Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Kepala Daerah 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar Medan Kota

(1)

TINGKAHLAKU POLITIK ETNIS TIONGHOA

DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2010 DI KELURAHAN PUSAT PASAR MEDAN KOTA

OLEH

LIDYA MAHDALENA 080906027

Dosen Pembimbing : Drs. Tonny Situmorang, Msi Dosen Pembaca : Adil Arifin, S.sos, MA

DEPARTMENT ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilukada 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota

Nama: Lidya Mahdalena Nim: 080906027

Department: Ilmu Politik

Fakultas: Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.

ABSTRAKSI

Tingkahlaku politik merupakan berbagai kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Tingkahlaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Tingkahlaku politik atau Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu.

Skripsi ini telah dilakukan di kelurahan pusat pasar, kecamatan medan kota. Tujuan dari penelitian ini untuk menggambarkan secara umum tingkahlaku politik dari etnis tionghoa dengan preferensi politiknya pada pemilukada 2010 serta untuk mengetahui tingkat pasrtisipasi mereka dalam kegiatan tersebut. Didalam penelitian ini, populasinya adalah pemilih yang berasal dari etnis tionghoa yang terdaftar dalam pemilukada dikelurahan pusat pasar kecamatan medan kota. Penelitian hanya dilakukan kepada masyarakat yang telah berumur diatas 17 tahun atau yang sudah menikah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota, dengan teknik pengumpulan data, yakni penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan wawancara.

Dari hasil penelitian didapat bahwa etnisitas tidak memberikan pengaruh terhadap referensi politik dari etnis tionghoa tersebut pada pemilukada 2010 yang lalu.

Kata kunci: Etnis, Tingkahlaku Politik, Etnis Tionghoa, Pemilukada 2010, Partisipasi Politik


(3)

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilukada 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota

Nama: Lidya Mahdalena Nim: 080906027

Department: Ilmu Politik

Fakultas: Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.

ABSTRACK

Political behaviour of the various activities of a person or group in political activities. Political behavior as the activity related to decision-making process and politics. Political behaviuor include internal responses such as perceptions, attitudes, orientations and beliefs as well as concrete actions such as voting, protesting, lobbying and so on. Political perceptions related to the description of a particular object, whether the statement, the information of something, or a picture of the object or the political situation in a certain way.

This thesis has been carried out in the Kelurahan Pusat Pasar, Kecamatan Medan Kota. The purpose of this study to describe the general behaviour of the Chinese people by their political preferences on the 2010 election and to determine the level of their partisipation in these activities. In the present study, the population of voters who came from the Chinese people in kelurahan Pusat Pasar, kecamatan Medan Kota. The subject for this research is done people who are at last17 years old or who are married. And the methodology of this research is a deskriftive kualitatif method, that by literature and research and interview.

The results obtained is that the ethnic factors of the Chinese people in Kelurahan PUsat Pasar, Kecamatan Medan Kota, in the 2010 election has not axist


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan yang serendahnya sebagai hamba yang hanya mampu bersujud dihadapan-Mu, sang khalik Allah SWT pemilik dari segala sesuatu, atas berkat dan Rahmat-Mu, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

“Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Pada Pemilukada 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota. Tidak lupa juga pada sang idola Muhammad SAW sebagai perpanjangan tangan dari Allah bagi alam, yang telah membumikan Al-Quran dalam menjawab permasalahan umat manusia, juga sebagai suri tauladan penulisan dalam aktifitas kesehariannya.

Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Rangkaian dalam penyelesaian skripsi ini banyak pengalaman yang cukup berharga untuk diingat, mulai dari kondisi mental yang membuat terkadang semangat turun naik, kondisi fisik yang terkadang tidak bisa kompromi, pergolakan pemikiran tentang agama Allah yang kerap masih terus mencari demi mendapatkan Ridho-Nya.

Skripsi ini berisikan tentang tingkahlaku politik etnis Tionghoa pada pemilikada 2010 yang lalu di kelurahan Pusat Pasar, kecamatan Medan Kota, beserta gambaran partisipasi mereka dalam mengikuti pemilihan Kepala Daerah 2010 yang lalu. Bagi sebagian masyakarat etnis Tionghoa, ikut memberikan suaranya dalam pemilukada merupakan hal yang mengesankan, karena ini hanya terjadi dalam lima tahun sekali. Walau ada banyak faktor yang mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan mereka pada saat pemilu atau pemilukada. Skripsi ini juga memaparkan apa yang menjadi harapan warga Tionghoa di kelurahan pusat Pasar tentang calon Kepala Daerah yang mereka pilih.


(5)

Mendapat dalam segala bentuk yang sekarang adanya, karena minat dan pertolongan dari banyak orang dan pihak-pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih dengan penuh suka cita dan dengan senang hati penulis sampaikan kepada mereka yang namanya tidak mungkin penulis ucapkan satu persatu disini, namun ada beberapa nama yang dapat penulis sebutkan yang sangat berpengaruh besar dalam penyelesaian skripsi ini, yakni:

1. Yang paling utama penulis sangat berterima kasih kepada Allah SWT, karena Ridho-Nya, dan nikmat kesehatan yang diberinya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

2. Dan untuk orangtua yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk Ayah, Ibu, dan adik-adik ku tersayang. Terima kasih untuk doa kalian. Untuk semangat dan dukungan kalian, terlebih semangat yang ingin lihat aku cepat-cepat wisuda ^_^

3. Terima kasih untuk pak Drs. Tony Situmorang, Msi, selaku dosen pembimbing saya, yang selalu membimbing, berbagi sarannya guna perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Dan berjuta terima kasih pula untuk bg Adil Arifin, S.sos, MA, selaku dosen pembaca sekaligus pembimbing saya dalam perbaikan skripsi ini. Terima kasih bang untuk waktunya, untuk kesabarannya, dan ilmu-ilmunya dalam membantu penyelesaian dan perbaikan skripsi ini. Akhirnya skripsi ini selesai juga, dan semuanya tidak berarti apa-apa tanpa bantuan abang.

5. Terima kasih yang tak terhingga pula penulis ucapkan untuk My Honey, Said Yogi Pratama. Terima kasih untuk waktunya honey, nganterin, temeni kesana kemari, hehe. Terima kasih udah mau berbagi kerepotan, kepanikan, capek, dalam penyelesaian skripsi


(6)

ini. Terima kasih juga untuk semangatnya, dan untuk kesabarannya demi penyelesaian skripsi ini. Love you so much ^_^

6. Untuk sahabat terbaik aku sekaligus pembimbing ke dua dalam penyelesaian skripsi ini, Velayati Hajad. Terima kasih beibeh. Terima kasih untuk saran-sarannya, masukan dan kritikannya, dan berbagai inspirasi yang vela berikan dalam penulisan skripsi ini.

7. Dan untuk teman-teman seperjuangan, teman-teman yang juga membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini: Rayu Margaret, Efridayanti Nst, Fransiska Dabutar, Wina Hsb, Melisa, Intan khalizah. Makasih ladies. Kalian adalah wanita-wanita super yang pernah ku kenal. Ayo kebut terus skripsinya. Biar bisa wisuda bareng-bareng kita. Tetap semangat ladies ^_^

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian guna penulisan yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 18 Juli 2010 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. ... Latar Belakang ... 1

B.... Perumusan Masalah ... 7

C.... Tujuan Penelitian ... 8

D. ... Manfaat Penelitian ... 8

E. ... Kerangka Teori ... 8

E.1 Etnisitas... 8

E.2 Partisipasi Politik ... 8

E.3 Perilaku Pemilih ... 11


(8)

E.3.2 Pola Pengembangan Pemilih ... 25

E.4 Pemilihan Umum ... 25

E.5 Pemilihan Kepala Daerah ... 29

F. ... Metodologi Penelitian ... 31

F.1 Jenis Penelitian ... 31

F.2 Lokasi Penelitian ... 32

F.3 Teknik Pengumpulan Data ... 33

F.4 Teknik Analisis Data ... 33

G. ... Sistematika Penulisan ... 33

BAB II: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN... 34

A.Lokasi Geografis ... 34

B.Demografi Penduduk ... 34

C.Pusat Ekonomi di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota. ... 36

D.Kepemerintahan ... 39

E. Hasil Pemilikada 2010 di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota.42 BAB III: PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA ... 46

A... Partisipasi Politik Etnis Tionghoa dalam Pemilukada 2010... 46

B. ... Alasan Warga Tionghoa Ikut Dalam Pemilukada 2010 ... 49


(9)

a. ... Hak pilih Sebagai Bagian Dari Hak Asasi ... 50

b. ... Ikut Dalam Pemilihan Umum Merupakan Kewajiban

Bagi Warga Negara ... 52 c. Hak Pilih Warga Negara Sebagai Sarana Pelaksanaan

Demokrasi Dalam Pemilu ... 53 d. Ikut Serta Dalam Menentukan Pemimpin Mereka

Lewat Pemilu ... 55

C. ... Alasan Masyarakat Etnis Tionghoa Dalam Menentukan

Atau Menjatuhkan Pilihannya Kepada Pasangan Calon

Kepala Daerah. ... 58

a. ... Masalah Etnisitas ... 62

b. ... Identitas dan Karekter Calon... 62

c. Faktor Ideologi Partai Tidak Mempengaruhi

Masyarakat Tionghoa Dalam Menentukan Pilihannya ... 69

D... Harapan Dan Keyakinan Masyarakat Etnis Tionghoa


(10)

E. ... Tanggapan Warga Etnis Tionghoa Mengenai Keterwakilan

Salah Satu Etnis Tionghoa Sebagai Calon Kepala

Daerah Pada Pemilukada 2010... 75

F. ... Masyarakat Etnis

Tionghoa Dan Partai Politik ... 79

G.... Memilih Dengan Bebas ... 82

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A... Kesimpulan ... 84

B. ... Saran 86


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Ragam Etnis Yang Ada di Kelurahan Pusat Pasar, Medan

Tabel 2: Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Agama Dan Kepercayaan Tabel 3: Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian

Tabel 4: Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Pada Tingkat Pendidikan Tabel 5: Daftar Nama Kepala Kelurahan Pusat Pasar Beserta Staf-Stafnya

Tabel 6: Daftar Nama Kepala Lingkungan Di Kelurahan Pusat Pasar

Tabel 7: Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 Putaran I Per TPS

Tabel 8: Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 Putaran II Per TPS

Tabel 9: Rekapitulasi DPT di Kelurahan Pusat Pasar Per TPS Pada Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan Tahun 2010


(12)

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilukada 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota

Nama: Lidya Mahdalena Nim: 080906027

Department: Ilmu Politik

Fakultas: Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.

ABSTRAKSI

Tingkahlaku politik merupakan berbagai kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Tingkahlaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Tingkahlaku politik atau Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu.

Skripsi ini telah dilakukan di kelurahan pusat pasar, kecamatan medan kota. Tujuan dari penelitian ini untuk menggambarkan secara umum tingkahlaku politik dari etnis tionghoa dengan preferensi politiknya pada pemilukada 2010 serta untuk mengetahui tingkat pasrtisipasi mereka dalam kegiatan tersebut. Didalam penelitian ini, populasinya adalah pemilih yang berasal dari etnis tionghoa yang terdaftar dalam pemilukada dikelurahan pusat pasar kecamatan medan kota. Penelitian hanya dilakukan kepada masyarakat yang telah berumur diatas 17 tahun atau yang sudah menikah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota, dengan teknik pengumpulan data, yakni penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan wawancara.

Dari hasil penelitian didapat bahwa etnisitas tidak memberikan pengaruh terhadap referensi politik dari etnis tionghoa tersebut pada pemilukada 2010 yang lalu.

Kata kunci: Etnis, Tingkahlaku Politik, Etnis Tionghoa, Pemilukada 2010, Partisipasi Politik


(13)

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilukada 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota

Nama: Lidya Mahdalena Nim: 080906027

Department: Ilmu Politik

Fakultas: Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.

ABSTRACK

Political behaviour of the various activities of a person or group in political activities. Political behavior as the activity related to decision-making process and politics. Political behaviuor include internal responses such as perceptions, attitudes, orientations and beliefs as well as concrete actions such as voting, protesting, lobbying and so on. Political perceptions related to the description of a particular object, whether the statement, the information of something, or a picture of the object or the political situation in a certain way.

This thesis has been carried out in the Kelurahan Pusat Pasar, Kecamatan Medan Kota. The purpose of this study to describe the general behaviour of the Chinese people by their political preferences on the 2010 election and to determine the level of their partisipation in these activities. In the present study, the population of voters who came from the Chinese people in kelurahan Pusat Pasar, kecamatan Medan Kota. The subject for this research is done people who are at last17 years old or who are married. And the methodology of this research is a deskriftive kualitatif method, that by literature and research and interview.

The results obtained is that the ethnic factors of the Chinese people in Kelurahan PUsat Pasar, Kecamatan Medan Kota, in the 2010 election has not axist


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, yang disertai berbagai kekerasan terhadap masyarakat etnis Tionghoa dikota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Solo merupakan kejadian yang menarik perhatian dunia. Ini dapat terlihat dari beberapa fakta tentang kekerasan yang diterima etnis Tionghoa dari masa ke masa sebelum Reformasi. Bahkan ketidakadilan yang diterima oleh etnis Tionghoa telah berlangsung sejak penjajah masih menduduki Indonesia.

Tahun 1740. Kobaran api menjilat kota Batavia. Sekitar 100.000 warga Indonesia keturunan Tionghoa tewas dibantai oleh pemerintah kolonial Belanda. Tahun 1960. Program pribumisasi pemerintah (Perpu no.10) mengebiri hak-hak keturunan Tionghoa untuk berdagang pada tingkat pedesaan. Sekitar 120.000 warga dipulangkan secara paksa ke RCC ataupun kenegara-negara lainnya.1

Tahun 1967. Instruksi presiden (Inpres) no.14 tahun 1967 melarang segalanya yang serba Tionghoa di Indonesia, termasuk agama, kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan maupun sastra. Boleh dikatakan inilah awal ketidak beruntungan bagi warga etnis Tionghoa dalam zaman Orde Baru yang sarat diskriminasi, otoritarianisme, militerisme dan KKN-isme. Lebih lagi, melalui struktur penguasaan modal yang tidak berimbang, yang merupakan bagian dari rancangan legitimasi Orde Baru, terjadi penguasaan ekonomi sepihak oleh “cukong-cukong” Orde Baru yang dampaknya makin mengalienasikan serta memojokkan kaum etnis Tionghoa secara keseluruhan. Orang Tionghoa dianggap materialistis, serakah, asosial, tak peduli lingkungan, dan banyak lagi hal-hal yang terkesan negatif. Tahun 1998. Sentimen anti Tionghoa yang telah bertahun-tahun dipupuk dan sengaja dikembangkan diantara masyarakat berpuncak pada

Tahun 1965. Warga etnis Tionghoa ditangkapi, disiksa, bahkan dibunuh, tanpa proses pengadilan atau prosedur yang jelas, atau tuduhan komunisme. Di wilayah-wilayah diluar pulau Jawa, ribuan anak-anak keturunan Tionghoa yang ikut disekap dalam kamp-kamp konsentrasi meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi.

1


(15)

kerusuhan rasial 14-15 Mei, yang berakhir dengan penjarahan, penyiksaan dan pemerkosaan masal terhadap warga etnis Tionghoa.

Banyaknya fakta ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia sebelum Reformasi merupakan bukti bahwa perjuangan mereka untuk mencapai kemakmuran dalam bidang politik maupun ekonomi di negeri ini tidak mudah. Terlebih ketika Jepang menduduki Indonesia. Golongan Tionghoa diurus secara terpisah dari penduduk asli serta didorong agar mempertahankan identitasnya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika UUD 1945 yang diterima oleh para nasionalis menentukan bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah seorang Indonesia asli”. Ini dapat diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap Tionghoa lokal dan golongan peranakan lainnya.

Ketika Indonesia menjadi negara berdaulat penuh tahun 1949, situasi etnis Tionghoa mengalami perubahan kecil karena banyak partai politik pribumi membuka keanggotaan bagi Tionghoa peranakan. Kelunakan dalam penerimaan anggota peranakan ini merupakan kelanjutan dari suatu kecendrungan baru (dengan adanya konflik Belanda-Indonesia) untuk mempergunakan hal tersebut sebagai sarana memperoleh dukungan Tionghoa lokal demi mencapai tujuan para nasionalis Indonesia. Sebagai golongan Tioanghoa menunjukkan kemauan mereka untuk bergabung dalam partai-partai pribumi karena keyakinan politik, pertimbangan jangka panjang, atau karena tak ada pilihan lain. PNI, PSII, Partai Sosialis Indonesia dan Partai Katolik memiliki beberapa anggota peranakan Tionghoa dalam kepemimpinannya.2

Dalam periode “Demokrasi Liberal” (1949-1958) sedikitnya ada enam anggota parlemen yang peranakan Tionghoa, dan sebagian anggota ditunjuk.

PKI masih tetap mempunyai anggota peranakan. Akan tetapi pemimpinnya yang pemuncak, yaitu Tan Ling Djie, dikeluarkan dari Politbiro pada tahun 1953 dan digantikan oleh D.N. Aidit, seorang Indonesia asli.

3

2

Misalnya, Dr. Ong Eng Die dan drs Yap Tjwan Bing bergabung dengan PNI, mr Tan Po Goan bergabung dengan PSI, dr Lie Kiat Teng bergabung dengan PSII, dan mr. Tjoeng Tin Jan bergabung dengan partai katolik.

Tionghoa peranakan juga masuk

3

Ketika Republik Indonesia Serikat didirikan dan parlemen dibentuk tanggal 15 Februari 1950, enam diantara 151 anggota parlemen adalah peranakan Tionghoa. Dua diantaranya mewakili pemerintahan Republik (Siauw Giok Tjhan dan drs Yap Tjwan Bing), seorang mewakili Indonesia bagian Timur (mr Teng Tjin Leng), dua orang mewakili Jawa Timur (ir. Tan Boeng Aan dan mr Tjoa Sie Hwie). Dan seorang mewakili Kalimantan Barat (Tjoeng Lin Sen). Parlemen tersebut segera diganti dengan DPR sementara (16 Agustus 1950 – 26 Maret 1956) dengan 8 diantara 236 anggotanya peranakan Tionghoa, mereka adalah: Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Goan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (diganti Tio Kiang Soen pada bulan April 1954), Tjoeng Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (diganti Tony Wen pada bulan Agustus 1954). Dalam parlemen yang terbentuk


(16)

dalam kabinet walaupun kedudukan mereka bukan diposisi yang sangat penting, misalnya Dr. Ong Eng Die ditunjuk sebagai menteri keuangan (1953-1955) dan Dr. Lie Kiat Teng diangkat menjadi Menteri Kesehatan (1953-1955).4

Ketika Soekarno memperkenalkan “Demokrasi Terpimpin” (1959-1965) setelah Demokrasi Liberal tumbang, golongan Tionghoa peranakan selalu masuk, baik dalam parlemen maupun kabinet. Dibawah “Orde Baru” Soeharto organisasi sosio-politik etnis Tionghoa dilarang atau dibekukan. Kaum Tionghoa yang berminat dalam bidang politik hanya boleh bergabung dalam partai-partai pribumi yang sudah ada. Beberapa orang peranakan Tionghoa masih ditunjuk sebagai anggota parlemen, tapi tidak ada yang menduduki jabatan menteri.5

Namun seiring berjalannya waktu, seakan-akan habis gelap, terbitlah terang. Bangsa Indonesia mendapatkan seorang Presiden baru, Abdurrahman Wahid, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri: Ia menghapus Inpres no.14 tahun 1967 dan menggantinya dengan Keppres no. 6 tahun 2000. Perayaan tahun baru Imlek, Barongsai, Cap Gomeh, Festival Peh Cun dan tradisi berperahu dikali Cisadane kembali mewarnai dinamika kota-kota besar di Indonesia. Untuk pertama kalinya setelah 32 tahun, perayaan Imlek dapat dilakukan dengan terbuka dan sah, tanpa harus sembunyi-sembunyi. Ruang “demokrasi” sudah terkuak. Euforia “kebebasan” mulai bergema. Kebebasan memang merupakan konsep yang sungguh luar biasa.6

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa partisipasi dan peran aktif warga Tionghoa dalam dinamika sosial, politik dan kultural di kawasan Medan kian membaik sejak Reformasi. Terlihat dari kebebasan yang diberi pemerintah dalam segala aspek politik ataupun segala kegiatan Pemilu dan ekonomi. Revitalisasi atas peran warga etnis Tionghoa di era Reformasi sekarang ini semakin mendapat momentumnya setelah sejumlah tokoh Tionghoa terpilih sebagai

setelah hasil pemilihan umum tahun 1955, 9 diantara 272 anggota adalah peranakan Tionghoa, 6 diantaranya ditunjuk (Lie Po Yoe, Oei Tjeng Hien, Tan Eng Hong, Tan Kiem Liong, Tjoeng Tin Jan, dan Ang Tjiang Liat), dan dua diantaranya dipilih (Siauw Giok Tjhan dari Baperki dan Tjoo Tik Tjoen dari PKI). Lihat seperempat abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Seketariat DPR (dalam buku Dr. Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,) 1970 Hlm 586-596

4

Leo Suryadinata, Dilema Minorotas Tionghoa, Jakarta: Grafiti Pers.1984, hlm 6. 5

Ketika Orde Baru terbentuk, jumlah anggota DPR keturunan Tionghoa berkurang menjadi empat: Liem Biam Khoen (mewakilik kelompok mahasiswa); L.B.G. surjadinata (nama asli Lie Beng Gio, Parkindo); Lo S.H Ginting (partai katolik. Dan Harry Tjan Silalahi (partai katolik). Setelah pemilihan umum 1971, hanya ada dua orang anggota DPR keturunan Tionghoa, Budi Dipojuwono (nama asli Lie Poe Yoe, PNI), dan Djoko Sudjatmiko (nama asli Lie Giok Houw, Golkar)

6


(17)

menteri kabinet dan sebagian lainnya terpilih menjadi wakil rakyat di DPR maupun DPRD. Bahkan Pemilukada kota Medan yang berlangsung pada tahun 2010 lalu, telah pula menjadi wahana bagi warga suku Tionghoa untuk melakukan revitalisasi atas peran kesejarahannya tersebut. Melalui keikutsertaan dr. Sofyan Tan, seorang tokoh masyarakat Tionghoa di kota ini, Pemilukada kota Medan yang berlangsung 12 Mei 2010 telah menjadi momentum bagi etnis Tionghoa menunjukkan peran dan keberadaannya sebagai bagian integral dalam kehidupan warga kota Medan khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Etnis Tionghoa sabagai rakyat Indonesia merupakan unsur yang penting dalam sebuah pemerintahan negara, dimana keterlibatan mereka didalam pelaksanaan pemerintah mutlak menjadi prioritas sebagai pemerintahan yang ideal. Dilematisnya di Indonesia adalah bagaimana sebuah negara menerapkan konsep pemerintahan rakyat tersebut secara ideal didalam tatanan masyarakat yang heterogen dan kompleks strukturnya, tentunya dibutuhkan sebuah formulasi pemerintahan rakyat yang dapat menjawab dan mewakili semua kepentingan rakyat.

Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang ada di Indonesia, generasi pertamanya berasal dari pelabuhan Xiamen Provinsi Fujian berlayar menuju Singapura dan Indonesia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, yang pada kenyataanya mereka mengalami perjuangan yang keras dan berbagai penderitaan. Mereka hidup pada saat itu hanyalah sebagai kuli, buruh, tukang air, dan sebagai pedagang kecil. Namun selang beberapa tahun kemudian, mereka berhasil melakukan pembangunan dan perubahan, diantaranya menjadi pengusaha dan banker ternama. Di Indonesia, disebut lima nama sebagai konglomerat yang menguasai perekonomian Indonesia saat ini, yaitu: Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Mochtar Raddy, Suhargo Gondokusumo, dan Projogo Pangestu.7

Sedemikian suksesnya warga Tionghoa tersebut dalam bidang ekonomi, sehingga muncul pendapat/stigma yang beredar bahwa warga Tionghoa menguasai 70% perekonomian Indonesia.8

7

Bobby Irwansyah, Tingkat Ekonomi dan Pertisipasi Etnis Tionghoa dalam Pemilukada kota Medan, Jurnal Politea Vol.2 No.2 Juli 2010, Politea Jurnal Ilmu politik, hlm 90

Sebagai etnis Tionghoa, kehidupan sosial mereka cenderung tertutup dengan etnis lain yang ada di Indonesia. Terkadang terjadi pengelompokan-pengelompokan sosial, baik dari tempat tinggal, sekolah, dan lain sebagainya, termasuk adanya diskriminasi terhadap mereka dari berbagai pihak.

8


(18)

Mata pencaharian mereka kebanyakan bergerak disektor perdagangan dan bisnis. Secara tidak langsung tingkat ekonomi mereka lebih tinggi dari etnis – etnis lain. Kebanyakan dikarenakan akses terhadap pemilikan sumber – sumber daya yang mereka kuasai dan mereka kelola. Dari segi pendidikan juga terlihat kebiasaan mereka lebih menekuni bidang pendidikan yang aplikatif, terutama pendidikan ekonomi dan pengetahuan bisnis.

Keterlibatan mereka didalam dunia politik bisa dikatakan sangat minin atau rendah, walaupun pada masa Reformasi ini ada sedikit peningkatan seperti selama pemilu legislatif. Sejumlah media mencacat setidaknya 150 caleg Tionghoa, meskipun pada akhirnya hanya sebagian kecil yang berhasil mendapatkan kursi diberbagai daerah. Muncul berbagai kreasi partisipasi politik yang dulu terasa minin sekali, mulai dari peningkatan keanggotaan partai politik, inisiatif debat/diskusi politik oleh asosiasi Tionghoa, kampanye partai politik, sampai sosialisasi proses pemilu, namun belum signifikan dan seperti yang diharapkan.9

Salah satu kelurahan dikota Medan yang mempunyai mayoritas etnis Tionghoa adalah kelurahan pusat pasar Medan Kecamatan kota Medan. Kelurahan pusat pasar Medan terdiri dari Sembilan lingkungan dengan jumlah penduduk keseluruhan 6194 orang, mayoritas mata pencaharian penduduk di Kelurahan Pusat Pasar tersebut adalah berdagang, ini dapat dilihat dengan jumlah yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha, yaitu sebanyak 4960 orang.

Etnis Tionghoa kebanyakan hanya berpartisipasi sebatas memperlancar atau mendukung tujuan dan kepentingan mereka, seperti halnya untuk memperlancar bisnis. Partisipasi Tionghoa sebatas keuntungan ekonomis.

10

Penduduk yang hampir keseluruhannya memilih calon Kepala Daerah yang beretnis Tionghoa di Kelurahan Pusat Pasar Medan memang total mendukung Sofyan Tan yang beretnis Tionghoa. Sofian Tan yang berpartisipasi pada pemilihan Kepala Daerah tahun 2010 lalu juga ingin menunjukkan bahwa etnis Tionghoa tidak tertutup pada dunia politik, etnis Tionghoa juga ingin memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Walaupun beliau kalah dalam pemilihan tersebut, tetapi ini menunjukkan minat positif dari etnis Tionghoa terhadap dunia politik. Kisah Sofian Tan ini mengingatkan kita pada seorang calon Bupati Bangka Belitung Timur, Ir Basuki Tjahaya

9

Cristin Sussana Tjhin, Partisipasi Politik Tionghoa dan Demokrasi, Harian Umum Kompas (20 September 2004) hlm. 2. 10


(19)

Purnama yang juga beretnis Tionghoa namun tinggal di daerah yang kebanyakan penduduknya beragama Islam. Kesuksesan Ir Basuki Tjahaya Purnama memperoleh suara terbanyak didaerah yang bermayoritas Muslim ini menginspirasi Sofian Tan untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2010.

Kebutuhan penegakan demokrasi di Indonesia pasca Reformasi mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai pada tataran pemerintahan lokal (daerah). Maka Pemilihan Umum maupun Pemilukada sebagai jawaban dalam pemenuhan kebutuhan tersebut untuk menegakkan demokrasi sekaligus sebagai solusi dalam rangka mengembalikan supremasi rakyat dalam politik dan legitimasi kekuasaan. Ini bisa dilihat dari pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada yang berdasarkan suara terbanyak telah dimulai di daerah- daerah di Indonesia. Demokrasi dianggap sebagai pemerintahan ideal yang terbaik untuk diterapkan di negara–negara didunia yang diharapkan mampu menjawab permasalahan rakyat dan menegakkan kedaulatan rakyat, seperti yang ditegaskan oleh Dahl bahwa demokrasi mengacu pada suatu ideal atau tipe khusus rezim yang nyata dalam artian ideal, demokrasi merupakan suatu kondisi tertib politik kenegaraan yang paling sempurna.11

Pemilukada 2010 yang dilaksanakan dikota Medan misalnya, daerah ini turut menentukan tingkat demokratisasi di daerah khususnya kota Medan, ibu kota Sumatera Utara. Semakin tinggi partisipasi rakyat setempat dalam pemilihan umum, semakin tinggi pula tingkat demokratisasi didaerah tersebut.

Oleh karena itu, terlepas dari perolehan suara yang diraih dr. Sofyan Tan, Pemilukada kota Medan telah menjadi bukti peran serta warga etnis Tionghoa di kota ini. Namun demikian, keberhasilan Pemilukada tersebut tidak bisa hanya diukur secara kuantitatif melalui besar kecilnya partisipasi warga masyarakat, khususnya dari kalangan suku Tionghoa. Sebagai ibukota provinsi, Pemilukada kota Medan seharusnya dapat pula menjadi barometer untuk mengukur kedewasaan berpolitik masyarakat dan sekaligus etalase untuk melihat kemajuan berdemokrasi di daerah ini.

11


(20)

Peran aktif dan partisipasi itu tentu saja tidak sekedar memberikan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), tapi lebih dari itu harus diwujudkan melalui keterlibatan secara total dari seluruh warga suku Tionghoa di Medan dalam ikut membangun tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik dalam semua aspeknya. Terutama karena sampai hari ini masih begitu banyak permasalahan mendasar di kota Medan yang menuntut perhatian kita bersama

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan dan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan,12

C. Tujuan Penelitian

atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan atas identifikasi masalah. Berdasarkan penjelasan diatas dan berangkat dari latar belakang masalah, peneliti mencoba merumuskan permasalahan yaitu “ Bagaimana Tingkah laku Politik Etnis Tionghoa pada Pemilukada 2010 di kelurahan Pusat Pasar Medan Kota?”

Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengeksplorasi seberapa besar partisipasi maupun berbagai tingkah laku politik etnis Tionghoa pada Pemilukada 2010 yang lalu di kelurahan Pusat Pasar Kecamatan Medan Kota.

2. Untuk melihat apakah ada rasa kesukuan oleh warga etnis Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar Medan Kota dalam menentukan pilihan politiknya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan penulis adalah :

1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi prilaku politik khususnya di Medan dan umumnya di Indonesia.

12


(21)

2. Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui karya ilmiah melalui penelitian ini.

3. Bagi akademis, dapat menjadi bahan acuan ataupun referensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia.

4. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih diprioritaskan kepada perilaku politik masyarakat secara umum.

E. Kerangka teori E.1 Etnisitas

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan maupun tidak), system nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.13

Menurut Frederik Barth istilah etnik adalah suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnis adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang: 14

• Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan

• Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya

• Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri

• Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, atau menempati lingkungan

13

http//Smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html. Diakses pada tanggal 25 Juni 2012. 14

Fredrik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988,


(22)

geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Agama kadangkala menjadi ciri identitas yang penting bagi suatu etnis, tapi kadangkala tidak berarti apa-apa, hanya sebagai kepercayaan yang dianut anggota etnik.

Disamping itu, menurut Antropolog Indonesia, Hassan Shadily MA, berpendapat bahwa etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis. Diferensiasi etnis merupakan penggologan manusia berdasarkan ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras. Namun etnis memiliki ciri-ciri paling mendasar yang lain, yaitu adanya kesamaan budaya. Etnis memiliki kesamaan seperti ciri fisik, kesenian, bahasa, daerah, dan adat istiadat.15

Dalam antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas mengenai etnisitas,16

Menurut perspektif teori situasional, etnik merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras. Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang. Contoh yang paling jelas adalah pembentukan identitas etnik Dayak. Istilah Dayak diberikan oleh kolonial Belanda untuk menyebut seluruh penduduk asli pulau Kalimantan. Padahal sesungguhnya etnik Dayak terdiri dari banyak subetnik ( yang sebenarnya sebagai etnik sendiri yang sangat berbeda satu sama lain, seperti Benuaq dan Ngaju). Istilah Dayak sendiri tidak dipergunakan sebagai identitas mereka. Mereka menyebut diri sebagai orang Benuaq jika itu etnis Benuaq.

selain teori primordial, dua lainnya adalah teori situasional, dan teori relasional. Teori situasional berseberangan dengan teori primordial. Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu. Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.

15

http://sosiologiaghasi.blogspot.com/2010/02/diferensiasi-sosial-dan-sertifikasi.html. Diakses pada tanggal 25 Juni 2012. 16


(23)

Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda; etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok.

ETNISITAS SEBAGAI KESATUAN HIDUP MANUSIA YANG MEMILIKI

KEBUDAYAAN DAN TRADISI YANG UNIK, MEMBUAT MEREKA-MEREKA MEMILIKI IDENTITAS KHUSUS DAN BERBEDA DENGAN KELOMPOK LAINNYA, DAN ETNISITAS MERUPAKAN BAGIAN DARI POPULASI YANG LEBIH BESAR YANG DISEBUT DENGAN BANGSA. Etnisitas masih menjadi kajian penting dalam diskursus tentang identitas keIndonesiaan. Sejarah panjang Nusantara hadir dengan keragaman adat dan etnis dalam konteks persatuan yang dicitakan oleh idealisme kuasa. Konsepsi nusantara inilah yang menjadi model, bagaimana etnisitas menjadi penanda pluralitas, namun dibingkai dalam semangat integrasi maupun bayang-bayang kekuasaan.

E.2 Partisipasi Politik

Dalam analisis politk modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, dan akhir – akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, tetapi dengan perkembangannya demokrasi banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin mempengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan umum.

Secara umum, partisipasi politik dapat diartikan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menjadi anggota salah satu partai, dan lain sebagainya. Partisipasi politik


(24)

secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.

Menurut McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat Partisipasi politik adalah kegiatan – kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.17

Di negara – negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan – tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang – orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaaan politik yang absah oleh rakyat.

Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.

18

Anggota yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang – kurangnya diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek politik.

Dari penjelasan tersebut, orang kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggara pemerintah. Perasaan kesadaran seperti ini dimulai dari orang yang berpendidikan, yang kehidupannya lebih baik, dan orang – orang terkemuka. Pada mulanya di Eropa hanya elit masyarakat saja yang diwakili didalam perwakilan. Di Amerika perempuan baru mempunyai hak suara setelah adanya Amandemen ke-19 pada tahun 1920. Tetapi perlahan – lahan keinginan untuk berpartisipasi menjangkau semua sektor masyarakat, laki – laki dan perempuan dan mereka menuntut hak untuk bersuara.

17

Herbert McClosky. Political Participant. dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008. Edisi revisi: Cetakan ke dua. hlm 367.

18


(25)

Berikut ini dikemukakan sejumlah “rambu-rambu” partisipasi politik menurut Ramlan Surbakti :19

A. partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya,

B. kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi perilaku selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternatif kebijakan umum, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah.

C. kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.

D. kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu mempengaruhi pemerintah dengan menggunakan perantara yang dapat meyakinkan pemerintah.

E. mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap muka, dan penulis surat atau dengan prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan, demonstrasi, mogok, kudeta, revolusi, dan lain-lain.

Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini, tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi juga menunjukkan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi. Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa.

Partisipasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu :20

1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan berorientasi pada output dan input politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan.

19

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo. 1999, hlm 141

20


(26)

2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan beriroentasi pada output politik. Pada masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.

Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori ini, yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan sistem politik dari apa yang telah mereka cita-citakan. Kelompok tersebut disebut kelompok apatis (golput).

Adapun kategori partisipasi politik menurut Milbrath adalah sebagai berikut :21

1. Kegiatan Gladiator meliputi :

A. Memegang jabatan publik atau partai

B. Menjadi calon pejabat

C. Menghimpun dana politik

D. Menjadi anggota aktif suatu partai

E. Menyisihkan waktu untuk kampanye politik

2. Kegiatan transisi meliputi :

A. Mengikuti rapat atau pawai politik

B. Memberi dukungan dana partai atau calon

C. Jumpa pejabat publik atau pemimpin politik

3. Kegiatan monoton meliputi :

A. Memakai simbol/identitas partai/organisasi politik

B. Menjajak orang untuk memilih

C. Menyelenggarakan diskusi politik

D. Memberi suara

4. Kegiatan apatis/masa bodoh.

Artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik

Partisipasi politik, sebagai suatu aktivitas, tentu banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak pendapat yang menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik. Ada yang menyoroti faktor-faktor dari dalam diri seseorang, ada yang menyoroti faktor-faktor

21

http://petarukancivics.blogspot.com/2010/03/partisipasi-politik.html?zx=fedf08e65eee67f8. Diakses pada tanggal 25 Juni 2012.


(27)

dari luar dan ada yang menggabungkannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah : 22

1. Kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap pemimpinnya.

Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu :23

1. Partisipasi politik aktif, jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang tinggi.

2. Partisipasi politik apatis, jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.

3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah, sedangkan kepercayaan politiknya tinggi.

4. Partisipasi politik militant radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah.

E.3 Perilaku Pemilih

Menurut Fadilah Putra Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok.24

22

Ramlan Surbakti, Op cit, hlm 143.

Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para konsensus untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudikan termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Disamping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen masyarakat tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, dimana ideology dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai tertentu. Mereka

23

ibid, hlm 144. 24

http://edikusmayadi.blogspot.com/2011/04/perilaku-politikpemilih.html. Diakses pada tanggal 25 Juni 2012. 25


(28)

‘menunggu’ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.25

Perilaku pemilih adalah keikutsertaan warga dalam Pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Perilaku pemilih menjawab pertanyaan apakah warga masyarakat menggunakan hak pilihnya atau tidak. Untuk memahani kecenderungan perilaku memilih mayoritas masyarakat secara akurat dapat dikombinasikan dalam dua pendekatan yang relevan, yaitu:26 Pertama, pendekatan psikologi sosiologi. Konsep ini merujuk kepada persepsi pemilih atas partai – partai yang ada atau keterkaitan emosional pemilih terhadap partai. Konkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh partai – partai lain. Kedua, pendekatan rasional. Dalam pendekatan ini, kegiatan memilih dipandang sebagai produk kalkulasi untung rugi. Pertimbangan untung rugi terutama digunakan untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.27

Yang dapat dinyatakan sebagai pemilih dalam Pemilukada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konsituen maupun masyarakat pada umumnya. Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung.

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Colombia mengenai perilaku pemilih, perilaku memilih ditentukan oleh status sosial ekonomi, agama dan daerah tempat tinggal. Jadi, jika seseorang berada di status sosial ekonomi tertentu, berarti ia memilih parpol tertentu. Jika ia beragama tertentu, ia akan memilih parpol tertentu. Dan, jika ia tinggal di daerah tertentu, ia maka akan memilih parpol tertentu. Penelitian ini dikenal dengan sebutan Mazhab Colombia. Mazhab ini juga dikenal dengan nama pendekatan sosiologis atau sosial struktural.

26

Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Jakarta. Pustaka Eureka, hlm 56. 27


(29)

Setelah pendekatan sosiologis, kemudian muncul pendekatan sosial psikologis yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang lebih menekankan pada faktor kelompok sosial dimana individu berada (sosiologis), pada pendekatan sosial psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri. Menurut pendekatan sosial psikologis, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku memilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi isu atau tema dan orientasi kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut misalnya, lemah hingga kuat. Lalu, yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu-isu apa saja yang diangkat oleh parpol tersebut. Sedangkan, yang dimaksud orientasi kandidat adalah siapa yang mewakili parpol tersebut. Menurut pendekatan sosial psikologis, tiga faktor itulah (identifikasi partai, orientasi tema dan orientasi kandidat) yang akan menentukan perilaku memilih. Lalu, setelah pendekatan sosial psikologis, muncul pendekatan baru yang dinamakan dengan pendekatan ekonomis. Pendekatan ekonomis biasa juga disebut dengan pendekatan rational-choice. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Lalu, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya. Berhubungan dengan pemilu, melalui pendekatan ini, pemilih diasumsikan mempertimbangkan segala pilihan yang ada, misalnya tiap-tiap parpol yang ada, tiap-tiap kandidat yang ada dan tiap-tiap kebijakan yang ada. Lalu, dilihat untung atau ruginya bagi individu. Pada akhirnya individu akan memilih yang memberi keuntungan paling besar dan kerugian paling kecil bagi dirinya. Namun pada kenyataannya, ketika mengambil keputusan, individu jarang sekali melakukan hal-hal yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa, biasanya individu tidak mengetahui setiap alternatif yang ada dan juga tidak mempertimbangkan setiap hasil yang mungkin muncul dari setiap alternatif. Oleh karena itu, setelah pendekatan ekonomis, muncul lagi pendekatan baru dalam melihat perilaku memilih. Pendekatan tersebut adalah pendekatan

behavioral decision theory. Pendekatan behavioral decision theory (BDT) mengasumsikan bahwa individu sebagai limited information processors, Pendekatan ini menganggap bahwa jumlah informasi yang dapat diolah oleh individu, sangat terbatas. Keterbatasan individu dalam memproses jumlah informasi, biasa juga disebut bounded rationality. Menurut pendekatan ini,


(30)

sebagai mahkluk rasional kognisi individu masih memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut diantaranya adalah Keterbatasan-keterbatasan dalam menyimpan jumlah informasi, keterbatasan dalam mengolah informasi dan keterbatasan dalam memanggil kembali informasi yang telah diolah.28

Meskipun sebenarnya individu tidak bisa melakukan pengambilan keputusan yang benar-benar rasional, seperti yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis, di tengah-tengah keterbatasannya tiap-tiap individu masih bisa membuat keputusan yang baik. Hal tersebut dimungkinkan karena individu mengembangkan sejumlah mekanisme kognitif untuk mengatasi keterbatasannya itu.

E.3.1 Konfigurasi Pemilih

Isu strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan dijawab oleh seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih rasional dalam menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri masih terdapat pemilih yang emosional dan tradisional. Figuritas dan popularitas kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri. Namun dari pada itu, perlu juga dilihat tipe ataupun jenis pemilih dalam konfigurasi pemilih, seperti yang terdapat dibawah ini,29

1. Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama ini terdapat pemilih rasional (rational voter), dimana pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy-problem-solving’ dan berorientasi rendah untuk factor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau, dan (2) program tawaran untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. (forward looking). Pemilih tidak hanya melihat program kerja atau platform partai yang berorientasi kemasa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanifestasikan pada reputasi dan citra (image) yang berkembang dimasyarakat. Dalam

28

http://webandikamongilala.wordpress.com/2010/09/03/perilaku-pemilih-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 26 Juni 2012. 29


(31)

konteks ini lebih utama bagi partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa membangun reputasi didepan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk mengatasi permasalahan.

Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti faham, asal usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi itu bukan hal yang signifikan. Hal ini terpenting bagi jenis pemilih adalah apa yang bisa (dan telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau seorang kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan sosial-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, desintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan kepartai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.

2. Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini merupakan panduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal – hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah

‘rational voter’ untuk berpaling kepartai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu pada program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.

Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. Ada tiga kemungkinan yang akan muncul ketika terdapat perbedaan antara nilai ideology dengan ‘platform’ partai: (1) memberikan kritikan internal, (2) frustasi, dan (3) membuat partai baru yang memiliki kemiripan karekteristis ideologi dengan


(32)

partai lama. Kritis internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya tidak difasilitasi oleh mekanisme internal partai politik, mereka cenderung menyuarakan melalui mekanisme eksternal partai, misalnya melalui media massa seperti radio, televisi, dan sebagainya.

3. Pemilih Tradisional

Pemilih dalam jenis ini akan memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal usul, faham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karekteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang dianut.

Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama priode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling menonjol bagi pemilih jenis ini. Ideologi dianggap sebagai salah satu landasan dalam membuat suatu keputusan serta bertindak, dan kadang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat.

4. Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologi mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang mempedulikan ‘platform’

dan kebijakan partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukan secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa kearah perbaikan yang mereka


(33)

harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.

E.3.2 Pola Pengembangan Pemilih

Meskipun tampak relatif, pola pengembangan pemilih mencerminkan kecendrungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokan atau segmentasi itu dapat didasarkan pada: 30

1. Lingkup Agama

Lingkup agama berpola pilihan lebih mengacu pada landasan partai atau kandidat yang cendrung pluralis atau inklusif.

2. Lingkup Gender

Karekteristik ini menghasilkan dua segmen: kaum laki-laki dan perempuan. Pemilih perempuan cukup strategis karena jumlah suara lebih 50% dari total populasi pemilih

3. Lingkup Kelas Sosial

Seperti sebuah piramida, lapisan puncak yang paling sedikit jumlahnya disebut kelas atas, sedangkan dibawahnya lapisan kelas menengah yang jumlahnya lebih besar, dan segmen paling bawah yang jumlahnya paling rendah adalah kelas bawah.

4. Lingkup Geografi

Segmen ini memilih pilihan berdasarkan tingkat, sebagai pendekatan yang lazim, asal usul daerah dimana kandidat tampil cukup menjadi alasan. Selain itu dapat pula dikembangkan berdasarkan pulau, perkotaan, pedesaan, kampung, kelurahan, kecamatan, dan lain-lain.

5. Lingkup Usia

Seringkali kedewasaan manusia digambarkan sejak masa transisi (usia 17-23), masa pembentukan keluarga (usia 24-30), masa peningkatan karir (30-40), masa kemapanan (51-65). Kondisi – kondisi tertentu menyangkut belum berkeluarga, tidak berkerja (pengangguran), dan

30


(34)

termasuk golongan lansia tidak mempengaruhi tingkatan-tingkatan usia tersebut dalam pengambilan keputusan untuk memilih calon partai atau kontestan dalam Pemilu maupun Pemilukada.

6. Lingkup Demografi

Berdasarkan karakter factor demografis seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, dan lain-lain. Metode demografis dipergunakan biasanya guna mendukung riset politik, misalnya data statistik, sejarah Pemilu regional, maupun data sensus.

7. Lingkup Psikografis

Berdasarkan gaya hidup, yakni bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada laporan sebuah riset yang membagi delapan segmen dibeberapa kota. Respon tersebut antara lain: the affluent (pekerja keras), the achiervers (intelek rendah hati), the loners (tak suka menonjol), the anxious (peragu semangat besar), the pleasure seekers (mengejar hura-hura), dan

the attention seekers (ingin tampil beda) 8. Lingkup Perilaku

Memberi tekanan pada pola perilaku dengan berbagai tipe, yakni: pemilih rasional (berfokus pada platform program), pemilih emosional (berfokus kepada pertokohan), pemilih sosial ( berfokus pada asosiasi dengan kelompok sosial tertentu), dan pemilih situasional (berfokus pada dampak perubahan atas situasi tertentu)

E.4 Perilaku Politik

Perilaku politik adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik. Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik.31

Menurut Rahadian P. Paramita perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesempatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kesempatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat

31


(35)

tertutup.32

Menurut ahli lain, yaitu Ramlan Surbakti mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik.

Perilaku politik adalah salah satu aspek dari ilmu politik yang berusaha untuk mendefenisikan, mengukur dan menjelaskan pengaruh terhadap pandangan politik seseorang. Secara teoritis, perilaku politik dapat diuraikan dalam tiga pendekatan utama yakni melalui pendekatan sosiologi, psikologi, dan rasionalitas.

33

Perilaku Politik juga dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.

Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya.

Sejalan dengan pengertian politik, perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut.

Dalam pelaksanaan perilaku di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan Pemilukada langsung di suatu daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan Pemilu atau Pemilukada tersebut, hal ini jugalah yang membuat digunakannya teori perilaku politik dalam proposal penelitian ini Perilaku politik dapat di bagi dua yaitu : 34

1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah.

2. Perilaku politik warga negara biasa (baik individu maupun kelompok).

Yang pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, sedangkan yang kedua berhak mempengaruhi pihak yang pertama

32

http://prajnas.blogspot.com/2004/11/perilaku-politik.html. Diakses pada tanggal 26 Juni 2012. 33

Muhammad Asfar. Op cit, hlm 131. 34


(36)

dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik yang dilakukan warga negara biasa (individu maupun kelompok) di sebut partisipasi politik.

Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik, dapat dipilih tiga unit analisis yaitu :

1. Aktor politik (meliputi aktor politik, aktivitas politik, dan individu warga negara biasa).

2. Agregasi politik (yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti partai politik, birokrasi, lembaga-embaga pemerintahan).

3. Topologi Kepribadian Politik (yaitu kepribadian pemimpin, seperti Otoriter, Machiavelist, dan Demokrat).

Ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi perilaku politik aktor politik (pemimpin, aktivis, dan warga biasa) yaitu : 35

1. Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, ekonomi, budaya dan media massa.

2. Lingkungan sosial politik langsung yang membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok bergaul. Dari lingkungan ini, seorang aktor politik mengalami proses sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat dan norma kehidupan bernegara.

3. Struktur kepribadian. Hal ini tercermin dalam sikap individu (yang berbasis pada kepentingan, penyesuaian diri dan aksternalisasi).

4. Lingkungan sosial politik langsung berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kewhadiran orang ain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya.

35


(37)

E.5 Pemilihan Umum

Memilih sebagian rakyat untuk menjadi pemerintah adalah suatu proses dan kegiatan yang seyogianya merupakan hak semua rakyat yang kelak diperintah oleh orang-orang yang terpilih itu. proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi pemilihan. Dalam pemilihan itu semua rakyat harus ikut, tanpa dibeda-bedakan maka dipakailah sebutan pemilihan umum, dan disingkat Pemilu.36

Menurut Anwar Arifin, Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat, diberbagai tingkat pemerintahan sampai kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasive (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan kegiatan lain-lain.37

Dalam Pemilu, para pemilih juga disebut konstituen dan kepada merekalah para peserta pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan pada waktu yang telah ditentukan menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan suara dimulai. Pemenang pemilu ditentukan oleh aturan main atau system penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan kepada para pemilih.

Meskipun agitasi dan propaganda di negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selaku komunikator politik.

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa

36

Donald Parulian, Menggugat Pemilu. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. hlm 4 37


(38)

ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 2009 di Indonesia telah dilaksanakan pemilihan umum sebanyak sepuluh kali. Jumlah kontestan partai-partai politik dalam pemilihan disetiap tahunnya tidak selalu sama, kecuali pada pemilu tahun 1977 sampai tahun 1997. Indonesia pertama kali melaksanakan pemilu pada tahun 1955, dan hingga tahun 2009, Indonesia telah melaksanakan sembilan pemilu. Tercatat Indonesia melaksanakan pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1982, 1992, 1999, dan yang terakhir pada tahun 2004. Pada pemilu yang terakhir, yaitu pemilu tahun 2004, Indonesia membuat sejarah, karena untuk pertama kalinya diadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Bila pada tahun-tahun sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada tahun 2004, untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presidennya.38

Pemilu 1955

Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Lima besar dalam Pemilu ini adalah

38


(39)

Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

• Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,

• Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Pemilu 1971

Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu 1977-1997

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilu 1999

Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah


(40)

pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Pemilu 2004

Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.

Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.


(41)

Pemilu 2009

Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

E.6 Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini dilakukan secara langsung oleh rakyat yang berada di daerah kabupaten/kota maupun propinsi tempat dia memiliki hak untuk memilih. Pemilihan kepala daerah yang dulunya dipilih oleh anggota dewan perwakilan rakyat tingkat I maupun II untuk memilih kepala daerah kini sudah dilakukan secara langsung oleh rakyat secara digariskan oleh konstitusi negara. Dengan dukungan partai politik dan Independen (tanpa dukungan parpol) setiap orang berhak maju menjadi calon kepala daerah dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan Undang-undang. Menurut Ahmad Jainudin (2008) dalam blog pribadinya, Pemilihan Kepala Daerah merupakan pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat dan Undang-Undang.39

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pemilukada dimasukkan dalam katagori pemilu. Sehingga secara resmi bernama “pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Pemilukada pertama yang diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini adalah Pemilukada DKI Jakarta tahun 2007. Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh panitia pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan sebuah keniscayaan yang dilatarbelakangi oleh berbagai perkembangan terbaru. Sebagai pengganti dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 32 Tahun

39


(42)

2004 telah mengakomodasi aspirasi rakyat yang menghendaki lebih terjaminnya pelaksanaan demokrasi didaerah.40

Berdasarkan Undang-Undang tahun 32 Tahun 2004, peserta Pemilukada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pemilukada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-Undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal yang menyangkut peserta Pemilukada dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004. 41

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otomoni dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu, melaui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan kewenangan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

40

Daniel Salosa S, Mekanisme, Persyaratan, dan Tatacara Pilkada Langsung Menurut Undang-Undang No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: Media Pressindo, 2005, hlm 7.

41


(43)

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan sungguh-sungguh menjamin terselenggararanya demokrasi didaerah, serta menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah. Dua hal itu pada pokoknya merupakan raison d’etre

kebijakan otonomi daerah.

F. Metodologi Penelitian F.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini berusaha untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yakni bagaimana Tingkah laku Politik Etnis Tionghoa pada Pemilukada 2010 di kelurahan Pusat Pasar Medan Kota. Penelitian ini menggunakan teori – teori, data – data dan konsep – konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian tersebut dan menjawab persoalan yang penulis teliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang deskriptif.

F.2 Lokasi Penelitian

Kelurahan Pusat pasar adalah salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Medan Kota. Mayoritas penduduk yang mendiami kelurahan ini adalah warga Medan yang beretnis Tionghoa, yang hampir 90% bermata pencarian sebagai pedagang. Penelitian yang ingin mengangkat tingkah laku dan partisipasi politik ini khusus melakukan penelitian didaerah kelurahan pusat pasar Medan Kota. Ada beberapa alasan mengapa penulis ingin melakukan penelitian di daerah ini, yakni:

A. Mengingat warga Tionghoa di Medan kebanyakan berpusat di kelurahan pusat pasar, maka penulis mengambil lokasi ini untuk melakukan penelitian, ini dikarenakan agar narasumber atau sumber – sumber yang didapat langsung kesasaran target.

B. Penulis sadar akan banyaknya pekerjaan warga Tionghoa di Medan sebagai pebisnis atau pedagang, maka tentulah di pusat pasar pasti mayoritas warga Tionghoa yang berada didalamnya. Maka dari itu penulis mengambil lokasi ini untuk dijadikan lokasi penelitian. F.3 Teknik Pengumpulan Data


(44)

Adapun untuk memperoleh data atau informasi yang dibutuhkan guna melengkapi penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

A. Penelitian kepustakaan (Library Research)

Yaitu dengan cara menghimpun data kepustakan dari berbagai literature seperti buku-buku, situs internet, makalah-makalah, jurnal, laporan dokumen-dokumen serta sarana informasi lainnya yang berhubungan dengan masalah-masalah dalam penelitian ini.

B. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu pengumpulan data dengan dialog langsung ke narasumber yang bersangkutan dengan tujuan terjun ke lokasi langsung, baik mendatangi kantor KPU kota Medan, maupun wawancara atau dialog langsung terhadap warga Tionghoa yang ikut berpartisipasi dalam Pilkada kota Medan tahun 2010 terkait dengan judul penelitian ini.

F.4 Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini mendeskripsikan data-data yang ada kemudian dilakukan analisis sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bukan hanya menggambarkan susunan dari penulisan tetapi juga menjabarkan rencana penulisan atau bentuk fisik penelitian untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci serta untuk mempermudah pemahaman dari penelitian ini. Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci serta untuk mempermudah isi dan skripsi ini, maka skripsi ini terdiri dari empat bab. Susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuan

Dalam Bab ini diuraikan tentang: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.


(45)

BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian yang dijadikan objek penelitian untuk melihat bagaimana tingkahlaku atau partisipasi masyarakat etnis Tionghoa dalam Pemilukada dikelurahan Pusat Pasar Medan Kota

BAB III : Anasisi Data

Pada bab ini berisi tentang sejauh mana partisipasi dan tingkah laku politik etnis Tionghoa dalam Pemilukada kota Medan 2010.

BAB IV : Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan penelitian ini, yang berisi kesimpulan serta saran–saran maupun kritik yang sifatnya membangun sebagai bahan pertimbangan untuk kesempurnaan penelitian ini.


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Etnis Tionghoa sabagai rakyat Indonesia merupakan unsur yang penting dalam sebuah pemerintahan negara, dimana keterlibatan mereka didalam pelaksanaan pemerintah mutlak menjadi prioritas sebagai pemerintahan yang ideal. Dilematisnya di Indonesia adalah bagaimana sebuah negara menerapkan konsep pemerintahan rakyat tersebut secara ideal didalam tatanan masyarakat yang heterogen dan kompleks strukturnya, tentunya dibutuhkan sebuah formulasi pemerintahan rakyat yang dapat menjawab dan mewakili semua kepentingan rakyat.

Dalam pemilihan umum, masyarakat Etnis Tionghoa menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan informasi yang ia terima, dimana pilihan politik ini juga ternyata berkorelasi dengan etnisitas. Terdapat etnis Tionghoa yang menggunakan hak pilihnya berdasarkan informasi dan pengetahuan yang diperoleh tentang profil figur calon Kepala Daerah, serta visi dan misinya, akan tetapi juga terdapat etnis Tionghoa yang menggunakan hak pilihnya meski dengan pengetahuan yang sangat minim tentang calon Kepala Daerah tersebut dan juga visi dan misinya.

Dari hasil analisa data, maka dapat disimpulkan bahwa Tingkahlaku politik Etnis Tionghoa dalam Pemilukada Kota Medan tahun 2010 yang lalu dapat dikatakan sebagai berikut:

A. Partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa dalam pemilukada 2010 yang lalu di kelurahan Pusat Pasar, Medan kota, cukup tinggi. Dan hampir seluruh warga Tionghoa yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota, menjatuhkan pilihannya pada calon Kepala Daerah yang beretnis sama dengan mereka, yaitu dr. Sofyan Tan. Ini dapat terlihat dari hasil pemilukada 2010 yang diperoleh dari KPU Medan.

B. Ada berbagai alasan masyarakat etnis Tionghoa ikut dalam pemilukada 2010 lalu. Yaitu, pertama, mereka menganggap hak pilih adalah sebagian dari hak asasi. Kedua, ikut dalam pemilihan umum merupakan kewajiban bagi warga Negara. Ketiga, hak pilih warga Negara sebagai sarana pelaksanaan demokrasi dalam pemilu. Keempat, ikut serta dalam menentukan pemimpin mereka lewat pemilu.


(2)

C. Dalam menjatuhkan pilihannya, masyarakat etnis Tionghoa mempunyai pertimbangan dan penilaian yang berbeda-beda. Sebagian masyarakat Tionghoa menjatuhkan pilihannya atas dasar identitas dan karekteristik yang dipunya calon Kepala Daerah tersebut, alasan lain masyarakat etnis Tionghoa menjatuhkan pilihannya adalah karena masalah etnisitas. Masalah etnisitas memang sering terjadi pada pemiihan umum, ini dikarenakan masyarakat Medan khususnya, dan Sumatera Utara pada umumnya, terdiri dari bermacam suku dan budaya. Tidak terkecuali dengan masyarakat yang beretnis Tionghoa, khusnya di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota.

D. Masyarakat etnis Tionghoa tidak terlalu mempertimbangkan ideologi partai dalam menentukan calon Kepala Daerah pilihannya pada pemilukada 2010 yang lalu. Mereka hanya melihat dari sosok calon Kepala Daerah tersebut dan juga visi misinya. E. Pencalonan diri oleh Sofyan Tan sebagai calon Kepala Daerah disambut baik oleh

seluruh warga Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota. Mereka mendukung sepenuhnya atas pencalonan diri sebagai pemimpin dalam dunia politik oleh warga yang beretnis sama dengan mereka itu. Namun, mereka tak berharap bahwa masyarakat yang beretnis Tionghoa harus lebih banyak lagi yang mencalonkan diri didunia politik. Jika satu saja bisa lolos masuk dalam posisi yang diinginkan tersebut maka itu juga sudah cukup menurut mereka.

F. Sejauh ini, partisipasi politik yang diberikan masyarakat etnis Tionghoa masih hanya berupa partisipasi pasif saja. Artinya, mereka hanya ikut berpartisipasi dalam memberikan suara di TPS saja namun tidak mengikuti perkembangan politik yang ada, dan tidak begitu peduli dengan hasil akhirnya.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran penulis adalah:

A. Disarankan kepada masyarakat etnis Tionghoa untuk tetap ikut serta dalam proses politik baik itu tingkat lokal dan nasional walau tidak ada calon Kepala Daerah ataupun calon legislatif yang berasal dari etnis mereka. Meskipun Sofyan Tan belum menang dalam Pemilukada 2010 yang lalu, namun diharapkan agar seluruh etnis Tionghoa mendorong program-program yang ada yang dilaksanakan oleh Rahudman karena masyarakat Medan


(3)

sangat menantikan Medan yang baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan keamanan.

B. Disarankan kepada rakyat untuk lebih cerdas dalam memilih pemimpin bangsa ini, baik dalam pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah, maupun dalam pemilihan Presiden. Karena harapan kita pastilah kita bisa dipimpin oleh pemimpin yang bijak, bersih dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Agar kota Medan bisa menjadi yang lebih baik lagi dari hari ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arifin Anwar. 2006. Pencitraan Dalam Politik, Jakarta: Pustaka Indonesia.

Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Jakarta. Pustaka Eureka

Budiardjo, Miriam 2001. Dasar – Dasar Ilmu Politik., Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dahl, Robert A.. 1982. Dilema Demokrasi Pluralis. Jakarta: Rajawali Pers

Firmansyah, Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007

Harjono, Anwar, Dr. 1997. Perjalanan Politik Bangsa. Jakarta: Gema Insani Pres Joko, 2008. Pemilihan Kepala Daerarta: Pustaka Pelajar

Liem, Yusiu, Dr. 2000, Prasangka Terhadap Etnis Cina, Jakarta: Djambatan

Nawawi, Hadiri. 1955. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Prees,

Parulian, Donald. Menggugat Pemilu. Jakarta: PT. Penebar Swadaya

Rahman, Arifin. 1998. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC

Sanit, Arbi, Drs. 2002. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Salossa, Daniel S, 2005, Mekanisme, Persyaratan, dan Tatacara Pilkada Langsung Menurut Undang-Undang No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: Media Pressindo


(5)

Sujijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Pollitik Semarang : Ikip Semarang Press. Suryadinata, Leo. Dilema Minorotas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers

Usman, Husaini. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara Prihatmoko. Wibawanto, Agung, dkk. 2005 Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta: Pembaruan.

Wibowo. 2000. Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina Di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Utama

Data:

KPU Kota Medan

Kantor Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota

Jurnal:

Bobby Irwansyah, Tingkat Ekonomi dan Pertisipasi Etnis Tionghoa dalam Pemilukada kota Medan, Julnal Politea Vol.2 No.2 Juli 2010

Internet :

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/23/52037/pilkada_sumut_bisakah_bebas_politi k_uang_dan_politik_etnis/#.T-QIwlnurMw

http://my-herdiyulis.blogspot.com/2010/07/harapan-masyarakat-pada-walikota.html http://riorahmat4.blogspot.com/2012/05/hasil-wawancara-dengan-ketua-serikat.html


(6)

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10870&coid=3&caid=31&gid=3 http://Id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_kepala_daerah_dan_wakil_kepala_daerah,

http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2012/03/hilangnya-peran-ideologi-parpol.html http://yaogiedwartpolitikusu.blogspot.com/

http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2243203-pengertian-etnis-suku-ras-dan/ http://sosiologiaghasi.blogspot.com/2010/02/diferensiasi-sosial-dan-sertifikasi.html

http://petarukancivics.blogspot.com/2010/03/partisipasi_politik.html?zx=fedf08e65eee67f8 http://edikusmayadi.blogspot.com/2011/04/perilaku-politikpemilih.html

http://webandikamongilala.wordpress.com/2010/09/03/perilaku-pemilih-di-indonesia/

http://webandikamongilala.wordpress.com/2010/09/03/perilaku-pemilih-di-indonesia/ http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia


Dokumen yang terkait

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Strategi Kampanye Partai Golkar Dalam Pemilu Kepala Daerah Kota Medan 2010

2 82 109

Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010-2014 Di Kecamatan Medan Denai.

9 67 76

Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 Kota Medan Di Lingkungan Vi Kelurahan Pusat Pasar Medan Kecamatan Medan Kota

1 41 18

Politik Identitas Etnis Di Indonesia Suatu Studi Terhadap Politik Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Medan

22 135 87

Perilaku Pemilih Etnis Tionghoa (Studi Deskriptif Perilaku Pemilih Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Umum Legislatif kota Medan Tahun 2014, di Kelurahan Sekip, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan)

0 7 94

Politik Identitas Etnis Di Indonesia Suatu Studi Terhadap Politik Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Medan

0 0 12

Politik Identitas Etnis Di Indonesia Suatu Studi Terhadap Politik Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Medan

0 0 2

Politik Identitas Etnis Di Indonesia Suatu Studi Terhadap Politik Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Medan

0 0 18

HUBUNGAN TINGKAT EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG 2005 KOTA MEDAN DI LINGKUNGAN VI KELURAHAN PUSAT PASAR MEDAN KECAMATAN MEDAN KOTA Muryanto Amin Bobby Irwansyah Abstract: Indonesia as a

0 0 18