Tionghoa dan politik era baru di Indones
Tionghoa dan politik era baru di Indonesia
Christine Franciska
Wartawan BBC Indonesia
27 Juni 2014
Kirim
Demokrasi pasca reformasi di
Indonesia membuka lebar
kesempatan bagi etnis
Tionghoa untuk berpolitik.
Menjadi ajang pembuktian
walau banyak juga yang
gagal.
Vihara Dharma Bhakti,
salah satu tempat ibadah
umat Buddha tertua di
Indonesia.
Tahun ini adalah pengalaman
pertama Yandi, 34, duduk
sebagai anggota DPRD di
Pontianak, Kalimantan Barat, setelah maju sebagai calon
legislatif dalam pemilu 2014.
Yandi, anak keempat dari empat bersaudara, ini memang
bertekad untuk berkarir di dunia politik sejak sepuluh tahun
lalu.
Dia pun pernah berganti-ganti partai dari Partai Republikan,
Golkar, dan yang terakhir Gerindra.
Pilihan berkarir di dunia politik diakuinya bukanlah pilihan
yang umum bagi pemuda Tionghoa di Pontianak. Keluarga
dan tiga saudaranya yang sibuk berbisnis pernah menentang
keputusan yang 'di luar kebiasaan' itu.
Namun dia sudah membulatkan niat: "Karena saya ingin
menyumbang gagasan dan pemikiran. Jika hanya
disampaikan ke pemerintah, implementasinya belum tentu
jalan. Karena itu lebih baik terjun langsung."
Ambisi Yandy cukup tinggi: menjadi presiden pada 2030
mendatang adalah cita-cita jangka panjangnya.
Ikut berpesta
Dia tak sendiri, calon-calon politisi dari etnis Tionghoa dalam
pemilu kali ini sudah banyak bermunculan baik di tingkat
daerah hingga nasional.
Pesta demokrasi menjadi kemewahan yang akhirnya
dirasakan warga keturunan Cina yang berpuluh-puluh tahun
dikekang aktivitas politiknya.
Taipan media Hary
Tanoesoedibyo misalnya dalam
pemilu kali ini tak ragu untuk
terjun ke politik praktis dengan
mendeklarasikan dirinya
sebagai calon wakil presiden
keturunan Tionghoa pertama
lewat Partai Hanura.
Pencalonan Hary Tanoe
sebagai kandidat wapres
kandas di tengah jalan.
Hary lalu 'membelot'
mendukung Prabowo, setelah Hanura menyatakan dukungan
ke Joko Widodo.
Contoh lainnya adalah bos Lion Air Rusdi Kirana - pebisnis
keturunan Cina - juga secara terbuka menyatakan dukungan
ke partai Islam, Partai Kebangkitan Bangsa.
Keputusan - yang dikutip oleh beberapa media - dibuat
karena Rusdi merasa "terinspirasi oleh sosok Gus Dur yang
memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa".
Terlepas dari kontroversi dukung-mendukung parpol,
munculnya warga etnis Tionghoa di panggung politik
mencerminkan kebebasan dan demokrasi.
Pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja
Purnama misalnya, terbukti diterima baik oleh warga Jakarta
dan menjadi pusat perhatian media karena kinerjanya yang
dianggap baik dan tegas.
Bagi Yandy pribadi ini menjadi ajang pembuktian: "Ini
menjawab kepada publik bahwa penilaian terhadap kita
(Tionghoa) ada yang keliru.
"Buktinya ketika kita diberikan kesempatan di sektor politik
ternyata kita mumpuni."
Dia mengaku terinspirasi sosok politisi dan reformis Cina,
Deng Xiaoping, yang setelah kematian Mao Zedong mampu
memimpin negara itu menuju kejayaan ekonomi.
"Beliau mengatakan tidak peduli itu kucingnya hitam ataupun
kucingnya putih yang penting kucingnya bisa menangkap
tikus."
"Artinya apapun namanya, ketika itu bermuara pada
kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang baik, itu harus
dilakukan. Karena kita sering terfokus pada namanya
(identitas), kita lupa bagaimana cara mensejahterakan
masyarakat kita."
Tak ada resistensi
Sejak era kepeminpinan Abdurrahman Wahid, tembok batas
diskriminasi atas warga Tionghoa memang perlahan terkikis
selapis demi selapis.
Sofjan Wanandi - mantan aktivis 1966 berdarah Tionghoa mengakui bahwa kini orang Cina yang berpolitik dan duduk di
pemerintahan sudah tidak lagi dianggap 'ajaib' oleh orang
kebanyakan.
"Keinginan (warga Tionghoa)
untuk juga berpolitik dan jangan
bisnis saja, itu sudah terjadi.
Dan menurut saya baik, ada
tanggung jawab sosial juga
kepada bangsa, dulu kan tidak
boleh."
"Saya melihat sudah tidak
banyak resistensi lagi," katanya.
Ketegangan dalam
kerusuhan Mei 1998,
menjelang tumbangnya
Soeharto.
Benny Setiono, salah satu
pendiri dan aktivis Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI) juga
sependapat.
"Contoh dua tahun lalu, Ahok
dicalonkan jadi wakil gubernur.
Ada usaha dari pihak tertentu
yang mengatakan dia Cina dan
dia Kristen, ternyata kan warga
Jakarta tidak menggubris dan
malah jadi bumerang."
Suasana berbeda jauh
setelah 1998 dengan
keterbukaan budaya
Tionghoa.
"Hary Tanoe, terlepas kita setuju atau tidak setuju - ketika dia
mencalonkan jadi wakil presiden, walau tidak mungkin
berhasil karena partainya kecil, tapi kan tidak ada resistensi
yang mengarah ke dia. Walau ada, isu itu tidak berhasil dan
jumlahnya kecil sekali."
"Ini yang menggembirakan, etnis Tionghoa sudah mulai
diterima dan diakui eksistensinya sebagi bagian integral dari
bangsa Indonesia."
Christine Franciska
Wartawan BBC Indonesia
27 Juni 2014
Kirim
Demokrasi pasca reformasi di
Indonesia membuka lebar
kesempatan bagi etnis
Tionghoa untuk berpolitik.
Menjadi ajang pembuktian
walau banyak juga yang
gagal.
Vihara Dharma Bhakti,
salah satu tempat ibadah
umat Buddha tertua di
Indonesia.
Tahun ini adalah pengalaman
pertama Yandi, 34, duduk
sebagai anggota DPRD di
Pontianak, Kalimantan Barat, setelah maju sebagai calon
legislatif dalam pemilu 2014.
Yandi, anak keempat dari empat bersaudara, ini memang
bertekad untuk berkarir di dunia politik sejak sepuluh tahun
lalu.
Dia pun pernah berganti-ganti partai dari Partai Republikan,
Golkar, dan yang terakhir Gerindra.
Pilihan berkarir di dunia politik diakuinya bukanlah pilihan
yang umum bagi pemuda Tionghoa di Pontianak. Keluarga
dan tiga saudaranya yang sibuk berbisnis pernah menentang
keputusan yang 'di luar kebiasaan' itu.
Namun dia sudah membulatkan niat: "Karena saya ingin
menyumbang gagasan dan pemikiran. Jika hanya
disampaikan ke pemerintah, implementasinya belum tentu
jalan. Karena itu lebih baik terjun langsung."
Ambisi Yandy cukup tinggi: menjadi presiden pada 2030
mendatang adalah cita-cita jangka panjangnya.
Ikut berpesta
Dia tak sendiri, calon-calon politisi dari etnis Tionghoa dalam
pemilu kali ini sudah banyak bermunculan baik di tingkat
daerah hingga nasional.
Pesta demokrasi menjadi kemewahan yang akhirnya
dirasakan warga keturunan Cina yang berpuluh-puluh tahun
dikekang aktivitas politiknya.
Taipan media Hary
Tanoesoedibyo misalnya dalam
pemilu kali ini tak ragu untuk
terjun ke politik praktis dengan
mendeklarasikan dirinya
sebagai calon wakil presiden
keturunan Tionghoa pertama
lewat Partai Hanura.
Pencalonan Hary Tanoe
sebagai kandidat wapres
kandas di tengah jalan.
Hary lalu 'membelot'
mendukung Prabowo, setelah Hanura menyatakan dukungan
ke Joko Widodo.
Contoh lainnya adalah bos Lion Air Rusdi Kirana - pebisnis
keturunan Cina - juga secara terbuka menyatakan dukungan
ke partai Islam, Partai Kebangkitan Bangsa.
Keputusan - yang dikutip oleh beberapa media - dibuat
karena Rusdi merasa "terinspirasi oleh sosok Gus Dur yang
memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa".
Terlepas dari kontroversi dukung-mendukung parpol,
munculnya warga etnis Tionghoa di panggung politik
mencerminkan kebebasan dan demokrasi.
Pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja
Purnama misalnya, terbukti diterima baik oleh warga Jakarta
dan menjadi pusat perhatian media karena kinerjanya yang
dianggap baik dan tegas.
Bagi Yandy pribadi ini menjadi ajang pembuktian: "Ini
menjawab kepada publik bahwa penilaian terhadap kita
(Tionghoa) ada yang keliru.
"Buktinya ketika kita diberikan kesempatan di sektor politik
ternyata kita mumpuni."
Dia mengaku terinspirasi sosok politisi dan reformis Cina,
Deng Xiaoping, yang setelah kematian Mao Zedong mampu
memimpin negara itu menuju kejayaan ekonomi.
"Beliau mengatakan tidak peduli itu kucingnya hitam ataupun
kucingnya putih yang penting kucingnya bisa menangkap
tikus."
"Artinya apapun namanya, ketika itu bermuara pada
kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang baik, itu harus
dilakukan. Karena kita sering terfokus pada namanya
(identitas), kita lupa bagaimana cara mensejahterakan
masyarakat kita."
Tak ada resistensi
Sejak era kepeminpinan Abdurrahman Wahid, tembok batas
diskriminasi atas warga Tionghoa memang perlahan terkikis
selapis demi selapis.
Sofjan Wanandi - mantan aktivis 1966 berdarah Tionghoa mengakui bahwa kini orang Cina yang berpolitik dan duduk di
pemerintahan sudah tidak lagi dianggap 'ajaib' oleh orang
kebanyakan.
"Keinginan (warga Tionghoa)
untuk juga berpolitik dan jangan
bisnis saja, itu sudah terjadi.
Dan menurut saya baik, ada
tanggung jawab sosial juga
kepada bangsa, dulu kan tidak
boleh."
"Saya melihat sudah tidak
banyak resistensi lagi," katanya.
Ketegangan dalam
kerusuhan Mei 1998,
menjelang tumbangnya
Soeharto.
Benny Setiono, salah satu
pendiri dan aktivis Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI) juga
sependapat.
"Contoh dua tahun lalu, Ahok
dicalonkan jadi wakil gubernur.
Ada usaha dari pihak tertentu
yang mengatakan dia Cina dan
dia Kristen, ternyata kan warga
Jakarta tidak menggubris dan
malah jadi bumerang."
Suasana berbeda jauh
setelah 1998 dengan
keterbukaan budaya
Tionghoa.
"Hary Tanoe, terlepas kita setuju atau tidak setuju - ketika dia
mencalonkan jadi wakil presiden, walau tidak mungkin
berhasil karena partainya kecil, tapi kan tidak ada resistensi
yang mengarah ke dia. Walau ada, isu itu tidak berhasil dan
jumlahnya kecil sekali."
"Ini yang menggembirakan, etnis Tionghoa sudah mulai
diterima dan diakui eksistensinya sebagi bagian integral dari
bangsa Indonesia."