BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi, dimana

  rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan pribadi-pribadi penguasa.

  Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasinya suatu Negara. Dapat kita lihat dari pengertian demokrasi itu sendiriyang secara normatif adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ungkapan ini diterjemahkan dalam setiap negara yang menganut demokrasi, di Indonesia tercantum di dalam UUD 1945 (setelah Amandemen) pada Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Rakyat membuat kontrak sosial lewat perwakilannya untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main yang berupa Undang-Undang Dasar, Peraturan Hukum dan sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-sarana kekuasaan titipan yang demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan tidak dimanipulasikan untuk kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengeruh keuntungan dan

   memperkaya diri.

  Pembuatan kontrak sosial tersebut dilakukan melalui pemilu (pemilihan umum), yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak menduduki kursi dilembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu, rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang di nilai sesuai dengan

   aspirasinya.

  Pembahasan mengenai partisipasi politik masyarakat adalah persoalan menarik untuk diperbincangkan. Melalui partisipasi politik yang diartikan sebagai: Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat individual maupun kolektif, terorganisir ataupun spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal

  

atau illegal, efektif atau tidak efektif.

  Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah- daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam Undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintah daerah, 1 2 Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158.

  Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007, h.173-174. pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan disentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok

  

  fungsional atau organisasi atau non-pemerintahan swasta. Otonomi daerah merupakan bagian dari sistem politik yang diharapkan memberikan peluang bagi

   warga negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreatifitasnya.

  Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional. Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas

   dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

  Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang meliputi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan

  

  pembangunan, sehingga dilakukanlah pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintahan N0. 6 Tahun 2005 mengenai tata cara pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah, yang merupakan tonggak baru penegakkan kedaulatan 4 5 Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h.20. 6 M. Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu lokal, Medan:USU Press, 2005, h.63.

  Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h.ix-x. rakyat daerah di Indonesia.

  Partisipasi politik merupakan kehendak sukarela masyarakat baik individu maupun kelompok dalam mewujudkan kepentingan umum. Sebagaimana dikemukakan oleh ‘Herbert Miclosky” (1991:9) bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui dimana mereka mengambil bagian dalam proses pemulihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.

  Dalam hal ini setiap sikap dan perilaku politik individu seyogyanya mendasari pada kehendak hati nurani secara suka rela dalam konstest kehidupan politik.

  Partisipasi politik amat urgen dalam kontes dinamika perpolitikan di suatu masyarakat. Sebab dengan partisipasi politik dari setiap individu maupun kelompok masyarakat maka niscaya terwujud segala yang menyangkut kebutuhan warga masyarakat secara universal. Sehingga demikian, keikutsertaan individu dalam masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dalam mewujudkan kepentingan umum. Dan paling ditekankan dalam hal ini terutama sikap dan perilaku masyarakat dalam kegiatan politik yang ada. Dalam artian setiap individu harus menyadari peranan mereka dalam mendirikan kontribusi sebagai insan politik. Dalam hal ini peranan meliputi pemberian suara, kegiatan menghadiri kampanye serta aksi demonstrasi. Namun kegiatan-kegiatan sudah barang tentu harus dibarengi rasa sukarela sebagai kehendak spontanitas individu maupun kelompok masyarakat dalam partisipasi politik.

  Dengan kegiatan-kegiatan politik ini pula, intensitas daripada tingkat partisipasi politik warga masyarakat dapat termanifestasi. Oleh karena itu, sikap dan perilaku warga masyarakat dalam kegiatan politik berupa pemberian suara dan kegiatan kampanye dalam pemilihan kepala daerah merupakan parameter dalam mengetahui tingkat kesadaran partisipasi politik warga masyarakat. Paling tidak warga masyarakat ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik sekaligus mengambil bagian untuk mempengaruhi pemerintah dalam keputusan politik. Pemilihan kepala daerah sebagai wahana menyalurkan segala aspirasi masyarakt melalui suksesi dalam pemilihan kepala daerah, peran warga masyarakat terutama dalam mempengaruhi keputusan politik sangat prioritas.

  Dengan adanya pemilihan kepala daerah setiap individu maupun kelompok masyarakat dapat memanifestasikan kehendak mereka secara sukarela, tanpa pengaruh dari siapapun. Dalam hal ini setiap anggota masyarakat secara langsung dapat memberikan suara dalam pemilihan serta aktif dalam menghadiri kegiatan- kegiatan politiknya, seperti kampanye. Namun keaktifan anggota masyarakat baik dalam memberikan suara maupun kegiatan kampanye tentu harus didorong oleh sikap orientasi yang begitu tinggi. Dan disamping itu pula kesadaran dan motivasi warga masyarakat dalam kegiatan politik sebagaimana di kemukakan tadi sangat penting untuk menopang tingkat partisipasi politik terhadap pemilihan kepala daerah. Karena dengan adanya sikap antusias dari warga masyarakat dalam partisipasi politik tentu membawa pada konsekuensi pada tatanan politik yang stabil.

  Oleh karena kesadaran dan pemahaman politik merupakan penunjang dalam mewujudkan stabilitas politik masyarakat dengan kesadaran dan pemahaman politik pula setiap sikap dan perilaku masyarakat secara partisipasi dapat terwujud sebagaimana mestinya. Namun demikian sikap dan perilaku anggota masyarakat dalam partisipasi politik kadang kala mengarah pada sikap apatis, sinisme, dan arogan sehingga yang demikian ini mempengaruhi partisipasi mereka dalam pemilihan kepala daerah, yang akhirnya mereka enggan memberikan suara dalam pemilihan dan juga tidak menghadiri kegiatan-kegiatan politik (kampanye). Fenomena-fenomena ini selalu muncul dimana-mana lebih-lebih lagi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

  Pilkada Kota Medan sudah dilaksanakan secara langsung sebanyak 2 (dua kali) yaitu tahun periode 2005 -2010 yang dimenangkan oleh Abdillah – Ramli dan periode 2010-2015. Tanggal 12 Mei 2010 adalah pilkada kedua yang dilaksanakan secara langsung, 1,9 juta lebih warga Kota Medan akan memberikan suaranya untuk memilih

  Wali Kota dan wakil Wali Kota Medan untuk periode 2010-2015. Ada sepuluh pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan yang ikut serta dalam pemilukada Kota Medan dan telah lulus dalam verifikasi oleh pihak KPUD Medan. Calon tersebut adalah:

  1. Pasangan Sjahrial – Yahya

  2. Sigit – Nurlisa Ginting

  4. Bahdin Nur Tanjung – Kasim

  5. Joko – Amir

  6. Rahudman – Eldin

  7. Prof. Arief Nasution – Supratikno

  8. Maulana Pohan – Arif

  9. Ajib Syah – Binsar Situmorang

  10. Sofyan Tan – Nelly KPUD sebagai pelaksana pemilukada Kota medan telah mempersiapkan beberapa tahapan proses dari verifikasi Calon, sosialisasi tentang cara pemilihan

  Umum di Kota Medan sampai dengan mempersiapkan keperluan logistik yang digunakan dalam pemilukada Kota Medan. Ketua KPU Medan, Evi Novida Ginting menjelaskan jika seluruh persiapan Pilkada hampir rampung. Dijelaskannya, saat ini sebanyak 1.961.155 kartu pemilih dan kartu undangan C6 KWK untuk warga yang namanya terdaftar dalam DPT telah didistribusikan, telah memastikan seluruh logistik Pilkada yang meliputi tinta coblos, busa, paku, kertas suara dan logistik lainnya telah disampaikan ke KPPS sejak beberapa waktu lalu. “2.011.121 kertas suara yang sudah termasuk dengan kertas tambahan telah sampai ke KPPS. (kutipan dari Surat Kabar Waspada Medan).

  Tanggal 12 Mei 2010 dilakukanlah Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan yang dilaksanakan di 21 Kecamatan. Dari hasil perolehan suara pada putaran I, terdapat dua pasangan yang unggul dan maju pada putaran II karena perolehan Dzulmi Eldi dan pasangan nomor urut 10 Sofyan Tan – Nelly Armayanti.

  Pilkada dua putaran ini sesuai UU No 12 tahun 2008 perubahan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Bila merujuk pada Keputusan KPU Medan nomor 35 perubahan ke 2 tahun 2009 tentang tahapan Pilkada, putaran kedua berlangsung 16 Juni 2010, diikuti dua pasangan peraih suara terbanyak. Pilkada Medan putaran kedua sebanyak 1.961.155 pemilih. Jumlah ini menunjukkan ada sebanyak 641,199 pemilih tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Medan 2010 ini. Partisipasi pemilih Pilkada Medan ini meningkat dari putaran pertama yang hanya 34,7 persen menjadi 45 persen. Dan hasil terakhir yang diperoleh pasangan Rahudman Harahap – dzulmi Eldin memenangkan pilkada Medan periode 2010 – 2015 dengan mengalahkan pasangan Sofyan Tan – Nelly Armayanti.

  Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada disebutkan oleh Mawardi (2008) disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut; Pertama, masyarakat secara sadar dan mandiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan pertimbangan yang didasari sikap apatis, yakni mereka meyakini bahwa para calon yang bertarung tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka. Selain itu, mereka menyadari bahwa mencoblos dan tidak mencoblos memiliki makna yang sama, yakni tidak memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan mereka. Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, diakibatkan persoalan tekhnis dalam pilkada. Dalam hal ini, penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul memicu tingginya jumlah warga yang tidak terdaftar di DPT sehingga menggugurkan masalah krusial yang sepertinya tidak memiliki solusi. Sebab serangkaian pilkada sudah berlangsung, masalah DPT yang tidak akurat tetap menyisakan persoalan rendahnya partisipasi pemilih. Ketiga, partisipasi juga dipengaruhi oleh kepentingan individual pemilih.

  Pada penelitian ini, agar lebih objektif, peneliti memilih objek penelitian adalah masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan sebagai tempat penelitian.

  Di Indonesia secara relative terdapat kesetiaan etnis yang relative tinggi dan

  

bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas. Kesetiaan etnis di Indonesia

masih terlihat sangat signifikan dan mengabaikan faktor etnis yang dapat menimbulkan

kesalahpahaman tentang politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal diatas

menunjukkan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang.

  Identitas partai akan berkaitan dengan kesetiaan dan ketidaksetiaan dari massa

suatu partai. Semakin tinggi identitas partai akan semakin tinggi tingkat loyalitas massa

partai, sebaiknya semakin rendah identifikasi partai akan semakin rendah loyalitasnya di

Indonesia loyalitas massa partai sering dikaitkan dengan etnisitas. Perbedaan etnis diikuti

pula oleh perbedaan agama yang mereka anut serta lapangan pekerjaan yang menjadi

sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Semua perbedaan adalah perbedaan etnis,

agama, pekerjaan, menjurus pada perbedaan organisasi sosial atau partai politik yang

mereka pilih atau ikuti. 8 Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik,

  Dalam perkiraan kasar jumlah masyarakat Karo telah melebihi angka 1 juta jiwa.

Ada beberapa kalangan bahkan memperkirakan telah melampaui tersebut. Mereka

bermukim di 3 (tiga) wilayah yaitu daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat dan

Deliserdang. Namun, jumlah yang cukup besar dan wilayah bermukim yang luas ini

belum menjadikan mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengambilan

kepurtusan-keputusan politik di tingkat Pemerintahan Propinsi. Alokasi dana

pembangunan, penyebaran proyek-proyek yang berimplikasi penambahan jumlah uang

beredar di daerah, penentuan pejabat penting kebanyakan dirasakan belum

memperhatikan aspirasi masyarakat Karo. Kalangan masyarakat Karo juga mencatat

bahwa setiap kali dibuat keputusan-keputusan yang memerlukan pertimbangan tentang

jumlah anggota/ pendukung suatu etnis.

  Akses terhadap kekuasaan adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan

mempengaruhi pejabat-pejabat politik. Umumnya kelompok yang memiliki akses

terhadap kekuasaan adalahkelompok masyarakat yang tingkat partisipasiny dalam politik

(yang sudah barang tentu mempersyaratkan kompetensi) cukup tinggi. Masyarakat Karo

pasca era G305/PKI telah menjadi kelompok masyarakat yang sangat rendah aksesnya

terhadap kekuasaan.

  Adapun pertimbangan yang diperhatikan peneliti dalam melakukan penelitian dengan memilih masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan adalah karena pertimbangan subjektif. “Pertimbangan subjektif adalah pertimbangan berkisar tentang kredibilitas

  

  peneliti terhadap apa yang ditelitinya”, yang mencakup antara lain: 1. penelitian sesuai dengan minat peneliti; 2. Penguasaan teori seputar masalah; 3. sesuai disiplin ilmu yang dipelajari; 4. cukup banyak penelitian sebelumnya tentang masalah tersebut; 5. berdasarkan pertimbangan waktu; 6. pertimbangan biaya; 7. situasional masyarakat menyambut baik masalah tersebut.

  Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota

  

Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan

Medan Tuntungan)” B. Perumusan Masalah

  Dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat partisipasi politik masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan dan faktor yang mempengaruhinya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010-2015”.

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh gambaran bagaimana partisipasi politik masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan pada Pemilihan Umum Kepala daerah Kota Medan Tahun 2010-2015.

  a.

  Untuk mengetahui bagaimana faktor Sosial Ekonomi. Kondisi Sosial Ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan pada Pilkada Kota Medan Periode 2010-2015.

  b.

  Untuk mengetahui bagaimana faktor politik. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir meliputi komunikasi politik, kesadaran politik, pengetahuan masyarakat, kontrol masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan pada Pilkada Kota Medan Periode 2010-2015.

  c.

  Untuk mengetahui bagaimana faktor nilai budaya. Kondisi nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan sikap dan kepercayaan politik masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan pada Pilkada Kota Medan Periode 2010-2015.

D. Manfaat penelitian a.

  Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya penelitian dibidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya mengenai partisipasi politik.

  b.

  Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang ingin meneliti partisipasi politik, khususnya mengenai

  Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan pada Pemilihan Umum Kepala Daerah.

  c.

  Bagi Peneliti, sebagai penelitian dan memperluas khasanah dan menambah pengetahuan di bidang ilmu politik, khususnya mengenai partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah.

E. Kerangka Teori

  Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah menyusun kerangka teori, karena kerangka teori berfungsi sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.

  Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara

  

  sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Sedangkan menurut F.N.Karliger sebagaimana dikutip oleh Joko Subagyo pada buku Metode Penelitian

  

dalam Teori dan Praktek , teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang

  berhubungan satu sama lain, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu

  

pandangan yang sistematis dari fenomena.

  Oleh sebab itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan beberapa teori-teori yang relevan dengan subjek penelitian. 10 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta:LP3ES, 1989, h.37. 11 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997, h.20.

  E.1. Partisipasi Politik

  Partisipasi yang meluas ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah diartikan dalam berbagai arti, apakah partisipasi politik itu hanya perilaku atau mencakup pula sikap- sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi perilaku partisipasi.

  Partisipasi politik meurut Keith Fauls sebagaimana dikutip oleh Damsar adalah keterlibatan secara aktif (ithe active engagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses

   pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.

  Dalam international eccyclopedia of the social sciences, Herbert McClosky memberikan batasan pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses

   pembentukan kebijakan umum.

   Berdasarkan buku Samuel P. Huntington dan Joan Nelson penulis

  merangkum defenisi inti yang perlu dicatat dalam partisipasi politik, yakni sebagai berikut: 1)

  Ia mencakup kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap. Dimana kegiatan politik adalah yang objektif dan sikap-sikap politik yang subjektif.

  2) Yang diperhatikan dari partisipasi politik adalah kegiatan politik warga negara preman, atau lebih tepat lagi perorangan-perorangan dalam peranan mereka sebagai warga negara preman. Dengan demikian ada hubungan antara partisipasi- partisipasi politik dan orang – orang profesional di bidang politik.

  3) Yang menjadi pokok perhatian dalam partisipasi politik adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengembilan keputusan pemerintah. Usaha– usaha untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dapat melibatkan usaha membujuk atau menekan pejabat-pejabat untuk bertindak (atau tidak bertindak) dengan cara-cara tertentu.

  4) Menurutnya bahwa partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah,tak peduli apakah kegiatan itu benar – benar mempunyai efek. Seorang partisipan politik dapat berhasil atau tidak akan dapat berkuasa atau tidak. Dalam pengertian ini, maka kebanyakan partisipan politik mempunyai kekuasaan yang kecil saja, dan hanya beberapa partisipan saja yang mencapai sukses yang cukup besar dalam politik

  Pada era saat ini kita dapat melihat, bahwa tingkat partisipasi masyarakat tidak lagi dipengaruhi dimana ia tinggal atau dalam artian pedesaan atau perkotaan.

  “kesemuanya bergantung pada tingkat perekonomian setiap daerah apabila kita mengetahui bahwa tingkat partisipasi politik disuatu negara bervariasi sejalan dengan tingkat pembangunan ekonominya”.

  Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan lebih lanjut, bahwa partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai arti, adapun pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

  Partisipasi politik itu hanya perilaku, atau mencakup sikap-sikap dan persepsipersepsi (misalnya persepsi seseorang tentang relevansi politik bagi urusannya sendiri). Jika ditelusuri lagi secara spesifik, di dalam bukunya akhirnya didefenisikan bahwa partisipasi politik tidak hanya mencakup kegiatan yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, akan tetapi juga kegiatan yang oleh orang lain di luar sipelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Yang pertama dapat dinamakan partisipasi otonom, yang terakhir partisipasi yang dimobilisasikan. Masalah niat, dan persoalan yang berkaitan dengannya, yakni motivasi-motivasi partisipasi politik

   merupakan hal yang kompleks dan kontroversial.

  Banyak orang bertindak, seperti: memberikan demonstrasi, yang merupakan jenis partisipasi tetapi tidak merupakan tindakan yang dilakukan berdasarkan keinginan sendiri melainkan dikarenakan adanya perintah orang lain yang disebut istilah “Ward Boss”, istilah ini digunakan untuk orang-orang yang dengan menggunakan paksaan, persuasi atau dengan rangsangan-rangsangan materi mereka yang digunakan untuk memobilisasi orang-orang lain dalam usaha mengejar sasaran mereka. Dalam beberapa studi secara eksplisif tidak menganggap tindakan yang dimobilisasi atau yang dimanipulasi sebagai partisipasi politik.

  Banyak tanggapan mengenai apa itu partisipasi politik, jadi jelaslah banyak partisipasi di dalam sistem – sistem politik yang demokratis dan kompetitif mengandung suatu unsur tekanan dan manipulasi. Dalam penelitian ini, partisipasi yang dimobolisasi dan yang otonom bukan merupakan kategori-kategori dikotomis yang dapat di bedakan dengan satu tujuan satu sama lain. Yang benar keduanya adalah satu spectrum, terdapat perbedaan yang bersifat arbiter dan batas-batasnya tidak jelas. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan melihat partisipasi politik masyarakat yang terlihat atau yang dilakukan baik secara otonom maupun dimobilisasi yang ukurannya dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik itu sendiri.

   Sebagai defenisi umum, sesuai dengan yang diartikan oleh Miriam Budiarjo ,

  bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen. Partisipasi politik juga, senantiasa mengacu pada semua bentuk kegiatan yang dilakukan dengan cara terorganisir maupun tidak.

  Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam buku Partisipasi Politik di Negara Berkembang mendefenisikan konsep partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai

   atau dengan kekerasan, legal atau ilegal.

  Galen A. Irwin dalam tulisannya mengenai “Polotical Efficacy, Statisfaction

  

and Participation” , partisipasi politik adalah suatu bentuk proses yang sistematis

  untuk memilih kepala negara dengan jala pemilu. Hasil pemilu haruslah dapat

   diterima oleh masyarakat umum sebgai kebijakan bersama.

  Menurut Thalha Hi Abu, adaptasi dari buku Michael Rush; Philip Adolf, Pengantar Sosiologi Politik;1993;124 ada berbagai kesulitan dalam penyajian berbagai bentuk partisipasi politik, terlepas dari tipe sistem politik, yaitu: segera muncul dalam ingatan peranan para politisi profesional, pemberi suara, aktivis partai, para demonstran. Menempatkan posisi dari aktivis politik memang dirasa penting, untuk melihat apakah terdapat semacam hubungan hierarkis antara peristiwa- peristiwa di atas. Hierarki yang paling sederhana dan berarti adalah hierarki yang didasarkan atas taraf atau luasnya partisipasi. Namun demikian didapati tingkat hierarki partisipasi politik yang bebrbeda dari suatu sistem politik dengan yang lain, 17 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta:Rieneka Cipta, 1994, h.1. tetapi partisipasi pada suatu tingkat hierarki tidak merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang berbeda-beda dalam suatu sistem politik dengan sistem politik lain, lagipula berbeda dalam suatu sistem menurut waktunya. Hierarki partisipasi politik :

  • bahkan pada bentuk ini sebagian masyarakatnya menghindari berbagai bentuk partisipasi politik, ataupun hanya berpartisipasi pada tingkat yang paling rendah.

  Apatihi Total (masa bodoh), ini merupakan bentuk partisipasi yang paling rendah,

  • berupa pemberian suara pada saat pemilu.

  Voting (pemberian suara), pada bentuk ini partisipasi yang dilakukan adalah

  • bagian ini partisipasi yang dilakukan adalah diskusi secara informal dalam ruang lingkup keluarga, teman, terkadang ditempat kerja.

  Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik. Pada

  • nyata dari pada diskusi politik informal.

  Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan lain-lain. Partisipasi ini lebih

  Keanggotaan pasif organisasi semu politik.

  • Keanggotaan aktif organisasi semu politik.
  • Keanggotaan pasif suatu organisasi politik.
  • Keanggotaan aktif suatu organisasi politik.
  • Mencari jabatan politik atau administratif.
  • Menduduki jabatan politik atau administratif. Ini merupakan partisipasi politik
  • tertinggi.

  E.1.1. Bentuk Partisipasi Politik

  Menurut Ramlan Surbakti, bentuk partisipasi dibedakan menjadi partisipsi aktif dan partisipasi pasif: a.

  Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

  b.

  Sedangkan partisipasi pasif antara lain, berupa kegiatan mentaati peraturan pemerintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan

   pemerintah.

  Bentuk yang paling sederhana dari partisipasi aktif adalah ikut memberikan suara dalam pemilu, turut serta dalam demonstrasi dan memberikan dukungan keuangan dengan jalan memberikan sumbangan. Sedangkan bentuk partisipasi pasif adalah bentuk partisipasi yang sebentar-sebentar, misalnya bentuk diskusi politik informal oleh individu-individu dalam keluarga masing-masing, ditempat kerja atau diantara sahabat-sahabat. Orang yang melakukan kewajibannya adalah warga negara yang baik. Partisipasi semacam itu mengekspresikan kepercayaan akan legitimasi

  

struktur kekuasaan dan otoritas masyarakat.

  Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif yang paling kecil, karena hal itu menunjukkan suatu keterlibatan minimal, yang

   akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.

  19 20 Ramlan Surbakti, Memahami Politik, Grasindo, Jakarta,2003, h.74.

  

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, h.118.

  E.1.2. Jenis-Jenis Perilaku Masyarakat Dalam Partisipasi Politik

  Sementara itu menurut Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori perilaku yaitu:

  1. Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.

  2. Spektator, yaitu berupa orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilu.

  3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.

4. Pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak

   konvensional.

  Menurut Samuel P. Huntington, jenis-jenis perilaku politik antara lain sebagai berikut:

  1. Kegiatan pemilihan, mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan- sumbangan dalam kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.

  2. Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat – pejabat pemerintahan dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.

  3. Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah mempengaruhi keputusan pemerintah.

  4. Mencari Koneksi (Contacting), merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintahan dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.

  5. Tindakan kekerasan (violence), juga dapat berupa partisipasi politik yakni upaya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan jalam menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda. Kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik (kudeta, pembunuhan), mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah (huru-hara, pemberontakan), atau mengubah seluruh sistem politi (revolusi).

23 Menurut Sudijono Sastroatmojo, partisipasi politik itu merupakan kegiatan

  yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.

  E.1.3. Tujuan Partisipasi Politik

24 Sama halnya menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam

  Partisipasi Politik di Negara Berkembang, seperti dikutip oleh Sudijono Sastroatmojo, tujuan partisipasi politik adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

25 Pendapat senada turut dilontarkan oleh Miriam Budiarjo, bahwa tujuan dari

  partisipasi politik aktif, yaitu dengan cara datang ke tempat pemungutan suara adalah untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

   Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Scince,

  mengatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat- pejabat negara dan tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.

  

  23 Samuel P. Huntington, Op Cit, h.16-18. 24 Sastroatmojo, Op Cit, h. 67. 25 Ibid, h.68.

  E.1.4. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat

  Menurut Ramlan Surbakti, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi politik seseorang adalah kesadaran politik dan kepercayaan orang tersebut

  

  kepada pemerintah. Aspek kesadaran politik seseorang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara, baik hak – hak politik, ekonomi, maupun hak-hak mendapatkan jaminan sosial dan hukum.27

  Sedangkan menurut Weimer setidaknya ada lima penyebab faktor – faktor yang mempengaruhi meluasnya partisipasi politik, yaitu:

  1. Modernisasi.

  Modernisasi disegala bidang berakibat pada partisipasi warga kota baru seperti kaum buruh, pedagang dan profesional untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan dan menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai bentuk kesadarannya bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya sendiri.

  2. Terjadinya perubahan – perubahan struktur kelas sosial.

  Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industrialisasi dan modernisasi. Hal ini menyebabkan munculnya persoalan, siapa yang berhak ikut serta dalam pembuatan keputusan-keputusan politik mengakibatkan perubahan-perubahan pola partisipasi politik.

  3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa.

  Munculnya ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme dan egaliterisme mengakibatkan munculnya tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi membantu menyebarluaskan seluruh ide–ide ini kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat yang belum maju sekalipun akan menerima ide – ide tersebut secara cepat, sehingga sedikit banyak berimplikasi pada tuntutan rakyat.

  4. Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik.

  Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan massa, dengan menyuarakan ide – ide partisipasi massa. Implikasinya muncul tuntutan terhadap hak – hak rakyat, baik HAM, keterbukaan, demokratisasi maupun isu-isu kebebasan pers.

  5. Keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dan urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan.

  Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan

   konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat, yaitu:

  1. Faktor sosial ekonomi. Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

  2. Faktor politik. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir.

  Faktor Politik meliputi :

  a. Komunikasi politik, adalah komunikasi yang mempunyai konsekuansi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika.

  b. Kesadaran Politik, kesadaran politik yang menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap permasalahan dan atau pembangunan.

  c. Pengetahuan masyarakat terdap proses pengambilan keputusan, akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil.

  d. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik, yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaaan kewenangan dalam keputusan politik. Kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide,gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan.

  4. Faktor nilai budaya, merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakikatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik atau peradapan masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan sikap dan kepercayaan politik.29

  E.2. Pemilihan Kepala Daerah

  a. Perspektif Teoritis David Easton, teorotisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.

  Sebagai suati sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagian- adalah electoral Regulation, Electoral process, dan electoral Law Enforcement.

  

Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala

  daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Elektoral

  

process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan

  kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga

  bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala daerah. Sebagai suatu sistem pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen terlibat dan kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan subsistem, masing- masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme kontrol, dan mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri.

  b. Perspektif Praktis.

  Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi dan menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekutmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik, yaitu rakyat dan partai politik.

  Pemilihan kepala daerah merupakan rekutmen politik yaitu, penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, ataupun Walikota/Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon

   kepala daerah.

  E.3. Etnisitas

  Konsep etnisitas bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitaskita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, Batak dan lain- lain. Konsekuensinya, etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik (Barth, 1969).

  Konsep kulturalis tentang etnisitas merupakan suatu usaha yang berani untuk melepaskan diri dari implikasi rasis yang inheren dalam sejarah konsep ras. Seperti ditulis Stuart Hall (1996), “jika subjek kulit hitam dan pengalaman kulit hitam tidak distabilkan oleh alam atau esensi lainnya, maka pastilah ia terkonstruksi secara historis, cultural, dan politis. Term etnisitas mengakui sejarah, bahasa, dan kebudyaan dalam konstruki subjektivitas dan identitas, seperti halnya fakta bahwa semua wacana selalui punya tempat, posisi, situasi dan semua pengetahuan selalu konstekstual”.

  Masalah dalam konsepsi kulturalias tentang etnisitas adalah diabaikannya pertanyaan-pertanyaan tentang kekuasaan dan ras. Etnisitas dapat dikembangkan ke dalam diskusi tentang multikulturalisme, untuk menunjukkan formasi sosial yang beroperasi dalam kelompok yang plural dan sejajar daripada kelompok yang terasialisasi secara hirarkhis. Konsekuensinya, Hooks (1990) dan Gil Roy (1987) lebih suka memakai konsep “ras”, bukan karena ia berhubungan dengan keabsolutan biologis atau kultural, tetapi karena ia berhubungan dengan isu kekuasaan. Sebaliknya Hall (1996) mencoba membangun kembali konsep etnisitas dengan

   memusatkan perhatian pada dimana kita semua terlokasikan secara etnis.

  Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etnis berarti sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bangsa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan atau tidak), sisitem nilai, serta adat istiadat dan tradisi.

  Menurut Fredrick Barth istilah etnis adalah suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut pada sistem sistem nilai budayanya. Keompok etnis adalah kelompok orang-

  

  orang sebagai suatu populasi yang: • Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

  • Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatubentuk budaya.
  • Membentuk jaringan komunikasi dan inetraksi sendiri.
  • Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

F. Metodologi Penelitian F.1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subyek penelitian. Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat dari individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan

   dalam survey, wawancara, ataupun observasi.

  F.2. Lokasi Penelitian 32 Lokasi pada penelitian ini adalah di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Fredrik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) 1988, hal. 11.

  Medan Tuntungan Kota Medan.

  F.3. Populasi dan Sampel

   1. Populasi

  Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Populasi mempunyai lambang

  

  (N). Dalam hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Karo yang telah memiliki hak suara di dalam pemilihan umum kepala daerah Kota Medan pada Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan yang berjumlah 2.896 jiwa.

  2. Sampel

  Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk meneliti semua yang ada dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Untuk itu sampel yang

   diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).

  Dikarenakan populasi yang bersifat heterogen atau tidak homogen, maka pada teknik penarikan sampel menggunakan Teknik Proportionate Stratified 34 Random Sampling , yakni populasi yang mempunyai anggota atau unsur yang

Husein Umar, Metode Riset Bisnis, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.h.65.

  tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Beberapa peneliti menyatakan, bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari

  

  10%, disebabkan jumlah populasi cukup besar yaitu 000 orang, maka adapun rumus yang digunakan untuk menentukan dan pengambilan sampel adalah rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane,

  N n =

  

2

N.d + 1

  Keterangan: n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi d = Presisi, ditetapkan 10% dengan derajat kepercayaan 90% Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah: 2.896 n = 2.896 . (10%)² +1 2.896 n = 29.96 n = 96,6 atau 97 orang

  F.4. Teknik Pengumpulan Data

Dokumen yang terkait

Perbandingan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan Putaran I Dan II Tahun 2010 Di Kecamatan Medan Denai

1 37 82

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Kepala Daerah 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar Medan Kota

0 50 99

Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010-2014 Di Kecamatan Medan Denai.

9 67 76

Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 Kota Medan Di Lingkungan Vi Kelurahan Pusat Pasar Medan Kecamatan Medan Kota

1 41 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Implementasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Tentang Pembatasan Alat Peraga Kampanye (Studi: Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Medan Pada Pemilihan Legislatif Kota Medan 2014 di Kecamatan Medan Sunggal)

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Dinamika Nazareth Musik Tiup Pada Masyarakat Karo Di Desa Surbakti Kecamatan Simpang IV Kabupaten Karo.

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 42

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang - Pengaruh Pendapatan Keluarga terhadap Partisipasi Politik Perempuan pada Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara 2013 di Kelurahan Tanjung Selamat.

0 0 33