuan memaksimalkan potensi perempuan dalam
pembangunan. Dalam keluarga, kaum perempuan merupakan tiang keluarga,
kaum perempuan akan melahirkan dan mendidik generasi penerus. Kualitas
generasi penerus bangsa ditentukan oleh kualitas kaum perempuan sehingga mau
tidak mau kaum perempuan harus meningkatkan kualitas pribadi masing-masing.
Tidak mungkin akan terbentuk keluarga yang berkualitas tanpa meningkatkan
kualitas perempuan.
9
Kualitas pendidikan perempuan juga merupakan aspek yang sangat
penting bagi pembangunan bangsa. Kaum perempuan harus berusaha meraih
jenjang pendidikan setinggi mungkin. Peningkatan derajat kesehatan perempuan
juga seiring dengan upaya peningkatan akses pendidikan, kesehatan reproduksi
dan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan. Terlepas dari semua kekurangan
dan keterbatasan perempuan Indonesia, saat ini perempuan Indonesia berbeda
dengan perempuan Indonesia masa lalu. Bila dulu perempuan Indonesia
beraktivitas hanya di sekitaran keluarga dan rumah tangga, kini bisa disaksikan
bagaimana perempuan Indonesia berperan hampir dalam setiap bidang pekerjaan
dan profesi. Bahkan, salah seorang presiden Indonesia adalah perempuan. Tidak
sedikit pula yang berprofesi sebagai pimpinan dalam perusahaan atau lembaga.
Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas perempuan Indonesia, sesungguhnya
tidak kalah dari kaum laki-laki. Optimisme akan pembangunan nasional dan
daerah yang bertumpu pada semua pihak akan terselenggara dengan baik.
Dukungan semua pihak tetap diperlukan, agar keseimbangan yang telah terjadi
selama ini, dapat terus disempurnakan, saling mengisi dan memberikan kontribusi
pada pembangunan daerah dan nasional.
Partisipasi Perempuan dalam Pemerintahan. dapat dilakukan melalui
beberapa jalur, yaitu :
1. Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan
aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung
program pemeritahan, seperti PKK, Posyandu, KB, dan kegiatan lainnya
yang dapat menggerakkan ibu-ibu ke arah kepentingan bersama.
2. Perempuan yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi
anggota salah satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama
dalam memperjuangkan kaum perempuan, dan yang bersangkutan dapat
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat
pada saat pemilu.
3. Perempuan yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat
menjalankan fungsi sesuai dengan kemampuan, latar belakang pendidikan,
dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung
jawab.
10
4. Perempuan yang bekerja di bidang yudikatif atau yang berhubungan
dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi
penyidik perkara dapat bekerja dengan jujur dan adil demi tegaknya
hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang agama, suku,
budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain-lain.
Kesimpulan
Menarik sebuah kesimpulan dari seluk-beluk gender dan perempuan
sekaligus lika-liku dinamika perjuangan hak asasi perempuan serta usaha untuk
ikut ambil bagian dalam peranan kepemimpinan dan menjamah wilayah politik di
dalam pemerintahan. Perempuan seyogyanya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa, yang mendapat anugerah berlimpah. Karena jika ia mendapatkan fasilitas
pendidikan dan pelatihan keterampilan yang sama dengan kaum laki-laki. Kami
percaya bahwa perempuan akan mampu berjalan setara dengan laki-laki dalam
membangun Indonesia yang lebih maju dan jaya.
Selain itu, peran dunia internasional maupun organisasi internasional yang
sedikit banyak telah ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan bagi perempuan
untuk lebih terlindungi, terjamin hak asasinya, dan serta mendapat peluang yang
sama dalam pendidikan, pekerjaan, maupun hak perempuan dalam politik
11
negaranya. Perlu kiranya, kita apresiasi karena dengan demikian kaum perempuan
yang semula mendapat ketidak adilan serta ketidak seimbangan gender mulai
hilang dan bertranformasi mengarah pada keterwakilan dan peran perempuan
dalam pembangunan nasional maupun internasional. Menurut Plato, seorang
Filosof era Yunani, ia percaya bahwa kaum wanita bisa memerintah sama
efektifnya dengan kaum pria karena alasan sederhana, yaitu bahwa para pemimpin
mengatur negara berdasarkan akal mereka. Kaum wanita menurut Plato
mempunyai kemampuan penalaran yang sama persis dengan kaum pria, asalkan
mereka mendapatkan pelatihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban
membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga. Dalam kitab Hukum yang
ditulis Plato yang menggambarkan “negara konstitusional” sebagai negara terbaik
kedua setelah negara ideal. Plato menegaskan bahwa :
“... sebuah negara yang tidak mendidik dan melatih kaum wanita itu
seperti orang yang hanya melatih tangan kanannya...”
Akhirnya, dapat kita katakan bahwa seorang Filosof Plato mempunyai
pandangan positif tentang kaum wanita. Dan dalam suasana politik di hari Kartini
belum lama ini yang merupakan sebuah momentum bagi perempuan untuk
menjadikan evaluasi bersama sekaligus sebagai penggugah isu penguatan peranan
perempuan dalam bidang politik dimasa ini dan masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Julia Cleves Mosse, 1993. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Jostein Gaarder, 1991. Dunia Sophie, pengantar Dr. Bambang Sugiharto.
Bandung: PT. Mizan Pustaka
Prof. Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
David Graddol dan Joan Swann, 1989. GENDER VOICES, Telaah Kritis
Relasi Bahasa-Jender. Pasuruan: Pedati
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/1961032319
86031-R._GURNIWAN_KAMIL_PASYA/jurnal_wanita.pdf
pada tanggal 30 Maret 2014 pukul 08.00 WIB
12
diakses
http://eprints.uny.ac.id/9812/2/BAB%202%20-%2008110241024.pdf
diunduh pada tanggal 02 Mei 2014 pukul 08.30 WIB
_______ My World 2015 Analytics http://data.myworld2015.org/ diakses
pada tanggal 29 April 2014 pukul 20.54 WIB
_______ Jangan Hanya Jadi Pelengkap Kuota Saja Surat Kabar Harian
Kedaulatan Rakyat terbit pada tanggal 22 April 2014
_______ Saatnya Perempuan: Berkiprah di Semua Bidang Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat terbit pada tanggal 22 April 2014
13
Gender dan Perempuan. Kebanyakan masyarakat di dunia memberi
sambutan yang berbeda atas kelahiran anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini
berkaitan dengan Gender dan Peran yang akan dijalani oleh bayi perempuan dan
bayi laki-laki. Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah
peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan
kultur lainnya.
Gender. Secara mendasar gender berbeda dari jenis kelamin biologis.
Gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa
kita adalah feminin atau maskulin. Menurut Oakley (1972) Istilah gender berarti
perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.
Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan bahwa gender merupakan
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis,
sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural. Gender
menentukan berbagai pengalaman hidup yang akan kita alami, gender pula dapat
menentukan akses kita terhadap pendidikan, pekerjaan, alat-alat dan sumber daya
yang akan diperlukan untuk industri dan keterampilan. Sedangkan didalam
konteks pendidikan dimana percakapan yang memainkan peranan yang sangat
penting dalam belajar di kelas :
Cara mengantarkan gagasan-gagasan, cara membuat gagasan-gagasan
benar-benar tergantung seseorang mampu memikirkannya, dan cara terbaik
untuk melakukan hal ini adalah mempertimbangkannya. Jadi, perbincangan
bukan hanya sekedar suatu cara untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang
ada kepada orang lain; tapi juga merupakan suatu cara bagi kita untuk
mengekplorasi gagasan, menjelaskannya, dan menjadikannya sebagai kuasa kita.
Membincangkan berbagai hal memberi kesempatan untuk memilah gagasan dan
merumuskan penerapannya dan dengan cepat dan sungguh-sungguh mengarah
pada pewujudan gagasan tersebut. (Marland, 1977, hal 129)
Dalam penelitian Sadker dan Sadker terhadap lebih dari 100 kelas, yang
mencakup bidang studi seni dan sains, anak laki-laki rata-rata berbicara tiga kali
lebih banyak dari anak perempuan –dan angka ini sama sekali tidak mengejutkan.
1
Karena banyak alasan mengenai ketidaksepadanan semacam ini yang sekurangkurangnya dibebankan pada tanggung jawab guru. Sebagai contoh, ada bukti
bahwa guru lebih banyak memperhatikan anak laki-laki, menyampaikan lebih
banyak kritikan dan juga lebih banyak menghargai dan mendorong mereka.
(Clarricoates, 1983). Bahkan, kesadaran untuk membagi perhatian secara adil
antara anak perempuan dan laki-laki mungkin sukar dicapai. Para guru juga
memperlakukan dengan wajar pada anak laki-laki atas perilaku yang anak
perempuan dianggap tidak pantas melakukannya. Sebagai misal, Sadker dan
Sadker menemukan bahwa anak laki-laki delapan kali lebih cenderung
meneriakkan jawaban dibandingkan anak perempuan, dan para guru menerima
jawaban-jawaban semacam itu dari anak laki-laki, tapi memarahi anak perempuan
jika berteriak semacam itu. French dan French (1984a) merinci analisis bahwa
anak laki-laki memanfaatkan berbagai macam strategi untuk melakukan
partisipasi yang lebih besar –mereka mungkin saja merencanakan hal-hal yang
lebih menarik dan lebih berarti untuk dikatakan, sehingga mendorong guru untuk
mempertanyakan lebih jauh lagi.
Selain itu, gender merupakan satu-satunya faktor alam yang membentuk
kita menjadi apa nantinya. Mendasari pengertian diatas, konsep gender
menyebabkan terjadinya perbedaan peran, posisi, dan nilai yang diberikan
terhadap perempuan dan laki-laki yang terkadang menimbulkan ketidakadilan.
Dan perempuan adalah kelompok yang paling menderita dari ketidakadilan
tersebut. Di seluruh dunia, sedikit banyak perempuan mengalami tindak
kekerasan, pemerkosaan, pemukulan, perusakan atau pemotongan organ intim,
maupun pembuatan pornografi. Hubungannya adalah karena perempuan dilihat
sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan
sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. Bentuk ketidakadilan
lainnya terhadap perempuan tampak dengan keutamaan laki-laki dalam hal
mandapatkan pendidikan dan ruang lingkup pekerjaan yang lebih luas. Peran
perempuan-pun dibatasi dan dinormorduakan oleh laki-laki.
Kesetaraan
perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya 'emansipasi' di
tahun 1950-1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan
yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB.
Kesetaraan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan
2
dari konferensi PBB tahun 1975, dengan tema Women In Development (WID)
yang memprioritaskan pembangunan bagi perempuan yang dikembangkan dengan
mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.
Permasalahan Gender di Indonesia, didukung dengan lambatnya
pemahaman tentang gender itu sendiri. Perlu adanya peningkatan kesadaran dan
pemahaman mengenai gender yang harus didukung dengan adanya keterwakilan
perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga negara, terutama lembaga
pembuat kebijakan. Munculnya Konsep Hak Asasi Perempuan (HAP), yang
sedikitnya memiliki dua makna yang terkandung didalamnya. Yang pertama, Hak
Asasi Perempuan hanya dimaknai sekedar berdasarkan akal sehat. Logika yang
dipakai adalah pengakuan bahwa perempuan adalah manusia, dan karenanya
sudah sewajarnya mereka juga memiliki hak asasi. Makna yang kedua, dibalik
istilah Hak Asasi Perempuan terkandung visi dan maksud transformasi relasi
sosial melalui perubahan relasi kekuasaan yang berbasis gender. Makna Hak Asasi
Perempuan yang kedua ini memang lebih revolusioner karena adanya
pengintegrasian Hak Asasi Perempuan kedalam standar Hak Asasi Manusia
(HAM). Hak asasi perempuan di Indonesia cukup menonjol. Menurut UUD 1945
secara formal tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 27 UUD 1945 misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa semua
orang sama kedudukannya dihadapan hukum. Akan tetapi, dalam praktiknya
perempuan masih banyak mengalami diskriminasi. Dengan kata lain, kedudukan
perempuan secara de jure jauh berbeda dengan kedudukan secara de facto.
Sebenarnya, kedudukan perempuan di Indonesia secara formal cukup kuat sebab
banyak ketentuan dalam berbagai undang-undang serta peraturan lain yang
memberikan perlindungan yuridis padanya. Selain itu, Indonesia pun telah
meratifikasi dua perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan
(Convention on Political Rights of Women) dan Perjanjian mengenai Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination of All
Forms of Discrimination againts Women) atau CEDAW. Kemudian pada 1993,
Indonesia telah menerima Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan
perempuan. Pasal 1, 18 menyatakan dengan tegas bahwa “Hak asasi perempuan
3
serta anak adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable),
integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).”
Ada tiga isu utama yang berkaitan dengan hak perempuan di Indonesia,
yakni kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga,
kewarganegaraan, dan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak. Dari isu
utama itulah memunculkan tiga UU, antara lain : UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT); UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan RI; UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Hak Perempuan Dalam Naskah
1. 1945 : Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27
2. 1958 : Undang-Undang No.68 Tahun 1958, Konvensi Hak
Politik Perempuan
3. 1984 : Undang-Undang No.7 Tahun 1984, Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita (CEDAW)
4. 1966/1976 : Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 3 (Belum diratifikasi
Indonesia)
5. 1993 : Deklarasi Wina, Pasal I /18
6. 1998 : S.K. Presiden No.181, Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) didirikan
7. 2002 : Protocol dari CEDAW ditandatangani
8. 2003 : Undang-Undang No.12, Pemilihan Umum, Pasal 65
4
Mendasari dari ketiga isu utama yang telah dipaparkan diatas, kami
mencoba menganilisis dari sebuah survei yang dilakukan oleh My World 2015
Analytics, yang merupakan salah satu program survei global dari PBB (United
Nation) kepada warga dunia. Kami mengambil sampel Negara Indonesia
kemudian fokus pada jenis kelamin perempuan dan kisaran usia antara 16-30
tahun yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan ditingkat sekolah menengah
atas. Terdapat 1.583 responder perempuan (29/04), tersebut menyatakan bahwa
ada lima harapan besar dari perempuan mengenai kehidupan mereka selanjutnya,
antara lain :
1. A good education
2. An honest and responsive government
3. Better Healthcare
4. Better job opportunities
5. Protection against crime and violence
Dari kelima harapan inilah kita mampu mengamati bahwasanya kualitas
pendidikan yang baik diharapan oleh kaum perempuan sebagai pemecah batu dari
berbagai permasalahan yang terus melanda kaum perempuan. Dengan harapan
saat seorang perempuan mempunyai pendidikan yang memadai sesuai dengan
bidang yang ia tekuni maka ia akan mampu berkontribusi dalam pembangunan
nasional, seperti misalnya saja ikut terlibat dalam ranah politik, kegiatan
kelembagaan perempuan, dan pembuat kebijakan publik di negeri ini.
Perempuan dan Politik
Hak Politik Perempuan. dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan
negaranya, diatur didalam pasal 7 CEDAW, antara lain :
1. Hak untuk memilih dan dipilih
2. Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya
5
3. Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala
fungsi pemerintahan disegala tingkat
4. Hak
berpartisipasi
dalam
organisasi-organisasi
dan
perkumpulan-
perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik bernegara.
Pasal 8. Mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan
untuk mewakili pemerintah dalam tingkat internasional dan berpatisipasi dalam
organisasi-organisasi internasional.
Konvensi Hak Politik Perempuan, yang pada 1952 diterima PBB dan telah
diratifikasi oleh DPR menjadi UU No. 68 Tahun 1958, pada Pasal I menetapkan
bahwa: “Perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan
status sama dengan pria tanpa diskriminasi (Women shall be entitled to vote in all
elections on equal terms with men without any discrimination).” Hak ini telah
dilaksanakan dalam Pemilu 1955, sebelum Indonesia meratifikasi konvensi ini.
Pasal II menyatakan: “Perempuan dapat dipilih untuk semua badan elektif yang
diatur dengan hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi
(Women shall be eligible for election to all publicly elected bodies established by
national law, on equal terms with men, without any discrimination)”; “Perempuan
berhak menduduki jabatan resmi dan menyelenggarakan semua fungsi resmi yang
diatur semua hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi
(Women shall be entitled to hold public office and to exercise all public functions,
established by national law, on equal terms with men, without any
discrimination).”
Dalam suatu Kovenan yang belum kita ratifikasi, yaitu Kovenan Hak Sipil
dan Politik (International Covenant on Civil and Political rights). Dinyatakan
dalam Pasal 3 : “Negara-negara peserta Kovenan ini sepakat untuk menjamin hak
yang sama bagi pria dan perempuan untuk menikmati hak-hak sipil dan politik
yang dicanangkan dalam Kovenan ini (The State Parties to the present Covenant
undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all
civil and political rights set forth in the present Covenant).” Hak-hak ini antara
lain mencakup hak atas hidup (Pasal 6), kesamaan dibadan-badan pengadilan
(Pasal 14), kebebasan mempunyai pendapat tanpa campur tangan (pihak lain)
(Pasal 19). Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik menyatakan hal yang serupa
dalam (Pasal 3).
6
Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW—The
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women)
yang diterima oleh PBB pada 1979 dan oleh DPR diratifikasi menjadi UU No. 7
Tahun 1984, memberi perlindungan terutama dibidang ketenagakerjaan.
Hak politik perempuan dirumuskan juga dalam UU No.12 Tahun 2003
tentang pemilu memberi peluang baru dengan menetapkan dalam Pasal 65 (1) :
“Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan
dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Dalam
Pemilu 2004 ternyata perempuan belum dapat memenuhi kuota sebagaimana yang
diharapkan. Terlansir didalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (22/04)
dalam rangka memperingati hari Kartini belum lama ini, menyatakan bahwa
jangan sampai keterwakilan perempuan dalam pemilu 9 April yang lalu hanyalah
pelengkap kuota saja, namun ada harapan agar siapapun calon legislatif
perempuan yang terpilih dan menduduki kursi jabatan mampu menunjukkan
bahwa mereka bisa mewakili rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya, selain
itu ia mampu memperjuangkan berbagai dimensi perempuan seperti halnya
mengenai diskriminasi gender yang masih berkembang, perlunya regulasi yang
memberdayakan kapasitas perempuan sehingga tidak banyak lagi kaum
perempuan yang menjadi TKW. Ditambah LSI mengungkapkan, dalam hal
kemampuan laki-laki dan perempuan, masyakarat menilai sama. Bahkan, dalam
hal anti korupsi, masyarakat lebih mendukung perempuan karena dinilai lebih
mampu menahan keserakahannya untuk tidak melakukan korupsi. Tingkat
kepercayaan kepada laki-laki untuk tidak melakukan korupsi hanya 30%,
sedagkan untuk perempuan diatas 50%.
Perempuan dalam Pemilu. Keterlibatan perempuan dalam politik dan
pemerintahan merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat
negara sebuah rumah tangga, maka perempuan-lah yang memiliki peran untuk
mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut.
Maka, dapat dipastikan bahwasanya perempuan memiliki andil yang luar biasa
dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun demikian, bagi
negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan. Hal ini
7
terlihat dari total partisipasi perempuan dalam parlemen yang dibatasi hanya
sebesar 30% semata.
Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang menjunjung
genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang tak rasional bagi peran
perempuan. Hingga saat ini, peran perempuan dan representasi politiknya di
parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih
sangat rendah dan memprihatinkan. Rendahnya partisipasi perempuan tersebut
bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan
pendidikan pemilih khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang,
selain itu tidak adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik perempuan
untuk memperkuat keterampilan politiknya, kurang adanya kesadaran perempuan
untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik terutama untuk
berpartisipasi dalam institusi politik formal seperti lembaga legislatif dan partai
politik, serta masih adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi
aksesibilitas dan partisipasi perempuan dalam pemilu, parlemen dan dalam
pemerintahan. Pada dasarnya, peranan perempuan merupakan jawaban dalam
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dengan kata
lain perempuan yang berkontribusi dalam legislatif dapat menyuarakan
kepentingan perempuan dan aspirasi masyarakat.
Representasi Politik (perempuan). Di Indonesia sendiri hak untuk
memilih dan dipilih yang setara antara laki laki dan perempuan sudah berlaku
sejak pemilu 1995 sampai sekarang. Namun dalam relalitasnya partisipasi
perempuan dalam menjadi calon legislatif masih belum memenuhi harapan. UU
No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum Anggota, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 53 menegaskan bahwa daftar calon
anggota legislatif memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, namun
usaha meningkatkan status dan peran perempuan sama sekali belum maksimal
jika dibandingkan laki-laki. Jumlah perempuan wakil rakyat di DPRD secara
kuantitas belum sesuai UU.
Berikut ini adalah kursi DPR yang dimiliki perempuan dan periode waktu
seperti dikutip dari laporan IPU (Inter-Parliamentary Union) :
Pemilu tahun 1955
: 5,9%
(Data dari UNDP, 2010)
8
Pemilu tahun 1971
: 7,17%
(33 perempuan dari total 460)
Pemilu tahun 1977
: 7,39%
(34 perempuan dari total 460)
Pemilu tahun 1982
: 8,26%
(38 perempuan dari total 460)
Pemilu tahun 1987
: 11,4%
(57 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 1992
: 12,2%
(61 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 1997
: 11,4%
(57 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 1999
: 8%
(40 perempuan dari total 500)
Pemilu tahun 2004
: 11,2%
(62 perempuan dari total 550)
Pemilu tahun 2009
: 18,6%
(104 perempuan dari total 560)
Di DPRD Kota Yogayakarta misalnya, pada pemilu tahun 2009, meskipun
jumlah kursi perempuan naik 6 kursi namun kenaikannya baru mencapai 20%.
Secara kuantitas jumlah tersebut tentu tidak terpenuhi. Lalu secara kualitas,
perempuan yang duduk menjadi anggota dewan terkadang memiliki banyak
hambatan dalam mengembangkan potensinya, keluarga, sekolah, partai politik
dan lingkungan sosial lainnya. Namun tahun 2014 ini, jumlah partisipasi calon
legislatif Perempuan mengalami peningkatan dibanding tahun 2009 lalu. Jika
dipresentase caleg perempuan naik sebanyak 7%, dengan begitu tahun ini caleg
perempuan mencapai 37% yang dulunya hanya 30%. Dari 6.607 caleg 2.467
diantaranya adalah Caleg Perempuan.
Efektivitas Peran Perempuan dalam Pembangunan Nasional
Perempuan dalam Pembangunan Nasional. Dalam hal ini, pemerintah
telah menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional, sebagai acuan memaksimalkan potensi perempuan dalam
pembangunan. Dalam keluarga, kaum perempuan merupakan tiang keluarga,
kaum perempuan akan melahirkan dan mendidik generasi penerus. Kualitas
generasi penerus bangsa ditentukan oleh kualitas kaum perempuan sehingga mau
tidak mau kaum perempuan harus meningkatkan kualitas pribadi masing-masing.
Tidak mungkin akan terbentuk keluarga yang berkualitas tanpa meningkatkan
kualitas perempuan.
9
Kualitas pendidikan perempuan juga merupakan aspek yang sangat
penting bagi pembangunan bangsa. Kaum perempuan harus berusaha meraih
jenjang pendidikan setinggi mungkin. Peningkatan derajat kesehatan perempuan
juga seiring dengan upaya peningkatan akses pendidikan, kesehatan reproduksi
dan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan. Terlepas dari semua kekurangan
dan keterbatasan perempuan Indonesia, saat ini perempuan Indonesia berbeda
dengan perempuan Indonesia masa lalu. Bila dulu perempuan Indonesia
beraktivitas hanya di sekitaran keluarga dan rumah tangga, kini bisa disaksikan
bagaimana perempuan Indonesia berperan hampir dalam setiap bidang pekerjaan
dan profesi. Bahkan, salah seorang presiden Indonesia adalah perempuan. Tidak
sedikit pula yang berprofesi sebagai pimpinan dalam perusahaan atau lembaga.
Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas perempuan Indonesia, sesungguhnya
tidak kalah dari kaum laki-laki. Optimisme akan pembangunan nasional dan
daerah yang bertumpu pada semua pihak akan terselenggara dengan baik.
Dukungan semua pihak tetap diperlukan, agar keseimbangan yang telah terjadi
selama ini, dapat terus disempurnakan, saling mengisi dan memberikan kontribusi
pada pembangunan daerah dan nasional.
Partisipasi Perempuan dalam Pemerintahan. dapat dilakukan melalui
beberapa jalur, yaitu :
1. Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan
aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung
program pemeritahan, seperti PKK, Posyandu, KB, dan kegiatan lainnya
yang dapat menggerakkan ibu-ibu ke arah kepentingan bersama.
2. Perempuan yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi
anggota salah satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama
dalam memperjuangkan kaum perempuan, dan yang bersangkutan dapat
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat
pada saat pemilu.
3. Perempuan yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat
menjalankan fungsi sesuai dengan kemampuan, latar belakang pendidikan,
dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung
jawab.
10
4. Perempuan yang bekerja di bidang yudikatif atau yang berhubungan
dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi
penyidik perkara dapat bekerja dengan jujur dan adil demi tegaknya
hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang agama, suku,
budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain-lain.
Kesimpulan
Menarik sebuah kesimpulan dari seluk-beluk gender dan perempuan
sekaligus lika-liku dinamika perjuangan hak asasi perempuan serta usaha untuk
ikut ambil bagian dalam peranan kepemimpinan dan menjamah wilayah politik di
dalam pemerintahan. Perempuan seyogyanya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa, yang mendapat anugerah berlimpah. Karena jika ia mendapatkan fasilitas
pendidikan dan pelatihan keterampilan yang sama dengan kaum laki-laki. Kami
percaya bahwa perempuan akan mampu berjalan setara dengan laki-laki dalam
membangun Indonesia yang lebih maju dan jaya.
Selain itu, peran dunia internasional maupun organisasi internasional yang
sedikit banyak telah ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan bagi perempuan
untuk lebih terlindungi, terjamin hak asasinya, dan serta mendapat peluang yang
sama dalam pendidikan, pekerjaan, maupun hak perempuan dalam politik
11
negaranya. Perlu kiranya, kita apresiasi karena dengan demikian kaum perempuan
yang semula mendapat ketidak adilan serta ketidak seimbangan gender mulai
hilang dan bertranformasi mengarah pada keterwakilan dan peran perempuan
dalam pembangunan nasional maupun internasional. Menurut Plato, seorang
Filosof era Yunani, ia percaya bahwa kaum wanita bisa memerintah sama
efektifnya dengan kaum pria karena alasan sederhana, yaitu bahwa para pemimpin
mengatur negara berdasarkan akal mereka. Kaum wanita menurut Plato
mempunyai kemampuan penalaran yang sama persis dengan kaum pria, asalkan
mereka mendapatkan pelatihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban
membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga. Dalam kitab Hukum yang
ditulis Plato yang menggambarkan “negara konstitusional” sebagai negara terbaik
kedua setelah negara ideal. Plato menegaskan bahwa :
“... sebuah negara yang tidak mendidik dan melatih kaum wanita itu
seperti orang yang hanya melatih tangan kanannya...”
Akhirnya, dapat kita katakan bahwa seorang Filosof Plato mempunyai
pandangan positif tentang kaum wanita. Dan dalam suasana politik di hari Kartini
belum lama ini yang merupakan sebuah momentum bagi perempuan untuk
menjadikan evaluasi bersama sekaligus sebagai penggugah isu penguatan peranan
perempuan dalam bidang politik dimasa ini dan masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Julia Cleves Mosse, 1993. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Jostein Gaarder, 1991. Dunia Sophie, pengantar Dr. Bambang Sugiharto.
Bandung: PT. Mizan Pustaka
Prof. Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
David Graddol dan Joan Swann, 1989. GENDER VOICES, Telaah Kritis
Relasi Bahasa-Jender. Pasuruan: Pedati
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/1961032319
86031-R._GURNIWAN_KAMIL_PASYA/jurnal_wanita.pdf
pada tanggal 30 Maret 2014 pukul 08.00 WIB
12
diakses
http://eprints.uny.ac.id/9812/2/BAB%202%20-%2008110241024.pdf
diunduh pada tanggal 02 Mei 2014 pukul 08.30 WIB
_______ My World 2015 Analytics http://data.myworld2015.org/ diakses
pada tanggal 29 April 2014 pukul 20.54 WIB
_______ Jangan Hanya Jadi Pelengkap Kuota Saja Surat Kabar Harian
Kedaulatan Rakyat terbit pada tanggal 22 April 2014
_______ Saatnya Perempuan: Berkiprah di Semua Bidang Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat terbit pada tanggal 22 April 2014
13