STATUS QUO MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM IND (1)
STATUS QUO; MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM
INDONESIA
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Justifikasi TNI sebagai institusi yang memiliki kekhususan pola
pembinaan dalam menjaga naluri tempur prajuritnya, menjadi semangat
munculnya pengkhususan hukum militer yang membedakan dirinya
dengan masyarakat pada umumnya. Pembebanan tugas dalam
melaksanakan fungsi pertahanan negara digunakan untuk melakukan
diskriminasi terhadap pembentukan dan pemberlakuan hukum pada
personil militer di Indonesia. Hingga saat ini, segala tindak pidana yang
dilakukan seorang personil militer, baik pidana umum maupun pidana
militer, diadili lewat suatu tribunal khusus militer. Tribunal tersebut
diberlakukan terhadap personil militer tanpa memperhitungkan delik
kesalahan serta yurisdiksi atas kesalahan tersebut. 1 Artinya bisa saja,
jika seorang personil militer melakukan kesalahan atas delik pidana
umum, pada akhirnya akan tetap diadili dalam peradilan militer.
Inkonsistensi, adalah kata pertama yang harus disampaikan terhadap
tribunal ini. Yurisdiksi peradilan umum sudah sangat jelas mengikat
setiap Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang
melakukan tindak pidana umum di wilayah negara Indonesia. Namun
dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 terdapat ketidak
harmonisan dimana peradilan militer diberikan wewenang untuk
melaksanakan hukum formil pada sekelompok golongan penduduk yang
tersusun secara organis dalam TNI apapun tindak pidananya.
Mekanisme peradilan militer yang berlaku saat ini dianggap
bermasalah karena tidak mencerminkan prinsip fair trial, imparsial dan
independensi peradilan. Diskriminasi yang diatur dalam UndangUndang
1 http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses Tindak Kriminal
Tentara
Nomor 31 Tahun 1997 adalah tidak diaturnya kewenangan (yurisdiksi)
berdasarkan delik yang terjadi. Wewenang UndangUndang Nomor 31
Tahun 1997 justru berbasis pada subjek atau pada siapa yang
melakukan pelanggaran sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat 1.
Hal ini juga menunjukkan bahwa sebuah tindak pidana yang sama akan
disidik, dituntut, dan diadili secara berbeda hanya karena tersangka atau
terdakwa merupakan personil militer. Evolusi peradilan militer
melingkupi persoalan sejarah militer Indonesia yang sangat dominan di
masa Orde Baru sehingga aturanaturan hukum yang terkait dengan
militer sangat eksklusif dan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat
sipil. Serta persoalan dominasi institusi atau pimpinan TNI dalam sistem
peradilan militer Indonesia dapat dikatakan sebagai ruang penciptaan
impunitas (ketiadaan hukuman atas sebuah kejahatan).
Fenomena reformasi yang dicetuskan sejak tahun 1998 ibarat bola
salju yang turun dan bergulir menyentuh hampir semua lini sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali pada sistem peradilan
militer. Hal ini ditandai dengan adanya tonggak reformasi dibidang
peradilan militer melalui TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang
Pemisahan Tentara Nasional Indonesia Dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia serta TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
mendasari DPR RI melakukan revisi UndangUndang Nomor 2 Tahun
1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan
mensahkan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia bersamasama dengan pemerintah. Salah satu hal
krusial dalam ketentuan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 adalah
sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (2) yang intinya menyatakan
bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal
pelanggaran pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan
umum dalam hal pelanggaran pidana umum.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra serta polemik yang
berkepanjangan atas pelaksanaan amanat UndangUndang tersebut
karena bertolak belakang dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Tarik menarik pasal dalam usaha penyusunan
revisi UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer
pun terjadi ketika pembahasan dalam pansus.2 Kesulitan terbesar yang
dihadapi merevisi peraturan tersebut adalah belum adanya kesepakatan
antara DPR dengan Pemerintah yang dalam hal ini lebih cenderung
dengan sikap tetap mempertahankan status quo penundukan personil
militer terhadap peradilan militer yang bahkan kemudian terjadi
deadlock.
Dari berbagai masalah tentang kusutnya peradilan militer diatas
dapat dikatakan masyarakat militer seolaholah mendapatkan
keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah
masyarakat yang memiliki keistimewaan dan berdasarkan regulasi yang
ada (hampir) tidak pernah tersentuh oleh hukum terutama di kasus
kasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan Korupsi. Dengan
berlatar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
mengambil judul “Status Quo; Masyarakat Istimewa Hukum Indonesia”
dalam penulisan makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Perkembangan serta halhal yang menjadi akibat dari implementasi
peradilan militer seperti diatas yang menyebabkan menarik untuk
diangkat dan dibahas, maka dari itu dalam makalah ini dirumuskan
beberapa permasalahan, yaitu :
1. Apa penyebab terjadinya Masyarakat Istimewa Hukum Indonesia?
2. Bagaimana Urgensi Reformasi Peradilan Militer?
2 http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses Tindak Kriminal
Tentara
C.
METODOLOGI
Dalam rangka penulisan makalah ini metode pendekatan yang
digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian dengan
berbasis pada analisis terhadap norma hukum. Sasaran kajian yuridis
normatif diarahkan untuk menganalisis hubunganhubungan hukum
antar satu peraturan dengan peraturan lainnya, tingkat sinkronisasi
hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asasasas
hukum.3 Kajian hukum normatif mengambil sikap kritisnormatif bertolak
dari wawasan atas keberadaan manusia dalam masyarakat serta
melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.4
Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif
yaitu merumuskan dan mengajukan pedomanpedoman dan kaidah
kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum,
dan bersifat kritis.5 Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyeksubyek,
sehingga hasil kajiannya bersifat intersubyektif. Kajian ini dilandasi
perspektif
internal,
sehingga
Peneliti
bersikap
sebagai
partisipan/pengamat terlibat, dan hasilnya adalah pengetahuan yang
intersubyektif.6
D.
PENYEBAB TERJADINYA MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM
INDONESIA
Salah satu landasan hukum utama peradilan militer di Indonesia
adalah UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 dan UndangUndang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peradilan militer
3 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
4 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH
UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum
dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian
Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FHUI, 2005) hlm.2.
5 Ibid.
6 Ibid.
merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan
angkatan bersenjata yang secara organisatoris administrasi dan finansial
berada di bawah Panglima. Seperti diketahui dalam UndangUndang
Peradilan Militer peran Panglima sangat kuat pengaruhnya. Dalam
peraturan tersebut juga memuat ketentuanketentuan yang sangat rentan
terhadap konflik kepentingan. Perwira yang berada dalam jalur komando
dalam UndangUndang tersebut memiliki wewenang yang memungkinkan
untuk mempengaruhi berbagai tahap peradilan mulai dari penyidikan
hingga proses persidangan. Pada tahap penyidikan dilaksanakan oleh
suatu tim yang terdiri dari anggota polisi militer, oditur, serta atasan yang
berhak menghukum (Ankum), dimana Ankum menjadi penentu dan
memiliki peluang mengendalikan penyidik lainnya pada proses
penyidikan. Disamping itu keberadaan mekanisme Perwira Penyerah
Perkara atau Papera yang berwenang menentukan apakah suatu perkara
akan diteruskan ke ranah pengadilan atau tidak, dapat mempengaruhi
independensi pengadilan militer. Wewenang tersebut berada pada
Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang merupakan
atasan seorang terdakwa prajurit, dan mereka diijinkan mendelegasikan
wewenang tersebut kepada perwira komando dibawahnya. Peraturan ini
secara jelas mengijinkan Panglima TNI untuk mengeluarkan keputusan
guna menutup suatu penyelidikan demi kepentingan hukum, publik atau
militer layaknya deponeering yang dimiliki Jaksa Agung. Selain itu hakim
pengadilan militer merupakan perwira aktif dan dapat diberhentikan oleh
Dewan Kehormatan Militer yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima TNI.
Dominasi institusi atau pimpinan TNI dalam sistem peradilan militer
Indonesia bisa dikatakan sebagai ruang penciptaan impunitas (ketiadaan
hukuman atas sebuah kejahatan).
Peradilan militer juga sering kali disinyalir menjadi sarana
impunitas oknum militer yang melakukan tindak pidana umum. Undang
Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyatakan
bahwa pengadilan ini memiliki wewenang untuk mengadili semua tindak
kejahatan yang dilakukan oleh personil militer. Lebih dari itu, undang
undang tersebut menyatakan bahwa pengadilan militer dapat
menerapkan satu dari dua hukum yang berlaku, Hukum Pidana Militer
dan Hukum Pidana Umum. Hal ini dapat diartikan bahwa warga sipil
terkungkung oleh resiko tindak kriminal dibawah berbagai hukum pidana
diluar KUHP, sementara personil militer justru tidak.
Persilangan mandat dari konstitusi dengan doktrin militer dalam
implementasi aturan hukum terhadap militer pada akhirnya hanya akan
mengakibatkan penerapan hukum yang tidak sejajar. Hal ini justru
bertentangan dengan nilai hukum; equality before the law (semua orang
dianggap sama di depan hukum) dan melanggar prinsip nondiskriminasi
yang dijamin dalam konstitusi. Dalam peraturan ini terdapat diskriminasi
berupa yurisdiksi subjektif, dimana peradilan militer sebagaimana yang
diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tidak mengatur
kewenangan (yurisdiksi) berdasarkan delik yang terjadi. 7 Tidak seperti,
misalnya, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang jelas
mengatur relevansi delik pelanggaran HAM yang berat untuk diadili di
Pengadilan HAM ad hoc. Wewenang UndangUndang Nomor 31 Tahun
1997 justru berbasis pada subjek atau pada siapa yang melakukan
kejahatan atau pelanggaran. Subjek yang dimaksud adalah prajurit
militer TNI. Kewenangan ini dijelaskan dalam Pasal 9 ayat 1. Hal ini
menunjukkan bahwa sebuah tindak pidana yang sama akan disidik,
dituntut, dan diadili secara berbeda hanya karena tersangka atau
terdakwa merupakan anggota militer. Selain itu, penggunaan pengadilan
militer tidak hanya untuk kalangan prajurit. Pengadilan militer tersebut
juga potensial digunakan terhadap warga negara lain yang bukan personil
militer di Indonesia, sebagaimana pada pasal 9 ayat 1 poin d. Dengan
7 http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letterchairmanstamboelindonesiasmilitary
courtsystem/Surat kepada Ketua Stamboel tentang Sistem Peradilan Militer Indonesia
kata lain, sangat memungkinkan terjadi militerisasi penghukuman
(secara militer) ke warga sipil lewat pengadilan militer. Disisi lain
Subyektifitas peradilan militer dirasakan saat terdapat beberapa personil
militer melakukan tindak pidana bersamasama, maka mekanisme
persidangan pertamanya dibedakan atas dasar kepangkatan. Dengan
kata lain peradilan militer tidak mengadili “apa yang dilanggar oleh
sesorang?” melainkan “siapa yang melakukan pelanggaran?”. Hal ini
sangat kontradiktif dengan konstitusi negara Indonesia sangat
menjunjung tinggi persamaan hak dihadapan hukum (equality before the
law).
lemahnya praktek peradilan yang adil (fair trial) dan independensi
peradilan menjadi penghalang untuk memenuhi rasa keadilan. Jika
merujuk kembali pada undangundang tersebut, sampai saat ini segala
tindak pidana yang dilakukan oleh personil militer (baik tindakan pidana
militer ataupun pidana umum) akan diadili melalui pengadilan militer.
Namun pengecualian berlaku bagi tindak pelanggaran berat HAM yang
dilakukan oleh personel militer. UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000
Pasal 49 menyatakan ketentuan mengenai kewenangan Ankum dan
Papera tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat menurut undangundang tersebut. Selain itu, yurisdiksi
sistem peradilan militer juga dibatasi untuk tindak pidana korupsi seperti
yang diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 40 dijelaskan bahwa
jika terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di
lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan mengenai Papera
berwenang menutup perkara tidak dapat diberlakukan. Ketentuan serupa
juga ditegaskan kembali dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 42
yang menjelaskan bahwa KPK berwenang mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan koneksitas
tindak pidana korupsi.
Berbagai permasalahan dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun
1997 tidak terlepas oleh aturan hukum tersebut merupakan produk
perundangundangan yang dibangun oleh rezim Orde Baru (ORBA) yang
didominasi militer.8 Pandangan militarism sangat menginfluence dalam
memposisikan militer itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh tim
penulis buku dari Departemen Pertahanan dan Keamanan RI, Brigjen
Soegiri dkk (1976), perlu kearifan dalam menyikapi dan menanggapi
dalam memahami hukum militer, mengingat TNI merupakan institusi
yang memiliki kekhususan dalam pola pembinaan prajurit guna menjaga
naluri tempur prajurit yang memiliki tugas melaksanakan fungsi
pertahanan negara.9 Berdasarkan pernyataan di atas terlihat bahwa
semangat pengkhususan hukum militer dalam rangka membebankan
peran individuindividu militer untuk menjaga integritas militer. Dengan
semangat pentingnya tugastugas militer inilah maka militer
membedakan dirinya dengan masyarakat pada umumnya. Pembebanan
tugas negara secara terangterangan digunakan untuk melakukan
tindakan diskriminasi terhadap pembentukan dan pemberlakuan hukum
terhadap militer di Indonesia. Jadi dapat disimpulkan dalam
implementasinya UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 masih terbentur
dengan kuatnya status quo logika militer di tengah arus utama demokrasi
yang mengutamakan supremasi hukum dan penghormatan terhadap
HAM.
Jika menganut pada stufenbau theory dimana terdapat rantai
validitas yang dapat mempresuposisikan valid dari peraturan diatasnya
pada peraturan dibawahnya, maka undangundang Peradilan militer
8 http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letterchairmanstamboelindonesiasmilitary
courtsystem/Surat kepada Ketua Stamboel tentang Sistem Peradilan Militer Indonesia
9 Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara
Republik Indonesia, Dephankam, 1976
sangat tidak memenuhi persyaratan valid untuk berlaku karena tidak
sesuai dengan amanat konstitusi dan TAP MPR. Selain itu peraturan yang
merupakan produk dari orde baru dianggap sudah tidak relevan dengan
dinamika dan kebutuhan hukum saat ini. Mekanisme judicial review pun
sangat kecil kemungkinannya untuk mendesak proses revisi Undang
Undang tersebut. Hal ini dikarenakan subyek hukum yang berhak untuk
melakukan legal standing adalah para personil militer itu sendiri yang
sampai sekarang tidak pernah merasa peradilan militer itu tidak selaras
dengan prinsipprinsip penyelenggaraan peradilan.
Dari berbagai masalah tentang kusutnya peradilan militer diatas
dapat dikatakan masyarakat militer seolaholah mendapatkan
keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah
masyarakat yang memiliki keistimewaan dimana kelompok ini
berdasarkan regulasi yang ada tidak pernah tersentuh oleh hukum
terutama di kasuskasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan
Korupsi. Personil militer haruslah tunduk pada peradilan umum ketika
melakukan tindak pidana umum, dengan kewajiban ini status militer
tidaklah istimewa di depan hukum, karena status militer sebagai warga
negara istimewa hanya ada di negaranegara yang menganut kediktatoran
militer.
Pengadilan Militer hanya terbatas untuk mengadili tindak pidana
militer, tindak pidana militer secara alami tidak terkait dengan kejahatan
biasa dan hanya terkait pada kejahatan yang bersangkut paut dengan
disiplin dan sumpah seorang prajurit. Satu hal yang perlu kembali
diperjelas bahwa tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta peraturan
perundangundangan lainnya berlaku bagi setiap warga negara Indonesia
ataupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di wilayah
yurisdiksi negara Indonesia. keadaan tersebut juga sesuai dengan prinsip
konstitusi bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum, maka dari itu keistimewaan golongan tertentu wajib dihapuskan.
E.
PANDANGAN TERHADAP URGENSI REFORMASI PERADILAN MILITER
Urgensi reformasi terhadap peradilan militer sangat relevan
ditempatkan pada komitmen terhadap reformasi dan perlindungan hak
sipil dan politik. Salah satu dokumen politik kenegaraan yang penting
buah reformasi adalah TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI
dan POLRI. DPRRI sebagai salah suatu lembaga yang menjiwai semangat
dan spirit reformasi tersebut, perlu secara konsisten melanjutkan amanat
TAP MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI. Keputusan
politik tersebut, telah membagi peran TNI dan POLRI dan telah meletakan
dasar penundukan prajurit TNI dalam peradilan militer umum apabila
melakukan tindak pidana umum. Walaupun keputusan ini telah ditindak
lanjuti dalam Pasal 65 ayat (2) UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004,
namun belum cukup apabila perubahan tersebut tidak menyentuh
langsung pada undangundang yang khusus mengatur Peradilan Militer,
yaitu UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997. Padahal reformasi
Peradilan Militer adalah bagian dari reformasi TNI yang seharusnya
menjadi concern utama Pemerintah dalam agenda besar reformasi
nasional. Namun harus diakui bahwa dalam kenyataannya, harapan ini
masih jauh panggang dari api. Reformasi peradilan militer masih belum
sinergis dan reformasi TNI masihlah normatif, parsial dan belum
menyentuh titiktitik krusial. Pembenahan peradilan militer yang tak
kunjung tuntas menunjukkan bahwa komitmen reformasi tidaklah
sepenuh hati, bahkan tak didukung kuat oleh pemerintah.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional
Hak Hak Sipil dan Politik atau Kovenan Sipol, (International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) atau Instrumen HAM pokok internasional
lainnya. Kovenan Sipol ini tidak mengatur secara khusus sistem peradilan
militer. Dalam kerangka reformasi peradilan militer kedepan, pasalpasal
dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 harus dapat mengadopsi
Pasal 14 Kovenan Sipol yang menganut prinsip persamaan di muka
hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan
(administration of justice) tentang prinsipprinsip utama suatu peradilan,
khususnya soal independensi institusi peradilan dan jaminan fair trial
bagi mereka yang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.
Pasal 14 Kovenan Sipol ini dapat menggugat keberadaan praktek
peradilan militer yang menyangkut asas nondiskriminasi. Penafsiran
pasal ini secara implisit tidak membenarkan suatu peradilan khusus bagi
kelompok khusus berdasarkan suatu perbedaan; ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asalusul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya.
Selanjutnya, penafsiran Pasal 26 Kovenan Sipol tentang prinsip
persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai
makna bahwa semua orang harus diperlakukan sama dalam suatu
produk hukum dan legislasi. Sementara itu, perlakuan sama bukan
berarti bentuk perlakuannya harus identik. Makna dari prinsip ini adalah
suatu perlakuan yang sama harus diterapkan kepada suatu fakta yang
polanya sama dan perlakuan yang berbeda harus diterapkan pada suatu
fakta yang polanya berbeda.
Reformasi peradilan militer juga harus memperkuat secara
kelembagaan jaminan indepedensi dan imparsialitas sistem peradilan
militer dengan memperkuat hak dari tersangka dan hakhak korban dan
dapat diajukan banding terhadap putusan ke peradilan sipil yang lebih
tinggi, misalnya ke Mahkamah Agung (MA).
Tuntutan DPRRI untuk melakukan penyempurnaan terhadap
sistem peradilan militer telah dilakukan dengan mengajukan RUU
perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 oleh DPRRI
periode 2004–2009. Namun, terjadi perdebatan yang berkepanjangan
antara DPRRI dan Pemerintah mengenai substansi kewenangan
peradilan militer sampai akhir masa periode DPRRI 2004–2009. Kini
perubahan tersebut mendapat dukungan yang kuat dari DPRRI, tidak
saja dari Anggota Komisi I, tetapi juga dari Komisi III. Anggota Komisi III
DPRRI Deding Ishak misalnya prihatin terhadap terjadinya kasus
Cebongan dan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh personil
militer dalam kasus tersebut. Pendirian Deding Ishak didasarkan pada
pertimbangan aspek sosiologis dan yuridis merevisi UndangUndang
Nomor 31 Tahun 1997.
Dari aspek sosiologis, maraknya tindak pidana yang dilakukan
personil militer menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, jika
penanganannya masih dilakukan oleh pengadilan militer dan bukan
pengadilan umum. Bahkan fenomena masyarakat “istimewa” hukum
Indonesia ditakutkan dapat menjadi kultur yang mendarah daging.
Sedangkan dari aspek yuridis, UndangUndang peradilan militer dinilai
sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian serta tidak konsisten dengan
syarat maupun hirarki peraturan perundangundangan sebagaimana
diamanatkan pada UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Selain itu dari aspek
filosofis, pidana merupakan hukum publik yang esensi dari pidana itu
sendiri adalah sebagai alat pencegahan terjadinya konflik di masyarakat.
Dengan adanya peradilan pidana diharapkan dapat memulihkan konflik
pelaku tidak pidana dengan masyarakat. Maka jika dikembalikan pada
tataran filosofisnya masyarakat umum atau militer kah yang terjadi
konflik disitulah pemulihan konflik melalui peradilan pidana dilakukan.
Bagaimanapun juga keputusan politik yang mengamanatkan
personil militer tunduk pada kekuasaan peradilan umum ketika
melakukan tindak pidana umum adalah hal yang mutlak dan tidak dapat
ditawar lagi. Hal ini harus segera dilakukan untuk menjaga
profesionalisme TNI yang seiring dengan semangat reformasi dan
demokrasi negara ini.
F.
KESIMPULAN
Dengan adanya UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer dapat
dikatakan masyarakat militer seolaholah mendapatkan keistimewaan di
hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah masyarakat
yang memiliki keistimewaan dimana kelompok ini berdasarkan regulasi
yang ada mendapat tindakan diskriminasi terhadap pembentukan dan
pemberlakuan hukum pidana.
Perbedaan pandangan politik hukum atas tindak pidana umum
yang dilakukan oleh personil militer merupakan suatu bentuk perbedaan
antara pandangan yang konsisten dan yang tidak konsisten untuk
melanjutkan reformasi nasional yang dimulai dari tahun 1998. Substansi
dari agenda perubahan atau reformasi peradilan militer adalah
memastikan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan prinsip
prinsip HAM serta tidak ada perlakuan khusus terhadap personil militer
yang melakukan tindak pidana umum atas warga negara lain dalam
bentuk kompetensi peradilan militer.
Revisi terhadap UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 merupakan
sesuatu yang urgen untuk menjamin proses peradilan yang adil dengan
mengubah ketentuan Pasal 9 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997
yang mendasarkan kewenangan peradilan militer pada tindak pidana
yang dilakukan oleh prajurit dalam hal delik militer, bukan mengadili
tindak pidana umum yang dilakukan oleh personil militer. Ketentuan ini
dimaksudkan supaya selaras dengan prinsip persamaan di depan hukum
serta Kovenan Sipol yang berlaku secara universal.
DAFTAR PUSTAKA
Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank,
FH UI, Jakarta, 2010
Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di
Negara Republik Indonesia, Dephankam, 1976
http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses
Tindak Kriminal Tentara
http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letterchairmanstamboel
indonesiasmilitarycourtsystem/Surat kepada Ketua Stamboel tentang
Sistem Peradilan Militer Indonesia
INDONESIA
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Justifikasi TNI sebagai institusi yang memiliki kekhususan pola
pembinaan dalam menjaga naluri tempur prajuritnya, menjadi semangat
munculnya pengkhususan hukum militer yang membedakan dirinya
dengan masyarakat pada umumnya. Pembebanan tugas dalam
melaksanakan fungsi pertahanan negara digunakan untuk melakukan
diskriminasi terhadap pembentukan dan pemberlakuan hukum pada
personil militer di Indonesia. Hingga saat ini, segala tindak pidana yang
dilakukan seorang personil militer, baik pidana umum maupun pidana
militer, diadili lewat suatu tribunal khusus militer. Tribunal tersebut
diberlakukan terhadap personil militer tanpa memperhitungkan delik
kesalahan serta yurisdiksi atas kesalahan tersebut. 1 Artinya bisa saja,
jika seorang personil militer melakukan kesalahan atas delik pidana
umum, pada akhirnya akan tetap diadili dalam peradilan militer.
Inkonsistensi, adalah kata pertama yang harus disampaikan terhadap
tribunal ini. Yurisdiksi peradilan umum sudah sangat jelas mengikat
setiap Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang
melakukan tindak pidana umum di wilayah negara Indonesia. Namun
dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 terdapat ketidak
harmonisan dimana peradilan militer diberikan wewenang untuk
melaksanakan hukum formil pada sekelompok golongan penduduk yang
tersusun secara organis dalam TNI apapun tindak pidananya.
Mekanisme peradilan militer yang berlaku saat ini dianggap
bermasalah karena tidak mencerminkan prinsip fair trial, imparsial dan
independensi peradilan. Diskriminasi yang diatur dalam UndangUndang
1 http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses Tindak Kriminal
Tentara
Nomor 31 Tahun 1997 adalah tidak diaturnya kewenangan (yurisdiksi)
berdasarkan delik yang terjadi. Wewenang UndangUndang Nomor 31
Tahun 1997 justru berbasis pada subjek atau pada siapa yang
melakukan pelanggaran sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat 1.
Hal ini juga menunjukkan bahwa sebuah tindak pidana yang sama akan
disidik, dituntut, dan diadili secara berbeda hanya karena tersangka atau
terdakwa merupakan personil militer. Evolusi peradilan militer
melingkupi persoalan sejarah militer Indonesia yang sangat dominan di
masa Orde Baru sehingga aturanaturan hukum yang terkait dengan
militer sangat eksklusif dan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat
sipil. Serta persoalan dominasi institusi atau pimpinan TNI dalam sistem
peradilan militer Indonesia dapat dikatakan sebagai ruang penciptaan
impunitas (ketiadaan hukuman atas sebuah kejahatan).
Fenomena reformasi yang dicetuskan sejak tahun 1998 ibarat bola
salju yang turun dan bergulir menyentuh hampir semua lini sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali pada sistem peradilan
militer. Hal ini ditandai dengan adanya tonggak reformasi dibidang
peradilan militer melalui TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang
Pemisahan Tentara Nasional Indonesia Dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia serta TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
mendasari DPR RI melakukan revisi UndangUndang Nomor 2 Tahun
1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan
mensahkan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia bersamasama dengan pemerintah. Salah satu hal
krusial dalam ketentuan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 adalah
sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (2) yang intinya menyatakan
bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal
pelanggaran pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan
umum dalam hal pelanggaran pidana umum.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra serta polemik yang
berkepanjangan atas pelaksanaan amanat UndangUndang tersebut
karena bertolak belakang dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Tarik menarik pasal dalam usaha penyusunan
revisi UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer
pun terjadi ketika pembahasan dalam pansus.2 Kesulitan terbesar yang
dihadapi merevisi peraturan tersebut adalah belum adanya kesepakatan
antara DPR dengan Pemerintah yang dalam hal ini lebih cenderung
dengan sikap tetap mempertahankan status quo penundukan personil
militer terhadap peradilan militer yang bahkan kemudian terjadi
deadlock.
Dari berbagai masalah tentang kusutnya peradilan militer diatas
dapat dikatakan masyarakat militer seolaholah mendapatkan
keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah
masyarakat yang memiliki keistimewaan dan berdasarkan regulasi yang
ada (hampir) tidak pernah tersentuh oleh hukum terutama di kasus
kasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan Korupsi. Dengan
berlatar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
mengambil judul “Status Quo; Masyarakat Istimewa Hukum Indonesia”
dalam penulisan makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Perkembangan serta halhal yang menjadi akibat dari implementasi
peradilan militer seperti diatas yang menyebabkan menarik untuk
diangkat dan dibahas, maka dari itu dalam makalah ini dirumuskan
beberapa permasalahan, yaitu :
1. Apa penyebab terjadinya Masyarakat Istimewa Hukum Indonesia?
2. Bagaimana Urgensi Reformasi Peradilan Militer?
2 http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses Tindak Kriminal
Tentara
C.
METODOLOGI
Dalam rangka penulisan makalah ini metode pendekatan yang
digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian dengan
berbasis pada analisis terhadap norma hukum. Sasaran kajian yuridis
normatif diarahkan untuk menganalisis hubunganhubungan hukum
antar satu peraturan dengan peraturan lainnya, tingkat sinkronisasi
hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asasasas
hukum.3 Kajian hukum normatif mengambil sikap kritisnormatif bertolak
dari wawasan atas keberadaan manusia dalam masyarakat serta
melancarkan kritik terhadap praktek hukum maupun dogmatik hukum.4
Disiplin kajian hukum normatif menghasilkan hasil kajian preskriptif
yaitu merumuskan dan mengajukan pedomanpedoman dan kaidah
kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum,
dan bersifat kritis.5 Kajian ini dilandasi pandangan relasi subyeksubyek,
sehingga hasil kajiannya bersifat intersubyektif. Kajian ini dilandasi
perspektif
internal,
sehingga
Peneliti
bersikap
sebagai
partisipan/pengamat terlibat, dan hasilnya adalah pengetahuan yang
intersubyektif.6
D.
PENYEBAB TERJADINYA MASYARAKAT ISTIMEWA HUKUM
INDONESIA
Salah satu landasan hukum utama peradilan militer di Indonesia
adalah UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 dan UndangUndang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peradilan militer
3 Muhammad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010.
4 Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank, (Jakarta: FH
UI, 2010) hlm.7. sebagaimana dikutip dari Agus Brotosusilo, Materi Kuliah Filsafat Hukum
dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Pergulatan Ideologis dalam Methodologi Kajian
Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FHUI, 2005) hlm.2.
5 Ibid.
6 Ibid.
merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan
angkatan bersenjata yang secara organisatoris administrasi dan finansial
berada di bawah Panglima. Seperti diketahui dalam UndangUndang
Peradilan Militer peran Panglima sangat kuat pengaruhnya. Dalam
peraturan tersebut juga memuat ketentuanketentuan yang sangat rentan
terhadap konflik kepentingan. Perwira yang berada dalam jalur komando
dalam UndangUndang tersebut memiliki wewenang yang memungkinkan
untuk mempengaruhi berbagai tahap peradilan mulai dari penyidikan
hingga proses persidangan. Pada tahap penyidikan dilaksanakan oleh
suatu tim yang terdiri dari anggota polisi militer, oditur, serta atasan yang
berhak menghukum (Ankum), dimana Ankum menjadi penentu dan
memiliki peluang mengendalikan penyidik lainnya pada proses
penyidikan. Disamping itu keberadaan mekanisme Perwira Penyerah
Perkara atau Papera yang berwenang menentukan apakah suatu perkara
akan diteruskan ke ranah pengadilan atau tidak, dapat mempengaruhi
independensi pengadilan militer. Wewenang tersebut berada pada
Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang merupakan
atasan seorang terdakwa prajurit, dan mereka diijinkan mendelegasikan
wewenang tersebut kepada perwira komando dibawahnya. Peraturan ini
secara jelas mengijinkan Panglima TNI untuk mengeluarkan keputusan
guna menutup suatu penyelidikan demi kepentingan hukum, publik atau
militer layaknya deponeering yang dimiliki Jaksa Agung. Selain itu hakim
pengadilan militer merupakan perwira aktif dan dapat diberhentikan oleh
Dewan Kehormatan Militer yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima TNI.
Dominasi institusi atau pimpinan TNI dalam sistem peradilan militer
Indonesia bisa dikatakan sebagai ruang penciptaan impunitas (ketiadaan
hukuman atas sebuah kejahatan).
Peradilan militer juga sering kali disinyalir menjadi sarana
impunitas oknum militer yang melakukan tindak pidana umum. Undang
Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyatakan
bahwa pengadilan ini memiliki wewenang untuk mengadili semua tindak
kejahatan yang dilakukan oleh personil militer. Lebih dari itu, undang
undang tersebut menyatakan bahwa pengadilan militer dapat
menerapkan satu dari dua hukum yang berlaku, Hukum Pidana Militer
dan Hukum Pidana Umum. Hal ini dapat diartikan bahwa warga sipil
terkungkung oleh resiko tindak kriminal dibawah berbagai hukum pidana
diluar KUHP, sementara personil militer justru tidak.
Persilangan mandat dari konstitusi dengan doktrin militer dalam
implementasi aturan hukum terhadap militer pada akhirnya hanya akan
mengakibatkan penerapan hukum yang tidak sejajar. Hal ini justru
bertentangan dengan nilai hukum; equality before the law (semua orang
dianggap sama di depan hukum) dan melanggar prinsip nondiskriminasi
yang dijamin dalam konstitusi. Dalam peraturan ini terdapat diskriminasi
berupa yurisdiksi subjektif, dimana peradilan militer sebagaimana yang
diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tidak mengatur
kewenangan (yurisdiksi) berdasarkan delik yang terjadi. 7 Tidak seperti,
misalnya, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang jelas
mengatur relevansi delik pelanggaran HAM yang berat untuk diadili di
Pengadilan HAM ad hoc. Wewenang UndangUndang Nomor 31 Tahun
1997 justru berbasis pada subjek atau pada siapa yang melakukan
kejahatan atau pelanggaran. Subjek yang dimaksud adalah prajurit
militer TNI. Kewenangan ini dijelaskan dalam Pasal 9 ayat 1. Hal ini
menunjukkan bahwa sebuah tindak pidana yang sama akan disidik,
dituntut, dan diadili secara berbeda hanya karena tersangka atau
terdakwa merupakan anggota militer. Selain itu, penggunaan pengadilan
militer tidak hanya untuk kalangan prajurit. Pengadilan militer tersebut
juga potensial digunakan terhadap warga negara lain yang bukan personil
militer di Indonesia, sebagaimana pada pasal 9 ayat 1 poin d. Dengan
7 http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letterchairmanstamboelindonesiasmilitary
courtsystem/Surat kepada Ketua Stamboel tentang Sistem Peradilan Militer Indonesia
kata lain, sangat memungkinkan terjadi militerisasi penghukuman
(secara militer) ke warga sipil lewat pengadilan militer. Disisi lain
Subyektifitas peradilan militer dirasakan saat terdapat beberapa personil
militer melakukan tindak pidana bersamasama, maka mekanisme
persidangan pertamanya dibedakan atas dasar kepangkatan. Dengan
kata lain peradilan militer tidak mengadili “apa yang dilanggar oleh
sesorang?” melainkan “siapa yang melakukan pelanggaran?”. Hal ini
sangat kontradiktif dengan konstitusi negara Indonesia sangat
menjunjung tinggi persamaan hak dihadapan hukum (equality before the
law).
lemahnya praktek peradilan yang adil (fair trial) dan independensi
peradilan menjadi penghalang untuk memenuhi rasa keadilan. Jika
merujuk kembali pada undangundang tersebut, sampai saat ini segala
tindak pidana yang dilakukan oleh personil militer (baik tindakan pidana
militer ataupun pidana umum) akan diadili melalui pengadilan militer.
Namun pengecualian berlaku bagi tindak pelanggaran berat HAM yang
dilakukan oleh personel militer. UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000
Pasal 49 menyatakan ketentuan mengenai kewenangan Ankum dan
Papera tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat menurut undangundang tersebut. Selain itu, yurisdiksi
sistem peradilan militer juga dibatasi untuk tindak pidana korupsi seperti
yang diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 40 dijelaskan bahwa
jika terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di
lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan mengenai Papera
berwenang menutup perkara tidak dapat diberlakukan. Ketentuan serupa
juga ditegaskan kembali dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 42
yang menjelaskan bahwa KPK berwenang mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan koneksitas
tindak pidana korupsi.
Berbagai permasalahan dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun
1997 tidak terlepas oleh aturan hukum tersebut merupakan produk
perundangundangan yang dibangun oleh rezim Orde Baru (ORBA) yang
didominasi militer.8 Pandangan militarism sangat menginfluence dalam
memposisikan militer itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh tim
penulis buku dari Departemen Pertahanan dan Keamanan RI, Brigjen
Soegiri dkk (1976), perlu kearifan dalam menyikapi dan menanggapi
dalam memahami hukum militer, mengingat TNI merupakan institusi
yang memiliki kekhususan dalam pola pembinaan prajurit guna menjaga
naluri tempur prajurit yang memiliki tugas melaksanakan fungsi
pertahanan negara.9 Berdasarkan pernyataan di atas terlihat bahwa
semangat pengkhususan hukum militer dalam rangka membebankan
peran individuindividu militer untuk menjaga integritas militer. Dengan
semangat pentingnya tugastugas militer inilah maka militer
membedakan dirinya dengan masyarakat pada umumnya. Pembebanan
tugas negara secara terangterangan digunakan untuk melakukan
tindakan diskriminasi terhadap pembentukan dan pemberlakuan hukum
terhadap militer di Indonesia. Jadi dapat disimpulkan dalam
implementasinya UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 masih terbentur
dengan kuatnya status quo logika militer di tengah arus utama demokrasi
yang mengutamakan supremasi hukum dan penghormatan terhadap
HAM.
Jika menganut pada stufenbau theory dimana terdapat rantai
validitas yang dapat mempresuposisikan valid dari peraturan diatasnya
pada peraturan dibawahnya, maka undangundang Peradilan militer
8 http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letterchairmanstamboelindonesiasmilitary
courtsystem/Surat kepada Ketua Stamboel tentang Sistem Peradilan Militer Indonesia
9 Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara
Republik Indonesia, Dephankam, 1976
sangat tidak memenuhi persyaratan valid untuk berlaku karena tidak
sesuai dengan amanat konstitusi dan TAP MPR. Selain itu peraturan yang
merupakan produk dari orde baru dianggap sudah tidak relevan dengan
dinamika dan kebutuhan hukum saat ini. Mekanisme judicial review pun
sangat kecil kemungkinannya untuk mendesak proses revisi Undang
Undang tersebut. Hal ini dikarenakan subyek hukum yang berhak untuk
melakukan legal standing adalah para personil militer itu sendiri yang
sampai sekarang tidak pernah merasa peradilan militer itu tidak selaras
dengan prinsipprinsip penyelenggaraan peradilan.
Dari berbagai masalah tentang kusutnya peradilan militer diatas
dapat dikatakan masyarakat militer seolaholah mendapatkan
keistimewaan di hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah
masyarakat yang memiliki keistimewaan dimana kelompok ini
berdasarkan regulasi yang ada tidak pernah tersentuh oleh hukum
terutama di kasuskasus yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia dan
Korupsi. Personil militer haruslah tunduk pada peradilan umum ketika
melakukan tindak pidana umum, dengan kewajiban ini status militer
tidaklah istimewa di depan hukum, karena status militer sebagai warga
negara istimewa hanya ada di negaranegara yang menganut kediktatoran
militer.
Pengadilan Militer hanya terbatas untuk mengadili tindak pidana
militer, tindak pidana militer secara alami tidak terkait dengan kejahatan
biasa dan hanya terkait pada kejahatan yang bersangkut paut dengan
disiplin dan sumpah seorang prajurit. Satu hal yang perlu kembali
diperjelas bahwa tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta peraturan
perundangundangan lainnya berlaku bagi setiap warga negara Indonesia
ataupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di wilayah
yurisdiksi negara Indonesia. keadaan tersebut juga sesuai dengan prinsip
konstitusi bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum, maka dari itu keistimewaan golongan tertentu wajib dihapuskan.
E.
PANDANGAN TERHADAP URGENSI REFORMASI PERADILAN MILITER
Urgensi reformasi terhadap peradilan militer sangat relevan
ditempatkan pada komitmen terhadap reformasi dan perlindungan hak
sipil dan politik. Salah satu dokumen politik kenegaraan yang penting
buah reformasi adalah TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI
dan POLRI. DPRRI sebagai salah suatu lembaga yang menjiwai semangat
dan spirit reformasi tersebut, perlu secara konsisten melanjutkan amanat
TAP MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI. Keputusan
politik tersebut, telah membagi peran TNI dan POLRI dan telah meletakan
dasar penundukan prajurit TNI dalam peradilan militer umum apabila
melakukan tindak pidana umum. Walaupun keputusan ini telah ditindak
lanjuti dalam Pasal 65 ayat (2) UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004,
namun belum cukup apabila perubahan tersebut tidak menyentuh
langsung pada undangundang yang khusus mengatur Peradilan Militer,
yaitu UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997. Padahal reformasi
Peradilan Militer adalah bagian dari reformasi TNI yang seharusnya
menjadi concern utama Pemerintah dalam agenda besar reformasi
nasional. Namun harus diakui bahwa dalam kenyataannya, harapan ini
masih jauh panggang dari api. Reformasi peradilan militer masih belum
sinergis dan reformasi TNI masihlah normatif, parsial dan belum
menyentuh titiktitik krusial. Pembenahan peradilan militer yang tak
kunjung tuntas menunjukkan bahwa komitmen reformasi tidaklah
sepenuh hati, bahkan tak didukung kuat oleh pemerintah.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional
Hak Hak Sipil dan Politik atau Kovenan Sipol, (International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) atau Instrumen HAM pokok internasional
lainnya. Kovenan Sipol ini tidak mengatur secara khusus sistem peradilan
militer. Dalam kerangka reformasi peradilan militer kedepan, pasalpasal
dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 harus dapat mengadopsi
Pasal 14 Kovenan Sipol yang menganut prinsip persamaan di muka
hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan
(administration of justice) tentang prinsipprinsip utama suatu peradilan,
khususnya soal independensi institusi peradilan dan jaminan fair trial
bagi mereka yang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.
Pasal 14 Kovenan Sipol ini dapat menggugat keberadaan praktek
peradilan militer yang menyangkut asas nondiskriminasi. Penafsiran
pasal ini secara implisit tidak membenarkan suatu peradilan khusus bagi
kelompok khusus berdasarkan suatu perbedaan; ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asalusul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya.
Selanjutnya, penafsiran Pasal 26 Kovenan Sipol tentang prinsip
persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai
makna bahwa semua orang harus diperlakukan sama dalam suatu
produk hukum dan legislasi. Sementara itu, perlakuan sama bukan
berarti bentuk perlakuannya harus identik. Makna dari prinsip ini adalah
suatu perlakuan yang sama harus diterapkan kepada suatu fakta yang
polanya sama dan perlakuan yang berbeda harus diterapkan pada suatu
fakta yang polanya berbeda.
Reformasi peradilan militer juga harus memperkuat secara
kelembagaan jaminan indepedensi dan imparsialitas sistem peradilan
militer dengan memperkuat hak dari tersangka dan hakhak korban dan
dapat diajukan banding terhadap putusan ke peradilan sipil yang lebih
tinggi, misalnya ke Mahkamah Agung (MA).
Tuntutan DPRRI untuk melakukan penyempurnaan terhadap
sistem peradilan militer telah dilakukan dengan mengajukan RUU
perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 oleh DPRRI
periode 2004–2009. Namun, terjadi perdebatan yang berkepanjangan
antara DPRRI dan Pemerintah mengenai substansi kewenangan
peradilan militer sampai akhir masa periode DPRRI 2004–2009. Kini
perubahan tersebut mendapat dukungan yang kuat dari DPRRI, tidak
saja dari Anggota Komisi I, tetapi juga dari Komisi III. Anggota Komisi III
DPRRI Deding Ishak misalnya prihatin terhadap terjadinya kasus
Cebongan dan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh personil
militer dalam kasus tersebut. Pendirian Deding Ishak didasarkan pada
pertimbangan aspek sosiologis dan yuridis merevisi UndangUndang
Nomor 31 Tahun 1997.
Dari aspek sosiologis, maraknya tindak pidana yang dilakukan
personil militer menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, jika
penanganannya masih dilakukan oleh pengadilan militer dan bukan
pengadilan umum. Bahkan fenomena masyarakat “istimewa” hukum
Indonesia ditakutkan dapat menjadi kultur yang mendarah daging.
Sedangkan dari aspek yuridis, UndangUndang peradilan militer dinilai
sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian serta tidak konsisten dengan
syarat maupun hirarki peraturan perundangundangan sebagaimana
diamanatkan pada UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Selain itu dari aspek
filosofis, pidana merupakan hukum publik yang esensi dari pidana itu
sendiri adalah sebagai alat pencegahan terjadinya konflik di masyarakat.
Dengan adanya peradilan pidana diharapkan dapat memulihkan konflik
pelaku tidak pidana dengan masyarakat. Maka jika dikembalikan pada
tataran filosofisnya masyarakat umum atau militer kah yang terjadi
konflik disitulah pemulihan konflik melalui peradilan pidana dilakukan.
Bagaimanapun juga keputusan politik yang mengamanatkan
personil militer tunduk pada kekuasaan peradilan umum ketika
melakukan tindak pidana umum adalah hal yang mutlak dan tidak dapat
ditawar lagi. Hal ini harus segera dilakukan untuk menjaga
profesionalisme TNI yang seiring dengan semangat reformasi dan
demokrasi negara ini.
F.
KESIMPULAN
Dengan adanya UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer dapat
dikatakan masyarakat militer seolaholah mendapatkan keistimewaan di
hadapan hukum. Militer telah menjelma menjadi sebuah masyarakat
yang memiliki keistimewaan dimana kelompok ini berdasarkan regulasi
yang ada mendapat tindakan diskriminasi terhadap pembentukan dan
pemberlakuan hukum pidana.
Perbedaan pandangan politik hukum atas tindak pidana umum
yang dilakukan oleh personil militer merupakan suatu bentuk perbedaan
antara pandangan yang konsisten dan yang tidak konsisten untuk
melanjutkan reformasi nasional yang dimulai dari tahun 1998. Substansi
dari agenda perubahan atau reformasi peradilan militer adalah
memastikan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan prinsip
prinsip HAM serta tidak ada perlakuan khusus terhadap personil militer
yang melakukan tindak pidana umum atas warga negara lain dalam
bentuk kompetensi peradilan militer.
Revisi terhadap UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 merupakan
sesuatu yang urgen untuk menjamin proses peradilan yang adil dengan
mengubah ketentuan Pasal 9 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997
yang mendasarkan kewenangan peradilan militer pada tindak pidana
yang dilakukan oleh prajurit dalam hal delik militer, bukan mengadili
tindak pidana umum yang dilakukan oleh personil militer. Ketentuan ini
dimaksudkan supaya selaras dengan prinsip persamaan di depan hukum
serta Kovenan Sipol yang berlaku secara universal.
DAFTAR PUSTAKA
Laili Mahariani, Tesis Tinjauan Yuridis Transparansi Informasi Produk Bank,
FH UI, Jakarta, 2010
Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di
Negara Republik Indonesia, Dephankam, 1976
http://www.hrw.org/es/node/115157/Pengadilan Sipil Mesti Memproses
Tindak Kriminal Tentara
http://www.hrw.org/id/news/2010/04/22/letterchairmanstamboel
indonesiasmilitarycourtsystem/Surat kepada Ketua Stamboel tentang
Sistem Peradilan Militer Indonesia