Perjalanan Manusia Indonesia yang Pernah

Lomba Esai Kategori Umum Bulan Bahasa UGM
Topik: Perjalanan

“Perjalanan Manusia Indonesia yang Pernah Sakit Hati”
Oleh Jeanne Francoise
(Penulis adalah Sarjana Humaniora Prodi Prancis FIB UI Konsentrasi Sejarah,
sekarang aktif sebagai Fasilitator Ilmu Politik Program Komjak KAJ)
Dalam rangka meramaikan Bulan Bahasa UGM, esai ini ditulis dengan maksud
menyampaikan gagasan ilmiah tentang rasa sakit hati, sebagai sebuah penghalang kemajuan
individu Indonesia, yang akan penulis kaitkan dengan 3 (tiga) momen perjalanan kolektif
bangsa Indonesia, yakni Merdeka, Demokrasi, dan Modern; yang disingkat menjadi
“Merkader”.
Apabila dianalisis secara ilmu sintaksis Bahasa Indonesia, “sakit hati” dapat
didefinisikan sebagai sebuah kondisi batin yang dirangkai dari dua kata saja, yakni kata
“sakit” dan kata “hati”. Tentang analisis asal-usul gabungan kedua kata tersebut tentu perlu
ditanya lebih jauh kepada ahli morfologi Bahasa Indonesia karena bisa saja makna yang ingin
dikonstruksi dapat diwakilkan dengan “pilu hati” atau “pedih hati” atau “galau hati”.
Setiap individu yang pernah mengalami sakit hati, tentu tidak perlu menjadi ahli
semantik untuk memahami rasa sakit hati itu. Sakit hati artinya sedang merasakan rasa
ketidakbahagiaan. Entah itu ditolak, dipermalukan, dikhianati, dihina, diperolok, atau tidak
dihargai. Dari pengalaman penulis sendiri, kedua kata itu terkait kepada segala hal dalam

hidup, sehingga hati ini seolah pecah-pecah tidak berbentuk yang dampaknya panjang ke
dalam aksi kehidupan sehari-hari. Penulis menjadi lebih pendiam, lebih murung, dan lebih
sensitif. Namun, penulis bersyukur pernah mengalami sakit hati, sehingga perjalanan hidup
ini tetap ada cerita.
Bagaimana dengan pengalaman saudara-saudari pembaca sendiri? Apakah pernah
merasakan sakit hati? Bagaimana rasanya? Mungkin ada yang bilang tidak enak, pilu, pedih,
galau, kecewa, hilang arah, sedih, sepet, nyesss, miris, menyebalkan, tidak karuan, pokoknya
tidak bisa terperi dengan kata-kata. Ya, rasa sakit hati memang bisa diderita setiap individu,
tanpa memandang latar belakang kebangsaan, keluarga, pendidikan, ataupun jumlah harta
kekayaan. Sakit hati rasanya sama di dunia manapun.

Sebagai manusia, tidak ada yang menjamin bahwa kehidupan kita dari bayi sampai
lansia bebas dari sakit hati. Tidak ada yang namanya asuransi sakit hati. Asuransi itu tidak
didapatkan ketika kita mulai jatuh cinta kepada pasangan ataupun ketika timbul rasa sayang
kepada para sahabat. Oleh sebab itu, ketika ada pengkhianatan, maka sakit hati itu tidak bisa
dibayar dengan uang dan tidak bisa dihilangkan dengan cepat.
Rasa sakit hati memang lumrah dimiliki setiap orang yang bernapas dan memiliki
nyawa karena manusia itu sifat alamiahnya berkompetisi dan tidak mau kalah (Dawkins,
2006). Dalam ilmu psikologi sosial, rasa sakit hati itu bisa timbul karena ada harga diri yang
dipertaruhkan (Kruglanski, 2007). Entah itu terkait dengan cinta, kasih sayang, kepercayaan,

dan dedikasi atau pengabdian.
Relasi dengan orang lain kadang menimbulkan sakit hati apabila ada harapan atau
ekspektasi yang tidak terjadi. Misalnya relasi seorang jenderal militer Sun Bang Yan Gie
yang selalu dikhianati sahabatnya dan akhir hidupnya difitnah sebagai seorang pemberontak
dan kedua kakinya pun dilumpuhkan (Marcus, 2010). Sakit hati itu juga mungkin timbul dari
pasangan yang selingkuh, misalnya pengalaman hidup calon presiden wanita pertama
Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Hillary Rodham Clinton.
Melihat fakta-fakta sejarah itu, penulis termasuk ke dalam akademisi yang menolak
tesis dari pemikir Filipina, Anthony de Mello, SJ, bahwa rasa sakit hati itu timbul karena
pilihan pribadi, bukan karena orang lain. Dari perjalanan pribadi penulis dan juga kesadaran
akan sejarah dunia, terkadang rasa sakit hati itu timbul karena orang lain, misalnya
penembakan peluru kesasar pada saat kerusuhan Mei 1998 di Indonesia dan Demonstrasi
Mahasiswa di Lapangan Tianamen China pada tahun yang sama. Keluarga korban pasti sakit
hati dan ini bukanlah sebuah pilihan. Seperti sindiran sosial dari Jean-Paul Sartre, L’enfer
c’est les autres. Neraka adalah orang lain.
Terkait dengan sakit hati itu, penulis visioner Prancis, Jules Verne, pernah melawak
dengan kasar bahwa, “Manusia ingin menjadi robot dan bersikap seperti robot, tapi tidak bisa
mencari tombol hidup robot pada tubuhnya”. Artinya adalah Jules Verne mengkritik kekuatan
manusia itu sendiri bahwa manusia bersikap seolah-olah tidak punya hati, tetapi manusia itu
sadar tidak bisa mematikan rasa hati itu karena tombol hidup robot hanya akan aktif apabila

kepekaan rasa hati manusia itu dimatikan dengan sengaja. Manusia tidak akan pernah bisa
menjadi robot karena tidak akan pernah bisa mematikan rasa hati tersebut. Dengan demikian,
manusia ditakdirkan punya hati, sehingga pasti pernah sakit hati, namun tidak ditakdirkan
berlarut-larut dalam rasa sakit hati itu karena ada rasa-rasa lain yang perlu diberi perhatian.

Kepekaan hati manusia haruslah dipelihara agar tidak menjadi robot seperti sindiran
Jules Verne. Dalam kaitannya dengan rasa kebangsaan, memiliki sakit hati pribadi itu lumrah,
namun perlu dipikirkan juga posisi kita sebagai individu Indonesia, sehingga individu
Indonesia dapat mendefinisikan sakit hati tidak hanya terkait perjalanan hidup pribadi, tetapi
perjalanan hidup sebagai sebuah bangsa yang Merkader (Merdeka, Demokrasi, dan Modern),
yakni memiliki hati yang peka dan dewasa.
Hati yang peka itu adalah hati yang dewasa yang artinya bukan berarti mengabaikan
rasa sakit hati, namun bisa merasakan rasa sakit hati dengan rasional. Justru menjadi individu
Indonesia yang Merkader haruslah memiliki rasa sakit hati yang mewakili rasa sakit hati
Indonesia sebagai sebuah bangsa, bukan lagi sakit hati-sakit hati pribadi. Sebagai contoh
keluarnya Indonesia dari PBB. Sebagai sebuah bangsa, pada saat itu Indonesia merasa sakit
hati dihina oleh Malaysia dan merasa tidak ditolong oleh sistem PBB.
Selain itu, kedewasaan hati individu Indonesia, tercermin ke dalam kedua kisah
berikut. Pertama adalah relasi antara Inggit Ganarsih dan Presiden Soekarno. Dalam
perjalanan meraih kemerdekaan, Presiden Soekarno pernah mengaku Inggit Ganarsih

merupakan tokoh perempuan yang memengaruhi pemikiran politiknya, baik ketika berdiskusi
serius, maupun ketika sayang-sayang-an di tempat tidur. Ketika Presiden Soekarno menyakiti
hati Inggit Ganarsih dengan menikah lagi dengan Fatmawati, Inggit Ganarsih pastinya sakit
hati, namun terkait dengan kehidupan kebangsaan, Inggit Ganarsih tidaklah lalu menaruh
dendam kepada Soekarno lalu melaporkan keberadaan Soekarno kepada Belanda. Malahan,
Inggit Ganarsih, yang sakit hati itu, tetap melanjutkan perjuangan kemerdekaan di Bandung
dengan selalu menyebut nama Soekarno sebagai Bapak Proklamator Indonesia (Ramadhan
K.H., 1981).
Kisah kedua adalah persahabatan antara Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu sosok sastrawan yang berani membakar karyakarya sahabatnya, Mochtar Lubis. Mochtar Lubis jelas merasa sakit hati sekali tidak
menyangka perbuatan sahabat kentalnya itu dan menolak Pramoedya Ananta Toer menjadi
pemenang anugerah sastra Ramon Magsasay Award. Namun, toh Mochtar Lubis tetap baik
datang ke pernikahan anaknya Pramoedya Ananta Toer dan mereka berdua tetap akrab
bersalaman seperti laiknya kedua sahabat karib (Sumber: Bedah Buku Fernando Baez,
Bentara Budaya Jakarta, 2015).
Dari kedua kisah nasional tersebut, penulis tidak menuntut pembaca untuk berbaikan
kembali dengan sang mantan pacar, atau kembali berteman dengan mantan sahabat yang
berkhianat, namun dalam kaitannya dengan konteks kebangsaan, apabila di kemudian hari

Anda perlu berkomunikasi dengan mereka yang menyakiti hati Anda demi alasan kebangsaan

atau kenegaraan NKRI, maka dahulukanlah kepentingan NKRI. Artinya adalah bersikaplah
baik ketika berkomunikasi dengan mereka yang Anda anggap menyakiti hati Anda di ruang
publik, tanpa perlu menjadi baik ketika berdua saja di ruang privat. Seperti perkataan Raja
Jallaludin Muhammad Akbar dari Kerajaan Mughal, “Seorang kesatria tidak perlu
menunjukkan rasa sakit hatinya di depan umum”. Dengan demikian, Anda tidak munafik,
tetapi juga tidak lemah. Sakit hati itu memang urusan privat, bung!
Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia merupakan negara kesatuan yang punya
serangkaian pengalaman sakit hati yang memakan korban nyawa warga negara. Hal tersebut
dimulai dari mulai pengalaman G 30 S 1965, GAM di Aceh, Otsus di Papua, Mei 1998,
Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Periuk, Makam Mbah Priok, Peristiwa Rembang,
Aceh Singkil, dan sekarang adalah asap Kalimantan Tengah. Namun apakah saudara-saudari
pernah melakukan analisis sejarah dan politik bahwa pengalaman sejarah bangsa Indonesia
yang sakit hati itu timbul karena dikondisikan oleh aktor konflik yang lebih besar?
Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy mengatakan “segala sesuatunya
itu dikondisikan”. Artinya, ada sistem yang lebih tinggi daripada rasa sakit hati bangsa
Indonesia itu sendiri, bahwa pengalaman-pengalaman rasa sakit hati bangsa Indonesia itu bisa
saja sengaja dikondisikan oleh intelijen tertentu demi memecah persatuan, sehingga
pemerintah Indonesia melupakan permasalahan utama bangsa Indonesia: Menghapus
Kemiskinan.
Penulis termasuk akademisi yang menolak pendapat peraih Nobel Ekonomi, Joseph

Stiglitz, bahwa pendidikan merupakan kunci menghapus kemiskinan. Pendidikan bukan
kunci tunggal penghilangan kemiskinan karena setiap individu bisa sekolah setinggitingginya asalkan bisa membayar pendidikan itu. Sebagai contoh apabila ingin ikut beasiswa
LPDP, maka harus bisa membayar tes IELTS atau TOEFL atau ingin lulus ujian advokasi ya
harus membayar sejumlah uang ujian advokat. Dengan demikian, di Indonesia, uang
masihlah unsur utama sistem pendidikan. Apabila orang miskin bisa jadi sarjana, maka orang
kaya pun bisa menjadi sarjana. Pendidikan bukanlah kunci signifikan dalam menghapus mata
rantai kemiskinan Indonesia.
Selain itu, pengalaman sejarah konflik Belfast, Irlandia Utara, telah membuktikan
bahwa pendidikan tinggi penduduk tidak menjamin sebuah daerah bebas konflik. Rata-rata
penduduk Belfast itu sudah S3 dan memiliki tanah dan peternakan yang luas, namun masih
saja ada tradisi balas dendam, seperti orang Madura yang melakukan carok. Sekali lagi, hal

tersebut membuktikan pendidikan tinggi bukanlah kunci signifikan dalam membentuk
karakter mental individu menjadi pribadi yang hatinya peka dan dewasa.
Apabila pendidikan itu ingin dikaitkan dengan penghapusan kemiskinan dan
pembentuk karakter damai sejak dini, maka Jerman merupakan contoh negara yang ideal. Di
Jerman, semua warga negaranya berhak mendapatkan pendidikan gratis dari Sarjana hingga
tingkat Doktoral karena pemerintah Jerman konsisten menganggarkan banyak dana parlemen
untuk pendidikan warga negaranya. Selain itu, setiap warga negara Jerman pasti sudah pernah
ke benua lain untuk sekadar short course. Disinilah karakter orang Jerman dibentuk menjadi

bangsa yang percaya diri dan berani berkompetisi, walaupun di dalam sanubari terdalam,
masih ada rasa sakit hati terhadap kebijakan Holocaust Hitler.
Dari kisah Jerman itu, kita bisa belajar bahwa rasa sakit hati itu bisa bersifat turun
temurun karena cerita dari pada orangtua dan kakek-nenek, namun kemajuan bangsa itu tetap
nomor satu. Tujuan daripada berpikir rasional itu adalah menghilangkan dampak-dampak
negatif dari sakit hati karena sampai kapanpun, identitas itu terus melekat dan menjadi bagian
dari hidup kita. Menjadi bangsa merdeka dan demokrasi saja tidaklah cukup untuk menguji
kebersamaan kita. Justru dengan menomorduakan rasa sakit hati dan bekerja bersama-sama
membangun bangsa ini, makan tahap modernisasi akan dirasakan semua kalangan secara adil.
Agaknya adil pula apabila menganalisis rasa sakit hati yang timbul secara sistemik,
maka haruslah dihilangkan secara sistemik. Tiga obat sakit hati sistemik individu Indonesia
itu tidak lain dan tidak bukan adalah Merkader. Merdeka dalam pengertian pengalaman
kemerdekaan merupakan obat daripada perjuangan panjang melawan penjajah. Demokrasi
dalam pengertian setiap individu Indonesia bebas mengemukakan pendapat, bahkan boleh
mem-bully presiden. Namun, kebebasan demokrasi haruslah bertanggung jawab, sedangkan
Modern dalam pengertian adanya kontinuitas pemikiran yang rasional.
Di dalam strategi kesuksesan modern, kuncinya adalah repetisi pemikiran rasional
yang tidak diberhentikan, seperti kata filsuf Prancis Rene Descartes, La Répétition est la
Mère de la Science; repetisi adalah ibu ilmu pengetahuan. Ibarat membuat produksi mobil
SMK dalam negeri, maka mungkin di tahun pertama belum tentu hasil produksi mobil itu

baik benar, namun ketika tahun-tahun berikutnya repetisi produksi mobil dalam negeri ini
terus dilanjutkan, maka pasti akan ada Mercedes khas Indonesia.
Mungkin ada pembaca yang kritis menanggapi esai ini dan bertanya bagaimana
parameter seorang individu Indonesia itu sudah memiliki hati yang peka dan dewasa dalam
menyikapi rasa sakit hati? Pertanyaan ini penulis kembalikan kepada para pembaca, mau

tetap memendam rasa sakit hati yang menyebabkan penyakit fisik atau merasionalisasikan
rasa sakit hati itu.
Orang besar pun mampu mengubah rasa sakit hati menjadi kekuatan. Contoh Ibnu
Khaldun, yang pernah sakit hati dipecat dari pekerjaan, J.K. Rowling pernah sakit hati karena
naskah Harry Potter-nya pernah ditolak, Soekarno pernah sakit hati tidak diberi pakaian ganti
waktu ditangkap Belanda, ataupun Mohammad Hatta pernah sakit hati dibentak seorang
jenderal Jepang. Mungkin saja penulis akan sakit hati apabila naskah esai ini tidak
diperhitungkan oleh panitia Bulan Bahasa UGM.
Dalam prinsip universalitas, Nurholis Madjid mencoba memberi obat sakit hati
individu dengan selalu mendekat kepada Sang Pencipta, dalam ritual agama masing-masing,
atau dalam Bahasa Latin: Totuus Tuus. Libatkanlah Tuhan Allah dalam semua detik hidupmu. Nurcholis Madjid memang sudah tiada, namun gema universalitas kebaikan masih
digaungkan oleh pemikir-pemikir agama moderat, seperti Prof. Siti Musdah Mulia, Ulil
Abdala, dan Prof. Azyumardi Azra. Kehadiran tokoh agama hendaknya memang menjadi
penenang orang yang sedang sakit hati, bukan malah menjadi aktor konflik.

Sesakit-sakitnya hati individu Indonesia, ada sebuah strategi non-militer yang
dinamakan “move on”. Oleh sebab itu, “move on” bangsa ini dimulai dari individu-individu,
dimulai dari penulis, dari Anda, dari kita semua. Dalam KBBI, “move on” laiknya setara
dengan “maju ke depan”. Demokrasi memberikan banyak pilihan kepada individu untuk
melupakan rasa sakit hati pribadi, entah jalan-jalan ke luar negeri, menulis puisi, ataupun
main teater, namun ingat, walaupun hati sedang patah, individu Indonesia haruslah maju ke
depan.
Dengan demikian, esai ini tidak hanya bermaksud meramaikan lomba esai Bulan
Bahasa UGM. Siapapun saudara-saudari yang kebetulan membaca esai ini, penulis ingin
menyerukan, bahwa mungkin sekarang Anda sedang sakit hati, dengan perjalanan hidup
masing-masing, namun ingatlah bahwa rasa sakit hati itu tidak diberikan Tuhan Allah secara
gratis tanpa ada pelajaran yang bisa diambil. Bangunlah, bergeraklah, dan majulah.
Daftar Referensi
Awaludin, Hamid. 2009. Peace in Aceh: Notes on the Peace Process between the Republic of
Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki. Jogjakarta: Kanisius
Printing House.
Dawkins, Richard. 2006. The Selfish Gene. Amerika: Oxford University Press.

Djumala M.A., Dr. Darmansjah. (2013). Soft Power untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Griffith, Samuel B. (tt). Sun Tzu: Art of War. London: Oxford University Press.
Kruglanski, Arie W. & Higgins, E. Tory. 2007. Social Psychology: Handbook of Basic
Principles 2nd Edition. New York: The Guilford Press.
Marcus. 2010. Sun Bang Yan Gie. Jakarta: Sinar Harapan Bangsa.
Ramadhan K.H. 1981. Kuantar Kau Ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit Ganarsih dan Presiden
Soekarno. Jakarta: Sinar Grafiti Press.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Peningkatan Produktivitas sekolah : penelitian di SMK al-Amanah Serpong

20 218 83