perlindungan hukum terhadap korban penya (1)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat memiliki dinamika kehidupan yang selalu berubahubah. Hal ini karena dipengaruhi adanya budaya-budaya asing yang masuk
ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga memudarkan budaya asli yang
dimiliki masyarakat itu sendiri. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh
majunya teknologi dan globalisasi.
Tidak hanya budaya asing yang masuk dan mempengaruhi
perubahan sosial ini, industrialisasi yang berkelanjutan juga memberikan
pengaruh besar terhadap perubahan dan dinamika masyarakat, akibatnya
muncul urbanisasi dan gerakan demokrasi untuk menata kembali
masyarakat sesuai dengan prrinsip-prinsip kehidupan demokrasi.1
Perubahan-perubahan dalam masyarakat tentu saja dihadapkan
kepada tradisi dan pemikiran yang sudah mapan dan berimplikasi
menimbulkan situasi-situasi konflik. situasi-situasi konflik ini rentan
merampas hak-hak masyarakat yang ada sehingga dapat menimbulkan
korban.
Penimbulan korban tentu saja tidak terlepas dari suatu tindakan
yang dianggap menyalahi norma yang benar dalam kehidupan masyarakat
baik norma yang tertuang dalam peraturan ataupun norma yang tidak

tertulis (norma yang hidup dalam masyarakat), baik itu norma hukum,
kesusilaan, kesopanan dan agama.
Suatu tindakan yang menyalahi norma tertulis tentu saja
mempunyai sanksi yang tegas. Dalam norma hukum yang tertuang dalam
suatu produk perundang-undangan memiliki ketegasan yang memberikan
kejelasan terhadap suatu tindakan yang salah. Tindakan-tindakan yang
salah itu dapat berupa kejahatan ayaupun pelanggaran. Tergantung
bagaimana akibat dari tindakan itu ketika tindakan itu telah diperbuat.
1 Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum Perkembanngan Metode Dan Pilihan Masalah, Genta
Publishing, Yogyakarta, Hlm. 10.

Tindakan melawan hukum yang pertumbuhannya sangat
membahayakan merupakan suatu penyakit masyarakat, artinya hal tersebut
dapat mengganggu stabilitas kehidupan dalam masyarakat. Sehingga
tindakan ini harus dicegah melalui instrumen hukum yang ada.
Penyalahgunaan Narkotika dewasa ini dapatlah dianggap
sebagai penyakit masyarakat karena tindakan ini tidak hanya dilakukan
oleh kalangan tertentu dengan kualitas-kualitas tertentu, tetapi telah
mewabah dan menjangkau seluruh strata sosial masyarakat dengan sasaran
potensialnya adalah kalangan yang rentan menjadi korban dalam hal ini

adalah generasi muda.
Narkotika pada dasarnya sangat diperlukan dan mempunyai
manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, tetapi penggunaan
narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu,
disatu sisi untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan
kesehatan dan ilmu pengeetahuan tetapi disisi lain untuk mencegah
peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya
penyalahgunaan, maka diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 Tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
Tentang Narkotika yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor
Tahun 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, meskipun demikian,
penyalahgunaan terhadap narkotika tetap terjadi.
Pengaturan narkotika ini untuk mencegah agar penyalahgunaan
narkotika tidak menyebar luas dan menjadi penyakit masyarakat yang
meresahkan di semua strata sosial. Pencegahan itu sasarannya untuk
pelaku maupun korban penyalahgunaan narkotika. Realitasnya, pelaku
penyalahgunaan itu sendiri menjadi korban karena pelaku penyalahgunaan
hanya menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu, terhadap pelaku yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika haruslah diberi perlindungan hukum. Lantas

bagaimana perlindungan hukum itu dilaksanakan melalui sistem peradilan
pidana.
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana perlindungan hukum
terhadap korban penyalahgunaan narkotika melalui sistem peradilan
pidana?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korban
Pengertian korban menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
korban adalah sesuatu (orang, binatang, dan sebagainya) yang menjadi
penderita karena dikenai perbuatan atau kejadian.2
Sebagai acuan definisi terkait korban tertuang dalam kesepakatan
internasional, yaitu dalam rancangan deklarasi dan resolusi kongres
Perserikatan bangsa Bangsa (PBB) Ke 7, yang kemudian menjadi resolusi
MU PBB 40/34 tertanggal 29 Nopember 1995 tentang Declaration of

Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power.3
Barda Nawawi Arief menterjemahkan sebagai berikut, bahwa yang
dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual
maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat)
yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk
peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu
korban termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatanperbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran
terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan
pelanggaran menurut norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara
internasional.4
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang
No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Yang
dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.5
Menurut Arif Gosita, pengertian korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
2 Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Tanpa Tahun, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis,
Arkola, Surabaya, Hlm. 294.
3Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Dibidang Pertanahan, LaksBang Pessindo, Yogyakarta,

Hlm, 17-18.
4Barda Nawawi Arief, 1997, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Kumpulan Makalah), ex Kerjasama Indonesia Belanda Bidang Hukum, Semarang, Hlm,
51-52.
5 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.

mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. 6 Korban
yang dimaksud oleh Arif Gosita diantaranya individu, atau kelompok baik
swasta maupun pemerintah.
Pengertian korban menurut Stanciu yang dikutip oleh Farhana
menyatakan bahwa “the victim, in the broad sense, is who suffer unjustly
(from the latin victima, which signifiers the creature offered in sacrifice to
the gods). Thus, the two characteristics traits of the victim are suffering
and injustice. Suffering must be unjust and not necessary illegal.”7
Menurut Mardjono, mengenai korban meliputi pelanggaran
terhadap hak asasi manusia yang bersumber dari penyalahgunaan secara
melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power)
seperti pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan, penipuan

konsumen, penyelewengan dalam bidang perdagangan oleh perusahaanperusahaan transnasional dan sebagainya, dan penyalahgunaan secara
melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuse of public power), seperti
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh
alat penguasa dan sebagainya.8
Pengertian korban tidak hanya sebatas pengertian saja, tetapi ada
juga ciri yang melekat pada pengertian korban. Ciri yang dimaksud adalah
bahwa korban mengalami penderitaan (suffering) dan ketidakadian
(injustice).9
B. Model Perlindungan Korban
Model perlindungan korban dapat dibagi atas beberapa macam
model, yaitu10:
6 Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, Hlm. 41.
7 Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Pendekatan Viktimologis
Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Farhana, 2010, Aspek Perdagangan Orang Di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 157.
8 Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban dalam Ibid, Hlm.
158.
9 Ibid, Hlm. 157.
10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
Hlm. 79-80.


1. The Procedural Right Model
Model ini menekankan dimungkinkannya korban berperan
aktif dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa, dilibatkan
dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya
apabila terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat
korban sebagai subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas
untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya.
Keuntungan model ini adalah model ini dianggap dapat
memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun masyarakat.
Selain itu, keterlibatan korban seperti ini memungkinkan korban untuk
memperoleh kembali rasa percaya diri dan harga diri dan
meningkatkan arus informasi ini didominasi oleh terdakwa yang
melalui kuasa hukumnya yang dapat menekan korban sebagai saksi
korban dalam persidangan.
Model ini juga memliki kelemahan, bahwa model ini dapat
menimbulkan konflik antara kepentingan umum dan kepentingan
pribadi. Partisipasi korban dalam administrasi peradilan pidana dapat
menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan pribadi,
padahal sistem peradilan pidana harus berlandaskan pada kepentingan

umum. Kerugian lain adalah kemungkinan hak-hak yang diberikan
pada korban dapat menimbulkan beban mental bagi yang bersangkutan
dan membuka peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran tindakantindakan yang bersifat menekan dari pelaku tindak pidana.
Secara psikologis, praktis, dan finansial kadang-kadang
dianggap juga tidak menguntungkan. Kegelisahan, depresi, dan sikap
masa bodoh korban tidak memungkinkan baginya berbuat secara
wajar, dan berpendidikan rendah.
2. Service Model
Model ini menekankan pada pemberian ganti kerugian
dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan upaya pengembalian kondisi
korban yang mengalami trauma, rasa takut, dan tertekan kejahatan,
sehingga diperlukan standar baku bagi pembinaan korban yang dapat

digunakan polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai
sasaran khusus untuk melayani dalam kerangka para penegak hukum.
Keuntungan model ini adalah model ini dapat digunakan
sebagai sarana pengembalian kondisi korban yang dinamakan integrity
of the system of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif
komunal. Korban akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam
suasana tertib sosial yang adil. Suasana tertib, terkendali dan saling

mempercayai dapat diciptakan kembali. Model ini dapat menghemat
biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana
dapat mempertimbangkan kerugian-kerugian yang diderita korban
dalam rangka menentukan kompensasi bagi korban.
Kelemahan model ini antara lain kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu
melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada korban, dianggap akan
membebani penegak hukum kaena semua didasarkan atas sarana dan
prasarana yang sama. Efesiensi dianggap juga akan terganggu, sebab
pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin digabungkan
dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu efesiensi.
C. Tinjauan Umum Mengenai Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan

tanaman,

baik

sitesis


maupun

semisintesis,

yang

dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkn
keetergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.11
Narkotika golongan I, ini hanya dapat di gunakan untuk ilmu
pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi
sangat tinggi yang menimbulkan ketergantungan. Contohnya: Heroin,
Cocain, Ganja, Shabu, Extacy, LSD, Opium.
Narkotika golongan II ini adalah yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan terapi dan pengembangan ilmu

11 Lihat Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


pengetahuan yang mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan
ketergantungan. Contohnya: Morfin, Petidin.
Narkotika golongan III, Narkotika jenis ini yang berkhasiat
untuk pengobatan dan banyak digunakan terapi dan pengembangan Ilmu
pengetahuan

yang

mempunyai

potensi

ringan

mengakibatkan

ketergantungan. Contohnya: Codein, Bufrenofin.
Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika mengatur mengenai korban sebagai penyalahguna
narkotika. Tata cara pemberian sanksi dan sanksi yang dikenakan bagi
korban penyalahguna narkotika terdapat dalam Pasal 4, Pasal 53, Pasal
103 dan Pasal 127.
D. Sistem Peradilan Pidana
Pada dasarnya ada beberapa model yang berkembang baik di
negara kontinental maupun di negara anglo saxon. Model ini tidak dapat
dilihat sebagai suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan hidup yang
harus dipilih melainkan harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa
dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas di dalam
pelaksanaan proses peradilan pidana.
Beberapa model sistem peradillan pidana dapat dijelaskan
sebagai berikut:12
1. Crime Control Model
Dalam crime control model (CCM) didasarkan pada
pernyataan bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan proses
peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum.
Untuk mencapai tujuan yang amat tinggi ini, maka ccm menyatakan
bahwa perhatian utama haruslah ditujukan pada efesiensi. Efesiensi ini
adalah diatas segalanya. Efesiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan
daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana.
Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera
selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan
upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya
12 Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, Hlm. 43.

perlawanan dari pihak lain karena hal itu hanya menghambat
penyelesaian perkara.
Doktrin yang digunakan oleh CCM adalah apa yang dikenal
dengan nama presumtion of guilt (praduga bersalah). Dengan doktrin
ini maka CCM menekankan pentingnya penegasan eksistensi
kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan
pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan
pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa, dan hakim) harus
semaksimal mungkin meskipun mengorbankan hak-hak asasi manusia.
2. Due Process Model
Model ini merupakan reaksi terhadap CCM, pada
hakekatnya menitikberatkan pada hak-hak individu dan berusaha
melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa proses pidana harus dapat
diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya
ditekankan pada maksimal efesiensi belaka seperti CCM melainkan
pada prosedur penyelesaian perkara. Pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah ini mencerminkan ideologi atau cita-cita cpm yang
mengandung apa yang disebut anti cita-cita kesewenangan.
Berbeda dengan CCM yang didasarkan presumption of guilt
maka pada DPM didasarkan pada presumption of innocence sebagai
dasar nilai sistem peradilan. Oleh DPM dituntut adanya suatu proses
penyelidikan terhadap suatu kasus secara formal dan menemukan fakta
secara obyekif di mana kasus seorang tersangka atau terdakwa
didengar secara terbuka di muka persidangan dan penilaian atas
tuduhan penuntut umum baru akan dilakukan setelah terdakwa
membantah atau menolak tuduhan kepadanya. Jadi yang penting ialah
pembuktian dalam pengadilan dan tuntutan bagaimana akhir dari suatu
proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam DPM.
3. Family Model

Family model adalah suatu perumpamaan yang ada dalam
keluarga kita yakni meskipun salah satu keluarga kita pukul, jewer
namun dia tetap dalam kasih sayang tanpa memperlakukan sebagai
orang jahat yang khusus (special criminal puple). Demikian pula
terhadap penjahat, jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai anggota
masyarakat dan tetap dalam suasana kasih sayang. Inilah gambaran
dari family model.
Dalam

sistem

peradilan

pidana

ada

beberapa

tahapan,

diantaranya adalah:
1. Penyidikan
KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai berikut:13
“serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut
penyidikan adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik
b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
c. Pemeriksaan ditempat kejadian.
d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
e. Penahanan sementara.
f. Penggeledahan.
g. Pemeriksaan atau interogasi.
h. Berita acara.
i. Penyitaan.
j. Penyampingan perkara.
k. Pelimpahan
perkara
kepada
penuntut

umum

dan

pengembaliannya keada penyidik untuk disempurnakan.
2. Penuntutan
Penuntutan

adalah

tindakan

penuntut

umum

untuk

melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

13 Lihat Pasal 1 Angka 2 Kitab Hukum Acara Pidana.

dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.14
Mengenai kebijakan penuntut, penuntut umumlah yang
menentukan suatu perkara hasil penyelidikan apakah sudah lengkap
ataukah tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili.15
3. Pemeriksaan Perkara di Persidangan
Pemeriksaan perkara ini dibagi menjadi tiga cara, yaitu:
a. Pemeriksaan biasa
Pada pemeriksaan perkara biasa dalam undang-undang
tidak mencantumkan batasan-batasan tentang perkara-perkara
yang masuk dalam pemeriksaan biasa.
b. Pemeriksaan singkat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan singkat adalah
perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana.16
c. Pemeriksaan cepat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat adalah yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang
ditentukan dalam paragraf 2 baggian ini.17
E. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika
Golongan I Melalui Sistem Peradilan Pidana
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, mengenai
perlindungan hukumnya terhadap korban penyalahgunaan narkotika atau
dapat disebut self victimizing menganut service model. Hal ini dikarenakan
pada awalnya korban penyalahgunaan narkotika ini sebelumnya bertindak
sebagai pelaku yang menggunakan narkotika.
14 Lihat Pasal 1 Angka 7 Kitab Hukum Acara Pidana.
15 Lihat Pasal 139 Kitab Hukum Acara Pidana.
16 Lihat Pasal 203 Ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana.
17 Lihat Pasal 205 Ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana.

Tujuan dari perlindungan hukum dengan model pelayanan ini
adalah untuk mengembalikan kondisi korban yang dalam Undang-Undang
Tentang Narkotika adalah rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 54 dan
Pasal 55.
Penyidikan yang dilakukan kepada pelaku pengguna narkotika
(pecandu narkotika) dilakukan dengan asas praduga tidak bersalah.
Maksud dari penggunaan asas ini supaya penyidikan dapat menemukan
fakta secara obyektif, untuk membuktikan bahwa pecandu menggunakan
narkotika untuknya sendiri. Penyidikan yang dilakukan terhadap pecandu
narkotika haruslah mendapat bantuan hukum, supaya hak-haknya
tersampaikan tanpa tekanan.
Dalam hal penuntutan,

jaksa

penuntut

umum

harus

membuktikan bahwa pelaku benar-benar cukup bukti untuk menunjukkan
bahwa penyalahgunaan narkotika hanya untuk dirinya sendiri. Penuntutan
yang dilakukan juga harus bersandarkan pada asas praduga tak bersalah
agar fakta-fakta yang didapat selama proses pembuktian dipersidangan
dinilai secara obyektif oleh hakim.
Sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pecandu narkotika,
Berdasarkan Pasal 103, Hakim dapat memutus untuk memerintahkan
pecandu narkotika menjalani perawatan atau pengobatan melalui
rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti secara sah melakukan
penyalahgunaan narkotika sekalipun penggunaan narkotika golongan I
untuk diri sendiri diancam dengan sanksi pidana 4 tahun penjara.
Hal ini sebagai upaya bahwa terhadap pecandu narkotika
bukanlah harus diberikan sanksi tegas berupa sanksi pidana, melainkan
harus dengan upaya-upaya yang bertujuan untuk mengembalikan
kondisi/keadaan si pecandu narkotika dalam hal ini merupakan korban.
Kemudian ini dianggap sebagai bentuk upaya perlindungan
terhadap korban melalui model pelayanan karena untuk membuktikan
suatu kebenaran seseorang itu telah menjadi pecandu harus tetap melalui
aparat penegak hukum (perwakilan melalui negara) untuk mengembalikan
kondisi-kondisi korban.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika
menggunakan

model

pelayanan,

artinya

konsep

perlindungannya

diwakilkan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya. Dalam sistem
peradilan pidana, perlindungan hukum itu dilakukan dengan menggunakan
asas praduga tak bersalah (presumption of innoncence) dengan harapan
agar fakta-fakta yang dihadirkan dalam setiap proses peradilan dimulai
tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidanga dapat
dinilai secara obyektif.
Sebagai salah satu upaya perlindungan hukum terhadap
penyalahgunaan narkotika sebagai pelaku yang menjadi korban, penerapan
sanksi pidana dapat diabaikan dengan adanya Pasal 54, Pasal 55 yang
mengatur mengenai rehabilitasi dan Pasal 103 mengenai hakim dalam
memutus perkara terhadap pecandu narkotika yang terbuti maupun tidak
terbukti secara sah.
B. Saran
Hendaknya instrumen hukum mengenai perlindungan korban
penyalahgunaan narkotika haruslah lebih jelas supaya bisa mendapatkan
kepastian hukum.