STATUS QUO MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM IND (1)

STATUS QUO; MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM 
INDONESIA
A.

LATAR BELAKANG MASALAH
Justifikasi   TNI  sebagai  institusi   yang   memiliki   kekhususan   pola
pembinaan dalam  menjaga naluri tempur prajuritnya,  menjadi  semangat
munculnya  pengkhususan   hukum   militer  yang  membedakan   dirinya
dengan   masyarakat   pada   umumnya.   Pembebanan   tugas  dalam
melaksanakan   fungsi   pertahanan   negara  digunakan   untuk   melakukan
diskriminasi   terhadap   pembentukan   dan   pemberlakuan   hukum  pada
personil  militer di Indonesia.  Hingga saat ini, segala tindak pidana yang
dilakukan  seorang   personil   militer,   baik  pidana   umum   maupun  pidana
militer,   diadili   lewat   suatu  tribunal  khusus   militer.  Tribunal   tersebut
diberlakukan   terhadap  personil  militer   tanpa   memperhitungkan   delik
kesalahan   serta   yurisdiksi   atas   kesalahan   tersebut. 1  Artinya   bisa   saja,
jika   seorang   personil   militer   melakukan   kesalahan   atas   delik   pidana
umum,   pada   akhirnya   akan   tetap   diadili   dalam   peradilan   militer.
Inkonsistensi,   adalah   kata   pertama   yang   harus   disampaikan   terhadap
tribunal   ini.   Yurisdiksi   peradilan   umum   sudah   sangat   jelas   mengikat
setiap   Warga   Negara   Indonesia   maupun   Warga   Negara   Asing   yang

melakukan   tindak   pidana   umum   di   wilayah   negara   Indonesia.   Namun
dalam   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997   terdapat   ketidak
harmonisan   dimana   peradilan   militer   diberikan   wewenang   untuk
melaksanakan hukum formil pada sekelompok golongan penduduk yang
tersusun secara organis dalam TNI apapun tindak pidananya.
Mekanisme   peradilan   militer   yang   berlaku   saat   ini   dianggap
bermasalah karena tidak mencerminkan prinsip fair trial, imparsial  dan
independensi peradilan. Diskriminasi yang diatur dalam Undang­Undang

1 http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses Tindak Kriminal 
Tentara

Nomor  31   Tahun   1997   adalah   tidak   diaturnya   kewenangan   (yurisdiksi)
berdasarkan   delik   yang   terjadi.   Wewenang   Undang­Undang   Nomor   31
Tahun   1997   justru   berbasis   pada   subjek   atau   pada   siapa   yang
melakukan   pelanggaran   sebagaimana   dijelaskan   dalam   Pasal   9   ayat   1.
Hal ini juga menunjukkan bahwa sebuah tindak pidana yang sama akan
disidik, dituntut, dan diadili secara berbeda hanya karena tersangka atau
terdakwa   merupakan  personil  militer.  Evolusi   peradilan   militer
melingkupi persoalan sejarah militer Indonesia yang sangat dominan di

masa   Orde   Baru   sehingga   aturan­aturan   hukum   yang   terkait   dengan
militer sangat eksklusif dan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat
sipil. Serta persoalan dominasi institusi atau pimpinan TNI dalam sistem
peradilan   militer   Indonesia   dapat   dikatakan   sebagai   ruang   penciptaan
impunitas (ketiadaan hukuman atas sebuah kejahatan).
Fenomena reformasi yang dicetuskan sejak tahun 1998 ibarat bola
salju   yang   turun   dan   bergulir   menyentuh   hampir   semua   lini   sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali pada sistem peradilan
militer.   Hal   ini   ditandai   dengan   adanya   tonggak   reformasi   dibidang
peradilan   militer   melalui   TAP   MPR   RI   Nomor   VI/MPR/2000   tentang
Pemisahan Tentara  Nasional Indonesia  Dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia serta TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
mendasari   DPR   RI   melakukan   revisi   Undang­Undang   Nomor   2   Tahun
1988   tentang   Prajurit   Angkatan   Bersenjata   Republik   Indonesia   dan
mensahkan   Undang­Undang   Nomor   34   Tahun   2004   tentang   Tentara
Nasional   Indonesia   bersama­sama   dengan   pemerintah.   Salah   satu   hal
krusial dalam ketentuan Undang­Undang Nomor 34 Tahun 2004 adalah
sebagaimana   diatur   dalam   pasal   65   ayat   (2)   yang   intinya   menyatakan
bahwa   prajurit   tunduk   kepada   kekuasaan   Peradilan   Militer   dalam   hal

pelanggaran   pidana   militer   dan   tunduk   kepada   kekuasaan   peradilan
umum dalam hal pelanggaran pidana umum.

Hal   ini   menimbulkan   pro   dan   kontra   serta   polemik   yang
berkepanjangan   atas   pelaksanaan   amanat   Undang­Undang   tersebut
karena bertolak belakang dengan Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Tarik menarik pasal dalam usaha penyusunan
revisi Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer
pun terjadi ketika pembahasan dalam pansus.2  Kesulitan terbesar yang
dihadapi merevisi peraturan tersebut adalah belum adanya kesepakatan
antara   DPR   dengan   Pemerintah   yang   dalam   hal   ini   lebih   cenderung
dengan   sikap   tetap   mempertahankan   status   quo   penundukan   personil
militer   terhadap   peradilan   militer   yang   bahkan   kemudian   terjadi
deadlock.
Dari   berbagai   masalah   tentang   kusutnya   peradilan   militer   diatas
dapat   dikatakan   masyarakat   militer   seolah­olah   mendapatkan
keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah
masyarakat yang memiliki keistimewaan  dan  berdasarkan regulasi yang
ada  (hampir)  tidak   pernah   tersentuh   oleh   hukum   terutama   di   kasus­
kasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan Korupsi.  Dengan

berlatar  belakang  masalah  tersebut   diatas  maka  penulis  tertarik untuk
mengambil   judul  “Status   Quo;   Masyarakat   Istimewa   Hukum   Indonesia”
dalam penulisan makalah ini.

B.

RUMUSAN MASALAH
Perkembangan serta hal­hal yang menjadi akibat dari implementasi
peradilan   militer   seperti   diatas   yang   menyebabkan   menarik   untuk
diangkat   dan   dibahas,   maka   dari   itu   dalam   makalah   ini   dirumuskan
beberapa permasalahan, yaitu :
1. Apa penyebab terjadinya Masyarakat Istimewa Hukum Indonesia?
2. Bagaimana Urgensi Reformasi Peradilan Militer?

2 http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses Tindak Kriminal 
Tentara

C.

METODOLOGI

Dalam   rangka   penulisan   makalah   ini   metode   pendekatan   yang
digunakan   adalah   yuridis   normatif,   yaitu   melakukan   penelitian   dengan
berbasis   pada   analisis   terhadap   norma   hukum.   Sasaran   kajian   yuridis
normatif   diarahkan   untuk   menganalisis   hubungan­hubungan   hukum
antar   satu   peraturan   dengan   peraturan   lainnya,   tingkat   sinkronisasi
hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asas­asas
hukum.3 Kajian hukum normatif mengambil sikap kritis­normatif bertolak
dari   wawasan   atas   keberadaan   manusia   dalam   masyarakat   serta
melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.4
Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif
yaitu   merumuskan   dan   mengajukan   pedoman­pedoman   dan   kaidah­
kaidah yang harus  dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum,
dan bersifat kritis.5  Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyek­subyek,
sehingga   hasil   kajiannya   bersifat   intersubyektif.  Kajian   ini   dilandasi
perspektif

 

internal,


 

sehingga

 

Peneliti

 

bersikap 

sebagai

partisipan/pengamat   terlibat,  dan   hasilnya   adalah   pengetahuan   yang
inter­subyektif.6

D.

PENYEBAB TERJADINYA MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM 

INDONESIA
Salah satu landasan hukum utama peradilan militer di Indonesia
adalah   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997   dan   Undang­Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peradilan militer

3 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan 
Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
4 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH 
UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum 
dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian 
Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FH­UI, 2005) hlm.2.
5 Ibid.
6 Ibid.

merupakan   badan   pelaksana   kekuasaan   kehakiman   di   lingkungan
angkatan bersenjata yang secara organisatoris administrasi dan finansial
berada   di   bawah   Panglima.  Seperti   diketahui   dalam   Undang­Undang
Peradilan   Militer   peran   Panglima   sangat   kuat   pengaruhnya.   Dalam
peraturan tersebut juga memuat ketentuan­ketentuan yang sangat rentan
terhadap konflik kepentingan. Perwira yang berada dalam jalur komando

dalam Undang­Undang tersebut memiliki wewenang yang memungkinkan
untuk   mempengaruhi   berbagai   tahap   peradilan   mulai   dari   penyidikan
hingga   proses   persidangan.   Pada   tahap   penyidikan   dilaksanakan   oleh
suatu tim yang terdiri dari anggota polisi militer, oditur, serta atasan yang
berhak   menghukum   (Ankum),   dimana   Ankum   menjadi   penentu   dan
memiliki   peluang   mengendalikan   penyidik   lainnya   pada   proses
penyidikan.   Disamping   itu   keberadaan   mekanisme   Perwira   Penyerah
Perkara atau Papera yang berwenang menentukan apakah suatu perkara
akan  diteruskan  ke   ranah  pengadilan  atau   tidak,   dapat   mempengaruhi
independensi   pengadilan   militer.   Wewenang   tersebut   berada   pada
Panglima   TNI   dan   Kepala   Staf   Angkatan   Bersenjata   yang   merupakan
atasan seorang terdakwa prajurit, dan mereka diijinkan mendelegasikan
wewenang tersebut kepada perwira komando dibawahnya. Peraturan ini
secara  jelas  mengijinkan Panglima  TNI   untuk mengeluarkan  keputusan
guna menutup suatu penyelidikan demi kepentingan hukum, publik atau
militer layaknya deponeering yang dimiliki Jaksa Agung. Selain itu hakim
pengadilan militer merupakan perwira aktif dan dapat diberhentikan oleh
Dewan Kehormatan Militer yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima TNI.
Dominasi   institusi   atau   pimpinan   TNI   dalam   sistem   peradilan   militer
Indonesia bisa dikatakan sebagai ruang penciptaan impunitas (ketiadaan

hukuman atas sebuah kejahatan).  
Peradilan   militer   juga   sering   kali   disinyalir   menjadi   sarana
impunitas oknum militer yang melakukan tindak pidana umum. Undang­
Undang   Nomor   31   tahun   1997   tentang   Peradilan   Militer   menyatakan

bahwa pengadilan ini memiliki wewenang untuk mengadili semua tindak
kejahatan yang dilakukan oleh personil militer. Lebih dari itu, undang­
undang   tersebut   menyatakan   bahwa   pengadilan   militer   dapat
menerapkan satu dari dua hukum yang berlaku, Hukum Pidana Militer
dan   Hukum   Pidana   Umum.   Hal   ini   dapat   diartikan   bahwa   warga   sipil
terkungkung oleh resiko tindak kriminal dibawah berbagai hukum pidana
diluar KUHP, sementara personil militer justru tidak.
Persilangan   mandat   dari   konstitusi   dengan   doktrin   militer   dalam
implementasi aturan hukum terhadap militer pada akhirnya hanya akan
mengakibatkan   penerapan   hukum   yang   tidak   sejajar.   Hal   ini   justru
bertentangan dengan nilai hukum; equality before the law (semua orang
dianggap sama di depan hukum) dan melanggar prinsip non­diskriminasi
yang dijamin dalam konstitusi. Dalam peraturan ini terdapat diskriminasi
berupa yurisdiksi subjektif, dimana peradilan militer  sebagaimana yang
diatur   dalam   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997   tidak   mengatur

kewenangan   (yurisdiksi)   berdasarkan   delik   yang   terjadi. 7  Tidak   seperti,
misalnya,   UU   No   26   Tahun   2000   tentang   Pengadilan   HAM,   yang   jelas
mengatur   relevansi   delik   pelanggaran   HAM   yang   berat   untuk   diadili   di
Pengadilan   HAM   ad   hoc.   Wewenang   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun
1997   justru   berbasis   pada   subjek   atau   pada   siapa   yang   melakukan
kejahatan   atau   pelanggaran.   Subjek   yang   dimaksud   adalah   prajurit
militer   TNI.   Kewenangan   ini   dijelaskan   dalam   Pasal   9   ayat   1.   Hal   ini
menunjukkan   bahwa   sebuah   tindak   pidana   yang   sama   akan   disidik,
dituntut,   dan   diadili   secara   berbeda   hanya   karena   tersangka   atau
terdakwa merupakan anggota militer. Selain itu, penggunaan pengadilan
militer tidak hanya untuk kalangan prajurit. Pengadilan militer tersebut
juga potensial digunakan terhadap warga negara lain yang bukan personil
militer   di   Indonesia,   sebagaimana   pada   pasal   9   ayat   1   poin   d.   Dengan
7 http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letter­chairman­stamboel­indonesias­military­
court­system/Surat kepada Ketua Stamboel tentang Sistem Peradilan Militer Indonesia

kata   lain,   sangat   memungkinkan   terjadi   militerisasi   penghukuman
(secara   militer)   ke   warga   sipil   lewat   pengadilan   militer.  Disisi   lain
Subyektifitas peradilan militer dirasakan saat terdapat beberapa personil
militer   melakukan   tindak   pidana   bersama­sama,   maka   mekanisme

persidangan   pertamanya   dibedakan   atas   dasar   kepangkatan.   Dengan
kata   lain   peradilan   militer   tidak   mengadili   “apa   yang   dilanggar   oleh
sesorang?”   melainkan   “siapa   yang   melakukan   pelanggaran?”.   Hal   ini
sangat   kontradiktif   dengan   konstitusi   negara   Indonesia   sangat
menjunjung tinggi persamaan hak dihadapan hukum (equality before the
law).
lemahnya praktek peradilan yang adil  (fair trial)  dan independensi
peradilan   menjadi   penghalang   untuk   memenuhi   rasa   keadilan.   Jika
merujuk kembali pada undang­undang tersebut, sampai saat ini segala
tindak pidana yang dilakukan oleh personil militer (baik tindakan pidana
militer   ataupun   pidana   umum)   akan   diadili   melalui   pengadilan   militer.
Namun   pengecualian   berlaku   bagi   tindak   pelanggaran   berat   HAM   yang
dilakukan oleh personel militer. Undang­Undang Nomor 26 Tahun 2000
Pasal   49   menyatakan   ketentuan   mengenai   kewenangan   Ankum   dan
Papera tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia
yang   berat   menurut   undang­undang   tersebut.   Selain   itu,   yurisdiksi
sistem peradilan militer juga dibatasi untuk tindak pidana korupsi seperti
yang   diatur   dalam   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1999   tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 40 dijelaskan bahwa
jika   terdapat   cukup   alasan   untuk   mengajukan   perkara   korupsi   di
lingkungan   Peradilan   Militer,   maka   ketentuan   mengenai   Papera
berwenang menutup perkara tidak dapat diberlakukan. Ketentuan serupa
juga ditegaskan kembali dalam Undang­Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang   Komisi   Pemberantasan   Tindak   Pidana   Korupsi   pada   Pasal   42
yang   menjelaskan   bahwa   KPK   berwenang   mengkoordinasikan   dan

mengendalikan   penyelidikan,   penyidikan,   dan   penuntutan   koneksitas
tindak pidana korupsi.
Berbagai   permasalahan   dalam   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun
1997   tidak   terlepas   oleh   aturan   hukum   tersebut   merupakan   produk
perundang­undangan yang dibangun oleh rezim Orde Baru (ORBA) yang
didominasi   militer.8  Pandangan   militarism   sangat   meng­influence  dalam
memposisikan   militer   itu   sendiri.  Sebagaimana   dinyatakan   oleh   tim
penulis   buku   dari   Departemen   Pertahanan   dan   Keamanan   RI,   Brigjen
Soegiri   dkk   (1976),   perlu   kearifan   dalam   menyikapi   dan   menanggapi
dalam   memahami   hukum   militer,   mengingat   TNI   merupakan   institusi
yang memiliki kekhususan dalam pola pembinaan prajurit guna menjaga
naluri   tempur   prajurit   yang   memiliki   tugas   melaksanakan   fungsi
pertahanan   negara.9  Berdasarkan   pernyataan   di   atas   terlihat   bahwa
semangat   pengkhususan   hukum   militer   dalam   rangka   membebankan
peran individu­individu militer untuk menjaga integritas militer. Dengan
semangat   pentingnya   tugas­tugas   militer   inilah   maka   militer
membedakan  dirinya   dengan   masyarakat   pada   umumnya.  Pembebanan
tugas   negara   secara   terang­terangan   digunakan   untuk   melakukan
tindakan diskriminasi terhadap pembentukan dan pemberlakuan hukum
terhadap   militer  di   Indonesia.  Jadi   dapat   disimpulkan   dalam
implementasinya Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 masih terbentur
dengan kuatnya status quo logika militer di tengah arus utama demokrasi
yang   mengutamakan   supremasi   hukum   dan   penghormatan   terhadap
HAM.
Jika   menganut   pada  stufenbau   theory  dimana   terdapat   rantai
validitas  yang  dapat  mempresuposisikan  valid  dari  peraturan diatasnya
pada   peraturan   dibawahnya,   maka   undang­undang   Peradilan   militer
8 http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letter­chairman­stamboel­indonesias­military­
court­system/Surat kepada Ketua Stamboel tentang Sistem Peradilan Militer Indonesia
9 Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara
Republik Indonesia, Dephankam, 1976

sangat   tidak   memenuhi   persyaratan   valid   untuk   berlaku   karena   tidak
sesuai dengan amanat konstitusi dan TAP MPR. Selain itu peraturan yang
merupakan produk dari orde baru dianggap sudah tidak relevan dengan
dinamika dan kebutuhan hukum saat ini. Mekanisme judicial review pun
sangat   kecil   kemungkinannya   untuk   mendesak   proses   revisi   Undang­
Undang tersebut. Hal ini dikarenakan subyek hukum yang berhak untuk
melakukan  legal   standing  adalah   para   personil   militer   itu   sendiri   yang
sampai sekarang tidak pernah merasa peradilan militer itu tidak selaras
dengan prinsip­prinsip penyelenggaraan peradilan.
Dari   berbagai   masalah   tentang   kusutnya   peradilan   militer   diatas
dapat   dikatakan   masyarakat   militer   seolah­olah   mendapatkan
keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah
masyarakat   yang   memiliki   keistimewaan   dimana   kelompok   ini
berdasarkan   regulasi   yang   ada   tidak   pernah   tersentuh   oleh   hukum
terutama di kasus­kasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan
Korupsi. Personil militer haruslah tunduk pada peradilan umum ketika
melakukan   tindak   pidana   umum,   dengan   kewajiban   ini   status   militer
tidaklah istimewa di depan hukum, karena status militer sebagai warga
negara istimewa hanya ada di negara­negara yang menganut kediktatoran
militer.
Pengadilan   Militer   hanya   terbatas   untuk   mengadili   tindak   pidana
militer, tindak pidana militer secara alami tidak terkait dengan kejahatan
biasa   dan   hanya   terkait   pada   kejahatan   yang   bersangkut   paut   dengan
disiplin   dan   sumpah   seorang   prajurit.   Satu   hal   yang   perlu   kembali
diperjelas bahwa tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta peraturan
perundang­undangan lainnya berlaku bagi setiap warga negara Indonesia
ataupun warga  negara asing  yang  melakukan tindak pidana di wilayah
yurisdiksi negara Indonesia. keadaan tersebut juga sesuai dengan prinsip
konstitusi bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum, maka dari itu keistimewaan golongan tertentu wajib dihapuskan.

E.

PANDANGAN TERHADAP URGENSI REFORMASI PERADILAN MILITER
Urgensi   reformasi   terhadap   peradilan   militer   sangat   relevan
ditempatkan   pada   komitmen   terhadap   reformasi   dan   perlindungan   hak
sipil   dan   politik.   Salah   satu   dokumen   politik   kenegaraan   yang   penting
buah   reformasi  adalah   TAP   MPR   No.   VII/MPR/2000   tentang   Peran   TNI
dan POLRI. DPR­RI sebagai salah suatu lembaga yang menjiwai semangat
dan spirit reformasi tersebut, perlu secara konsisten melanjutkan amanat
TAP MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI. Keputusan
politik tersebut, telah membagi peran TNI dan POLRI dan telah meletakan
dasar   penundukan   prajurit   TNI   dalam   peradilan   militer   umum   apabila
melakukan tindak pidana umum. Walaupun keputusan ini telah ditindak
lanjuti dalam Pasal 65 ayat (2) Undang­Undang Nomor 34 Tahun 2004,
namun   belum   cukup   apabila   perubahan   tersebut   tidak   menyentuh
langsung pada undang­undang yang khusus mengatur Peradilan Militer,
yaitu   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997.  Padahal   reformasi
Peradilan   Militer   adalah   bagian   dari   reformasi   TNI   yang   seharusnya
menjadi  concern  utama   Pemerintah   dalam   agenda   besar   reformasi
nasional. Namun harus diakui bahwa dalam kenyataannya, harapan ini
masih jauh panggang dari api. Reformasi peradilan militer masih belum
sinergis   dan   reformasi   TNI   masihlah   normatif,   parsial   dan   belum
menyentuh   titik­titik   krusial.  Pembenahan   peradilan   militer   yang   tak
kunjung   tuntas   menunjukkan   bahwa   komitmen   reformasi   tidaklah
sepenuh hati, bahkan tak didukung kuat oleh pemerintah.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional
Hak­ Hak Sipil dan Politik atau Kovenan Sipol, (International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) atau Instrumen HAM pokok internasional
lainnya. Kovenan Sipol ini tidak mengatur secara khusus sistem peradilan
militer. Dalam kerangka reformasi peradilan militer kedepan, pasal­pasal

dalam Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 harus dapat mengadopsi
Pasal   14   Kovenan   Sipol   yang   menganut   prinsip   persamaan   di   muka
hukum  (equality   before   the   law)  dalam   administrasi   peradilan
(administration of justice)  tentang prinsip­prinsip utama suatu peradilan,
khususnya   soal   independensi   institusi   peradilan   dan   jaminan  fair   trial
bagi mereka yang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.
Pasal  14  Kovenan  Sipol  ini  dapat   menggugat   keberadaan  praktek
peradilan   militer   yang   menyangkut   asas   non­diskriminasi.   Penafsiran
pasal ini secara implisit tidak membenarkan suatu peradilan khusus bagi
kelompok khusus berdasarkan suatu perbedaan; ras, warna kulit, jenis
kelamin,   bahasa,   agama,   politik   atau   pendapat   lain,   asal­usul
kebangsaan   atau   sosial,   kekayaan,   kelahiran,   atau   status   lainnya.
Selanjutnya,   penafsiran   Pasal   26   Kovenan   Sipol   tentang   prinsip
persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai
makna   bahwa   semua   orang   harus   diperlakukan   sama   dalam   suatu
produk   hukum   dan   legislasi.   Sementara   itu,   perlakuan   sama   bukan
berarti bentuk perlakuannya harus identik. Makna dari prinsip ini adalah
suatu perlakuan yang sama harus diterapkan kepada suatu fakta yang
polanya sama dan perlakuan yang berbeda harus diterapkan pada suatu
fakta yang polanya berbeda.
Reformasi   peradilan   militer   juga   harus   memperkuat   secara
kelembagaan   jaminan   indepedensi   dan   imparsialitas   sistem   peradilan
militer dengan memperkuat hak dari tersangka dan hak­hak korban dan
dapat diajukan banding terhadap putusan ke peradilan sipil yang lebih
tinggi, misalnya ke Mahkamah Agung (MA).
Tuntutan   DPR­RI   untuk   melakukan   penyempurnaan   terhadap
sistem   peradilan   militer   telah   dilakukan   dengan   mengajukan   RUU
perubahan   atas   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997   oleh   DPR­RI
periode   2004–2009.   Namun,   terjadi   perdebatan   yang   berkepanjangan
antara   DPR­RI   dan   Pemerintah   mengenai   substansi   kewenangan

peradilan   militer   sampai   akhir   masa   periode   DPR­RI   2004–2009.   Kini
perubahan   tersebut   mendapat   dukungan   yang   kuat   dari   DPR­RI,   tidak
saja dari Anggota Komisi I, tetapi juga dari Komisi III. Anggota Komisi III
DPR­RI   Deding   Ishak   misalnya   prihatin   terhadap   terjadinya   kasus
Cebongan dan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh personil
militer   dalam   kasus   tersebut.   Pendirian   Deding   Ishak   didasarkan   pada
pertimbangan   aspek   sosiologis   dan   yuridis   merevisi   Undang­Undang
Nomor 31 Tahun 1997.
Dari   aspek   sosiologis,   maraknya   tindak   pidana   yang   dilakukan
personil   militer   menjadi   kekhawatiran   tersendiri   bagi   masyarakat,   jika
penanganannya   masih   dilakukan   oleh   pengadilan   militer   dan   bukan
pengadilan   umum.   Bahkan   fenomena   masyarakat   “istimewa”   hukum
Indonesia   ditakutkan   dapat   menjadi   kultur   yang   mendarah   daging.
Sedangkan   dari   aspek   yuridis,   Undang­Undang   peradilan   militer   dinilai
sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian serta tidak konsisten dengan
syarat   maupun   hirarki   peraturan   perundang­undangan   sebagaimana
diamanatkan   pada   Undang­Undang   Nomor   12   Tahun   2011   Tentang
Pembentukan   Peraturan   Perundang­Undangan.   Selain   itu   dari   aspek
filosofis,   pidana   merupakan   hukum   publik   yang   esensi   dari   pidana   itu
sendiri adalah sebagai alat pencegahan terjadinya konflik di masyarakat.
Dengan adanya peradilan pidana diharapkan dapat memulihkan konflik
pelaku   tidak   pidana   dengan   masyarakat.   Maka   jika   dikembalikan  pada
tataran   filosofisnya   masyarakat   umum   atau   militer   kah   yang   terjadi
konflik disitulah pemulihan konflik melalui peradilan pidana dilakukan.
Bagaimanapun   juga   keputusan   politik   yang   mengamanatkan
personil   militer   tunduk   pada   kekuasaan   peradilan   umum   ketika
melakukan tindak pidana umum adalah hal yang mutlak dan tidak dapat
ditawar   lagi.   Hal   ini   harus   segera   dilakukan   untuk   menjaga

profesionalisme   TNI   yang   seiring   dengan  semangat   reformasi   dan
demokrasi negara ini. 

F.

KESIMPULAN
Dengan   adanya   UU   No   31/1997   tentang   Peradilan   Militer   dapat
dikatakan masyarakat militer seolah­olah mendapatkan keistimewaan di
hadapan   hukum.   Militer   telah   menjelma   menjadi   sebuah   masyarakat
yang   memiliki  keistimewaan  dimana  kelompok  ini  berdasarkan  regulasi
yang   ada   mendapat   tindakan   diskriminasi   terhadap   pembentukan   dan
pemberlakuan hukum pidana.
Perbedaan   pandangan   politik   hukum   atas   tindak   pidana   umum
yang dilakukan oleh personil militer merupakan suatu bentuk perbedaan
antara   pandangan   yang   konsisten   dan   yang   tidak   konsisten   untuk
melanjutkan reformasi nasional yang dimulai dari tahun 1998. Substansi
dari   agenda   perubahan   atau   reformasi   peradilan   militer   adalah
memastikan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan prinsip­
prinsip HAM serta tidak ada perlakuan khusus terhadap personil militer
yang   melakukan   tindak   pidana   umum   atas   warga   negara   lain   dalam
bentuk kompetensi peradilan militer.
Revisi terhadap Undang­Undang Nomor 31 Tahun 1997 merupakan
sesuatu yang urgen untuk menjamin proses peradilan yang adil dengan
mengubah   ketentuan   Pasal   9   Undang­Undang   Nomor   31   Tahun   1997
yang   mendasarkan   kewenangan   peradilan   militer   pada   tindak   pidana
yang   dilakukan   oleh   prajurit   dalam   hal   delik   militer,   bukan   mengadili
tindak pidana umum yang dilakukan oleh personil militer. Ketentuan ini
dimaksudkan supaya selaras dengan prinsip persamaan di depan hukum
serta Kovenan Sipol yang berlaku secara universal.

DAFTAR PUSTAKA
Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank,
FH UI, Jakarta, 2010
Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di
Negara Republik Indonesia, Dephankam, 1976
http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan   Sipil   Mesti   Memproses
Tindak Kriminal Tentara
http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letter­chairman­stamboel­
indonesias­military­court­system/Surat   kepada   Ketua   Stamboel   tentang
Sistem Peradilan Militer Indonesia