Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, dan Ketimpangan AntarkabupatenKota di Sulawesi Tengah Fiscal Decentralization Policies, Sectoral Shifts and Inequalities Amongst RegenciesMunicipalities in Central Sulawesi

Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, dan Ketimpangan Antarkabupaten/Kota di Sulawesi Tengah

Fiscal Decentralization Policies, Sectoral Shifts and Inequalities Amongst

Regencies/Municipalities in Central Sulawesi

Muhammad Amir Arham a,∗

a Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo

Abstract Fiscal decentralization can create efficiency and effectiveness to promote growth and change in economic

structures as well as to reduce inequalities amongst regions. This study intends to find out whether the fiscal decentralization policies during 2001–2010 contribute to the shift of economic sectors and inequality rates amongst districts/municipalities in the Province of Central Sulawesi. By using econometrics of panel data, the study found that fiscal decentralization supports a shift in the economic sector where the role of primary sector gradually decreased and the secondary and tertiary sector tend to be increased since the implementation of regional autonomy. As a result, the fiscal decentralization creates an economic change in Central Sulawesi, while at the same time, can inevitably generates higher economic inequality amongst regencies/municipalities in the region. Keywords: Fiscal Decentralization, Sectoral Shifts, Inequality

Abstrak Desentralisasi fiskal dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas untuk mendorong pertumbuhan dan

perubahan struktur ekonomi, serta mengurangi ketimpangan antardaerah. Studi ini ingin mengetahui pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pergeseran sektor dan ketimpangan antarkabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan menggunakan metode ekonometrika melalui persamaan data panel pada periode tahun 2001–2010, studi ini menemukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal dapat mendorong pergeseran sektor, di mana peranan sektor primer kecenderungannya makin menurun, sehingga berakibat pada peningkatan peranan sektor sekunder dan tersier selama pelaksanaan otonomi daerah, dengan demi- kian kebijakan desentralisasi fiskal dapat menciptakan perubahan struktur ekonomi di Sulawesi Tengah. Kebijakan desentralisasi fiskal mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan antara kabupaten/kota di Sulawesi Tengah selama periode studi. Kata kunci: Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, Ketimpangan

JEL classifications: E62, R11, R12

Pendahuluan

daerah untuk dapat memecahkan masalah- masalah pembangunan di daerah, sehingga

Desentralisasi pada prinsipnya memberikan berdampak pada pertumbuhan ekonomi (Oa- kewenangan yang besar kepada pemerintah

tes, 1972). Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi diharapkan mendorong terjadinya perubahan

struktur perekonomian yang ditandai dengan

Alamat Korespondensi: Jalan Sudirman No. 6, Ko-

terjadinya pergeseran struktur pekerjaan seca-

ta Gorontalo E-mail : amier_archam@yahoo.com.

146 Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... ra sektoral, perubahan komposisi sektoral da-

lam regional income, distribusi dan pemerata- an pendapatan, maupun perubahan struktur permintaan domestik. Namun, pengaruh de- sentralisasi fiskal di Indonesia lebih kuat pe- ngaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah industri dan daerah yang kaya SDA (Waluyo, 2007). Gejala yang sama ditemukan oleh Hammond dan Tossun (2011) di Amerika Serikat, bahwa desentralisasi berdampak lebih luas terhadap daerah pusat industri dan jasa, namun tidak signifikan bagi daerah nonmetro- politan.

Dikaitkan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Sulawesi Tengah, hasil empiris mem- perlihatkan kondisi yang sangat kontras, mes- kipun kekayaan SDA (pertanian dan pertam- bangan) cukup merata. Potensi pertanian me- nyebar di semua kabupaten, sementara potensi perikanan berada di tiga kawasan, yakni Laut Sulawesi, Teluk Tomini, dan Teluk Tolo. Poten- si migas dan mineral berada di wilayah timur Sulawesi Tengah (Kabupaten Banggai dan Ka- bupaten Morowali) dan juga di wilayah pantai barat Sulawesi Tengah (Kabupaten Dongga- la, Kabupaten Tolitoli, dan Kabupaten Buol). Daerah-daerah yang potensial tersebut kondi- sinya belum mengalami kemajuan yang signi- fikan, hal itu terlihat dari industri pengolahan yang belum berkembang. Sejatinya bahan baku yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kegi- atan industri, kondisi ini mengakibatkan struk- tur perekonomian masih bergantung pada sek- tor primer dan belum beranjak ke sektor se- kunder.

Terjadinya perubahan struktur ekonomi di suatu wlayah menjadi salah satu indikator ke- majuan perekonomian, baik dalam Produk Do- mestik Regional Bruto (PDRB) maupun da- lam penyerapan tenaga kerja. Djojohadikusu- mo (1994) mengungkapkan bahwa perubahan struktur suatu perekonomian berkaitan dengan perubahan-perubahan pada struktur produksi, kesempatan kerja, ketimpangan antarsektoral, antarwilayah, dan antardistribusi pendapatan.

Perubahan tersebut selanjutnya akan mendo- rong kenaikan pendapatan, sehingga mengaki- batkan terjadinya pergeseran pada komposisi produk, yakni pergeseran di antara sumbangan sektoral dan pada kesempatan kerja produktif (dari sektor primer beralih ke sektor sekunder dan tersier).

Selain itu, jika struktur perekonomian dae- rah masih didominasi sektor primer, kecende- rungannya akan terjadi ketimpangan yang cu- kup tinggi, sekalipun desentralisasi sudah dija- lankan. Hasil studi Rodr´ıguez-Pose dan Ezcur- ra (2010) memperkuat asumsi tersebut bahwa kebijakan desentralisasi di negara berkembang (terutama negara agraris) berpengaruh signi- fikan terhadap kenaikan ketimpangan. Nugra- hanto dan Muhyiddin (2008), menemukan hasil yang tidak berbeda bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan ketimpangan regional di Indo- nesia, termasuk di Sulawesi Tengah. Temuan- temuan ini tentu bertolak belakang dengan tu- juan pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai salah satu solusi untuk memecahkan masalah ketimpangan, karena dalam pelaksanaan de- sentralisasi dilakukan intergovernmental tran- sfer untuk meminimalkan vertical imbalance dan horizontal imbalance. Sementara itu, ting- kat ketimpangan ekonomi antarwilayah (kabu- paten/kota) menurut dispersion ratio untuk se- tiap provinsi di wilayah Sulawesi menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah cenderung mening- kat (Bappenas, 2013).

Dengan demikian, pelaksanaan desentralisa- si fiskal pencapaiannya belum maksimal untuk mendorong terjadinya perubahan struktur eko- nomi di daerah dan belum dapat mengoreksi masalah ketimpangan. Tidak jauh berbeda de- ngan masalah pengelolaan sektor publik, pa-

da tahun 2010 semua kabupaten/kota di Sula- wesi Tengah tercatat terdapat 306 kasus gizi buruk (Kemenkes RI, 2010), bahkan termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia. Kondisi ini tidak sejalan dengan tujuan desentralisasi yang diasumsikan, justru pelayanan publik un-

Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... 147 tuk kebutuhan dasar, misalnya sektor kesehat-

an masyarakat di daerah akan makin membaik setelah desentralisasi diimplementasikan. Kon- disi ini memperkuat hasil studi Pepinsky dan Wihardja (2009) sebelumnya yang menemukan minimnya efek positif desentralisasi terhadap pembangunan di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Tengah.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal pada da- sarnya bertujuan agar daerah otonom (kabu- paten/kota) makin mandiri dalam pembiaya- an pelayanan publik dan pembangunan. Atau setidaknya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan masing- masing daerah makin meningkat setiap tahun, dan sebaliknya proporsi transfer makin menu- run. Jika dikaitkan dengan kondisi ini di Sula- wesi Tengah, maka upaya melakukan ”big pu- sh” pembangunan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Percepatan Pembangunan Pro- vinsi Sulawesi Tengah dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp2 triliun sebagai konseku- ensi keluarnya Inpres tersebut. Hal ini meng- indikasikan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Tengah belum me- nunjukkan hasil yang memadai dalam hal ke- mandirian fiskal setiap kabupaten/kota, bah- kan semakin berharap adanya transfer dari pu- sat, selain dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD). Realitas ini memperku- at hasil studi Setiaji dan Adi (2007) bahwa ke- mandirian daerah bukan makin membaik, akan tetapi sebaliknya di mana ketergantungan da- erah terhadap transfer dari pusat menjadi ma- kin tinggi. Kendati setiap tahun secara nominal PAD seluruh kabupaten/kota meningkat, teta- pi sebagian besar kabupaten/kota di Sulawesi Tengah proporsi PAD-nya terhadap total pene- rimaannya menurun. Malahan kenaikan PAD di beberapa daerah di Sulawesi Tengah selama pelaksanaan otonomi daerah cenderung men- ciptakan distorsi ekonomi, yang menjadi peng- hambat daya saing investasi karena makin ba-

nyaknya jenis Pajak Daerah dan Retribusi Da- erah (PDRD) yang dianggap membebani dunia usaha.

Investasi sangat dibutuhkan oleh kabupa- ten/kota karena melalui investasi kapasitas ekonomi dan kemampuan fiskal daerah dapat meningkat. Hanya saja, pola daya tarik inves- tasi di berbagai daerah begitu buruk, di ma- na masalah-masalah klasik penghambat seperti faktor kelembagaan dan minimnya infrastruk- tur masih mendominasi, belum dilakukan per- baikan. Padahal, menurut Nugraheni dan Pri- yarsono (2012), infrastruktur secara luas dapat memicu terjadinya kegiatan ekonomi produktif di sektor-sektor lain. Akan tetapi, kenyataan- nya di Indonesia, terutama di Sulawesi Tengah yang wilayahnya cukup luas menunjukkan bah- wa kondisi infrastruktur masih buruk dan be- lum mengalami perbaikan secara signifikan se- lama pelaksanaan desentralisasi. Jika pemerin- tah daerah hanya mengejar target PAD de- ngan memperluas basis pajak dan retribusi da- erah, maka pada akhirnya PAD dapat saja meningkat tetapi kinerja perekonomian menu- run. Menurut Wibowo (2004), untuk memban- tu mendorong pertumbuhan ekonomi atau me- ningkatkan kinerja ekonomi harus mempertim- bangkan fakta bahwa pajak cenderung memili- ki efek negatif terhadap kinerja perekonomian daerah.

Kendati banyak masalah yang timbul da- lam pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan te- tapi kebijakan tersebut merupakan sebuah ke- niscayaan bagi negara besar seperti Indonesia. Hanya saja perlu berbagai perbaikan sehing-

ga memberikan hasil yang lebih optimal pada pelaksanaan desentralisasi. Selanjutnya, makin meningkatnya transfer dan PAD di setiap ka- bupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah ser- ta keleluasaan mendesain program melalui per- encanaan pembiayaan, diharapkan akan men- ciptakan pola perubahan struktur ekonomi se- kaligus dapat mengoreksi ketimpangan yang terjadi selama ini. Dengan mempertimbang- kan beberapa uraian permasalahan yang di-

148 Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... ungkapkan sebelumnya, maka perlu dilakukan

studi dengan tujuan untuk mengetahui apakah kebijakan desentralisasi fiskal selama sepuluh tahun berpengaruh terhadap pergeseran sek- tor (sektor primer menurun). Selain itu, studi ini ingin mengetahui pengaruh kebijakan de- sentralisasi fiskal terhadap ketimpangan antar- kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah.

Tinjauan Referensi Teori Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi dapat dimaknai sebagai gambar- an sejauh mana kewenangan dipegang oleh pe- merintah daerah untuk mampu mengambil ke- putusan sendiri yang mengikat beberapa kebi- jakan pada ruang lingkup pemerintahan daerah (Litvack et al., 1998). Pentingnya kewenang- an diberikan kepada pemerintah lokal (daerah) karena lebih efisien untuk kegiatan produk- si dan penyediaan barang-barang publik (Mu- sgrave dan Musgrave, 1989; Oates, 1993). Se- lain itu, pengambilan keputusan pada level pe- merintah lokal (daerah) akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisiensi sektor publik, ser- ta akuntabilitas dan transparansi dalam pem- berian layanan dan pembuatan kebijakan (de Mello, 2000; Wellisch, 2004).

Dengan demikian, pelaksanaan desentralisa- si fiskal menjadi penting untuk dilakukan kare- na memiliki alasan ekonomi, di antaranya un- tuk meningkatkan penyediaan barang publik yang pada gilirannya akan mendorong pertum- buhan ekonomi di daerah. Studi Akai dan Saka- ta (2002) menemukan bahwa desentralisasi fis- kal, terutama desentralisasi penerimaan mem- berikan sugesti pembangunan ke depan serta memberikan stimulasi pertumbuhan ekonomi.

Beberapa studi yang mendukung temuan tersebut di antaranya seperti yang dilakukan oleh bin Ismail et al. (2004), Iimi (2005), Ding (2007), Akai et al. (2009), dan Samimi et al. (2010), menemukan bahwa desentralisasi fiskal berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Walaupun beberapa hasil studi menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu studi Davoodi dan Zou (1998) serta Martinez-Vazquez dan Mc- Nab (2006) di mana desentralisasi fiskal jus- tru pengaruhnya negatif terhadap pertumbuh- an ekonomi di negara berkembang.

Merujuk pada beberapa teori dan dikuatkan dengan bukti empiris di beberapa negara, ma- kin diyakini bahwa desentralisasi sebagai sis- tem pemerintahan dapat memacu laju pem- bangunan ekonomi daerah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, di samping mengembangkan prinsip-prinsip de- mokrasi dan partisipasi masyarakat lebih nya- ta. Ini menunjukkan bahwa desentralisasi fis- kal sangat diperlukan bagi Indonesia, di mana tidak mungkin semua urusan dilakukan seca- ra terpusat karena faktanya selama pemerin- tahan sentralistik ketimpangan distribusi pen- dapatan sangat tinggi. Demikian juga ketim- pangan antarwilayah Jawa dan luar Jawa, In- donesia bagian Timur, dan Indonesia bagian Barat. Adanya pelaksanaan desentralisasi fis- kal diharapkan pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk memenuhi pelayan- an publik yang dibutuhkan, membangun sa- rana perekonomian, serta dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Prinsip dasar dari kebijakan desentralisasi fiskal, yakni memberikan kewenangan yang le- bih luas kepada daerah untuk melakukan kre- asi meningkatkan penerimaan dan mengatur sendiri pengeluarannya (belanja), dengan de- mikian desentralisasi fiskal dapat dilihat dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluar- an. Oleh sebab itu, pengukuran desentralisasi fiskal cukup beragam, jadi tidak ada satupun metode pengukuran yang baku atau indikator tunggal untuk mengukur desentralisasi fiskal (Martinez-Vazquez dan Timofeev, 2010). Indi- kator desentralisasi fiskal dapat diukur dari sisi rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap penerimaan negara dan daerah (Lin dan Liu,

Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... 149 2000). Selain melihat dari sisi penerimaan, juga

dapat diukur dari rasio pengeluaran pemerin- tah daerah terhadap pengeluaran pemerintah- an di atasnya (Zhang dan Zou, 1998; Davoodi dan Zou, 1998). Akai dan Sakata (2002) meng- uraikan bahwa ada beberapa indikator untuk mengukur desentralisasi fiskal, antara lain (a) rasio penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap penerimaan dari pemerintah pusat, serta (b) rasio penerimaan sendiri pe- merintah daerah terhadap total penerimaan, termasuk bantuan pemerintah di level provin- si (federal), dan (c) rasio penerimaan sendiri pemerintah daerah terhadap total penerima- an, tidak termasuk bantuan pemerintah di level provinsi (federal).

Pergeseran Sektoral Perubahan struktur (pergeseran sektoral)

mengandung makna terjadinya transformasi, bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga berkaitan dengan kebiasaan atau cara memper- lakukan kegiatan produksi ekonomi. Perubah- an struktural telah banyak digunakan dalam studi ekonomi meskipun dengan makna dan in- terpretasi yang berbeda. Dalam ekonomi pem- bangunan, perubahan struktural umumnya di- pahami sebagai pengaturan aktivitas produktif yang berbeda dalam perekonomian dan distri- busi yang berbeda faktor produksinya di antara berbagai sektor ekonomi, berbagai pekerjaan, wilayah geografis, dan jenis produk (Machlup (1991) dalam Silva dan Teixeira, 2008).

Dengan demikian, pembangunan ekonomi mengandung arti luas dan mencakup perubah- an pada tata susunan ekonomi masyarakat se- cara menyeluruh. Menurut Indiastuti (2003) pembangunan ekonomi mengacu pada semua perubahan dalam perekonomian termasuk per- ubahan dalam struktur ekonomi yang menyer- tai perubahan output atau PDRB. Maka da- ri itu, pembangunan merupakan proses trans- formasi yang ditandai oleh perubahan struk- tur, yaitu perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan eko-

nomi masyarakat yang bersangkutan. Proses transformasi atau perubahan dalam struktur perekonomian suatu negara bergeser dari yang semula didominasi oleh sektor primer, seper- ti pertanian, ke sektor-sektor nonprimer, in- dustri, perdagangan, dan jasa. Dengan adanya perubahan struktur atau pergeseran sektoral mengakibatkan perubahan dalam struktur pro- duksi melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi dana sekaligus memberikan nilai tam- bah kepada komoditi.

Secara umum proses perubahan struktur perekonomian ditandai dengan: (1) merosot- nya pangsa sektor primer (pertanian); (2) me- ningkatnya pangsa sektor sekunder (industri); dan (3) pangsa sektor tersier (jasa) kurang le- bih konstan, namun kontribusinya akan me- ningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk menganalisis perubahan struktur eko- nomi, maka teori utama yang biasa dijadikan rujukan adalah teori transformasi struktural. Transformasi struktur produksi menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapat- an per kapita, perekonomian suatu negara a- kan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian mengalami penurunan, saat Gross National Product (GNP)/per kapita me- ningkat (Kuncoro, 2007).

Proses transformasi ekonomi dibutuhkan da- lam pembangunan ekonomi bukan hanya di negara-negara industri, akan tetapi juga dibu- tuhkan oleh negara berkembang. Menurut Bo- net (2006), proses transformasi struktural eko- nomi yang terjadi di negara berkembang ju-

ga dimaksudkan untuk mengurangi divergen- si ekonomi, sebab negara yang masih meng- andalkan sektor primer umumnya terjadi ke- timpangan antarwilayah. Dalam proses pemba- ngunan ekonomi pada mulanya didominasi oleh berbagai sektor kemudian terkonsentrasi seca- ra dinamis pada sektor tertentu, di mana ini merupakan indikasi bahwa terjadi proses trans- formasi yang dapat memberikan efek terjadi- nya penurunan ketimpangan regional. Berkait- an dengan itu, Caselli dan Coleman (2001) me-

150 Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... nyebutkan bahwa konvergensi ekonomi terjadi

karena adanya transformasi struktural.

Chenery dan Syrquin (1975) menunjukkan corak jenis perubahan yang berlaku dalam pro- ses pembangunan negara-negara berkembang. Perubahan tersebut dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) proses akumulasi, di ma- na kegiatan-kegiatan ekonomi yang termasuk sebagai proses akumulasi adalah pembentukan modal atau investasi, pendapatan pemerintah, dan kegiatan penyediaan pendidikan kepada masyarakat; (2) proses alokasi sumber-sumber daya, di mana yang tergolong sebagai alokasi sumber-sumber daya adalah struktur permin- taan domestik, struktur produksi, dan struktur perdagangan; dan (3) proses demografi dan dis- tributif, adapun yang tergolong dalam proses demografi dan distributif adalah alokasi tenaga kerja pada berbagai sektor, urbanisasi, tingkat kelahiran dan kematian, serta distribusi pen- dapatan.

Perubahan struktur (sektor) ekonomi yang terjadi setidaknya dipengaruhi oleh bebera- pa faktor, yaitu faktor yang didasarkan oleh sumbernya (permintaan agregat/Aggregate De- mand (AD) dan penawaran agregat/Aggregate Supply (AS)), selain itu perubahan struktur ekonomi terjadi karena adanya intervensi pe- merintah (Tambunan, 2001). Faktor dari sisi AD yang paling dominan memengaruhi peru- bahan struktur yaitu permintaan domestik, se- dangkan faktor yang menyebabkan perubahan struktur ekonomi dari sisi AS yaitu pergeseran keunggulan komparatif, perubahan teknologi, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan akumulasi modal. Selain itu, perubahan struk- tur ekonomi juga dipengaruhi oleh perubahan teknologi dan perdagangan global, sementara faktor internalnya adalah intervensi yang dila- kukan oleh pemerintah berupa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kuncoro, 2007).

Untuk keperluan penulisan ini, maka studi lebih memfokuskan perubahan struktur eko- nomi yang dipengaruhi oleh faktor internal, yakni intervensi pemerintah melalui kebijakan

desentralisasi fiskal atau melalui pengeluaran dalam bentuk transfer (transfer of intergover- nmental ), yaitu block-grant dan specific-grant, yang menjadi bagian penerimaan daerah. De- ngan asumsi bahwa penerimaan makin besar sehingga daerah makin leluasa merencanakan pembangunan ekonomi beserta pembiayaannya untuk mendorong perubahan struktur ekonomi (Arham, 2013).

Untuk menganalisis dan mengetahui perge- seran dan peranan perekonomian di suatu da- erah umumnya menggunakan analisis Shift- Share. Namun, karena penggunaan analisis Shift-Share untuk melihat pergeseran sektor relatif memiliki kelemahan, studi ini menggu- nakan Structural Change Index (SCI). Meto-

de ini umum digunakan untuk mengukur per- ubahan struktural dalam tingkat output (dan pekerja) atau koefisien (komposisi) perubahan struktural. SCI untuk output dapat didefinisi- kan sebagai setengah jumlah dari nilai absolut dari perbedaan nilai tambah share/sektor da- ri waktu ke waktu. Formulasi rumus dari per- hitungan ini adalah sebagai berikut (Jenissen, 1998; Jarjoura, 2001; Dietrich, 2009).

SCI =

Σ|X i,t −X i,t−1 | (1)

dengan: SCI = Sectoral change index ;

X = Kontribusi (share) sektor dari total nilai share masing-masing sektor;

i = Sektor (i); t = Share sektor primer periode sekarang; t-1 = Share sektor primer periode sebelum-

nya. Penggunaan nilai absolut memastikan bah-

wa angka positif dan negatif dalam perubahan nilai share sektor tidak membatalkan satu sa- ma lain ketika nilai dijumlahkan. SCI dibatasi antara 0 hingga 100, dengan angka 0 berarti ti- dak ada perubahan struktural, sementara 100 menunjukkan kebalikannya, yaitu terjadi per- ubahan struktural secara lengkap (Janissen et al., 1998).

Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... 151 Analisis lebih lanjut dalam studi ini untuk

mengukur secara langsung pengaruh desentra- lisasi fiskal terhadap pergeseran sektoral ada- lah dengan melakukan analisis regresi hasil per- hitungan SCI. Pergeseran sektor merujuk pa-

da teori perubahan struktur berupa pergeser- an dari sektor pertanian ke sektor industri dan kemudian beralih ke sektor jasa-jasa (Chenery dan Syrquin, 1975). Sementara pembagian ti-

ga sektor acuannya adalah pada teori Fisher (1935), bahwa transformasi struktural meru- pakan peralihan dan pergeseran permintaan secara berangsur-angsur dari kegiatan sektor produksi primer (pertanian, pertambangan) ke sektor produksi sekunder (industri manufaktur dan konstruksi) dan ke sektor tersier (jasa), yang mengakibatkan perubahan dalam struk- tur produksi melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi dana.

Untuk keperluan analisis, studi ini lebih difo- kuskan pada sektor primer karena daerah oto- nom di Provinsi Sulawesi Tengah masih meng- andalkan sektor tersebut sebagai kontributor pembentukan output, di samping untuk meng- hindari hasil analisis yang bias jika memasuk- kan ketiga kelompok sektor (primer, sekunder, dan tersier).

Ketimpangan Antardaerah Konsep ekonomi wilayah menjelaskan kesen-

jangan pendapatan dapat terjadi jika suatu wi- layah berkembang mempunyai struktur ekono- mi yang memungkinkan terjadinya backwash effect atau polarization effect terhadap faktor- faktor ekonomi dari wilayah-wilayah yang ku- rang berkembang, sehingga berdampak terha- dap keterlambatan pertumbuhan ekonomi. Da- lam konteks regional, ketimpangan antardae- rah tidak dapat dihindari akibat tidak terjadi- nya trickle down effect dari output secara na- sional terhadap masyarakat secara keseluruh- an. Sjafrizal (2008) menyebutkan bahwa ke- timpangan pembangunan antarwilayah meru- pakan aspek yang umum terjadi dalam kegi- atan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan di-

sebabkan oleh adanya perbedaan kondisi de- mografi yang terdapat pada masing-masing wi- layah. Pandangan tersebut hampir sama de- ngan yang dikemukakan oleh Shankar dan Shah (2008), bahwa ketimpangan antardaerah meru- pakan suatu perkembangan yang selalu ada di berbagai negara, terutama bagi negara dengan geografis dan wilayah yurisdiksi yang luas.

Hal ini memperjelas bahwa kesenjangan dis- tribusi pendapatan antarwilayah merupakan masalah universal, karena pada tingkat apa pun kesenjangan selalu ada, dikarenakan oleh perbedaan potensi-potensi ekonomi yang dimi- liki masing-masing wilayah. Meskipun demiki- an, ketimpangan wilayah dan distribusi pen- dapatan bersifat ”alamiah” dan universal yang tidak dapat dihindari, namun kondisi itu da- pat diubah melalui proses pembangunan dan kebijakan. Kusnetz membuktikan hal itu, yaitu dalam analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju ditemukan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal distribusi pen- dapatan cenderung memburuk, namun dalam tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik (Kuncoro, 2004).

Dasar teoritis analisis mengenai ketimpang- an wilayah menggunakan hipotesis neoklasik (Kusnetz), menurut hipotesis neoklasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antarwilayah cen- derung meningkat atau tidak merata. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak/melebar (divergence) (Kuncoro, 2006; Todaro dan Smith, 2006; Sjaf- rizal, 2008). Bila proses pembangunan terus berlanjut, maka berangsur-angsur ketimpang- an pembangunan antarwilayah tersebut menu- run (convergence) menyerupai huruf U terbalik (reverse U-shape curve). Kurva U terbalik da- pat diinterpretasikan sebagai relasi antara ke- senjangan pendapatan dan tingkat pendapat- an per kapita. Todaro dan Smith (2006) me- nyebutkan bahwa kurva Kusnetz dapat dihasil- kan oleh proses pertumbuhan berkesinambung- an yang berasal dari perluasan sektor modern,

152 Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... seiring dengan perkembangan sebuah negara

bila dibandingkan dengan indeks Williamson. dari perekonomian tradisional ke perekonomi-

Keseimbangan sempurna (ekuiti) terjadi bila- an modern.

mana per kapita kabupaten/kota sama dengan Pembuktian hipotesis Kusnetz yang dila-

rata-rata provinsi pada daerah dan tahun ter- kukan oleh Williamson (1965) mengenai ke-

tentu. Formulasinya sebagai berikut: timpangan pembangunan antarwilayah dengan

P CGDP it membandingkan antara negara berkembang

−1 (2) P CGDP t dan negara maju dengan menggunakan data ti-

ln eq it =

me series dan cross section dengan mengambil

dengan:

sampel sebanyak 24 negara dalam kurun waktu

10 tahun (1950–1960). Hasil studinya membuk- ln eq it = Nilai ketimpangan relatif; tikan bahwa hipotesis neoklasik terbukti seca-

PCGDP it = Pendapatan per kapita tingkat ra empiris dan hasil pengukurannya mengguna-

kabupaten/kota;

kan Weighted Coefficient Variation (CV), yai- PCGDP t = Pendapatan per kapita provinsi; tu indeks variasi pendapatan antardaerah da-

i = Menunjukkan daerah (i = 1, 2, 3,... 8); lam suatu wilayah.

t = Tahun analisis (t = 2001, 2002,... 2010). Menurut Lessmann (2009), untuk mengu-

Persamaan pengukuran ketimpangan terse- kur ketimpangan antardaerah (interregion) da-

but pada dasarnya digunakan untuk mengu- lam suatu negara ada tiga jenis pengukuran,

kur ketimpangan fiskal (Qiao et al., 2002). Se- yaitu (1) indikator ekonomi, yang umumnya

lanjutnya, dimodifikasi untuk mengukur ke- menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB);

timpangan wilayah dengan menggunakan da- (2) tingkat teritorial, untuk negara-negara Ero-

ta PDRB per kapita sebagaimana yang dila- pa umumnya menggunakan ukuran statistik

kukan oleh Bonet (2006). Secara umum, ha- unit teritorial dan di luar Eropa mengguna-

sil studi mengenai ketimpangan di Indonesia kan ukuran perbedaan daerah; dan (3) pengu-

yang sudah dilakukan oleh beberapa ahli me- kuran konsentrasi yang biasanya menggunakan

nunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan koefisien variasi, koefisien Gini, dan koefisien

antarwilayah di Indonesia lebih tinggi diban- weighted-population.

dingkan dengan negara maju (Sjafrizal, 2008; Pengukuran ketimpangan selama ini yang

Akita, 2002; Akita et al., 2011). Ketimpangan banyak digunakan yaitu indeks Williamson

yang terjadi di suatu daerah disebabkan oleh (CV), ataupun juga dapat menggunakan pe-

banyak faktor (Sjafrizal, 2008), di antaranya; ngukuran lain, seperti indeks Theil dan koefisi-

(1) Perbedaan yang sangat besar dalam kan- en Gini rasio untuk distribusi pendapatan. Na-

dungan sumber daya alam pada masing-masing mun, jenis-jenis pengukuran tersebut kurang

daerah. Daerah dengan kandungan sumber da- cocok digunakan untuk keperluan data panel

ya alam yang cukup tinggi akan lebih mu- pada tingkat regional, karena itu penulisan ini

dah meningkatkan produksi dengan biaya rela- menggunakan pengukuran ketimpangan pen-

tif murah dibandingkan daerah yang mempu- dapatan per kapita relatif (Bonet, 2006). Pe-

nyai kandungan sumber daya alam yang lebih ngukuran ini dapat digunakan secara fleksi-

rendah; (2) Perbedaan kondisi demografis yang bel, di mana polanya mirip dengan pengukuran

cukup besar antardaerah. Kondisi demografis ketimpangan tradisional lainnya indeks Theil

yang dimaksud adalah perbedaan tingkat per- (Td), koefisien Gini, atau Sigma Convergen-

tumbuhan dan struktur kependudukan, perbe-

ce, yang dapat menghitung ketimpangan da- daan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbe- lam daerah dan antardaerah secara sekaligus

daan kondisi ketenagakerjaan, dan perbedaan sehingga cakupan analisis menjadi lebih luas

dalam tingkah laku dan kebiasaan, serta etos

Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... 153 kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersang-

kutan; (3) Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa. Hal ini dapat pula mendorong ter- jadinya peningkatan ketimpangan pembangun- an antarwilayah; dan (4) Alokasi dana pem- bangunan antardaerah dan sistem pemerintah- an. Sistem sentralistik cenderung mengaloka- sikan dana lebih banyak di pemerintahan pusat sehingga mengakibatkan kurangnya distribusi pengalokasian dana secara merata di berbagai wilayah.

Beberapa faktor pendorong terjadinya ke- timpangan antarwilayah, faktor yang terakhir di atas memiliki relevansi dengan kebijakan de- sentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal meru- pakan suatu kebijakan yang dapat mengorek- si ketimpangan antardaerah, di mana bebera- pa studi terbaru memperlihatkan hasil empi- ris. Suwanan dan Sulistiani (2009) melihat ka- itan antara desentralisasi fiskal dan kesenjang- an wilayah di Indonesia. Hasilnya menunjuk- kan bahwa kebijakan desentralisasi akan men- dorong penurunan kesenjangan antardaerah. Bahkan, daerah miskin sangat diuntungkan de- ngan adanya desentralisasi. Studi yang sama juga dilakukan oleh Widhiyanto (2008), yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal di In- donesia mendorong pertumbuhan ekonomi dan mereduksi disparitas pendapatan regional. Se- mentara Hartono dan Irawan (2011), mengu- kur ketimpangan di Indonesia selama pelak- sanaan desentralisasi fiskal, di mana hasilnya menunjukkan ketidaksetaraan pendapatan ru- mah tangga diakibatkan ketimpangan antar- sektor ekonomi.

Lessmann (2009) melakukan pengujian se- cara empiris tentang desentralisasi fiskal dan kesenjangan antarwilayah untuk negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Hasilnya menunjuk- kan bahwa negara dengan tingkat desentralisa- si fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wila- yah yang rendah. Rodr´ıguez-Pose dan Ezcurra (2010) menunjukkan bahwa ketimpangan yang terjadi bervariasi berdasarkan tingkat pemba-

ngunan negara atau tingkat kekayaan masing- masing negara. Bagi negara maju dan berpeng- hasilan tinggi, kebijakan politik desentralisasi berpengaruh terhadap penurunan ketimpang- an, sedangkan pada negara berkembang yang berpenghasilan rendah dan menengah, kebijak- an desentralisasi berpengaruh signifikan terha- dap kenaikan ketimpangan.

Studi Sejenis Sebelumnya Secara empiris sudah banyak studi yang di-

lakukan mengenai desentralisasi fiskal, na- mun lebih banyak melihat hubungannya de- ngan pertumbuhan dan ketimpangan. Semen- tara yang meneliti tentang pergeseran (peru- bahan) struktur dan ketimpangan di antaranya dilakukan oleh Akita et al. (2011), yang melihat perubahan struktur dan ketimpangan distribu- si pendapatan regional di Indonesia. Di mana share sektor pertambangan mengalami penu- runan, akan tetapi di Sumatera dan Kaliman- tan secara spasial industri manufaktur mema- inkan peran penting terciptanya ketimpangan. Sementara di Jakarta dipengaruhi oleh kekuat- an urbanisasi, dampak globalisasi dan liberali- sasi perdagangan, serta sektor keuangan sangat memengaruhi ketidaksetaraan.

Valli dan Saccone (2009) meneliti tentang pergeseran struktural dan pembangunan di Ci- na dan India. Perubahan struktur yang terjadi di Cina terutama didorong oleh reformasi eko- nomi dan pertumbuhan pasar internal sejak ta- hun 1980-an dan tahun 1990-an, yang dengan cepat melakukan penetrasi pasar dunia, namun sebagian besar ekspor Cina di sektor teknolo- gi menengah dan teknologi tinggi dikarenakan joint-venture. Sementara di India, perubahan struktur yang terjadi lebih seimbang meskipun lebih lambat dalam pasar dunia karena produk seperti perangkat lunak, baja, otomotif, dan farmasi lebih banyak dihasilkan sendiri, bukan joint-venture.

Sedangkan studi yang berkaitan antara de- sentralisasi fiskal dengan perubahan struktur dan ketimpangan masih relatif terbatas di In-

154 Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... donesia. Dirgantoro et al. (2009) melakukan pe-

ngaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap ngujian dampak desentralisasi fiskal terhadap

pergeseran sektor. Oleh sebab itu, studi meng- perubahan struktur tenaga kerja di Jawa Ba-

enai pergeseran sektor dan ketimpangan yang rat. Hasilnya menunjukkan bahwa Jawa Barat

dipengaruhi kebijakan desentralisasi fiskal ter- mengalami transformasi struktur tenaga kerja

masuk studi yang masih baru. Atas dasar itu, selama berlangsungnya proses pembangunan.

maka dirumuskan dua model persamaan de- Transformasi struktur tenaga kerja yang terja-

ngan mengadopsi beberapa hasil studi sebe- di, yaitu sektor pertanian tidak berkaitan erat

lumnya dengan menggunakan data panel, yai- dengan sektor industri. Penurunan kontribusi

tu kaitan antara desentralisasi fiskal dan perge- tenaga kerja di sektor pertanian tidak seca-

seran sektor mengadopsi model Bonet (2005). ra otomatis diikuti oleh peningkatan kontribu-

Sedangkan kaitan antara desentralisasi fiskal si tenaga kerja di sektor industri, akan tetapi

dan ketimpangan mengikuti model dasar dari diserap di sektor lainnya seperti sektor infor-

Lesmann (2006) serta Suwanan dan Sulistiani mal. Peningkatan belanja pegawai dan peneri-

maan daerah dari Dana Alokasi Umum (DAU) berdampak positif baik terhadap tenaga kerja

Metode

sektor pertanian, sehingga total tenaga kerja dan kontribusi tenaga kerja sektor pertanian

Studi ini menggunakan pengolahan data panel meningkat. Peningkatan belanja sektor perta-

dengan data satuan (unit) sebanyak 8 kabupa- nian berdampak positif terhadap tenaga kerja

ten/kota di Sulawesi Tengah dan periode wak- pertanian, di mana terjadi peningkatan kontri-

tu selama 10 tahun. Tahapan yang dilakukan busi tenaga kerja sektor pertanian, akan tetapi

melalui beberapa langkah, pertama mengalku- berdampak negatif terhadap total tenaga ker-

lasi nilai indeks pergeseran dengan metode per- ja. Peningkatan pengeluaran untuk infrastruk-

hitungan SCI, dan hanya nilai SCI sektor pri- tur berdampak positif terhadap tenaga kerja

mer diregresikan dengan tujuan untuk memu- total, tetapi berdampak negatif pada tenaga

dahkan analisis, serta menghindari bias penaf- kerja sektor pertanian dan kontribusi tenaga

siran. Langkah kedua menghitung nilai ketim- kerja sektor pertanian menjadi menurun, yang

pangan dengan menggunakan model Qiao et berarti terjadi transformasi di sektor pertani-

al. (2002) yang dimodifikasi oleh Bonet (2006), an.

metode perhitungan ini hampir sama dengan Bonet (2005) melihat kaitan antara desentra-

Entropi Theil. Langkah ketiga melakukan re- lisasi, pergeseran struktur, dan ketimpangan

gresi desentralisasi fiskal terhadap nilai indeks regional di Kolombia. Hasilnya memperlihat-

pergeseran sektor untuk persamaan pertama kan bahwa desentralisasi fiskal berdampak ter-

dan persamaan kedua desentralisasi fiskal ter- hadap meningkatnya ketimpangan pendapatan

hadap nilai indeks ketimpangan. antardaerah, keterbukaan ekonomi, dan aglo- merasi ekonomi, tetapi sebaliknya berdampak

Model Pergeseran Sektor negatif terhadap ketimpangan, oleh karena itu

Model pergeseran sektor yang digunakan da- diperlukan perubahan struktur ekonomi. lam studi ini didasarkan dari teori dasar Che-

Berbagai hasil studi di atas dapat menjadi nery dan Syrquin (1975), bahwa perubahan rujukan, namun studi ini lebih mendekati yang

struktur produksi setidaknya dipengaruhi da- telah dilakukan oleh Bonet (2005). Hanya sa-

ri pendapatan dan jumlah populasi di sua- ja pergeseran sektor tidak dilakukan estimasi

tu negara, dan secara empiris dilakukan oleh dan instrumennya menggunakan interaksi ta-

Azis (1992) dengan menambahkan variabel da- bel Input-Output, sehingga kurang tampak pe-

na Inpres. Secara khusus, studi terdahulu yang

Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... 155 dilakukan oleh Bonet (2006) adalah studi ten-

sio PAD terhadap total penerimaan makin me- tang hubungan antara desentralisasi fiskal ter-

ningkat, maka diduga akan mempercepat ter- hadap pergeseran sektor, hanya saja studi ter-

jadinya perubahan struktur ekonomi yang di- sebut tidak melakukan regresi. Instrumen yang

tandai dengan menurunnya peranan sektor pri- digunakan adalah tabel Input-Output, sehingga

mer. Definisi operasional dari tiap variabel pa- kurang tampak pengaruh kebijakan desentrali-

da model ini dapat dilihat pada Tabel 1. sasi fiskal terhadap pergeseran sektor. Keterba- tasan teori secara spesifik dan studi-studi ter-

Model Ketimpangan Antarkabupa- dahulu membuat studi ini menjadi penting di-

ten/kota

lakukan, sekaligus dapat dianggap sebagai kele- bihan dibandingkan dengan studi sebelumnya.

Setelah indeks ketimpangan dikalkulasikan, in- Persamaan pergeseran sektor ini lebih mene-

deks tersebut dijadikan sebagai variabel ter- kankan pada sektor primer yang diproksi da-

ikat. Model yang digunakan dalam studi ini ri nilai sectoral change index kabupaten/kota,

mengikuti model dasar dari Lesmann (2006) dengan asumsi bahwa kabupaten/kota di Su-

pada negara-negara OECD, Suwanan dan Su- lawesi Tengah sektor pertanian berkontribusi

listiani (2009) di Indonesia, dan modifikasi pe- paling besar terhadap pembentukan perekono-

nulis berdasarkan keterbatasan model empiris mian wilayah, adapun model empiris yaitu se-

sebelumnya. Adapun model disusun seperti se- bagai berikut:

bagai berikut:

SC it =α 0 +α 1 ln P DRBCAP it +α 2 ln P OP it

IN EQ it =β 0 +β 1 ln P DRBCap it +α 3 U N EM P it +α 4 IKF +FD it +ε 1 +β 2 ln P OP it +β 3 P OV it

+β 4 HDI it +β 5 U N EM P it dengan:

+β 6 FD it +ε 2 SC = Pergeseran sektor;

dengan:

PDRBCAP = PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah), harga dasar ta-

INEQ = Kesenjangan daerah dikalkulasikan hun 2000;

dari indeks ketimpangan; POP = Jumlah penduduk (Jiwa);

PDRBCap = PDRB per kapita Atas Dasar IKF = Indeks kemampuan fiskal;

Harga Konstan (Rupiah), Harga dasar ta- UNEMP = Angka pengangguran (Persen);

hun 2000;

FD = Desentralisasi fiskal (Persen); POP = Jumlah penduduk (Jiwa);

i = Kabupaten/Kota; POV = Tingkat kemiskinan (Persen); t = Periode waktu.

HDI = Indeks pembangunan manusia; UNEMP = Angka pengangguran (Persen);

Pada Persamaan (3), pergeseran sektor me- FD = Desentralisasi fiskal (Persen). rupakan variabel terikat, sementara variabel

penjelas ditentukan dengan mempertimbang- Ada banyak faktor yang dapat mendorong kan faktor-faktor yang mendorong terjadinya

terjadinya ketimpangan, salah satu faktornya pergeseran (perubahan) struktur, di antara-

adalah kebijakan desentralisasi fiskal. Pada nya pendapatan per kapita, jumlah penduduk,

prinsipnya, desentralisasi memberikan kewe- struktur tenaga kerja (pengangguran), kemam-

nangan yang luas kepada daerah untuk men- puan fiskal, dan desentralisasi fiskal. Semakin

desain perencanaan pembangunan dan mela- tinggi tingkat pendapatan masyarakat, jum-

kukan kreasi meningkatkan penerimaan berda- lah penduduk bertambah, angka penganggur-

sarkan potensi yang dimilikinya sehingga akan an berkurang, kemampuan fiskal tinggi, dan ra-

mengurangi ketimpangan yang terjadi selama

156 Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... ini. Selain itu, variabel penjelas lainnya diten-

tukan dengan mempertimbangkan variabilitas kemampuan ekonomi masyarakat, jumlah po- pulasi, angka kemiskinan, kualitas sumber daya manusia, dan struktur tenaga kerja (pengang- guran). Makin tinggi tingkat pendapatan per kapita masyarakat, jumlah penduduk produk- tif banyak, angka kemiskinan sedikit, kemam- puan SDM yang tinggi, angka pengangguran rendah, dan rasio PAD terhadap total pene- rimaan besar, maka akan mengoreksi ketim- pangan antarkabupaten/kota (daerah). Uraian mengenai definisi operasional dapat dilihat pa-

da Tabel 1.

Metode Pengumpulan Data dan Ana- lisis Data

Data yang digunakan dalam studi ini me- rupakan data sekunder yang bersumber pa-

da Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota di Indonesia, 2001– 2010 dari Kementerian Keuangan (2010) un- tuk data keuangan (fiskal) daerah dan Daerah Dalam Angka Provinsi Sulawesi Tengah, 2001– 2010 dari Badan Pusat Statistik/BPS (2010) untuk data makroekonomi daerah, dan keselu- ruhan data tersebut merupakan data kuantita- tif. Pendekatan yang digunakan untuk menges- timasi parameter model pergeseran sektor dan ketimpangan wilayah adalah pendekatan da- ta panel. Hasil pengujian pemilihan teknik da- lam pengolahan data panel telah dilakukan pe- ngujian statistik melalui uji Hausman dan uji Chow. Berdasarkan hasil uji Hausman dan uji Chow, model yang tepat digunakan untuk ke- dua persamaan, yaitu pergeseran dan ketim- pangan antarkabupaten/kota, adalah pende- katan fix effect dengan melakukan pembobot- an melalui coefficient covariance white cross section method. Untuk memperoleh penduga yang bersifat Best, Linear, Unbiased Estima- tor (BLUE), maka penduga harus terbebas da- ri pelanggaran asumsi klasik, yaitu multikoline- aritas, otokorelasi, dan heterokedasitas.

Hasil dan Analisis Pola Pergeseran Sektor

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pergeseran sektor didapatkan dari nilai sector- al change index dengan dibagi menjadi tiga kelompok sektor, yakni sektor primer, sekun- der, dan tersier. Namun, hanya nilai sektor pri- mer (pertanian, penggalian, dan pertambang- an) yang dianalisis untuk meminimalkan ke- keliruan (bias) karena bisa saja nilai koefisien masing-masing sektor bernilai negatif (turun). Jika hasil regresi menunjukkan pada kondisi tersebut, maka akan sulit dilakukan analisis da- lam pengertian pergeseran sektor ke arah ma- na. Lain halnya jika hanya sektor primer yang dianalisis. Nilai koefisien sektor primer berni- lai negatif diasumsikan sektor primer menurun, dan sektor-sektor lainnya meningkat. Berda- sarkan kalkulasi indeks pergeseran sektor pri- mer kabupaten/kota di Sulawesi Tengah seca- ra rinci dapat dilihat pada Tabel 4, sementara yang ditampilkan berikut sifatnya lima tahun- an menunjukkan pola seperti Gambar 1.

Pada 2001, terlihat nilai pergeseran sektor primer relatif tinggi masing-masing Kabupaten Bangkep (1,81), Kabupaten Banggai (0,90), Kabupaten Tolitoli (0,77), dan Kabupaten Bu- ol (0,90), paling rendah Kabupaten Morowali (0,16). Tahun 2005, nilai indeks pergeseran pa- ling tinggi dialami oleh Kabupaten Donggala (3,27), disusul Kabupaten Banggai Kepulauan (3,26), Kabupaten Poso (3,22) dan Morowa- li (1,52), terendah Kabupaten Tolitoli (0,19). Pada 2010, yaitu akhir periode studi, nilai in- deks paling tinggi adalah Kabupaten Bang- gai (3,52), Kabupaten Donggala (1,85), ser- ta Bangkep dan Tolitoli masing-masing (0,57), dan terendah adalah Kabupaten Poso (0,15).

Pola Ketimpangan Antarkabupa- ten/Kota

Usaha-usaha pembangunan yang dilakukan, ti- dak lain untuk mencapai pertumbuhan eko-

Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... 157

Gambar 1: Pola Pergeseran Sektor Primer Setiap Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

nomi yang setinggi-tingginya, bersamaan me- daerah selama 10 tahun, nilai ketimpangan nurunnya ketimpangan distribusi pendapatan.

tertinggi berubah polanya, justru Kabupaten Untuk mengatasi masalah ketimpangan ada

Bangkep mengalami peningkatan ketimpangan banyak kebijakan afirmasi yang dapat dijalan-

(0,69), kemudian Kabupaten Buol (0,65), Poso kan oleh pemerintah maupun inisiatif masya-

(0,61), dan Tolitoli (0,56), dan terendah Moro- rakat itu sendiri. Desentralisasi fiskal merupa-

wali (0,38). Dua daerah yang tertinggi ketim- kan keputusan politik dan kebijakan pemerin-

pangannya pada tahun kesepuluh pelaksanaan tah yang diyakini sebagai salah satu solusi

desentralisasi, yaitu Kabupaten Bangkep dan untuk mengurangi ketimpangan antardaerah.

Buol, yang merupakan kabupaten pemekaran. Berdasarkan hasil kalkulasi indeks ketimpang- an secara periodik lima tahunan, didapatkan

Pengaruh Kebijakan Desentralisasi nilai seperti Gambar 2 (Rincian kalkulasi in-

Fiskal terhadap Pergeseran Sektor deks ditampilkan pada Tabel 5). Model pendekatan yang diestimasi adalah

Pada awal pelaksanaan desentralisasi fis- faktor-faktor pendapatan per kapita, jumlah kal di Sulawesi Tengah terlihat bahwa ketim-

populasi, angka pengangguran, kemampuan pangan interregion, Kabupaten Donggala sa-

fiskal, dan desentralisasi fiskal (FD) terha- ngat tinggi (0,99), disusul Kabupaten Bang-

dap pergeseran sektor. Berdasarkan serangkai- kep (0,56) dan Kabupaten Poso (0,55), teren-

an pengujian atau diagnostik pada kriteria sta- dah Kabupaten Morowali (0,01). Selama lima

tistik terkait dengan model goodness of fit dan tahun perjalanan desentralisasi fiskal, ketim-

pengujian hipotesis, hasil pengolahan data mo- pangan di Kabupaten Donggala masih yang

del pergeseran sektor menunjukkan bahwa se- tertinggi (0,65), kemudian Kabupaten Banggai

cara serempak (bersama-sama) memengaruhi (0,57), kedua daerah ini merupakan daerah in-

variabel terikat secara signifikan. Selain itu, duk, dan ketimpangannya mengalami penurun-

evaluasi model dengan kriteria ekonomi de- an, dan terendah Kabupaten Morowali (0,16).

ngan melihat tanda dan besaran nilai koefisi- Jika diukur perjalanan pelaksanaan otonomi

en dari variabel bebas, dan terlihat tidak se-

158 Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ...

Gambar 2: Pola Ketimpangan Antarkabupaten/Kota di Sulawesi Tengah

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

mua arah koefisien sesuai teori. Hasil penaksir- daerah untuk mendorong terjadinya perubah- an parameter-parameter persamaan pergeser-

an struktur dalam jangka panjang. Temuan ini an sektor dapat dilihat pada Tabel 1.

tidak sejalan dengan teori Chenery dan Syrqu- in (1975), bahwa perubahan struktur produk-

Hasil estimasi menjelaskan bahwa pendapat- si dipengaruhi oleh jumlah penduduk di suatu an per kapita sebagai efek dari kegiatan pereko-

wilayah.

nomian daerah tampak memberikan pengaruh signifikan dan memiliki pengaruh negatif ter-

Variabel angka pengangguran menunjukkan hadap pergeseran sektor. Jika terjadi kenaik-

kondisi serupa, yakni tidak berpengaruh sig- an pendapatan per kapita, maka peranan sek-

nifikan terhadap pergeseran struktur kegiat- tor primer makin menurun. Berdasarkan da-

an ekonomi. Menurut Dirgantoro et al. (2009), ta BPS, kontribusi sektor pertanian terhadap

perubahan struktur tenaga kerja tidak terja- pembentukan output perekonomian di Sulawe-

di, karena jumlah pekerja di sektor pertanian si Tengah setiap tahunnya makin menurun.

cenderung tetap tinggi dan tidak bergeser atau Sedangkan faktor populasi tidak hanya seba-

tidak berkaitan dengan sektor industri, namun tas menggambarkan kuantitas akan tetapi juga

ada kemungkinannya terserap ke sektor infor- penting dipertimbangkan masalah produktivi-

mal. Karena pada kenyataannya, struktur per- tasnya (kualitas), karena jumlah penduduk da-

ekonomian Sulawesi Tengah, yaitu sektor in- pat berdampak positif dan negatif, tergantung

dustri belum berkembang sebagaimana yang dari kemampuan penduduk itu sendiri untuk

juga terjadi di wilayah lainnya di Kawasan Ti- dapat mengakumulasi kapital dari serangkaian

mur Indonesia (KTI).

kegiatan ekonomi. Berkaitan dengan hal terse- Dari hasil estimasi yang dilakukan, variabel but, hasil estimasi menunjukkan bahwa varia-

kemampuan fiskal daerah berpengaruh signifi- bel penduduk tidak memberikan pengaruh sig-

kan, yang menunjukkan besarnya kemampuan nifikan terhadap pergeseran sektor. Dengan ka-

fiskal pada masing-masing kabupaten/kota di ta lain, jumlah populasi yang semakin bertam-

Sulawesi Tengah. Jika terjadi perubahan, ma- bah tidak berpengaruh terhadap upaya suatu

ka akan menggeser struktur produksi ekonomi,

Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal, ... 159 dengan kata lain peranan sektor primer makin

ten tersebut. Sedangkan kenaikan rasio pene- menurun.

rimaan Kabupaten Banggai pengaruhnya ter- Selanjutnya, kebijakan desentralisasi fiskal

hadap pergeseran sektor relatif kecil dengan sebagai variabel utama, pengaruhnya terha-

artian peranan sektor primer pertumbuhannya dap pergeseran sektor adalah signifikan. Seti-

melambat dibandingkan dengan daerah lainnya ap terjadi kenaikan rasio penerimaan PAD ter-

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24