Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesi. pdf

REFLEKSI PENDIDIKAN KONTEMPORER
INDONESIA:
Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan

Dipresentasikan Pada Rapat Majelis Guru Besar, UNY
Pada Hari/Tg: Senin, 23 Juni 2014
Tempat: Ruang Sidang Utama Senat UNY

Oleh

Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Universitas Negeri Yogyakarta

0

PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, amin.
Ketua Majelis Guru Besar UNY yang saya hormati
Bapak Rektor UNY yang saya hormati

Bapak Sekretaris dan Anggota Majelis Guru Besar UNY yang saya hormati
Pertama, saya mengucapkan Puji Syukur ke Hadlirat Allah SWT yang telah memberi
Karunia, Hidayah dan Rakhmat kepada kita semua sehingga kita dapat melakukan Rapat
Mejelis Guru Besar pada pagi hari ini.
Kedua, saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya yang tak ternilai harganya kepada
Bapak Ketua Majelis Guru Besar UNY dan seluruh anggota, atas kepercayaan kepada saya
untuk menyampaikan Refleksi/Analisis Politik dan Ideologi Pendidikan baik secara oral
maupun tertulis di hadapan Sidang/Rapat Majelis Guru Besar UNY, pada hari ini Senin, 23
Juni 2014 pk 10.00 WIB di Ruang Sidang Utama Senat UNY.
Ketiga, berkaitan dengan Isi Presentasi seperti tersebut di atas, sebagai prolog,
perkenankanlah saya ingin menyampaikan beberapa hal bahwa:
a). Tertunjuknya saya untuk meyampaikan Presentasi pada pagi ini adalah bersifat alami
(natural) dari hasil perjalanan aktivitas dan interaksi saya sebagai Anggota Majelis Guru
Besar.
b) Untuk menyampaikan Presentasi pada hari ini, saya tidak mempunyai motif apapun
kecuali berusaha untuk ikut (menurut hemat kami) berpartisipasi aktif mencari solusi Krisis
Multi Dimensi Bangsa Indonesia, secara akademik, empiris dan independen.
c) Sebagaimana dimaklumi oleh segenap Anggota Majelis Guru Besar dan komunitas/civitas
yang lebih luas di UNY, seperti ditunjukkan dengan track-record saya, maka Presentasi saya
pada pagi hari ini, insyaAllah terbebas dari segala kepentingan baik perorangan, kelompok

maupun institusi lainnya, kecuali semata-mata untuk mengabdi pada UNY dan Pendidikan
Nasional; dan bersifat netral sebagaimana ketentuan sebagai PNS. Oleh karena itu isi
Presentasi semata-mata adalah Hak Cipta saya dan tanggung-jawab pribadi saya.
d) Presentasi saya pagi hari ini adalah akumulasi hasil belajar, perenungan, kegiatan
mengajar, penelitian, kerjasama akademik, dan pengalaman hidup sesuai dengan latar
1

belakang dan profesi saya bidang Pendidikan (Matematika), Filsafat (Ilmu), dan Politik
Pendidikan. Dengan demikian Presentasi saya sama sekali tidak bermaksud menggurui
Anggota Majelis Guru Besar, tetapi lebih dapat dipandang sebagai Laporan Hasil Kajian,
untuk selanjutnya bersifat terbuka dan ikhlas menerima saran dan perbaikan.
e) Dengan selalu memohon Ridha dari Allah SWT dan ijin dari Ibu/Bapak semua
perkenankanlah saya menyampaikan Presentasi saya secara Oral dilengkapi dengan: 1. Print
Out Presentasi (Makalah), 2. Power Point.
e) Akhirnya perkenankanah saya memohon maaf jika terdapat kekurangan atau kesalahan
atas Presentasi saya dengan tetap selalu mengharap Bimbingan dan Arahan dari para Senior
saya.
Demikianlah Pembuka Presentasi saya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Prof. Dr. Marsigit, M.A.

NIP.: 195707191983031004

2

REFLEKSI PENDIDIKAN KONTEMPORER INDONESIA:
Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik Dan Ideologi Pendidikan
Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A
Email: [email protected]

A. PENDAHULUAN
Uraian saya tentang Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan sebagai upaya
merefleksikan kondisi faktual pendidikan dan harapan di waktu yang akan datang, berbasis
pada asumsi bahwa sekiranya kita menyetujui suatu tesis bahwa sebagai bangsa kita masih
belum terlepas dari krisis multidimensi. Sekiranya kita semua memaklumi bahwa kondisi
faktual kita dalam berbangsa, bernegara, bermayarakat, berpolitik, bergaul dengan bangsabangsa lain, menunjukan evidensi bahwa krisis multidimensi tersebut masih bersifat laten
dan mendasar. Krisis mutidimensi bangsa ditandai dengan beragam konflik dalam dimensi
kehidupan; centang perenang dan kekisruhan bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya;
dekadensi moral; missing link berbagai peristiwa atau kejadian sehingga tidak mampidak
beru dijelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi dan perilaku warga yang mencari solusi
dengan cara-cara irasional; menonjolnya primordialisme, egosektoral dan egosentrisisme;

sikap dan berpikir parsial, tidak konsisten, klaim sepihak, mementingkan golongan; budaya
instant dan hedonisme; kebijakan diambil tidak berdasarkan data empiris melainkan atas
dasar kepentingan sesaat dan golongan; dan merajalelanya kolusi, korupsi dan nepotisme.
Untuk mampu melihat secara jernih segala unsur yang terkandung di dalam krisis
multidimensi tersebut, kita perlu melakukan kajian secara mendasar meliputi kajian filsafat,
politik dan ideologi khususnya bidang pendidikan.
Pada kesempatan ini, setidaknya saya bermaksud menyampaikan hasil telaah atau kajian
saya perihal pendidikan di Indonesia dengan pendekatan filsafat, politik dan ideologi. Telaah
filsafat telah memberi petunjuk adanya aliran-aliran pemikiran dalam sejarahnya; sedangkan
politik dan ideologi telah memberikan konteks, persoalan dan solusi-solusinya. Terdapat
benang merah secara filsafati, politik dan ideologis bahwa persoalan multidimensi bangsa
Indonesia secara hermeneutika dapat didekati menggunakan narasi-narasi besar dunia di satu
sisi, dan di sisi lain dapat didekati menggunakan dialog kecerdasan lokal (local genious).
3

Hypothetical

analyses

memberikan


petunjuk

bahwa

keadaan

ontologis

krisis

multidimensi yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini berelasi linear dengan forma, wadah,
bentuk atau struktur kehidupan Indonesia secara menyeluruh yang dapat digambarkan
sebagai bentuk yang belum berbentuk, forma yang belum berforma, dan struktur yang belum
berstruktur. Kondisi forma yang belum berforma tersebut secara kebetulan dan secara tidak
kebetulan, dipengaruhi oleh dimensi forma eksternal bersubstansial dalam waktu (kala)
terbuka (baik atau buruk). Sebagaian forma eksternal bersubstansial mempunyai dimensi
lebih

tinggi


sehingga

forma

Indonesia

yang

belum

berforma

tidak

mampu

mengendalikannya.
Apapun penyebabnya, yang pasti forma Indonesia yang belum berforma lebih banyak
menimbulkan ketidakpastian, merugikan, melemahkan, dan merongrong jati diri bangsa dari

dalam diri sendiri. Sedangkan segenap komponen dan komponen kunci terlibat dalam
pusaran krisis multidimensi forma yang belum berforma, sehingga meraka tidak mampu dan
tidak akan mampu mengatasi persoalan internal bangsa, jika mereka tidak mampu keluar dari
dimensi forma yang belum berforma. Sebagian komponen kunci malah terpancing untuk
mengambil peruntungan pribadi dan kelompok dari krisis multidimensi, dengan cara mencari
dan memperkuat potensi multifacet (termasuk potensi negatif). Alhasil, krisis multidimensi
forma yang belum berforma diperdalam, diperkuat dan diperluas dengan adanya interaksi
potensi-potensi negatif komponen kunci. Potensi-potensi negatif komponen kunci telah
memberikan pengaruh dan memperbesar daya ontologis krisis multidimansi bangsa untuk
menjadi bola liar tak terkendali menuju subordinat potensi negatif dominan dunia di bawah
pengendalian Power Now. Sebagian pendidikan telah digunakan potensi negatif dunia untuk
memperkokohkan kedudukannya dengan membuka cabang di tiap-tiap pintu peradaban
bangsa-bangsa dunia.
Anak kecil bersuka ria, menyanyi, menari, membaca Pantun dan Puisi dengan deklamasi,
meminta dongeng dari orang tua, menanya arti dan maksud dari segala fenomena apa yang
dihadapi, kreatif memproduksi dan menyusun cerita, dst. Anehnya, fenomena kehidupan
anak kecil (anak-anak dan cucu-cucu kita) tersebut terkadang cepat berlalu bahkan kadangkadang sangat cepat berlalu. Terkadang kegembiraan dan keceriaan anak-anak dan cucu-cucu
kita, hanya sampai di TK; mungkin sampai di SD Kelas 1, Kelas 2; tetapi mulai Kelas 3
4


timbul gejala mereka cenderung menjadi pendiam, murung, sedih bahkan stress. Di Kelas IV
dan Kelas V, kehidupan mereka sudah mulai dihantui cerita-cerita dan nasihat-nasihat
bagaimana agar jangan sampai gagal dalam menghadapi UN. Semua Guru, Kepala Sekolah,
tak terkecuali Keluarga, orang tua, kakak, dan famili semuanya mengkondisikan bahwa
mengalami kegagalan menempuh UN SD adalah kegagalan hidup; jangankan mencari
pekerjaan, sedang melamar gadis saja pasti akan ditanya calon mertua berapa nilai UN nya?.
Dengan keadaan seperti ini, sudah dapat dipastikan bahwa berat rasanya bagi mereka anakanak dan cucu-cucu kita untuk sekedar tersenyum sesaat; mereka stress, khawatir, takut dan
mencari solusi pergi ke Dukun dan Orang Pintar untuk mendapat tuah dan ajimat; maka para
Dukun dan Orang Pintarpun laris memberi solusi dengan memberi Pensil, Pulpen, Buku, air
putih, batu kerikil semuanya yang sudah didoakan dan agar dibawa mengikuti UN. Ritual
dan doa bersama diselenggarakan terkadang diikuti histeria dan tangisan para siswa, bahkan
kesurupan; sampai di sini, hilanglah sudah masa-masa kekanakan mereka. Mengapa
mengenyam pendidikan harus dilalui melalui cara-cara demikian?
Semua aktivitas sekolah dan metode pembelajaran diarahkan untuk sebenar-benar agar di
Sekolah tersebut semua siswa bisa lulus UN semua dengan hasil yang setinggi-tingginya.
Lulus semua dengan hasil tinggi adalah pertaruhan kehormatan Sekolah beserta civitasnya,
bahkan juga menjadi kriteria keberhasilan di wilayah tersebut; oleh karena itu, semua merasa
penting dan bertanggung jawab bagi suksesnya UN termasuk Dinas Pendidikan, Bupati
bahkan Gubernur sekalipun. Berbagai cara dilakukan termasuk membentuk Tim Sukses
untuk UN; fenomenanya terdapat cara-cara yang melanggar etik an bahkan kriminal seperti

Kepala Sekolah yang memerjual-belikan Soal UN, kebocoran soal UN, guru-guru berbuat
curang demi membatu murid dan sekolah agar meraih sukses UN.
Nasib anak-anak kecil dan cucu-cucu kita belum berhenti sampai di sini; masa anak-anak
begitu cepat berlalu dikarenakan mereka sejak umur 2 (dua) tahun sudah dikenalkan dan
sudah mampu menggunakan perangkat SmartPhone, Gadget, Iphone, Komputer dan Internet;
itu semua merupakan prestis dan lambang kebanggan serta ukuran kemajuan sebuah
keluarga; maka tanpa kecuali semua anak-anak dan cucu-cucu kita setiap hari mengonsumsi
fenomena budaya kontemporer yang merangkum semua kehidupan positif-negatif sampai
level orang dewasa termasuk video porno, kejahatan seksual, game kekerasan, dst; anak-anak
5

dan cucu-cucu kita umur 3 (tiga) tahun sudah belajar dan mempunyai Password untuk
melindungi aktivitasnya mengintip dunia gelap dan bejatnya orang dewasa. Maka yang
terjadi adalah keluarga beserta anak-anak mereka, masyarakat dan semua orang mengalami
krisis dan disorientasi mental dan budaya; maka tidaklah heran kita semakin hari semakin
menjumpai fenomena bersifat masif: pelecehan seksual oleh anak-anak, bullying anak di
sekolah, bahkan tindak kriminal dan pembunuhan sudah dapat dilakukan oleh anak-anak.
Krisis multidimensi Bangsa tidak hanya pada level Waspada, Tanggap dan Siaga; tetapi
sudah sampai level Darurat Krisis Multi Dimensi Berbangsa, Negara dan Masyarakat.


B. MEMAHAMI FILSAFAT, IDEOLOGI, DAN POLITIK
PENDIDIKAN
Objek ontologis filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Jika yang ada dan
yang mungkin ada bersifat berubah, maka lahirlah Filsafat Heraklitosianisme. Jika yang ada
dan yang mungkin ada bersifat tetap maka lahirlah Filsafat Permenidesianisme. Jika objek
filsafat ada di luar pikiran, maka lahirlah Filsafat Realisme atau Relativisme. Jika objek
filsafat ada di dalam pikiran maka lahirlah Filsafat Idealisme atau Absolutisme. Jika sumber
pengetahuan adalah rasio, maka lahirlah Filsafat Rasionalisme. Jika sumber pengetahuan
adalah pengalaman, maka lahirlah Filsafat Empirisisme. Jika sumber pengetahuan adalah
Tuhan maka lahirlah Filsafat Teologi atau Spiritualisme. Jika sumber pengetahuan adalah
materi maka lahirlah Filsafat Materialisme. Jika yang dicari adalah substansi maka lahirlah
Filsafat Substansialisme atau Esensialisme. Jika yang dicari adalah yang ada maka lahirlah
Filsafat Eksistensialisme. Jika pusatnya adalah manusia maka lahirlah Filsafat Humanisme.
Dengan cara yang sama saya berusaha mengidentifikasi semua jenis Filsafat termasuk
Filsafat Modern, Filsafat Transendentalisme, Filsafat Manusia, Filsafat Nihilisme, Filsafat
Kapitalisme, Filsafat Pragmatisme, Filsafat Scienticism, Filsafat Positivisme, dst.
Dalam perkembangannya terdapat pola kesejajaran dan interaksi antara filsafat-filsafat
tersebut. Secara garis besar dapat dibedakan 2 (dua) pola kesejajaran filsafat. Filsafat
Permenidesianisme sejajar dengan Filsafat Idealisme, Filsafat Absolutisme, Filsafat
Formalisme, dan Filsafat Rasionalisme. Filsafat Heraklitosianisme sejajar dengan Filsafat

Realisme, Filsafat Relativisme, Filsafat Empirisisme dan Filsafat Pragmatisme. Filsafat yang
6

mengandung komponen tetap sekaligus berubah, misalnya Filsafat Esensialisme, Filsafat
Eksistensialisme, Filsafat Kantianisme, Filsafat Modern, Filsafat Pancasila dan Filsafat
Kontemporer. Terdapat filsafat yang pusatnya saling berseberangan (anti-tesis), misalnya
pusat-pusat dari filsafat Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Materialisme dan
Filsafat Humanisme adalah berseberangan (anti-tesis) dengan pusat dari Filsafat
Spiritualisme. Terdapat filsafat yang merupakan turunan dari filsafat yang lainnya, misalnya
segala Filsafat yang didahului dengan Neo adalah turunan dari Filsafat yang diikutinya. Neoliberalisme adalah turunan dari Filsafat Liberalisme, Neo-Kantianisme adalah turunan dari
Filsafat Kantianisme, dst.
Filsafat adalah wadahnya pikiran, karena filsafat adalah oleh pikir, sedangkan pikiran
bersifat simpomatik sintetik-analitik; artinya, pikiran secara simtomatik merepresentasikan
filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya. Immanuel Kant (1671) menyatakan “jika engkau
ingin mengetahui dunia, maka tengoklah pikiranmu sendiri, karena dunia itu sama persis

dengan apa yang sedang engkau pikirkan”. Implikasi dari pendapat di atas adalah bahwa
segala macam Filsafat dan Aliran Filsafat sangat mungkin bukan di sana, melainkan dia ada
sangat dekat dengan kita, yaitu pikiran kita sendiri. Simtomatik terikat oleh ruang dan waktu,
artinya tahun lalu mungkin saya menerapkan Filsafat Otoritarianisme tetapi tahun ini saya
sedang menjalankan Filsafat Demokratisisme. Kompleksitas pikiran manusia memungkinkan
sebuah simtomatik terikat oleh ruang dan waktu merepresentasikan sebuah filsafat dominan
disertai filsafat-filsafat subordinat lainnya. Misalnya pikiran atau sikap berfilsafat Absolutis
tentu disertai sikap berfilsafat Formalisme dan Idealisme; sehingga terkomposisi perwujudan
Filsafat Absolut-Formal-Idealisme. Juga dimungkinkan adanya representasi Filsafat RelativeEmpiris-Realisme. Berubah adalah anti-tesis nya yang tetap; maka berubah sekaligus tetap
adalah kontradiksi jika terbebas oleh ruang dan waktu. Namun jika tertangkap oleh ruang dan
waktu, maka berubah dapat sekaligus yang tetap. Misal Kereta Api yang berubah posisi,
tetaplah ia sebagai Kereta Api. Dalam Bhs Jawa :”ngono ya ngono ning aja ngono”,
sekaligus disarankan dan tidak disarankan “ngono”. Dia akan menjadi benar jika “ngono”
pertama diberi makna yang berbeda dengan “ngono” kedua.
Solusi filsafat sering merekomendasikan kompromi kontradiktif antar representasi
filsafat. Absolutisme, Formalisme, dan Rasionalisme sejalan dengan pola pikir analitik a
7

priori. Sedangkan Realisme, Relativisme dan Empirisisme sejalan pola pikir sintetik a
posteriori. Daripada mempertentangkan keduanya tiada henti, lagi Immanuel Kant (1671)
memberi solusi kompromi untuk merepresentasikan sintetik a-priori. Maka menurut dia,
dunia terangkum di dalam proposisi “sintetik a-priori”. Seperti dikatakan “ tanpa ilmu
(filsafat) kita menjadi buta, tanpa pengalaman (penerapan) kita menjadi kosong”. Dari sini
lahirlah dunia lengkap yang berhermeneutika terjemah dan saling menterjemahkan antara
teori dan praktek, antara dunia dan akhirat, antara Idealisme dan Realisme.
Seseorang atau bangsa yang survive adalah orang atau bangsa yang mampu secara
dinamis dan kreatif menembus ruang dan waktu. Orang jahat (koruptor) adalah orang yang
tertangkap ruang dan waktu buruk (Kala); sedangkan orang yang baik adalah orang yang
berada di dalam ruang dan waktu yang baik (Cakra). Kebaikan diperoleh dengan cara
meruwat keburukan, yaitu meruwat Kala dengan Cakra . Tradisi Ruwatan adalah
Epistemologi Jawa untuk memeroleh Ilmu (wahyu/personifikasi). Beberapa ciri utama
keburukan adalah sifat Parsialisme Absolut dan sifat Reduksionisme Absolut. Sifat Tetap dan
Sifat Brubah objek filsafat sekaligus merupakan potensi baik dan buruk. Maka semua aliran
Filsafat jika itu bersifat Egosentrisisme menjadi Potensi Buruk; dan diperlukan Filsafat
Holisisme agar diperoleh komprehensivitas yang menuju Potensi Baik. Saya mendefinisikan
Ideologi sebagai bentuk operasionalisasi Filsafat. Karena Ideologi adalah Filsafat yang
dioperasionalkan, maka dia terkait dengan ruang dan waktu yang berupa konteks budaya dan
sejarah seseorang atau suatu bangsa; dengan demikian Ideologi bersifat plural dan
kontekstual dan merupakan cara untuk memeroleh keadaan yang di Ideal kan. Dengan
demikian kita mengenal bermacam Ideologi misalnya Ideologi Kapitalisme, Ideologi
Sosialisme, Ideologi

Marxisme, Ideologi

Industri, Ideologi

Liberalisme, Ideologi

Pragmatisme, Ideologi Utilitarianme, Ideologi Saintisisme, Ideologi Kontemporer, Ideologi
Kapitalis, dan Ideologi Pancasila. Semua ideologi tersebut dapat sekaligus merefleksikan
filsafatnya.
Sementara Politik secara ontologis sebagai keadaan atau cara yang dikaitkan dengan
keadaan masyarakat atau aktivitas memengaruhi masyarakat untuk memeroleh Kekuasaan.
Kekuasaan yang di peroleh melalui Politik bisa saja digunakan untuk memeroleh Ideal yang
diharapkan, tetapi tidak jarang mereka terjebak pada dimensi yang lebih rendah seperti
8

Politik Uang, Politik Praktis atau Politik Transaksional. Dimensi ideal dari politik dapat
berupa Politik Pancasila, Politik Demokrasi, Politik Fasisme, Politik Komunisme, Politik
Otoritarian, Politik Politik Liberal, Politik Neo-Liberal, Politik Saintisisme dan Politik
Sosialisme. Jika kedaulatan diberikan sepenuhnya ke tangan rakyat, maka dikenal sebagai
Demokrasi. Dalam konteks Indonesia kita memunyai politik ideal sebagai Politik Pancasila.
Paradigma atau kumpulan paradigma, disadari atau tidak, merupakan refleksi kontekstual
dari ujung tombak filsafat, ideologi dan politiknya yang mendasari dan mempengaruhi arah
kebijakan atau policy dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Thomas Kuhn
mendefinisikan Ideologi dan Politik Saintisisme sebagai Pergeseran Paradigma yang
bergerak tidak linear dan selalu menghasilkan paradigma baru dan bersifat kontradiktif.
Menurut Kuhn, suatu Ilmu akan terbukti sebagai Ilmu jika telah dibuktikan Salah
sebagaimana adanya. Diantara paradigma-paradigma tersebut dapat bersifat Sepadan atau
Tidak Sepadan. Lingkup dan dimensi Paradigma tentu lebih rendah dari Ideologi dan
Filsafat, dan mereka dapat merasuk dan menyebar ke dalam berbagai macam Ilmu.
Pendidikan merupakan program yang dikaitkan dengan keadaan atau usaha hidup
seseorang atau kelompok orang. Maka Pendidikan yang baik adalah Pendidikan yang
menjamin hidup akan lebih hidup, dalam segala aspek dan dimensinya. Socrates
mendefinisikan Pendidikan sebagai cara untuk mengetahui apa yang bisa atau tidak bisa
dilakukan dan apa yang dimengerti dan tidak dimengerti. Plato mendefinisikan Pendidikan
sebagai usaha untuk mewujudkan masyarakat ideal seperti yang diuraikan dalam bukunya
Republik. John Dewey mendefinisikan Pendidikan sebagai keberlangsungan hidup kelompok
sosial tertentu. Ternyata ditemukan bahwa, setiap Filsafat, Ideologi dan Politik memunyai
definisi Pendidikannya sendiri-sendiri tergantung dari konteks Ideologi dan Politiknya. Dari
sisi filsafatnya, maka kajian Pendidikan terdiri dari aspek-aspek hakekat ontologis,
epistemologis dan aksiologis dari unsur-unsurnya meliputi Manusia, Nilai, Tujuan, Relasi,
Strategi, Model, Organisasi dan Asumsi-asumsi Dasarnya. Filsafat Pendidikan yang bersifat
netral dapat didorong oleh kekuatan politik sehingga melahirkan kebijakan dan arah
pendidikan sesuai dengan karakteristik Makropolitik Pendidikan nya. Untuk negara tertentu
seperti Indonesia yang sedang dilanda krisis multidimensi, telaah Makropolitik Pendidikan
lebih menarik dibanding Mikropolitik Pendidikan karena dampak yang ditimbulkan oleh
9

vitalitas Makropolitik Pendidikan jauh lebih signifikan, terstruktur, masif dan sistemik.
Selain dari itu, dalam situasi tidak menentu terkait krisis multidimensi di Indonesia, vitalitas
Makropolitik Pendidikan terbukti telah menjadi sangat strategis dalam menentukan Indonesia
ke depan sperti apa yang dikehendaki.
Paul Ernest (1995), mendeskripsikan bahwa Politik Pendidikan berkaitan langsung
dengan Ideologi Pendidikannya. Bangsa-bangsa tergolong berideologi Industrial Trainer
cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Radikal Kanan. Bangsa-bangsa
tergolong berideologi Technological Pragmaticim cenderung mengimplementasikan Politik
Pendidikan Konservatif. Bangsa-bangsa tergolong berideologi Old Humanism cenderung
mengimplementasikan perpaduan antara

Politik Pendidikan Konservatif dan Liberal.

Bangsa-bangsa berideologi Progressive Educator cenderung mengimplementasikan Politik
Pendidikan

Liberal.

Dan

Bangsa-bangsa

berideologi

Public

Educator

cenderung

mengimplementasikan Politik Pendidikan Demokrasi. Utopia Indonesia adalah menjadi
Bangsa yang Demokratis yaitu Demokrasi Pancasila; maka konsekuensinya Ideologi
Pendidikan Indonesia adalah menganut atau mengimplementasikan Ideologi Pendidikan
Public Educator. Krisis multidimensi Bangsa Indonesia terjadi karena mindset kebangsaan
para pemimpin dan pengambil kebijakan pendidikan mengalami kegamangan serta tidak
mampu mendudukan Ideologi dan Politik Strategis Bangsa Indonesia, memerjuangkan dan
memerebutkannya secara konsisten dan istiqomah di tataran global baik pada sekarang
maupun yang akan datang (50 atau bahkan 200 tahun ke depan).

C. TESIS, ANTI-TESIS DAN SINTESIS FILSAFAT, IDEOLOGI DAN
POLITIK PENDIDIKAN
Filsafat adalah kecenderungan. Kecenderungan dapat dipahami dengan Penomenologi
Reduksionisme. Hasilnya adalah sebuah struktur atau dunia lengkap dengan unsur-unsur dan
puncak atau pusatnya. Mudah dipahami pula bahwa pada akhirnya kesadaran kita akan
sampai pada kesimpulan bahwa, dengan filsafat kita akan menemukan dunia yang plural,
artinya banyak Dunia dan setiap yang ada dan yang mungkin ada merepresentasikan
Dunianya masing-masing. Filsafat Esensialisme mengejar kebenaran dari segala esensi yang
ada; maka mudah dipahami bahwa hakekat Esensi adalah pusat atau sentralnya Filsafat
10

Esensialisme. Sementara Filsafat Spiritualisme mengejar Kebenaran Absolut yang diyakini
berada di tangan Tuhan. Pendidikan Spiritualisme Mutlak akan bersifat Puritanisme,
Akhiran-tertutup (Closed-ended) Mutlak. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa jika Filsafat
Spiritualisme adalah tesis, maka Filsafat Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat
Materialisme, dst dapat dipandang sebagai anti-tesis nya. Di sinilah semestinya Karakter
Timur atau Karakter Indonesia berhati-hati dalam mengklaim suatu Filsafat justifikasi
pandangannya.
Pendidikan terdiferensiasi dari Politik, Ideologi dan Filsafatnya. Dimensi pengalaman
hipotesis intuisi mengidentifikasikan bahwa Pendidikan Esensialisme Mutlak dengan
demikian akan bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat-sifat ikutan lain yang dapat
diturunkan

bahwa

diapun

pada

akhirnya

bersifat

Materialisme,

Realisme,

dan

Eksistensialisme. Di sisi lain, Pendidikan Eksistensialisme mengejar kebenaran kepada yang
Ada dan yang Mungkin Ada, dan dengan sendirinya sekaligus sebagai pusatnya. Jika
diekstensikan maka dengan mudah dapat dipahami bahwa Pendidikan Eksistensialisme pada
akhirnya juga bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan
sebagai

sejalan

dengan

Humanisme,Empirisisme,

Nihilisme,

Reduksionisme,

dan

Resionalisme. Dikarenakan bersifat Anti-Spiritualisme, maka Pendidikan Esensialisme dan
Pendidikan Eksistensialisme akan menghasilkan Hedonisme.
Secara normatif, Realisme adalah anti-tesis dari Idealisme; maka Pendidikan Realisme
Mutlak bersifat Anti-Idealisme, namun sejalan dengan Materialisme, Empirisisme dan
Eksistensialisme. Rasionalisme mengejar hakekat kebenaran pada Rasio; maka Pendidikan
Rasionalisme Mutlak berpusat pada Rasio, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia
adalah juga Anti-Spiritualisme, beserta sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan yaitu
Egosentris, Eksploitasi Vital, Dunia yang terbelah, dan bersifat Laskar Pendidikan. Anti-tesis
diametris dari Rasionalisme adalah Empirisisme; maka Pendidikan Empiris Mutlak mengejar
hakekat kebenaran pada Pengalaman Manusia, dan dengan demikian bersifat AntiSpiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan bersifat Materialisme,
Eksploitasi Vital, Saintisisme Mutlak, Hedonisme, dan Berakhiran Terbuka (Open-ended)
Mutlak. Pendidikan Relativisme Mutlak mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin
Ada, dan demikian maka bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat
11

diturunkan sebagai bersifat Materialisme, Dunia yang Parsial, Berakhiran Terbuka (Openended) Mutlak, dan Hedonisme. Pendidikan Positivisme yang bersifat Saintisisme Mutlak,
Anti-Spiritualisme,

Pendidikan

Laskar,

Kapitalisme,

Pragmatisme,

Utilitarianisme,

Materialisme, Liberalisme, Open-ended Mutlak.
Jika kita menuju hilirnya Filsafat, kita akan menemukan Pendidikan Berbasis Rasio atau
Berbasis Kognitif, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai atau berbentuk
Cognitive-Based Education, Anti-Spiritualisme, Dunia Parsial dan Hedonisme. Dalam era
Kontemporer (AFTA), terdapat main-set yang cukup kuat dan signifikan bahwa semua
pengambil kebijakan Pendidikan di Indonesia akan mengimplementasikan Pendidikan
Berbasis Pasar, yang dengan sendirinya akan mencari hakekat kebenaran ada di dalam Pasar.
Dengan metode yang sama seperti sudah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Pendidikan Berbasis Pasar dengan sendirinya bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat
ikutan yang dapat diturunkan sebagai Reduksionisme, Eksploitasi Vital, Kompetisi Mutlak,
Egosentrik, Hegemoni, Dunia Terpotong, Materialisme, ragmatisme, Hedonisme, dan
Pendidikan Laskar. Pendidikan Konseratif Mutlak mempunyai sifat Reduksionisme,
Eksploitasi Vital, Monokulturisme, Egosentrik, dan Ethical Closed-ended Mutlak (Nilai
Budaya Tertutup Mutlak).
Dari Narasi Besar nya Dunia Kontemporer, kita menjumpai adanya Pendidikan
Liberalisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Open-ended Mutlak, Kebebasan
Mutlak, Heterogonomous Mutlak, dan Alienisasi. Pendidikan Kapitalisme yang bersifat AntiSpiritualisme, Eksploitasi Vital, Materialisme, Pragmatisme, Hedonisme, Kapital Mutlak,
Kompetisi Mutlak, Reduksionisme, Sosialisme, Dunia Terpotong , Closed-ended, dan
Alienisasi. Pendidikan Humanisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Hedonisme,
Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan Konstruksi Sosial dengan sifat Eksploitasi Vital,
Kolaborasi, Heterogonomous, Egosentris, dan Open-ended. Pendidikan Pragmatisme Mutlak
yang bersifat Praktis (budaya instant), Anti-Spiritualisme, Hedonisme, dan Anti-Idealsime.
Pendidikan Sentralistik yang bersifat Monokultur, Eksploitasi vital, Pendidikan Laskar,
Closed-ended Mutlak, Egosentrik, Reduksionisme, Dunia Terbelah, Sosialisme, Kapitalisme,
De-Alienisasi (Uniformitasisme). Pendidikan Formalisme yang bersifat Top-Down,
Sosialisme, Monokultur, Transenden, Idealisme, Sentralistik, Eksploitasi Vital, Pendidikan
12

Laskar, Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan Demokrasi Pancasila yang seyogyanya
bersifat Spiritualsme, Mono-Dualis (Habluminallah-Habluminanash), Terbuka-tertutup,
Demokratis, Public Educator, Realis-Idealisme, Bhineka-Tunggal Ika (monokulturheterogonomous), dan Dunia-Akhirat (seutuhnya).

D. ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI MIKRO
FILSAFAT DAN MIKRO IDEOLOGI PENDIDIKAN
Berdasarkan uraian terdahulu, kita dapat membuat Ontologi Tabel Mikro Filsafat dan
Mikro Ideologi Pendidikan sebagai berikut (Marsigit, 2014):
Pendidikan
Kapitalisme

Pendidikan
Saintisisme

Pendidikan
Sosialisme

Pendidikan
Spiritualisme

Pendidikan
Demokrasi

Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
DemokrasiKapital
(Korporasi)
Investasi
Pasar Bebas
Relatif
Hedonisme
Alienasi
Multikultur
Globalsistemiknetworking

Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
Kapital

Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
Sosialisme
Komunisme
Komunis

Absolutisme

Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
Demokrasi

Sosialis
Komunis
Proteksihegemoni
Demok-Negara
Egosentris
Deontologi
Dealienasi
Monokultur
Egaliter
Elitisme

Konservatif

Absolut
Spiritual
Dealienasi
Monokultur
Egaliter
Elitisme

Moral
Deontologi
Alienasi

Budaya/
Karakter
Ilmu

Pos Modern
Kontemporer

Pos Modern
Kontemporer

Modern
Klasik

Tradisional
Klasik

Modern
Pos Modern

EgosentrisPasar Bebas
Krisis
Multidimensi
Primordial
Kolusi
Nepotisme
Korupsi
Local-intrinsicnetworking
Pos Modern
Konpemporer

Disiplin

Disiplin

Disiplin

Absolut

Epistemologi
Pendidikan
Kurikulum
Tujuan

Pendidikan
Laskar

Pendidikan
Laskar

Pendidikan
Laskar

Pendidikan
Laskar

Kreatif
Interaktif
Pendidikan Utk
Semua

DisiplinEgosentris
Pendidikan
Laskar

Indoktrinasi
Sbg Instrumen
Negara
Investasi

Fenomenologi
Sbg Instrumen
Negara
Investasi

Indoktrinasi
Sbg Instrumen
Negara
Hegemoni

Indoktrinasi
Sbg
Instrumen
Mono-dualis

Fenomenologi
Sebagai
Kebutuhan
Pembebasan

Indoktrinasi
Instrumen
Egosentris
Investasi

Filsafat

Ideologi

Politik

Moral
Sosial

Investasi
Pasar bebas
Relatif
Hedonisme
Alienasi
Multikultur
Globalsistemiknetworking

13

Fundamentalisme

Demokrasi

Pendidikan
Kontemporer
Indonesia
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
DemokrasiTransaksional

Nasionalisme

Multikultur

Pendidik
an
Teori
Mengajar
Teori
Belajar
Peran
Guru
Kedudukan
Siswa
Teori
Evaluasi

Sumber/
Alat
Belajar

Egosentris
Status quo

Relatif Absolut

Berbasis Riset
Behaviorisme
Knowle-Based
Modeling
MotivasiEksternal
Think Tank
Pengambangterkendali
Empty Vessel

Investigasi
Behaviorisme
Knowle-Based
Eksplorasi
MotivasiEksternal
ThinkTank
Pelaksana
Empty Vessel

Status quo
Transfer of
knowledge
Behaviorisme
Modeling
MotivasiEksternal
Think Tank
Pelaksanaterkendali
Empty Vessel

Eksternal

Eksternal

Eksternal

Ujian Nasional

Ujian Nasional

Ujian Nasioal

ICT

ICT

Media/Alat
Peraga

Kebutuhan

Egosentris
Status quo

Status quo
Reformasi
Konstruktivis
Interaktif

Ekspositori
Behaviorisme
Modeling
Motivasispiritual
Model
Pelaksanaterkendali
Empty Vessel

EvaluasiIntrinsik

Tradisional

Trans of know.
Ekspositori
Behaviorisme
Modeling
Motivasieksternal
Think Tank
Pelaksanaterkendali
Empty Vessel

Otonomi
Motivasi-intern
Konstruktivis
Fasilitator
Pengembang
Aktor Belajar

PenilaianBerbasis Kelas
PortoFolio
Otentik-Asesm
Kreativitas
Guru

EgosentrisEksternal
Ujian Nasional
Paket
Pemerintah

Gambar 1: Ontologi Mikro Filsafat dan Mikro Ideologi Pendidikan
Pada Gambar 1. di atas, terlihat bahwa Politik dan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia
belum menggambarkan pola dan struktur yang konsisten, kompak dan komprehensif; struktur
yang demikian, secara filsafati dikatakan sebagai sebuah struktur yang belum sehat atau tidak
sehat. Di dalam pola dan struktur yang tidak sehat, terdapat komponen satu dengan yang
lainnya tidak konsisten dan tidak konformis bahkan bertentangan. Politik Pendidikan tidak
selaras dengan Filsafat dan Ideologi Pendidikan. Implementasi Politik Pendidikan
Kontemporer

Indonesia

merepresentasikan

Filsafat

Esensialisme,

Realisme,

dan

Eksistensialisme. Perlu dicatat bahwa representasi Filsafat demikian memuat kecenderungan
Sebagai anti-tesis dari Filsafat Spiritualisme, artinya dalam implementasi Pendidikan
Kontemporer kita ada kecenderungan atau godaan untuk mengambil jarak dengan
Spiritualisme. Rongrongan pada level Ideologis terjadi melalui pilar-pilar Kapitalisme,
Liberalisme, Pragmatisme, Utilitarianisme dan Materialisem; dalam mana, hal demikian
sudah mulai terlihat pada level kehidupan bermasyarakat.
Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia tersandera oleh praktek Politik Demokrasi
Transaksional dan Politik Uang, serta godaan yang sangat besar karena tidak ada alternatif
14

lain kecuali pelan tetapi pasti menuju Egosentrisitas Pasar Bebas seperti GATT, WTO, dan
AFTA. Keadaan yang tidak sehat ini, karena tidak konsisten dan tidak mempunyai cukup
Vitalitasnya untuk mengambil peran kendali, maka gilirannya Bangsa dan Masyarakat
Indonesia telah, sedang dan akan terkena dekadensi moral dengan kondisi kehidupan
masyarakat yang memprihatinkan bercirikan Primordialisme, Kolusi, Nepotisme, Korupsi
serta interaksi dan hubungan yang masih bersifat intrinsik dan tidak atau sulit mencapai
Strong Ditermination Global Networking.
Implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia berbasis Disiplin Ilmu Egosentris
dengan Epistemologi Pendidikan berupa Pendidikan Laskar dan Metode Pendidikan melalui
cara Indoktrinasi untuk menuju Masyarakat Terdealienasi (Uniformitas) sebagai prasyarat
terwujudnya hilirnya bagi Karakter Kontemporer Global (Power Now- (Neo)Kapitalisme).
Oleh karena ini Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia sejalan dengan Politik Pendidikan
Kapitalisme dan Politik Pendidikan Saintisisme; bahkan untuk aspek tertentu bersinggungan
dengan Politik Pendidikan Sosialisme yaitu pada Epistemologi Dealienasi (Uniformitas).
Perlu dicatat bahwa Ontologi Dealienasi merentang pada kesamaan sifat meliputi yang ada
dan yang mungkin ada; sehingga terdapat wacana bagi diperolehnya Uniformitas hak dan
kewajiban.
Jika diekstensikan, maka akan diperoleh Dealienasi Universal termasukdidalamnya
adalah Kesamaan Hasil, Kesamaan Hasil Ujian (UN), Standardisme, Kesamaan Keadaan
Sehat, Sakit; dalam masyarakat berideologi Komunis dan Sosialis diterapkan Dealisnasi
Universal Absolut sehingga manusia dianggap sebagai Materi yang sama dalam segala hal.
Menakutkan kalau diskusi dan pemikiran sampai menyinggung Komunisme, karena Bangsa
Indonesia telah mengalami trauma besar oleh Pemberontakan G30 S PKI. Tetapi pilar-pilar
ontologis, epistemologis dan aksiologis dari filsafat menembus ruang dan waktunya Ideologi
sehingga mampu melihat Karakter Macam Apa?, di Mana?, dan Mau Kemana? Bangsa
Indonesia ke depan.
Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia memandang Pendidikan sebagai Investasi
(walaupun dapat bersembunyi di balik terminoligi Investasi Peradaban sekalipun); dan
memandang Kurikulum sebagai Instrumen untuk mencapai Tujuan Egosentris Elitisme
Populis; oleh karena itu dengan Megaprojek berapapun usaha Inovasi Pendidikan dan
15

Pembelajaran akan selalu kandas dan tidak berhasil memromosikan Pendidikan Inovatif,
karena pada hakekatnya Pendidikan Inovatif hanya merupakan Slogan Populis yang
sebenarnya disadari merupakan Dunia Lain yang tidak mungkin dicapai. Maka dalam
Implementasi Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia masih tetap saja hampir semua guru
mengajar dengan Paradigma Behavioral, metode Epsositori, Indoktrinasi, ceramah, Motivasi
Eksternal, Siswa sebagai Empty vessel, Guru sebagai satu-satunya Think Tank, dan
menerapkan Metode Penilaian Pembelajaran Eksternal UN. Sistem Ujian Nasional tidak
selaras dengan cita-cita berkebangsaan Indonesia yang berdemokrasi Pancasila.
Guru menjadi korban kebijakan Populis Pragmatis, tetapi menyukurinya sebagai berkah
karena mental guru hanya sebagai Pelaksana Ketat dari kebijakan Pemerintah dalam Bidang
Pendidikan. Sebenar-benar guru akan merasa menjadi korban jika dimensi profesionalisme
mereka meningkat menjadi Pengembang Pendidikan dengan mengembangkan Metode
Pembelajaran Berbasi Class-room Based Researh, sehingga diperoleh level profesional
tertinggi yaitu jika Guru sudah mampu memroduksi Perangkat dan Software Pembelajaran
dan menyosialisasikan (dari guru untuk guru; guru menjual guru memberi produk berbasis
riset. Kiranya masih di atas langit suatu konsep bahwa Kegiatan Mengajar sebenarnya adalah
Kegiatan Riset. Sebenar-benar Perangkat Pembelajaran termasuk Teksbook adalah yang
Terbaik jika dia merupakan karya Guru sendiri. Tetapi demi secara politis, maka Pemerintah
dengan disosialisasikan melalui Iklan besar-besaran memromosikan Kurikulum 2013 dengan
salah satu keungulannya adalah meringankan beban Orang Tua Murid, karena Pemerintah
mencetak semua Teksbook.
Dengan Politik Pendidikan Kontemporer yang demikian, maka sangat mudah dipahami
mengapa Indonesia memasuki fase Krisis Multi Dimensi berkepanjangan. Para Partially
Short-term and populist-oriented Contemporary-motivated Egocentricists akan memandang

berbeda persoalan Krisis Muti Dimensi Bangsa karena Mindset mereka sejalan dengan
Politik Pendidikan (Neo) Kapitalis. Bagi mereka hal demikian dapat dianggap suatu berkah
untuk memeroleh kesempatan dan kekuasaan Politik Pendidikan seraya selalu memberi
bahwa Bangsa Indonesia baik-baik saja, tidak perlu risau dan tidak ada krisis. Dealienisasi,
Uniformitas, dan Standardisme adalah Ideologi yang sangat ampuh bagi Para Partially Shortterm and populist-oriented Contemporary-motivated Egocentricists untuk memeroleh
16

stabilitas semu, serta mencapai dan memelihara kekuasaan Politik Pendidikan. Namun
sebetulnya pada akhirnya semua kerugian ditanggung oleh obyek pendidikan melalui
keadaan krisis dan deontologis yang dipertanyakan pada akhir periode suatu kekuasaan
Politik Pendidikan. Contoh dari mereka yang dirugikan adalah Nasib Buruh perusahaan yang
gagal atau bubar, Para Penganggur Terdidik, dsb. Tak disadari ternyata bahwa kita telah
menemukan bahwa para Partially Short-term and populist-oriented Contemporary-motivated
Egocentricists ternyata adalah ksatria-ksatria dan prajurit-prajurit (Neo) Kapitalisme yang

telah berhasil membuka Kantor Cabang di Indonesia.
Secara anthropologis budaya, sejarah dan politik, fenomena pola dan struktur Sistem
Pendidikan Nasional yang belum atau tidak sehat dapat dijelaskan melalui telaah kedudukan
dan hubungan antara Karakter Indonesia dengan Karakter Global (atau Kontemporer),
sebagaimana diuraikan oleh Marsigit (2014) pada “Perjuangan Mewujudkan Karakter
Indonesia Di Tengah Persaingan Global: Kajian Filosofis dan Ideologis, UNY Press:

Yogyakarta”. Sebab utamanya adalah karena Indonesia yang belum mempunyai karakter
kokoh, berada di muara atau persimpangan pergulatan peradaban Dunia yang begitu sengit;
sehingga memosisikan Indonesia bak anak bawang yang selalu kalah dalam kompetisi
dengan Karakter Kontemporer/Global dalam semua aspek kecuali menang dalam hal jumlah
penduduk, luas wilayah dan kekayaan sumber alam.
E. KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN FILSAFAT, IDEOLOGI DAN POLITIK
PENDIDIKAN INDONESIA (PANCASILA) DI ANTARA BANGSA-BANGSA DI
DUNIA
Secara filosofi, Kedudukan mempunyai makna Ruang, Waktu, Relasi dan Fungsi.
Kedudukan Ideologi dan Politik Pendidikan Indonesia di antara Bangsa-bangsa di Dunia
adalah ke arah mana pola karakterisasi time-line atau perjalanan Ideologi dan Politik
Pendidikan Indonesia mengkristal atau mengakar/membudaya (enculture) ke dalam
fatalitasnya dan mengarah ke dalam vitalitasnya. Budaya India/Jawa (Pewayangan)
menggambarkan hubungan dan kedudukan antar Filsafat, Ideologi dan Politik sebagai Sesaji
Rajasuya oleh Raja Amarta untuk menguji Akuntabilitas dan Legitimasi Kekuasaannya

dengan mengundang 100 Raja seantero Dunia untuk mengadakan Sesaji yang kemudian
dipimpinnya. Setiap Pemimpin dianggap pada suatu waktu tertentu perlu mengadakan Sesaji
17

Rajasuya. Tetapi yang terjadi adalah bahwa kondisi Dunia sekarang belum sampai pada era
Sesaji Rajasuya oleh Ratu Adil (Karakter Timur/Indonesia), melainkan masih berada pada

era Sesaji Kalarudra , yaitu sesajinya Prabu Jarasanda (Kapitalisme) yang berhasil menawan
97 Raja seantero Dunia, tinggal tersisa 3 (tiga) Raja yang belum tertawan, yaitu Raja
Yudistira, Raja Kresna, dan Raja Baladewa (Karakter Timur yang belum dapat dikuasai oleh
(Neo) Kapitalisme.
Krisis Multi Dimensi yang dialami Bangsa Indonesia sekarang, sesuai keadaan yang di
Jangka kan atau di ramal oleh Raja Kediri, Prabu Jaya Baya (1157 M); beberapa di antaranya

berbunyi (Ramalan Jayabaya , http://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya):
“146. wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter
duraka dadi kanca\ wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh
bandha musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe\”
“147. bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo
panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\”
“148. akeh wong janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng
ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\”
“149. akeh wong ngutamakake royal\ lali kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\
akeh bapa lali anak\ akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\
kanca dadi mungsuh\ manungsa lali asale\”
“150. ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha
kepencil\ akarya apik manungsa isin\ luwih utama ngapusi\”

Intuitive Refensial Empirical Hypothetical analyses mendasarkan pada analises keadaan,

peristiwa-peristiwa, Sejarah, Konteks Budaya, hubungan antar Negara, dan analises produkproduk perundangan pendidikan dan praktik-praktik pendidikan faktual, menghasilkan
Deskripsi Pasti tentang Ketidak-pastian, Deskripsi Pola tentang Ketidak-berpolaan, Deskripsi
Forma tentang Bukan Forma pendidikan Indonesia. Berikut beberapa langkah justifikasinya:
1. Politik Pendidikan Pancasila versus Politik Pendidikan Positivisme
Politik Pendidikan Pancasila semestinya menjadikan Pancasila sebagai sumber dan
landasan bagi pengembangan Kurikulum di semua tingkat pendidikan. Karakter Indonesia
18

seyogyanya dapat digali dan dikembangkan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila.

MODERN

Qualitative/Complex/Abstract

VS

PHILOSOPHY

SPIRITUALISM

POSITIVISM
A. Compte (1798-1857)
Filsafat dan Ideologi Pendidikan by Marsigit
UNY

Gambar 2: Pancasila versus Positive
Karakter Indonesia dapat dikembangkan melalui pendidikan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia agar generasi muda mampu memeroleh jiwa, semangat dan nilai-nilai atau
karakter berbasis budaya Indonesia dan berbasis Nilai Spiritualisme.
Pada perkembangannya, Politik Pendidikan Pancasila mengalami pasang surut
dan pada akhirnya tidak begitu jelas skema pengembangannnya baik dari sisi forma
maupun sisi substansinya. Fenomena yang ada semakin tampak di cakrawala, sosok
Politik Pendidikan Positivisme yang umurnya lebih tua yaitu sekitar dua abad yang lalu,
selalu berusaha dan telah berhasil secara sistemis menawarkan Karakter Alternatif bagi
Bangsa Indonesia dan seluruh bangsa di dunia. Selagi Bangsa Indonesia belum jelas dan
mengalami kegalauan dalam memedomani Pancasila sebagai Politik Pendidikan, Politik
Pendidikan Positivisme telah menabuh Genderang Perang kepada Karakter Timur dan
Karakter Indonesia dikarenakan nilai yang ditawarkan adalah dengan cara meminggirkan
Karakter Spiritual.

2. Tiwikrama Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik Pendidikan
Kontemporer
Politik Pendidikan Positivisme menganggap tidak dapat mengandalkan Karakter
Spiritual untuk membangun dunia yang lebih maju, dikarenakan menganggap sebagian
19

Karakter Spiritual mempunyai Karakter Irasional yang tidak dapat digunakan untuk
mengembangkan metode saintifik. Sebagai solusi, Politik Pendidikan Positivisme
meminggir bawahkan Karakter Spiritual dan menggantikannya dengan Karakter
Saintifik. Fenomena Politik Pendidikan Positivisme sungguh membuat takjub semua
warga Dunia dikarenakan prestasi-prestasi real yang mudah dipahami dan dirasakan
manfaatnya. Pergulatan panjang selama lebih dari 2 (dua) abad telah mentrasformasikan
Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik Pendidikan Kontemporer, seperti tampak
pada Gamber 3.
POSMODERNISM/CO
NTEMPORARY/POWE
RNOW:

MODERN

PHILOSOPHY

POS MODERN
MODERN

FEUDAL

TRADITIONAL
TRIBAL

SPIRITUALISM

SPIRITUAL

Capitalism
Materialism
Pragmaticism
Hedonism
Utilitarisnism
Functionalism
Liberalism

POWER NOW
(COMTEMPORARY)

ARCHAIC

POSITIVISM
A. Compte (1798-1857)

Filsafat dan Ideologi Pendidikan by Marsigit
UNY

Filsafat dan Ideologi Pendidikan by Marsigit
UNY

Gambar 3: Transformasi Politik Pendidikan Positivisme
menjadi Politik Pendidikan Kontemporer
Menghadapi fenomena dunia yang dikuasai oleh Power Now, maka rangkaian perjalanan
evidensi telah menunjukkan bahwa Politik Pendidikan Pancasila dalam segala aspeknya
tidak mampu berkompetisi dengan Power Now kecuali satu yaitu Jati Diri Bangsa. Tetapi
sayangnya bahkan Jati Diri Bangsa pun sedang dalam proses selalu dipertanyakan
eksistensinya.
3. Karakteristik Implementasi Politik Pendidikan Pancasila Yang
TERKOOPTASI oleh Politik Pendidikan Kontemporer (Power Now)
Pancasila sebagai Filsafat dan Ideologi bangsa dan negara Indonesia secara ontologis
merepresentasikan Filsafat Idealisme karena merupakan Landasan sekaligus Cita-cita
luhur Bangsa Indonesia. Lebih lanjut, Filsafat Spiritualisme tercermin dalam Sila 2,
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bersifat sebagai pusat segala kebenaran. Sila ke 2,
20

Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, merefleksikan Karakter Ideal (terbaik)
Epistemologis Indonesia. Sila ke 3, Persatuan Indonesia, merupakan pangejawantahan
epistemologis Tunggal Ika. Sila ke 4, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan, merepresentasikan Filsafat
Demokrasi Kontekstual Indonesia. Sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, secara epistemologis-aksiologis merepresentasikan Idealisme pola dan struktur
relasi ke dalam dan ke luar di mana secara ontologis, Substansi Vitalnya ditentukan oleh
perjalanan sejarah Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Secara idealis, Pancasila
menjadi landasan dan arah bagi pengembangan Politik Pendidikan Pancasila untuk
mewujudkan Karakter Indonesia yaitu karakter yang berbasis budaya dan berkepribadian
Indonesia serta mampu berinteraksi dengan komunitas global.
Hypothetical experienced-intuitively analyses menyimpulkan bahwa Politik

Pendidikan Pancasila telah, sedang dan akan selalu terkooptasi oleh Politik Pendidikan
Kontemporer. Dengan demikian mudah dipahami bahwa implementasi Pendidikan
Kontemporer Indonesia bersifat Feudalisme, Monokultur, Reduksionisme, Eksploitasi
Vitasl, Dunia Terbelah, Egosentris, Materialisme, Disorientasi, Positivistik, Saintisisme
Mutlak, Orientasi pasar, Spekulatif, Sentralistik, Kapitalisme, Hedonisme, Sosialisme,
Alienasi Ontologis, dan De-Alienasi Epistemologis. Keadaan atau sifat implementasi
Pendidikan Konemporer Indonesia yang demikian terwujud melalui fase-fase seperti
tampak pada Gambar 4 berikut:

INDONESIA
Ontological Tribalism
Ontological Feudalism/ Hierarchy
Paternalisticism
Ontological Traditionalism/
Conservaticism
Ontological Power Disturbances
Ontological Disorientations

Ontological Weak/Ackward of Characters

Epistemological Tribalism
Epistemological Feudalism/ Hierarchy
Paternalisticism
Epistemological Traditionalism/
Conservaticism
Epistemological Power Disturbances/
Practical Anarchism
Epistemological Disorientations
Epistemological Weak of Characters

To be :
Ontological
Ontological
Ontological
Ontological
Ontological

MOTIF:
Un-structure of:
Epistemological Alienisms
Epistemological De-alienisms
Epistemological Egalitarianism
Epistemological Elitism
Epistemological Standardism

Alienism
De-alienisms
Egalitarianism
Elitism
Standardism

Result: BEING EPISTEMOLOGICAL/ONTOLOGICAL
WEAK
Filsafat dan Ideologi Pendidikan by Marsigit
UNY
/ACKWARD OF CHARACTER

Gambar 4: Sintak Terbentuknya Karakter Indonesia Kontemporer
21

Konteks latar belakang Pendidikan Kontemporer Indonesia bersifat Ontologis dari
Tribal/Tradisional/ Feudal, Konservatif , Perebutan Kekuasaan (Power Disturbances),
Disorientasi Mainset, dan Disorganisasi Vital memberikan Karakter Indonesia yang
Lemah Vital terhadap Epistemologisnya. Kondisi Lemah Vital secara ontologis dan
epistemologis kemudian dipicu (ignite) oleh Un-structured Motive dari pelaku
Egosentriknya maka lahirlah Krisis Multi Dimensi denga sifat Alienasi Ontologis, Dealienasi Epistemologs, Egalitarian Ontologis, Elitisisme Ontologis, dan Standardisme
Ontologis. Mainset Pendidikan Indonesia Kontemporer bersifat dan menuju karakter
Pragmatisme,

Kapitalisme,

Saintisisme,

Material,

Liberalisme,

Socialisme,

Egalitarianisme, Standardisme, Elitisme, Meritokrasi, Pendidikan Laskar (Paramiliter).
Dengan mainset demikian maka Pendidikan Indonesia Kontemporer menampilkan Wajah
Persoalan Bangsa bersifat Nepotisme, Korupsi, Kolusi, Daya Saing Rendah, Daya
Diterminasi Rendah, Disorientasi Karakter, Inkonsistensi Karakter, Monokultur,
Uniformitas, Orientasi Simbol (UN , OSMN da Olimpiade Internasional), Pelanggaran
Hak Asasi Manusia, Pelecehan Seksual, Budaya Instant, dan Kebijakan Parsial (terputus).
Dengan wajah implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia tersebut di atas,
telah dan akan menghasilkan manusia Indonesia sebagai pribadi yang berkarakter
Terbelah, Berkonteks Dunia Terbelah, Bersifat Materialis, Budaya Instant, Dominan pada
Duniawiyah, Saintisme Absolut (Riset tanpa batas dan Anti-Spiritualisme), Hedonisme,
Pribadi Plin-plan, dan Tergoda Spiritualismenya, Korupsi, Kriminal, Politik Uang,
Budaya/Kesenian Palsu, Tuntunan menjadi Tontonan, dan Tontonan menjadi Tuntunan.

F. SOLUSI YANG DITAWARKAN
Menimban