Menjadi Indonesia yang Kafah docx
Menjadi Indonesia yang Kafah
oleh Wahyu Noerhadi
Belum lama, saya berjumpa, ngopi, dan ngobrol ngidul-ngalor dengan seorang kawan
dari NU Online. Dari obrolan sore hari itu, ada satu topik (cerita) yang hingga kini masih
terpatri dalam batok kepala saya. Kawan saya yang wartawan itu berkisah, pada saat ia
melakukan peliputan tentang Imlek 28 Januari kemarin, ia bersua dengan seorang kakek tua
penjaga Hok Tek Bio di kampungnya di Cirebon. Dan ketika ia mengenalkan bahwa dirinya
adalah wartawan NU Online, katanya, kakek tua itu tiba-tiba menampakkan wajah yang
semringah dan terkesan begitu karib. Kata kawanku, sang kakek tersenyum lebar hingga
tampaklah beberapa gigi yang sudah tanggal.
Setelah berkenalan dan kawanku sudah mendapatkan bahan berita perayaan Imlek
tahun ini (2568), kawanku mengungkapkan, si kakek bercerita atau tepatnya berharap, benarbenar berharap pada Nahdlatul Ulama (NU) agar senantiasa mampu menjaga keutuhan
NKRI. Kakek itu berharap agar NU selalu mampu mengawal persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia, sebagai bangsa yang besar. Kata kawanku, yang terus diingat olehnya itu ialah saat
si penjaga kelenteng menyampaikan rasa terimakasihnya kepada NU sebagai Ormas yang
sampai saat ini selalu menebar kedamaian. “Islam yang rahmatan lil ‘alamiin,” kata kawanku
pada si kakek.
Selanjutnya, Sabtu lalu, di kantin kampus, saya bercakap-cakap dengan seorang kawan
baru yang awalnya saya kira dia itu muslim, dan ternyata Katolik. Percakapan bermula ketika
kami menuju kantin, dan kawan kelas saya itu berkata sambil menyenggol tubuh saya dengan
sikunya, “Kader muda eN-U, ya?” Saya pun kaget. “Mengapa dia tiba-tiba bertanya
begitu?” Saya membatin. Ah ya, di dalam kelas, waktu perkenalan, saya menyebutkan bahwa
saya bantu-bantu di sebuah lembaga di PBNU.
“Mmm, eN-U kultural, Bung. Hehe.” Sanggah saya, yang kemudian berpikir setelahnya
bahwa NU itu memang dibangun dari kultur.
“Bung, gue seneng lihat kader-kader muda eN-U yang rajin meng-counter radikalisme
dan mengampanyekan kesatuan Republik Indonesia. Gue percaya bahwa semua agama
mengajarkan kebaikan dan perdamaian, bukan kekerasan dan perpecahan, termasuk agama
Islam. Maka itu, gue juga kurang sepakat tuh adanya Islamophobia di Barat sana. Anggapan
mereka tentang Islam gue kira sangatlah subjektif. Mereka belum paham betul bagaimana
Islam di Indonesia. Mereka mungkin tak pernah mendengar cerita tentang orang-orang Islam
yang menghajar penjajah di Surabaya. Meski dengan kalimat-kalimat Islam, gue pikir,
semangat kebangsaanlah yang digaungkan sama Bung Tomo waktu itu, untuk mengusir
penjajah dan untuk kemerdekaan Indonesia,” jelasnya di hadapan muka saya yang hanya
manthuk-manthuk saja mencerna ucapannya.
Saya mencerna bahwa kawan saya yang berkacamata bundar itu sedang bicara soal
peristiwa 10 Nopember 1945 atau yang juga kita kenal dengan Pertempuran Surabaya, yang
semangatnya lahir dari fatwa Resolusi Jihad Founding Father NU, Hadratus Syeikh KH.
Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Bagi saya, pada peristiwa 10 November yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan
itu, sumbangsih kiai seperti KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Mas Mansur, KH. Wahid Hasyim, Kiai
Wahab Chasbullah, serta santri-santrinya amatlah besar. Bung Tomo, TKR (Tentara
Keamanan Rakjat), etnis Tionghoa, dan laskar santri Hizbullah-Sabilillah bertempur dengan
30 ribu pasukan Britania Raya. Saya pikir, itulah persatuan Indonesia!
“Saya serius, Bung, eN-U harus berdiri tegap melawan radikalisme Islam. Gue agak
khawatir juga dengan aksi-aksi itu, Bung. Jangan sampai deh Islam nantinya mengalami
zaman kegelapan, di mana dominasi agama begitu kuat hingga masuk ke ranah politik.
Jangan sampai agama dijadikan alat untuk berbuat semena-mena, mengawasi dan
menghukum siapa saja yang diangap sesat. Tapi gue rasa aksi-aksi entu hanya politik belaka
dan sifatnya sementara. Bentar lagi juga reda. Tapi kalo ampe NU turun ke jalan bareng
mereka, lha itu udah bahaya. Harapan gue sih, NU juga Muhammadiyah bisa konsisten dan
komitmen buat jaga keutuhan NKRI,” ungkapnya.
Saya menanggapinya dengan tersenyum. Dan, tiba-tiba teringat Gus Dur. Ya, kita tahu,
Gus Dur itu berdiri di atas semua golongan; dekat dan terdepan membela minoritas,
Contohnya terhadap etnis Tionghoa. Kita mafhum, pasca tragedi Mei 1998, Gus Dur—yang
saat itu masih menjabat sebagai Ketum PBNU—menyerukan kepada warga Tionghoa yang
berada di luar negeri agar balik lagi ke Indonesia. Dan, Gus Dur menjamin keselamatan
mereka. Gus Dur pulalah, melalui Keppres No. 6 tahun 2000, yang mengubah tanggal Tahun
Baru Imlek menjadi tanggal merah, hingga kita pun bisa berleha-leha di rumah.
Terbitnya Keppres itu bikin banyak orang terheran-heran. Bahkan bikin kaget sendiri
Budi Tanuwibowo selaku Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia. Budi kaget karena proses terbitnya Keppres itu terbilang cepat (Kompas: 7
Februari 2016).
Gus Dur memang kerap disebut sebagai presiden yang nyeleneh dan kontoversial.
Padahal, kata guru ngaji saya, Gus Dur itu ibarat lokomotif Jepang yang super cepat, sedang
kita masyarakat Indonesia adalah gerbong kereta ekonomi Indonesia. Tentunya banyak dari
kita yang terseok-seok mengikuti laju pemikiran Gus Dur. Hal itu terbukti ketika pada
akhirnya Gus Dur dijuluki Bapak Bangsa, tokoh pluralis ataupun humanis. Gus Dur itu
mengajarkan kebangsaan; mengajak kita untuk menjadi bangsa Indonesia yang kafah, yang
utuh; menunjukkan hakikat persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana amanat salah satu
butir Pancasila, sebagai dasar berdirinya Republik Indonesia.
Ya, andai saja Gus Dur masih ada. Harapan kakek tua penjaga kelenteng dan harapan
kawan katolik saya bakal langsung dijawabnya: “Berapa pun besar biaya dan resikonya, NU
akan menjaga keutuhan NKRI.” Harapan saya, (sifat, sikap, dan pemikiran) Gus Dur tetap
ada di relung-relung batin dan kepala kita, terutama pada anak-anak muda NU atau generasi
millennial macam saya.
Tidak hanya lewat Gus Dur, selaku tokoh NU dan Bapak Bangsa, kepada tokoh-tokoh
NU lain seperti Mbah Moen, (Mbah) Gus Mus, Kiai Said, dan kiai-kiai lainnya kita bisa
belajar. Belajar mematrikan paham hubbul wathon minal iman Hadratus Syeikh KH. Hasyim
Asya’ari kepada ranah rasa. Hingga cintanya betul-betul pada Indonesia. Ya, rasa cinta pada
Tanah Air bagian dari iman. Menurut Gus Mus, tidak ada alasan untuk tidak mencintai
Indonesia; kita lahir, hidup, dan bahkan mungkin mati nanti ada di Bumi Pertiwi.
Kemudian, Kiai Said pun sering mengungkapkan bahwa hanya di Indonesia ada kiai
yang nasionalis dan nasionalis yang kiai. Tidak ekstrem kanan tidak juga ekstrem kiri, tapi di
tengah-tengah dengan menjadi Indonesia, sebagaimana prinsip NU sendiri, yakni tawazun
(proporsional), selain dua prinsip lain: tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat).
Ketiga prinsip itulah yang saya pikir perlu ada dihayati betul oleh warga Nahdliyyin
pada khususnya dan warga Indonesia pada umumnya. Selain itu, di tengah radikalisme dan
modernitas yang terus merongrong manusia kita, maqolah masyhur di NU: “almuhafadhoh
alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “memelihara yang lama yang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik” harus terus ada pada benak kita.
Saya kira itulah harapan (mimpi) saya, yang mungkin harapan kita semua untuk
Indonesia, yang di dalamnya NU tumbuh dan berkembang; menjaga-mengawal jargon
#NKRIHargaMati. Ya, harapan saya memang tak muluk-muluk, NU dan Indonesia harus
seperti ini atau harus seperti itu. NU atau Indonesia harus sebagaimana adanya, sebagaimana
mestinya, sebagaimana cita-cita para pendirinya; sebagaimana harapan mereka (para pendiri)
kepada kita, selaku penerusnya.
Jakarta, 7 Maret 2017
oleh Wahyu Noerhadi
Belum lama, saya berjumpa, ngopi, dan ngobrol ngidul-ngalor dengan seorang kawan
dari NU Online. Dari obrolan sore hari itu, ada satu topik (cerita) yang hingga kini masih
terpatri dalam batok kepala saya. Kawan saya yang wartawan itu berkisah, pada saat ia
melakukan peliputan tentang Imlek 28 Januari kemarin, ia bersua dengan seorang kakek tua
penjaga Hok Tek Bio di kampungnya di Cirebon. Dan ketika ia mengenalkan bahwa dirinya
adalah wartawan NU Online, katanya, kakek tua itu tiba-tiba menampakkan wajah yang
semringah dan terkesan begitu karib. Kata kawanku, sang kakek tersenyum lebar hingga
tampaklah beberapa gigi yang sudah tanggal.
Setelah berkenalan dan kawanku sudah mendapatkan bahan berita perayaan Imlek
tahun ini (2568), kawanku mengungkapkan, si kakek bercerita atau tepatnya berharap, benarbenar berharap pada Nahdlatul Ulama (NU) agar senantiasa mampu menjaga keutuhan
NKRI. Kakek itu berharap agar NU selalu mampu mengawal persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia, sebagai bangsa yang besar. Kata kawanku, yang terus diingat olehnya itu ialah saat
si penjaga kelenteng menyampaikan rasa terimakasihnya kepada NU sebagai Ormas yang
sampai saat ini selalu menebar kedamaian. “Islam yang rahmatan lil ‘alamiin,” kata kawanku
pada si kakek.
Selanjutnya, Sabtu lalu, di kantin kampus, saya bercakap-cakap dengan seorang kawan
baru yang awalnya saya kira dia itu muslim, dan ternyata Katolik. Percakapan bermula ketika
kami menuju kantin, dan kawan kelas saya itu berkata sambil menyenggol tubuh saya dengan
sikunya, “Kader muda eN-U, ya?” Saya pun kaget. “Mengapa dia tiba-tiba bertanya
begitu?” Saya membatin. Ah ya, di dalam kelas, waktu perkenalan, saya menyebutkan bahwa
saya bantu-bantu di sebuah lembaga di PBNU.
“Mmm, eN-U kultural, Bung. Hehe.” Sanggah saya, yang kemudian berpikir setelahnya
bahwa NU itu memang dibangun dari kultur.
“Bung, gue seneng lihat kader-kader muda eN-U yang rajin meng-counter radikalisme
dan mengampanyekan kesatuan Republik Indonesia. Gue percaya bahwa semua agama
mengajarkan kebaikan dan perdamaian, bukan kekerasan dan perpecahan, termasuk agama
Islam. Maka itu, gue juga kurang sepakat tuh adanya Islamophobia di Barat sana. Anggapan
mereka tentang Islam gue kira sangatlah subjektif. Mereka belum paham betul bagaimana
Islam di Indonesia. Mereka mungkin tak pernah mendengar cerita tentang orang-orang Islam
yang menghajar penjajah di Surabaya. Meski dengan kalimat-kalimat Islam, gue pikir,
semangat kebangsaanlah yang digaungkan sama Bung Tomo waktu itu, untuk mengusir
penjajah dan untuk kemerdekaan Indonesia,” jelasnya di hadapan muka saya yang hanya
manthuk-manthuk saja mencerna ucapannya.
Saya mencerna bahwa kawan saya yang berkacamata bundar itu sedang bicara soal
peristiwa 10 Nopember 1945 atau yang juga kita kenal dengan Pertempuran Surabaya, yang
semangatnya lahir dari fatwa Resolusi Jihad Founding Father NU, Hadratus Syeikh KH.
Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Bagi saya, pada peristiwa 10 November yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan
itu, sumbangsih kiai seperti KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Mas Mansur, KH. Wahid Hasyim, Kiai
Wahab Chasbullah, serta santri-santrinya amatlah besar. Bung Tomo, TKR (Tentara
Keamanan Rakjat), etnis Tionghoa, dan laskar santri Hizbullah-Sabilillah bertempur dengan
30 ribu pasukan Britania Raya. Saya pikir, itulah persatuan Indonesia!
“Saya serius, Bung, eN-U harus berdiri tegap melawan radikalisme Islam. Gue agak
khawatir juga dengan aksi-aksi itu, Bung. Jangan sampai deh Islam nantinya mengalami
zaman kegelapan, di mana dominasi agama begitu kuat hingga masuk ke ranah politik.
Jangan sampai agama dijadikan alat untuk berbuat semena-mena, mengawasi dan
menghukum siapa saja yang diangap sesat. Tapi gue rasa aksi-aksi entu hanya politik belaka
dan sifatnya sementara. Bentar lagi juga reda. Tapi kalo ampe NU turun ke jalan bareng
mereka, lha itu udah bahaya. Harapan gue sih, NU juga Muhammadiyah bisa konsisten dan
komitmen buat jaga keutuhan NKRI,” ungkapnya.
Saya menanggapinya dengan tersenyum. Dan, tiba-tiba teringat Gus Dur. Ya, kita tahu,
Gus Dur itu berdiri di atas semua golongan; dekat dan terdepan membela minoritas,
Contohnya terhadap etnis Tionghoa. Kita mafhum, pasca tragedi Mei 1998, Gus Dur—yang
saat itu masih menjabat sebagai Ketum PBNU—menyerukan kepada warga Tionghoa yang
berada di luar negeri agar balik lagi ke Indonesia. Dan, Gus Dur menjamin keselamatan
mereka. Gus Dur pulalah, melalui Keppres No. 6 tahun 2000, yang mengubah tanggal Tahun
Baru Imlek menjadi tanggal merah, hingga kita pun bisa berleha-leha di rumah.
Terbitnya Keppres itu bikin banyak orang terheran-heran. Bahkan bikin kaget sendiri
Budi Tanuwibowo selaku Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia. Budi kaget karena proses terbitnya Keppres itu terbilang cepat (Kompas: 7
Februari 2016).
Gus Dur memang kerap disebut sebagai presiden yang nyeleneh dan kontoversial.
Padahal, kata guru ngaji saya, Gus Dur itu ibarat lokomotif Jepang yang super cepat, sedang
kita masyarakat Indonesia adalah gerbong kereta ekonomi Indonesia. Tentunya banyak dari
kita yang terseok-seok mengikuti laju pemikiran Gus Dur. Hal itu terbukti ketika pada
akhirnya Gus Dur dijuluki Bapak Bangsa, tokoh pluralis ataupun humanis. Gus Dur itu
mengajarkan kebangsaan; mengajak kita untuk menjadi bangsa Indonesia yang kafah, yang
utuh; menunjukkan hakikat persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana amanat salah satu
butir Pancasila, sebagai dasar berdirinya Republik Indonesia.
Ya, andai saja Gus Dur masih ada. Harapan kakek tua penjaga kelenteng dan harapan
kawan katolik saya bakal langsung dijawabnya: “Berapa pun besar biaya dan resikonya, NU
akan menjaga keutuhan NKRI.” Harapan saya, (sifat, sikap, dan pemikiran) Gus Dur tetap
ada di relung-relung batin dan kepala kita, terutama pada anak-anak muda NU atau generasi
millennial macam saya.
Tidak hanya lewat Gus Dur, selaku tokoh NU dan Bapak Bangsa, kepada tokoh-tokoh
NU lain seperti Mbah Moen, (Mbah) Gus Mus, Kiai Said, dan kiai-kiai lainnya kita bisa
belajar. Belajar mematrikan paham hubbul wathon minal iman Hadratus Syeikh KH. Hasyim
Asya’ari kepada ranah rasa. Hingga cintanya betul-betul pada Indonesia. Ya, rasa cinta pada
Tanah Air bagian dari iman. Menurut Gus Mus, tidak ada alasan untuk tidak mencintai
Indonesia; kita lahir, hidup, dan bahkan mungkin mati nanti ada di Bumi Pertiwi.
Kemudian, Kiai Said pun sering mengungkapkan bahwa hanya di Indonesia ada kiai
yang nasionalis dan nasionalis yang kiai. Tidak ekstrem kanan tidak juga ekstrem kiri, tapi di
tengah-tengah dengan menjadi Indonesia, sebagaimana prinsip NU sendiri, yakni tawazun
(proporsional), selain dua prinsip lain: tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat).
Ketiga prinsip itulah yang saya pikir perlu ada dihayati betul oleh warga Nahdliyyin
pada khususnya dan warga Indonesia pada umumnya. Selain itu, di tengah radikalisme dan
modernitas yang terus merongrong manusia kita, maqolah masyhur di NU: “almuhafadhoh
alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “memelihara yang lama yang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik” harus terus ada pada benak kita.
Saya kira itulah harapan (mimpi) saya, yang mungkin harapan kita semua untuk
Indonesia, yang di dalamnya NU tumbuh dan berkembang; menjaga-mengawal jargon
#NKRIHargaMati. Ya, harapan saya memang tak muluk-muluk, NU dan Indonesia harus
seperti ini atau harus seperti itu. NU atau Indonesia harus sebagaimana adanya, sebagaimana
mestinya, sebagaimana cita-cita para pendirinya; sebagaimana harapan mereka (para pendiri)
kepada kita, selaku penerusnya.
Jakarta, 7 Maret 2017