MENGGAGAS KONSEP PEMBINAAN NARAPIDANA TE
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini “terorisme” menjadi diskursus menarik bagi banyak orang. Arus
opini yang berkembang “terorisme” seolah inheren dengan Islam dan kelompok
Islam yang dicap radikal. Bahkan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme) membuat kesimpulan bahwa ideologi radikal adalah akar dari
terorisme. Di Indonesia kelompok Islam yang cap radikal cukup beragam, namun
apakah benar bahwa mereka adalah pilar utama fenomena terorisme? Untuk
menjawab pertanyaan diatas, kita perlu empat komponen yaitu hati yang lapang
jauh dari sikap emosional dan tendensius, pengetahuan yang cukup terkait realitas
kelompok radika, sikap obyektif dan kejujuran.
Merebaknya fenomena terorisme di Indonesia jelas sangat merugikan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tindakan terorisme yang telah terjadi
memaksa pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum untuk membuat suatu
kebijakan-kebijakan (policies) dalam rangka melakukan pengamanan yang lebih
ekstra, agar kemudian tindakan terorisme yang merugikan tersebut tidak terulang
di kemudian hari. Oleh karena itu, supremasi hukum sudah seharusnya ditegakkan
di Indonesia, terutama dalam hal menyangkut tindak terorisme yang sangat
berdampak destruktif bagi kelangsungan hidup manusia. Pelaku tindak pidana
terorisme harus mengikuti proses peradilan pidana secara utuh, mulai dari proses
penyelidikan dan penyidikan di tingkat Kepolisian, penuntutan di tingkat
Kejaksaan, pemeriksaan di Pengadilan dan akhirnya institusi penghukuman yang
lazim disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan.
Diluar perdebatan definisi terorisme yang “no global concencus” sampai
saat ini, sejatinya terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam
faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi
2
(kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan,
sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang
melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti
ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis
(AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar
ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak
berkembang sebagaimana mestinya (unipolar). Selain itu adanya realitas kultural
terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam
interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan
faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya
menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Terkait dengan fenomena kejahatan terorisme, maka proses pemidanaan
terhadap para pelaku terorisme merupakan kajian penting dalam menjaga
stabilitas
keamanan
di
kemudian
hari.
Hal
ini
menjadikan
lembaga
pemasyarakatan sebagai tempat yang sangat memiliki peranan dalam melakukan
pembinaan terhadap narapidana teroris untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Pola pembinaan narapidana teroris tentu berbeda dengan narapidana lain, di mana
dalam masa pembinaan mental, narapidana teroris tidak diperkenankan
memberikan dakwah. Pemasyarakatan bagi narapidana teroris bertujuan untuk
membina mendidik mereka menjadi orang yang lebih baik. Perubahan paradigma
tempat pemidanaan dari penjara menjadi lembaga pemasyarakatan sebagaimana
yang
diatur
dalam
Undang-undang
Nomor
12
Tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan membawa konsekuensi yuridis berupa perubahan tujuan
pemidanaan dari pembalasan menuju pembinaan.1 Dalam kerangka pembinaan
terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan memiliki dua peranan penting
yakni sebagai tempat dan sarana atas reedukasi dan resosialisasi.
1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002) hal 38.
3
Sampai saat ini Lembaga Pemasyarakatan belum menunjukkan hasil yang
optimal dalam membina narapidana, belum ada korelasi yang cukup signifikan
antara lamanya sanksi pidana dengan pengurangan jumlah tindak pidana
(keberhasilan dalam melakukan pembinaan narapidana.) Jadi, kalaupun
narapidana Korupsi dan Teroris diputuskan tidak mendapatkan remisi, namun
sistem pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, berikut dengan perangkat
hukumnya itu sendiri tidak pernah dibenahi, diperbaiki atau direformasi, maka
sebenarnya keputusan dari tidak diberikannya Remisi itu sendiri tidak akan
menuai hasil yang maksimal, yang ada malah semakin bermunculan pelakupelaku tindak pidana tersebut lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang
tersebut, maka yang menjadi permasalahannya yaitu: Bagaimanakah seharusnya
konsep pembinaan narapidana terorisme yang ideal dan efektif?
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian, Tipologi, dan Kedudukan Tindak Pidana Terorisme
Terorisme secara simplifikasi dan epistemologi, dapat dibedakan menjadi
kata “teror” dan “isme” (paham). Kata teror dalam kamus Bahasa Indonesia
berarti kekejaman tindak kekerasan dan kengerian. Sementara itu dalam Besar
Bahasa Indonesia W.J.S. Prwadarminta dikatakan bahwa terorisme adalah
praktek-praktek tindakan teror, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan dalam usaha mencapai sesuatu (terutama tujuan politik).2
Dasar hukum yang dipakai dalam menanggulangi tindak pidana terorisme
di Indonesia terutama adalah UU No. 15 Tahun 2003 yang menetapkan Perpu No.
1 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Terorisme menjadi UU.3 Pengertian
mengenai terorisme, dapat dijumpai dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pengertian terorisme secara
umum dalam UU tersebut ditegaskan dalam pasal 6, yaitu:4
Seiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yan strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau internasional.
Terdapat tiga bentuk atau tipologi kejahatan terorisme berdasarkan motif
yang melatar belakanginya ataupun tujuan yang hendak dicapai oleh para teroris
yaitu:5
2 King Faisal Sulaiman, Who is The Real Terrorist? (Menguak Mitos Kejahatan Terorisme), Cetakan
Pertama, (Yogyakarta: elMATERA Publishing, 2007), hlm. 5.
3 Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal (Kebijakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan
Kejahtan), Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2010), hlm. 118.
4 Lihat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
5 King Faisal Sulaiman, op. Cit., hlm. 15.
5
1. Political Terrorism, merupakan terorisme yang bersifat politik dimana
perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang secara sistematik, menggunakan pola-pola kekerasan, intimidasi,
dan ditujukan terutama untuk menumbuhkan ketakutan dalam suatu
masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan yang bersifat politik.
2. Crminal Terrorism, yaitu terorisme yang tidak diarahkan untuk tujuantujuan politik tetapi dilakukan berdasarkan kepentingan suatu kelompok
atau komunitas tertentu dalam memperjuangkan tujuan kelompok atau
organisasinya. Kelompok yang termasuk dalam pengertian ini adalah
kelompok yang bermotif idiologi, agama, aliran atau mempunyai pahampaham tertentu.
3. State Terrorism, merupakan kegiatan terorisme yang disponsori oleh
negara atau dilakukan atas nama negara yaitu aksi teror yang dilakukan
oleh negara terhadap individu atau kelompok-kelopok masyarakat teretntu
ataupun terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara tertentu.
Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris menjadi
materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan
kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extra ordinary
crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa.
Bertalian dengan tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana luar biasa
(extra ordinary crime), maka kejahatan terorisme patut diatur sebagai tindak
pidana yang bersifat khusus. Kejahatan terorisme sebagai bentuk tindak pidana
luar biasa nampak dari beberapa indikator:6
1. Membahayakan nilai-nilai hak asasi manusia yang absolut (nyawa, bebas
dari rasa takut dan sebagainya).
2. Serangan terorisme bersifat “random, indistricminate, and non selective”
yang kemungkinan menimpa orang-orang yang tidak bersalah.
3. Selalu mengandung unsur-unsur kekerasan, ancaman kekerasan, koresif
dan intimidasi pada penduduk sipil dan menimbulkan rasa takut yang
bersifat luas.
6 Ibid.
6
4. Kemungkinan keterkaitannya dengan kejahatan terorganisasi, bahkan
kejahatan transnasional terorganisasi.
5. Kemungkinan digunakan teknologi canggih seperti senjata kimia, biologi,
bahkan nuklir.
Beberapa Fakta Tentang Pola Pembinaan Narapidana Terorisme
Jika merujuk pada pengertian, tipologi, dan tindak pidana terorisme
sebagai sebuah kejahatan luar biasa karena berbeda dengan tindak pidana
lainnya, ,maka perlakuan terhadap narapidana terorisme pun harus berbeda pula.
Perlindungan hukum atas hak-hak narapidana di Indonesia sebenarnya telah diatur
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Inti perlindungan narapidana adalah terwujudnya
pembinaan narapidana sesuai dengan sistem pemasyarakatan yang diberlakukan
dalam UU Pemasyarakatan.
Ide dan tujuan dari pemasyarakatan itu sendiri adalah untuk rehabilitasi
dan resosialisasi narapidana melalui tindakan-tindakan yang edukatif, korektif dan
defensif, dan bukan bertujuan untuk sekedar menghukum. Para narapidana itu
ibarat orang sakit harus disembuhkan dan dibina agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya, dan bukan karena dia telah melakukan tindak pidana.
Akan tetapi, pada faktanya ide dan tujuan dari pemasyarakatan sebagi
bentuk pembinaan bagi narapidana kasus terorisme yang tersebar di beberapa
penjara di seluruh Indonesia belum efektif. Tersebarnya keberadaan narapidana
kasus terorisme ini tidak terlepas dari locus delicti peristiwa terorisme yang
memang berbeda. Pada sisi yang lain, belum adanya penjara khusus yang
disediakan untuk menampung narapidana kasus terorisme. Diakui atau tidak,
selama ini, pola perlakuan terhadap narapidana terorisme memang belum bersifat
spesifik. Pola perlakuan terhadap mereka masih dipersamakan dengan pola
perlakuan terhadap narapidana kasus yang lain. Walaupun, sebenarnya, Menteri
Hukum dan HAM telah menetapkan standar perlakuan (prosedur tetap) terhadap
narapidana resiko tinggi (termasuk di dalamnya narapidana kasus terorisme).
7
Namun, prosedur tetap ini memang belum dapat diimplementasikan secara efektif
karena beberapa kendala, seperti kurangnya sosialisasi, belum adanya pelatihan
bagi petugas tentang prosedur tetap ini, dan belum memadainya sarana
pendukung.
Yang kedua, belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan
terorisme, dalam arti bahwa penanganan terhadap pelaku terorisme seakan
berhenti pada saat mereka telah tertangkap atau dijatuhi pidana. Perhatian
terhadap bagaimana memperlakukan pelaku kejahatan terorisme yang telah
dijatuhi pidana (berada di dalam penjara) sering terabaikan. Dan seakan-akan
penanganan terhadap mereka semata-mata menjadi tanggung jawab petugas
pemasyarakatan. Keterlibatan tokoh masyarakat/agama dalam penanganan
terhadap narapidana terorisme belum maksimal.
Ketiga, pembelajaran kejahatan merupakan satu hal yang sangat mungkin
terjadi di penjara. Adanya proses komunikasi dan interaksi antar narapidana dalam
durasi waktu yang cukup lama dan intensitas yang cukup sering di dalam penjara
merupakan hal yang memungkinkan terjadi proses pembelajaran kejahatan
tersebut. Dalam tataran akademis, inilah yang disebut dengan differentiational
association yang dikemukakan oleh Sutherland.
Konsep Perlakuan Individualisasi
Konsep individualisasi perlakuan ini sejatinya bukan satu hal yang baru.
Dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah mengatur tentang
hal ini. Pada pasal 12 ayat (1) huruf d disebutkan bahwa dalam rangka pembinaan,
salah satu dasar dalam melakukan penggolongan terhadap narapidana di dalam
lapas adalah berdasarkan jenis kejahatan.7
Adanya penggolongan atas dasar jenis kejahatan ini sebenarnya
mengandung makna bahwa jenis kejahatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
narapidana akan berpengaruh pada pola perlakuan (pembinaan) yang seharusnya
7 Lihat Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatn.
8
mereka jalani selama berada di dalam penjara. Dengan kata lain, seorang
narapidana kasus terorisme tentu saja harus mendapatkan pembinaan yang
berbeda dengan narapidana kasus korupsi atau kasus lainnya. Karena, alasan
dilakukannya kejahatannya pun sangat berbeda. Seorang teroris melakukan tindak
kejahatannya mungkin saja karena konsep radikal yang membelenggu
pemikirannya. Sedangkan seseorang berperilaku koruptif mungkin saja karena
adanya paham konsumerisme atau materialisme yang membelenggu kehidupan
pribadi maupun keluarga atau lingkungannya.
Bahkan pada setiap narapidana kasus terorisme pun perlu dilakukan
penggolongan dalam perlakuannya. Karena, peran dari setiap narapidana kasus
terorisme dalam jaringan terorismenya pun berbeda. Seorang narapidana teroris
yang mempunyai peran sebagai pemimpin jaringan tentu saja harus mendapatkan
perlakuan yang berbeda dengan narapidana teroris yang hanya berperan sebagai
pengikut atau lainnya.
Implementasi dari konsep Individualisasi perlakuan terhadap narapidana
kasus terorisme setidaknya meliputi beberapa hal sebagai berikut:
Adanya pendataan yang bersifat lengkap dan detil; pendataan ini selain
berfungsi untuk membangun database narapidana juga berfungsi sebagai
bahan untuk mengetahui latar belakang narapidana tersebut, seperti latar
belakang
pendidikan,
pekerjaan,
atktifitas
sosial
kemasyarakatan,
keluarga, riwayat kejahatan, dan lainnya. Pendataan ini dilakukan tidak
hanya dari surat atau dokumen selama proses peradilan, tetapi juga dengan
melakukan wawancara mendalam baik dengan terpidana maupun keluarga
atau masyarakat, serta melakukan pengamatan yang berkesinambungan
terhadap mereka selama berada di dalam penjara.
Pendataan yang bersifat lengkap dan detil tersebut akan bermanfaat dalam
menentukan tingkat resiko dan jenis kebutuhan bagi mereka. Tingkat
resiko atau jenis kebutuhan ini dapat dihubungkan dengan peran mereka
dalam jaringan terorisme atau kemampuan spesifik yang mereka miliki
9
(seperti kemampuan menggunakan atau merakit senjata, kemampuan
menyebarkan paham radikalisme, kemampuan mempengaruhi orang lain,
dan lain-lain).
Adanya standard operational procedures (SOP) yang lengkap dan tepat.
SOP ini berguna untuk memperjelas proses atau mekanisme yang harus
dijalankan oleh petugas dalam memberikan perlakuan terhadap narapidana
terorisme
serta
mempermudah
dalam
menentukan
garis
pertanggungjawaban dalam setiap aktifitas.
Selain itu, perlu kiranya membekali petugas dengan pengetahuan tentang
kejahatan terorisme dan upaya deradikalisasi terhadap narapidana
terorisme. Adanya pembekalan terhadap petugas ini juga bertujuan untuk
menghindarkan terpengaruhinya petugas dengan paham radikalisme yang
dianut narapidana terorisme.
Perlu juga dipikirkan tentang penempatan secara khusus terhadap
narapidana terorisme. Penempatan secara khusus ini bertujuan untuk
mengeliminir kemungkinan keterlibatan mereka dalam aktifitas jaringan
terorisme di luar penjara serta mencegah terjadinya proses radikalisasi jika
mereka ditempatkan secara bersama dengan narapidana kasus lainnya.
Adanya
penempatan
secara
khusus
ini
juga
menjadi
prasyarat
terimplementasinya SOP secara benar, karena SOP tidak akan dapat
diimplementasikan secara benar jika pada saat yang bersamaan petugas
yang bersangkutan juga menangani narapidana yang bukan teroris.
Pelibatan tokoh masyarakat/tokoh agama dalam melakukan pembinaan
terhadap narapidana kasus terorisme adalah satu hal yang juga harus
dilakukan.
Pelibatan
tokoh
agama/masyarakat
ini
dalam
rangka
deradikalisasi pemikiran para narapidana terorisme melalui proses dialog.
Upaya
deradikalisasi
membutuhkan
proses
yang
panjang
dan
berkesinambungan, oleh karenya keterlibatan tokoh masyarakat/agama ini
pun harus dilakukan secara berkesinambungan.
10
Individualisasi perlakuan merupakan satu hal yang harus dilakukan tidak
hanya terhadap narapidana terorisme tetapi juga terhadap narapidana kasus
lainnya. Karena, kebutuhan setiap narapidana adalah berbeda (dan tentu tidak
dapat dipersamakan/digeneralisasikan). Sebuah metode perlakuan akan dapat
secara efektif menangani seorang narapidana, tetapi akan menjadi tidak berfungsi
sama sekali ketika diterapkan pada narapidana yang lain. Dengan kata lain, tidak
ada obat yang dapat menyembuhkan semua jenis penyakit.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
11
Tindak pidana terorisme merupakan suatu kejahatan yang meresahkan dan
menganggu ketertiban masyarakat. Terorisme merupakan salah satu kejahatan
yang tergabung dalam jajaran kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Untuk
itu pola pembinaan sebagai bagian dari pemidanaan terhadap narapidana terorisme
ini pun harus diberlakukan berbeda dengan narapidana kejahatan lainnya.
Belum efektifnya pembinaan terhadap narapidana dalam pemasyarakatan
disebabkan oleh hal-hal berikut:
Belum adanya penjara khusus terhadap narapidana terorisme;
Belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme;
Adanya proses komunikasi dan interaksi antar narapidana dalam durasi
waktu yang cukup lama dan intensitas yang cukup sering di dalam penjara
merupakan hal yang memungkinkan terjadi proses pembelajaran kejahatan
tersebut.
Individualisasi perlakuan merupakan satu hal yang harus diterapkan
terhadap narapidana terorisme. Karena, kebutuhan setiap narapidana adalah
berbeda (dan tentu tidak dapat dipersamakan/digeneralisasikan). Sebuah metode
perlakuan akan dapat secara efektif menangani seorang narapidana, tetapi akan
menjadi tidak berfungsi sama sekali ketika diterapkan pada narapidana yang lain.
Dengan kata lain, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan semua jenis penyakit.
2. Saran
Merujuk pada beberapa fakta yang terungkap mengenai pola pembinaan
narapidana terorisme yang belum efektif, maka kiranya Pemerintah Indonesia
lebih memperhatikan permasalahan tersebut, misalnya dengan membangun
penjara khusus bagi narapidana terorisme, guna menghindari komunikasi
narapidana kejahatan terorisme dan narapidana kejahatan lainnya, yang dapat
menyebabkan terciptanya kejahatan terorisme dengan pelaku yang baru.
12
Kemudian pembinaan secara individu terhadap narapidana terorisme juga dapat
diberlakukan dengan melibatkan para tokoh masyarakat atau tokoh agama untuk
membersihkan pemikiran radikal dalam seorang narapidana terorisme.
DAFTAR PUSTAKA
13
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Sulaiman, King Faisal. Who is The Real Terrorist? (Menguak Mitos Kejahatan
Terorisme), Cetakan Pertama. Yogyakarta: elMATERA Publishing,
2007.
Hatta, Moh. Kebijakan Politik Kriminal (Kebijakan Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kejahtan), Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajara,
2010.
Indonesia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Indonesia. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini “terorisme” menjadi diskursus menarik bagi banyak orang. Arus
opini yang berkembang “terorisme” seolah inheren dengan Islam dan kelompok
Islam yang dicap radikal. Bahkan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme) membuat kesimpulan bahwa ideologi radikal adalah akar dari
terorisme. Di Indonesia kelompok Islam yang cap radikal cukup beragam, namun
apakah benar bahwa mereka adalah pilar utama fenomena terorisme? Untuk
menjawab pertanyaan diatas, kita perlu empat komponen yaitu hati yang lapang
jauh dari sikap emosional dan tendensius, pengetahuan yang cukup terkait realitas
kelompok radika, sikap obyektif dan kejujuran.
Merebaknya fenomena terorisme di Indonesia jelas sangat merugikan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tindakan terorisme yang telah terjadi
memaksa pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum untuk membuat suatu
kebijakan-kebijakan (policies) dalam rangka melakukan pengamanan yang lebih
ekstra, agar kemudian tindakan terorisme yang merugikan tersebut tidak terulang
di kemudian hari. Oleh karena itu, supremasi hukum sudah seharusnya ditegakkan
di Indonesia, terutama dalam hal menyangkut tindak terorisme yang sangat
berdampak destruktif bagi kelangsungan hidup manusia. Pelaku tindak pidana
terorisme harus mengikuti proses peradilan pidana secara utuh, mulai dari proses
penyelidikan dan penyidikan di tingkat Kepolisian, penuntutan di tingkat
Kejaksaan, pemeriksaan di Pengadilan dan akhirnya institusi penghukuman yang
lazim disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan.
Diluar perdebatan definisi terorisme yang “no global concencus” sampai
saat ini, sejatinya terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam
faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi
2
(kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan,
sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang
melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti
ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis
(AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar
ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak
berkembang sebagaimana mestinya (unipolar). Selain itu adanya realitas kultural
terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam
interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan
faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya
menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Terkait dengan fenomena kejahatan terorisme, maka proses pemidanaan
terhadap para pelaku terorisme merupakan kajian penting dalam menjaga
stabilitas
keamanan
di
kemudian
hari.
Hal
ini
menjadikan
lembaga
pemasyarakatan sebagai tempat yang sangat memiliki peranan dalam melakukan
pembinaan terhadap narapidana teroris untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Pola pembinaan narapidana teroris tentu berbeda dengan narapidana lain, di mana
dalam masa pembinaan mental, narapidana teroris tidak diperkenankan
memberikan dakwah. Pemasyarakatan bagi narapidana teroris bertujuan untuk
membina mendidik mereka menjadi orang yang lebih baik. Perubahan paradigma
tempat pemidanaan dari penjara menjadi lembaga pemasyarakatan sebagaimana
yang
diatur
dalam
Undang-undang
Nomor
12
Tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan membawa konsekuensi yuridis berupa perubahan tujuan
pemidanaan dari pembalasan menuju pembinaan.1 Dalam kerangka pembinaan
terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan memiliki dua peranan penting
yakni sebagai tempat dan sarana atas reedukasi dan resosialisasi.
1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002) hal 38.
3
Sampai saat ini Lembaga Pemasyarakatan belum menunjukkan hasil yang
optimal dalam membina narapidana, belum ada korelasi yang cukup signifikan
antara lamanya sanksi pidana dengan pengurangan jumlah tindak pidana
(keberhasilan dalam melakukan pembinaan narapidana.) Jadi, kalaupun
narapidana Korupsi dan Teroris diputuskan tidak mendapatkan remisi, namun
sistem pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, berikut dengan perangkat
hukumnya itu sendiri tidak pernah dibenahi, diperbaiki atau direformasi, maka
sebenarnya keputusan dari tidak diberikannya Remisi itu sendiri tidak akan
menuai hasil yang maksimal, yang ada malah semakin bermunculan pelakupelaku tindak pidana tersebut lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang
tersebut, maka yang menjadi permasalahannya yaitu: Bagaimanakah seharusnya
konsep pembinaan narapidana terorisme yang ideal dan efektif?
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian, Tipologi, dan Kedudukan Tindak Pidana Terorisme
Terorisme secara simplifikasi dan epistemologi, dapat dibedakan menjadi
kata “teror” dan “isme” (paham). Kata teror dalam kamus Bahasa Indonesia
berarti kekejaman tindak kekerasan dan kengerian. Sementara itu dalam Besar
Bahasa Indonesia W.J.S. Prwadarminta dikatakan bahwa terorisme adalah
praktek-praktek tindakan teror, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan dalam usaha mencapai sesuatu (terutama tujuan politik).2
Dasar hukum yang dipakai dalam menanggulangi tindak pidana terorisme
di Indonesia terutama adalah UU No. 15 Tahun 2003 yang menetapkan Perpu No.
1 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Terorisme menjadi UU.3 Pengertian
mengenai terorisme, dapat dijumpai dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pengertian terorisme secara
umum dalam UU tersebut ditegaskan dalam pasal 6, yaitu:4
Seiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yan strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau internasional.
Terdapat tiga bentuk atau tipologi kejahatan terorisme berdasarkan motif
yang melatar belakanginya ataupun tujuan yang hendak dicapai oleh para teroris
yaitu:5
2 King Faisal Sulaiman, Who is The Real Terrorist? (Menguak Mitos Kejahatan Terorisme), Cetakan
Pertama, (Yogyakarta: elMATERA Publishing, 2007), hlm. 5.
3 Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal (Kebijakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan
Kejahtan), Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2010), hlm. 118.
4 Lihat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
5 King Faisal Sulaiman, op. Cit., hlm. 15.
5
1. Political Terrorism, merupakan terorisme yang bersifat politik dimana
perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang secara sistematik, menggunakan pola-pola kekerasan, intimidasi,
dan ditujukan terutama untuk menumbuhkan ketakutan dalam suatu
masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan yang bersifat politik.
2. Crminal Terrorism, yaitu terorisme yang tidak diarahkan untuk tujuantujuan politik tetapi dilakukan berdasarkan kepentingan suatu kelompok
atau komunitas tertentu dalam memperjuangkan tujuan kelompok atau
organisasinya. Kelompok yang termasuk dalam pengertian ini adalah
kelompok yang bermotif idiologi, agama, aliran atau mempunyai pahampaham tertentu.
3. State Terrorism, merupakan kegiatan terorisme yang disponsori oleh
negara atau dilakukan atas nama negara yaitu aksi teror yang dilakukan
oleh negara terhadap individu atau kelompok-kelopok masyarakat teretntu
ataupun terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara tertentu.
Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris menjadi
materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan
kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extra ordinary
crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa.
Bertalian dengan tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana luar biasa
(extra ordinary crime), maka kejahatan terorisme patut diatur sebagai tindak
pidana yang bersifat khusus. Kejahatan terorisme sebagai bentuk tindak pidana
luar biasa nampak dari beberapa indikator:6
1. Membahayakan nilai-nilai hak asasi manusia yang absolut (nyawa, bebas
dari rasa takut dan sebagainya).
2. Serangan terorisme bersifat “random, indistricminate, and non selective”
yang kemungkinan menimpa orang-orang yang tidak bersalah.
3. Selalu mengandung unsur-unsur kekerasan, ancaman kekerasan, koresif
dan intimidasi pada penduduk sipil dan menimbulkan rasa takut yang
bersifat luas.
6 Ibid.
6
4. Kemungkinan keterkaitannya dengan kejahatan terorganisasi, bahkan
kejahatan transnasional terorganisasi.
5. Kemungkinan digunakan teknologi canggih seperti senjata kimia, biologi,
bahkan nuklir.
Beberapa Fakta Tentang Pola Pembinaan Narapidana Terorisme
Jika merujuk pada pengertian, tipologi, dan tindak pidana terorisme
sebagai sebuah kejahatan luar biasa karena berbeda dengan tindak pidana
lainnya, ,maka perlakuan terhadap narapidana terorisme pun harus berbeda pula.
Perlindungan hukum atas hak-hak narapidana di Indonesia sebenarnya telah diatur
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Inti perlindungan narapidana adalah terwujudnya
pembinaan narapidana sesuai dengan sistem pemasyarakatan yang diberlakukan
dalam UU Pemasyarakatan.
Ide dan tujuan dari pemasyarakatan itu sendiri adalah untuk rehabilitasi
dan resosialisasi narapidana melalui tindakan-tindakan yang edukatif, korektif dan
defensif, dan bukan bertujuan untuk sekedar menghukum. Para narapidana itu
ibarat orang sakit harus disembuhkan dan dibina agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya, dan bukan karena dia telah melakukan tindak pidana.
Akan tetapi, pada faktanya ide dan tujuan dari pemasyarakatan sebagi
bentuk pembinaan bagi narapidana kasus terorisme yang tersebar di beberapa
penjara di seluruh Indonesia belum efektif. Tersebarnya keberadaan narapidana
kasus terorisme ini tidak terlepas dari locus delicti peristiwa terorisme yang
memang berbeda. Pada sisi yang lain, belum adanya penjara khusus yang
disediakan untuk menampung narapidana kasus terorisme. Diakui atau tidak,
selama ini, pola perlakuan terhadap narapidana terorisme memang belum bersifat
spesifik. Pola perlakuan terhadap mereka masih dipersamakan dengan pola
perlakuan terhadap narapidana kasus yang lain. Walaupun, sebenarnya, Menteri
Hukum dan HAM telah menetapkan standar perlakuan (prosedur tetap) terhadap
narapidana resiko tinggi (termasuk di dalamnya narapidana kasus terorisme).
7
Namun, prosedur tetap ini memang belum dapat diimplementasikan secara efektif
karena beberapa kendala, seperti kurangnya sosialisasi, belum adanya pelatihan
bagi petugas tentang prosedur tetap ini, dan belum memadainya sarana
pendukung.
Yang kedua, belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan
terorisme, dalam arti bahwa penanganan terhadap pelaku terorisme seakan
berhenti pada saat mereka telah tertangkap atau dijatuhi pidana. Perhatian
terhadap bagaimana memperlakukan pelaku kejahatan terorisme yang telah
dijatuhi pidana (berada di dalam penjara) sering terabaikan. Dan seakan-akan
penanganan terhadap mereka semata-mata menjadi tanggung jawab petugas
pemasyarakatan. Keterlibatan tokoh masyarakat/agama dalam penanganan
terhadap narapidana terorisme belum maksimal.
Ketiga, pembelajaran kejahatan merupakan satu hal yang sangat mungkin
terjadi di penjara. Adanya proses komunikasi dan interaksi antar narapidana dalam
durasi waktu yang cukup lama dan intensitas yang cukup sering di dalam penjara
merupakan hal yang memungkinkan terjadi proses pembelajaran kejahatan
tersebut. Dalam tataran akademis, inilah yang disebut dengan differentiational
association yang dikemukakan oleh Sutherland.
Konsep Perlakuan Individualisasi
Konsep individualisasi perlakuan ini sejatinya bukan satu hal yang baru.
Dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah mengatur tentang
hal ini. Pada pasal 12 ayat (1) huruf d disebutkan bahwa dalam rangka pembinaan,
salah satu dasar dalam melakukan penggolongan terhadap narapidana di dalam
lapas adalah berdasarkan jenis kejahatan.7
Adanya penggolongan atas dasar jenis kejahatan ini sebenarnya
mengandung makna bahwa jenis kejahatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
narapidana akan berpengaruh pada pola perlakuan (pembinaan) yang seharusnya
7 Lihat Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatn.
8
mereka jalani selama berada di dalam penjara. Dengan kata lain, seorang
narapidana kasus terorisme tentu saja harus mendapatkan pembinaan yang
berbeda dengan narapidana kasus korupsi atau kasus lainnya. Karena, alasan
dilakukannya kejahatannya pun sangat berbeda. Seorang teroris melakukan tindak
kejahatannya mungkin saja karena konsep radikal yang membelenggu
pemikirannya. Sedangkan seseorang berperilaku koruptif mungkin saja karena
adanya paham konsumerisme atau materialisme yang membelenggu kehidupan
pribadi maupun keluarga atau lingkungannya.
Bahkan pada setiap narapidana kasus terorisme pun perlu dilakukan
penggolongan dalam perlakuannya. Karena, peran dari setiap narapidana kasus
terorisme dalam jaringan terorismenya pun berbeda. Seorang narapidana teroris
yang mempunyai peran sebagai pemimpin jaringan tentu saja harus mendapatkan
perlakuan yang berbeda dengan narapidana teroris yang hanya berperan sebagai
pengikut atau lainnya.
Implementasi dari konsep Individualisasi perlakuan terhadap narapidana
kasus terorisme setidaknya meliputi beberapa hal sebagai berikut:
Adanya pendataan yang bersifat lengkap dan detil; pendataan ini selain
berfungsi untuk membangun database narapidana juga berfungsi sebagai
bahan untuk mengetahui latar belakang narapidana tersebut, seperti latar
belakang
pendidikan,
pekerjaan,
atktifitas
sosial
kemasyarakatan,
keluarga, riwayat kejahatan, dan lainnya. Pendataan ini dilakukan tidak
hanya dari surat atau dokumen selama proses peradilan, tetapi juga dengan
melakukan wawancara mendalam baik dengan terpidana maupun keluarga
atau masyarakat, serta melakukan pengamatan yang berkesinambungan
terhadap mereka selama berada di dalam penjara.
Pendataan yang bersifat lengkap dan detil tersebut akan bermanfaat dalam
menentukan tingkat resiko dan jenis kebutuhan bagi mereka. Tingkat
resiko atau jenis kebutuhan ini dapat dihubungkan dengan peran mereka
dalam jaringan terorisme atau kemampuan spesifik yang mereka miliki
9
(seperti kemampuan menggunakan atau merakit senjata, kemampuan
menyebarkan paham radikalisme, kemampuan mempengaruhi orang lain,
dan lain-lain).
Adanya standard operational procedures (SOP) yang lengkap dan tepat.
SOP ini berguna untuk memperjelas proses atau mekanisme yang harus
dijalankan oleh petugas dalam memberikan perlakuan terhadap narapidana
terorisme
serta
mempermudah
dalam
menentukan
garis
pertanggungjawaban dalam setiap aktifitas.
Selain itu, perlu kiranya membekali petugas dengan pengetahuan tentang
kejahatan terorisme dan upaya deradikalisasi terhadap narapidana
terorisme. Adanya pembekalan terhadap petugas ini juga bertujuan untuk
menghindarkan terpengaruhinya petugas dengan paham radikalisme yang
dianut narapidana terorisme.
Perlu juga dipikirkan tentang penempatan secara khusus terhadap
narapidana terorisme. Penempatan secara khusus ini bertujuan untuk
mengeliminir kemungkinan keterlibatan mereka dalam aktifitas jaringan
terorisme di luar penjara serta mencegah terjadinya proses radikalisasi jika
mereka ditempatkan secara bersama dengan narapidana kasus lainnya.
Adanya
penempatan
secara
khusus
ini
juga
menjadi
prasyarat
terimplementasinya SOP secara benar, karena SOP tidak akan dapat
diimplementasikan secara benar jika pada saat yang bersamaan petugas
yang bersangkutan juga menangani narapidana yang bukan teroris.
Pelibatan tokoh masyarakat/tokoh agama dalam melakukan pembinaan
terhadap narapidana kasus terorisme adalah satu hal yang juga harus
dilakukan.
Pelibatan
tokoh
agama/masyarakat
ini
dalam
rangka
deradikalisasi pemikiran para narapidana terorisme melalui proses dialog.
Upaya
deradikalisasi
membutuhkan
proses
yang
panjang
dan
berkesinambungan, oleh karenya keterlibatan tokoh masyarakat/agama ini
pun harus dilakukan secara berkesinambungan.
10
Individualisasi perlakuan merupakan satu hal yang harus dilakukan tidak
hanya terhadap narapidana terorisme tetapi juga terhadap narapidana kasus
lainnya. Karena, kebutuhan setiap narapidana adalah berbeda (dan tentu tidak
dapat dipersamakan/digeneralisasikan). Sebuah metode perlakuan akan dapat
secara efektif menangani seorang narapidana, tetapi akan menjadi tidak berfungsi
sama sekali ketika diterapkan pada narapidana yang lain. Dengan kata lain, tidak
ada obat yang dapat menyembuhkan semua jenis penyakit.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
11
Tindak pidana terorisme merupakan suatu kejahatan yang meresahkan dan
menganggu ketertiban masyarakat. Terorisme merupakan salah satu kejahatan
yang tergabung dalam jajaran kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Untuk
itu pola pembinaan sebagai bagian dari pemidanaan terhadap narapidana terorisme
ini pun harus diberlakukan berbeda dengan narapidana kejahatan lainnya.
Belum efektifnya pembinaan terhadap narapidana dalam pemasyarakatan
disebabkan oleh hal-hal berikut:
Belum adanya penjara khusus terhadap narapidana terorisme;
Belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme;
Adanya proses komunikasi dan interaksi antar narapidana dalam durasi
waktu yang cukup lama dan intensitas yang cukup sering di dalam penjara
merupakan hal yang memungkinkan terjadi proses pembelajaran kejahatan
tersebut.
Individualisasi perlakuan merupakan satu hal yang harus diterapkan
terhadap narapidana terorisme. Karena, kebutuhan setiap narapidana adalah
berbeda (dan tentu tidak dapat dipersamakan/digeneralisasikan). Sebuah metode
perlakuan akan dapat secara efektif menangani seorang narapidana, tetapi akan
menjadi tidak berfungsi sama sekali ketika diterapkan pada narapidana yang lain.
Dengan kata lain, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan semua jenis penyakit.
2. Saran
Merujuk pada beberapa fakta yang terungkap mengenai pola pembinaan
narapidana terorisme yang belum efektif, maka kiranya Pemerintah Indonesia
lebih memperhatikan permasalahan tersebut, misalnya dengan membangun
penjara khusus bagi narapidana terorisme, guna menghindari komunikasi
narapidana kejahatan terorisme dan narapidana kejahatan lainnya, yang dapat
menyebabkan terciptanya kejahatan terorisme dengan pelaku yang baru.
12
Kemudian pembinaan secara individu terhadap narapidana terorisme juga dapat
diberlakukan dengan melibatkan para tokoh masyarakat atau tokoh agama untuk
membersihkan pemikiran radikal dalam seorang narapidana terorisme.
DAFTAR PUSTAKA
13
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Sulaiman, King Faisal. Who is The Real Terrorist? (Menguak Mitos Kejahatan
Terorisme), Cetakan Pertama. Yogyakarta: elMATERA Publishing,
2007.
Hatta, Moh. Kebijakan Politik Kriminal (Kebijakan Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kejahtan), Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajara,
2010.
Indonesia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Indonesia. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.