PELAKSANAAN OTONOMI LUAS DENGAN PEMILIHA
BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7
Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini di buat
untuk memenuhi tuntutan reformasi yaitu mewujudkan suatu Indonesia Baru,
Indonesia yang lebih demokratis lebih adil, dan lebih sejajtera.
Semenjak dilaksanakannya undang-undang ini secara efektif, telah banyak
perubahan perubahan yang timbul pada penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Perubahan ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga terjadi pada
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sangat bersifat sentralistis.
Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 ini, hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih bersifat desentralistis, dalam arti
sebagian daerah. Wewenang yang tetap dimiliki oleh pemerintah pusat adalah
wewenang di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan,
moneter dan fiscal, serta agama.
Untuk mendorong peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat,
undang-undang ini member peluang kepada daerah-daerah yang memenuhu
1
syarat dan memiliki ptensi untuk dijadikan daerah otonom, melalui pemekaran
daerah.
Di samping itu, guna meningkatkan peranan DPRD sebagai badan legislative
daerah, DPRD yang selama ini ditempatkan sebagai bagian dari pemerintahan
daerah sekarang di pisah dari pemerintah daerah dan dikembalikan pada fungsi
yang
seharusnya
sehingga
mempunyai
kedudukan
sederajat
dengan
pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah.
Di bidang keuangan, diatur perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah melalui UU No. 25 Tahun 1999. Hanya saja formula yang
digunakan undang-undang ini tidak memuaskan sebagian besar daerah karena
dalam pelaksanaannya, ternyata daerah yang kaya menjadi semakin kaya dan
daerah miskin tetap miskin. Hal ini jelas tidak akan dapat mewujudkan
pemerataan dalam kesejahteraan sesuai dengan tujuan pemberian otonomi itu
sendiri. Apabila hal ini tidak disikapi dengan cara yang lebih arif dan bijaksana
dengan membuat suatu formula yang lebih adil, yang dapat mewujudkan
pemerataan kesejahteraan masyarakat di kemudian hari, hal ini akan bias
menimbulkan gejolak antardaerah, yang pada gilirannya akan bias merusak
keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini telah
banyak membawa kemajuan bagu daerah dan juga bagu peningkatan
kesejagteraan masyarakat karena pemerintah daerah diberi wewenan yang
luas untuk mengelola kekayaan daerah guna dimanfaatkan bagi pembangunan
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
2
Namun demikian di sisi lain, UU No. 22 Tahun 1999 dalam pelaksanaannya
juga telah menimbulkan dampak negative, antara lain tampilnya kepala daerah
sebagai raja-raja kecil di daerah karena luasnya wewenang yang dimiliki, serta
tidak jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan di atasnya. Di samping
itu, dengan dimilikinya wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan
keuangan daerah, terbuka peluang untuk tumbuhnya korupsi, klusi, nepotisme
(KKN) di daerah-daerah. Akibatnya terjadilah korupsi secara besar-besaran di
daerah, baik di kalangan eksekutif maupun di kalangan legislative, serta
lahirnya perda-perda tentang retribusi dan pajak daerah, yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi. Banyak hal lain yang bersifat negative sebagai akibat
pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, seperti “money politic”, yang terjadi
dalam pemilihan kepala daerah/Laporan Pertanggjawaban (LPJ) dari kepala
daerah, sengketa antardaerah, baik sengketa kewenangan maupun sengketa
wilayah (perbatasan), dan lain sebagainya.
Penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 betujuan untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada undang-undang tersebut, antara
lain sebagaimana telah dikemukakan di atas, dan juga merupakan konsekuensi
perubahan dalam tatanan kenegaraan akibat amandemen UUD 1945, serta
guna mengantisipasi arus globalisasi, terutama berkaitan dengan peluang
penanaman modal asing di daerah. Penyempurnaan ini dilaksanakan melalui
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lebara Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) yang dengan tegas dalam pasal 239
menyatakan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi.
3
B. Hal-hal Diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004, sama dengan apa yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Hanya saja
UU No. 32 Tahun 2004 lebih memperjelas dengan mempertegas hal-hal yang
sudah diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, guna menutupi kelemahankelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimaksud, terutama
mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara provinsi
dengan kabupaten/kota, serta antara sesame daerah kabupaten/kota.
Hubungan ini berkaitan dengan masalah kesatuan administrasi dan kesatuan
wilayah.
Undang-undang baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan
kierarkis antara kabupaten/kota dengan provinsi, antara provinsi dengan
pemerintah pusat, berdasarkan asas kesatuan administrasi dan asas kesatuan
wilayah tadi. Berdasarkan asas kesatuan administrasi dan asas kesatuan
wilayah, pemerintah pusat berhak melakukan koordinasi, demikian juga
provinsi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap
kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala
daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas pula. Hal ini terlihat
dengan dipilih langsungnya kepala daerah oleh rakyat, sehingga DPRD tidak
dapat lagi menjatuhkan kepala daerah, sebelum masa jabatannya berakhir
melalui suatu putusan politik (pemungutan suara) semata-mata, tetapi terlebih
dahulu harus melalui suatu proses hokum di pengadilan.
4
Perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di
daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung merupakan
konsekuensi perubahan tatanan kenergeraan kita akibat Amanademen UUD
1945. Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan
desentralisasi.
Penerapan otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 ini tetap
dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi luas,
dimaksudkan bahwa kepala daerah diberikan tugas, wewenang hak dan
kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangai oleh
pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah
memeiliki banyak raga dan jenisnya. Di samping itu, daerah diberikan
keleluasan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam
rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian
otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk
menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah
masing-masing. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sementara itu, otonomi yang
5
bertanggung jawab, adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang ada dasarnya
untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatan kesejahteraan rakyat.
Betapapun
luasnya
otonomi
yang
dimiliki
oleh
suatu
daerah,
pelaksanaannya harus dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus menjami adanya
hubungan yang serasi antara masyarakat, pemerintah daerah dan DPRD.
Kinerja penyelenggara otonomi daerah, yaitu pemerintah daerah dan DPRD,
harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan
kepada masyarakat dengan selalu memerhatukan kepentingan dan pelayanan
kepada masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi
masyarakat luas.
UU No. 32 Tahun 2004 antara lain mengatur hal-hal:
1. Pembentukan daerah dan kawasan khusus;
2. Pembagian urusan pemerintahan;
3. Penyelenggaraan pemerintahan;
4. Kepegawaian daerah;
5. Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah;
6. Perencanaan pembangunan daerah;
7. Keuangan daerah;
8. Kerja sama dan penyelesaian perselisihan;
9. Kawasan perkotaan;
10.Desa;
11.Pembinaan dan pengawasan; dan
12.Pertimbangan dalam kebijakan otonomi daerah.
6
Bab 2
Pembentukan Daerah
7
dan Kawasan Khusus
A. Pembentukan daerah
Sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi yang dianut UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dibentuk daerah-daerah
otonom dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1),(2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang menyatakan:
Ayat (1):
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah
provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undangAyat(2):
undang.
Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota,
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan
daerah
sebelumnya, UU No.32 Tahun 2004, meletakkan titik berat otonomi pada
daerah kabupaten dan kota. Hal ini bertujuan untuk lebih mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan
lainnya. Hubungan ini meliputih hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya yang
dilakukan secara adil dan selaras. Hubungan-hubungan ini akan
menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsesama
pemerintahan. Hubungan administrasi adalah hubungan yang terjadi
8
sebagai konsekuensi kebijakan penyelenggaraan system administrasi
Negara. Sementara itu, hubungan kewilayahan adalah hubungan yang
terjadi sebagai konsekuesi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang
diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sehingga wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah Negara yang
bulat. Hal ini berarti betapapun luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu
daerah, pelaksanaan otonomi tersebut tetaplah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 ini, Negara mengakui dan
menghormati satuan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan
istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa
ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti
Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe
Aceh Darussalam), Daerah Istimewa Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di
Papua. Bagi Daerah daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama
dengan daerah daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu,
kepada daerah daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang
diatur dengan undang undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan
istimewa tersebut, secara umum berlaku UU No. 32 Tahun 2004 dan dapat
juga diatur dengan undang udang tersendiri
Untuk daerah-daerah yang memeiliki status istimewa dan diberikan
otonomi khusus, selain diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 ini, juga
diberlakukannya ketentuan khusus, yang diatur dalam undang undang lain.
Hal ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus ibukota (DKI), Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
penyelenggaraan
9
pemerintahannya tetap berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, sedangkan
untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemilihan kepala Daerah/wakil
kepala daerah Dilakukan berdasarkan UU No.18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Naggroe Aceh Darussalam dengan penyempurnaan sebagai berikut.
a. Untuk pemilihan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai
dengan bulan april 2005 diselenggarakan pemilihan secara langsung
sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.
b. Untuk kepala daerah selain yang dimaksud pada huruf (a), pemilihan
kepala daerahnya diselenggarakan sesuai dengan periode masa
jabatannya.
c. Kepala Daerah dan wakill kepala daerah yang berakhir masa jabatannya
sebelum UU No.32 Tahun 2004 ini disahkan sampai dengan bulan April
2005 sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang penjabat kepala
daerah.
d. Penjabat Kepala Daerah tidak dapat menjadi calon kepala daerah yang
dipilih atau calon wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung
sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.
e. Anggota Komisi Independen pemilihan dari unsur anggota komisi
pemilihan umum republic Indonesia diisi oleh Ketua Komisi Pemilihan
Umum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Disamping itu, Negara juga mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hokum adat beserta hak tradisionalnya, sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara kesatuan Republik Indonesia.
10
Pengertian pemerintahan daerah dalam UU No.32 Tahun 2004
adalah:
1. Pemerintah daerah provinsi, yang terdiri dari pemerintah daerah
provinsi dan DPRD provinsi.
2. Pemerintah daerah kabupaten/kota,
terdiri
atas
pemerintah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
Sementara itu, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan
perangkat daerah.
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau beberapa daerah yang bersanding atau pemekaran dari suatu daerah
menjadi dua daerah atau lebih. Pemakaran daerah dapat dilakukan
mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, yaitu 10
tahun untuk provinsi, 7 tahun untuk kabupaten/kota, dan 5 tahun untuk
kecamatan. Pembentukan daerah ditetapkan dengan undang undang, yang
isinya antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota,
kewenangan
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan,
penunjukan
penjabat kepala daerahm pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan
kepegawaian, pendanaan dan dokumen, serta perangkat daerah. Dalam hal
ini yang dimaksud “cakupan wilayah”, khusus untuk daerah yang berupa
kepulauan atau gugusan pulau pulau, dalam penentuan luas wilayahnya
didasarkan atas prinsip Negara kepulauan (archipelago principles) yang
pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.
11
Pembentukan suatu daerah harus memenuhi syarat administrative,
teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administrative untuk provinsi meliputi
adanya:
1. Persetujuan dari DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan
menjadi cakupan wilayah provinsi;
2. Persetujuan DPRD dan gubernur provinsi induk;
3. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Sementara itu, syarat administrasi untuk kabupaten/kota meliputi
adanya:
1. Persetujuan dari DPRD dan bupati/walikota yang bersangkutan;
2. Persetujuan DPRD provinsi dan gubernur;
3. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Persetujuan DPRD dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk Keputusan
DPRD, yang diproses berdasarkan pernyataan aspirasi sebagian besar
masyarakat setempat sedangkan persetujuan gubernur didasarkan pada
hasil kajian tim yang khusus dibentuk oleh pemerintah provinsi
bersangkutan. Tim dimaksudkan mengikutsertakan tenaga ahli sesuai
kebutuhan.
Syarat teknis meliputi factor yang menjadi dasar pembentukan
daerah, yang mencakup factor kemampuan ekonomi, potensi daerah,
pertahanan
keamanan
dan
factor
lain
yang
memungkinkan
terselenggarakannya otonomi daerah. Faktor lain dalam hal ini antara lain
pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat,
rentang kendali penyelenggaraan pemerintah daerah. Syarat fisik meliputi:
12
1.
2.
3.
4.
Paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi;
Paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten;
Paling sendikit empat kecamatan untuk pembentukan kota;
Lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tujuan pembentukan suatu
daerah otonom pada dasarnya adalah untuk memberdayakan daerah,
termasuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Bagi daerah yang tidak mampu
meweujudkan kedua hal tersebut, berarti daerah yang bersangkuta tidak
mampu menyelenggarakan hak otonominya. Daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan hak otonominya dapat dihapus dan digabungkan dengan
daerah lain. Penhapusan dan penggabungan ini dilakukan setelah melalui
evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Evaluasi dalam
hal ini adalah penelitian dengan menggunakan system pengukuran kinerja,
serta indicator-indikatornya, yang meliputi masukan proses, keluaran,
dampak.
Pengukuran
dan
indicator
kinerja
digunakan
untuk
membandingkan daerah dengan daerah lainnya dengan angka rata-rata
secara nasional untuk masing-masing tingkat pemerintahan atau dengan
hasil tahun tahun sebelumnya untuk masing masing daerah. Disamping itu,
dievaluasi juga aspek lain, yaitu keberhasilan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, upaya upaya dan kebijakan yang diambil,
ketaatan terhadap peraturan per-undang undangan dan kebijakan nasional
dan dampak dari kebijakan daerah. Pedoman untuk melakukan evaluasi ini
diatur dalam peraturan pemerintah.
B. Kawasan Khusus
Didalam daerah otonomi provinsi, kabupaten atau kota, dapat
dibentuk kawasan khusus. Kawasan khusus adalah kawasan strategis yang
13
secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut politik,
sosial budaya, lingkungan, dan pertahanan/keamanan. Dalam kawasan
khusus diselenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu sesuai
kepentingan nasional. Kawasan khusus dapat berupa kawasan otorita,
kawasan perdagangan bebas, kegiatan industry, dan sebagainya. Fungsi
pemerintahan tertentu dalam hal ini antara lain pertahanan Negara,
pendayagunaan
wilayah,
wilayah
perbatasan,
dan
pulau-pulau
tertentu/terluar, lembaga pemasyarakatan, pelestarian budaya dan cagar
alam, pelestarian lingkungan hidup, riset dah teknologi.
Kawasan khusus yang berfungsi untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dibidang pertahanan/keamanan Negara dapat berbentuk
pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, dan pangkalan
militer. Kawasan khusus lain dapat berkendali dan pangkalan militer.
Kawasan khusus lain dapat berbentuk pengembangan kawasan industry
strategis,
pengembangan
prasarana
komunikasi,
telekomunikasi,
transportasi, pelabuhan, daerah perdangan bebas, wilayah exploistasi dan
pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, dan lembaga
pemasyarakatan khusus.
Khusus untuk wilayah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas,
harus ditetapkan dengan undang undang, sedangkan untuk bentuk-bentuk
lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tata cara penetapan
kawasan
khusus
ini diatur
dalam
peraturan
pemerintah. Dalam
pembentukan khusus, pemerintah pusat harus mengikut sertakan daerah
dimana kawasan khusus berada. Disamping itu, daerah dapat pula
mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membentuk suatu kawasan
khusus didaerahnya.
14
Bab 3
Pembagian urusan pemerintahan
Dalam penyelenggaraan otonomi luas, utusan pemerintahan yang
diserahkan pada daerah jauh lebih banyak kita dibandingkan dengan urusan
pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Menurut
UU No.32 Tahun 2004, urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap
menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Politik luar negeri;
Pertahanan;
Keamanan;
Yustisi;
Moneter dan fiscal nasional; dan
Agama.
Didalam penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan urusan pemerintahan dibidang:
15
a. Politik luar negeri adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatic dan
penunujuk warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga
internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian
dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan
sebagainya;
b. Pertahanan, adalah misalnya mendirikan atau membentuk angkatan
bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau
sebagian
Negara
mengembakan
dalam
system
keadaan
pertahanan
bahaya,
Negara
membangun
dan
dan
persenjataan,
menetapkan kebijakan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi
setiap warga Negara dan sebagainya;
c. Keamanan, adalah misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian
Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap
orang yang melanggar hokum Negara, menindak kelompok atau
organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan Negara, dan
sebagainya;
d. Moneter dan fiscal nasional, adalah misalnya mencetak uang dan
menetukan nilai mata uang menetapkan kebijakan moneter/fiscal,
mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;
e. Yustisi, adalah misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat
hakim dan jaksa mendirikan lembaga permasyarakatan, menetapkan
kebijakan kehakiman dan imigrasian, member grasi, amnesty, abolisi,
membentuk undang-udang, peraturan pengganti undang undang
peraturan pemerintah dan peraturan lain yang berskala nasional, dan
sebagainya;
f. Agama, adalah misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku
secara nasional, member hak pengakuan terhadap keberadaan suatu
16
agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan
keagamaan, dan sebagainya.
Disamping itu, bagian tertentu urusan pemerintahan lainnya yang
berskala nasional yang tidak diserahkan kepada daerah.
Selain 6 urusan pemerintahan yang telah diuraikan diatas, sisanya
menjadi wewenang pemerintahan daerah. Dengan demikian, urusan
yang dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak terbatas. Daerah
dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan apa saja selain 6 bidang
yang
telah
dikemukakan
diatas,
asal
saja
daerah
mampu
menyelenggarakannya, dan punya potensi untuk dikembangkan guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
wewenang daerah, pemerintah daerah menyelenggarakan otonomi
seluas luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembangunan.
Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan daerah atau
desa, termasuk masyarakatnya atas pengunggasan atau kuasa dari
pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintahan dibidang tertentu. Pemberian tugas pembantuan
harus disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia.
Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat
concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian
atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah
17
pusan dan pemerintahan daerah dengan demikian , pada setiap urusan
yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi
wewenang pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan
provinsi, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada
kabupate/kota. Untuk mewujudkan urusan yang concurrent secara
proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah
kabupaten/kota
disusunlah
criteria
yang
meliputi
eksternalistis,
akuntabilitas dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian
hubungan
pengelolaan
urusan
pemerintahan
antara
tingkat
pemerintahan (Penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004).
Selanjutnya dijelaskan criteria-kriteria berikut ini.
a. Kriteria eksternalistis yaitu pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan
dengan
mempertimbangkan
dampak/akibat
yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat local, urusan pemerintahan
tersebut menjadi wewenang kabupaten/kota; apabila regional menjadi
wewenang provinsi, dan apabila nasional, menjadi wewenang
pemerintah pusat.
b. Kriteria akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang
menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang
lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani
tersebut. Dengan demikian, akuntabilitas penyelenggaraan bagian
urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
18
c. Kriteria
efisiensi,
yaitu
pendekatan
dalam
pembagian
urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personel, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian
dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian
urusan. Artinya, penanganan suatu bagian urusan dipastikan akan lebih
berdaya guna dan berhasil guna apabila oleh daerah provinsi, dan/atau
daerah kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah
pusat. Oleh karena itu, bagian urusan tersebut diserahkan kepada
daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Sebaliknya, apabila suatu
bagian urusan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna bila ditangani
oleh pemerintah pusat, bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh
pemerintah pusat. Untuk pembagian bagian urusan harus disesuaikan
dengan memerhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian
urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna
tersebut didasari dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
dan besar kecilnya risiko yang dihadapi.
d. Keserasian hubungan adalah bahwa pengelolaan bagian urusan
pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda,
bersifat
saling
berhubungan
(interkoneksi),
saling
tergantung
(interindependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan
system dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana diuraikan di atas,
ditempuh melalui mekanisme penyerahan atau pengakuan atas usul daerah
terhadap bagian urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan
diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut, pemerintah pusat melakukan
19
verifikasi terlebih dahulu sebelum member pengakuan atas bagian urusan
urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, terjadap bagian
urusan yang saat ini masih menjadi urusan pemerintah pusat, dengan
criteria tersebut dapat diserahkan kepada daerah.
Walaupun berdasarkan otonomi luas yang dimiliki oleh daerah, daerah
dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang apa pun di luar
urusan yang merupakan urusan pemerintah pusat. Namun, dalam
pelaksanaannya harus mendapat pengakuan dari pemerintah pusat terlebih
dahulu. Pengakuan ini diberikan oleh pemerintah pusat terlebih setelah
melakukan verifikasi terhadap bagian urusan yang diusulkan oleh daerah.
Hal ini berbeda dengan undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
penyerahan suatu urusan kepada daerah tidak memerlukan pengakuan
terlebih dahulu dari pemerintah pusat.
Mengigat begitu luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan
begitu banyak urusan yang dapat diselenggarakan oleh daerah dan begitu
banyak urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah, UU
No.32 Tahun 2004 membagi semua urusan tersebut atas dua kelompok,
yaitu urusan wajib dan urusan pilihan.
Dalam
menjalankan
urusan
pemerintahan,
pemerintah
daerah
mempunyai hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
lainnya. Dari hal ini jelas bagi kita, betapapun luasnya kewenangan yang
dimiliki oleh suatu daerah, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
tertentu, tetap ada hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah lainnya. Hubungan ini meliputi hubungan wewenang, keuangan,
20
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya.
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan sumber daya di
wilayah paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai kea rah laut lepas
dan/atau kea rah perairan kepulauan. Apabila wilayah laut antara dua
provinsi kurang dari 24 mil laut, kewenangan menelola sumber daya
dibawah laut dibagi sama jaraknya atau diukur sesuai prinsip garis tengah
dari wilayah antara dua provinsi tersebut. Sementara itu, untuk
kabupaten/kota memperoleh sepertiga wilayah kewenangan provinsi.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi nelayan kecil dalam melakukan
penangkapan ikan. Mereka dapat melakukan penangkapan ikan sejauh
mereka sanggup mengenai pengelolaan sumber daya di wilayah laut ini,
selanjutnya akan diatur dengan undang-undang.
21
Bab 4
Penyelenggaraan Pemerintahan
A. Penyelenggaraan Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah, dan
DPRD.
Dalam
menyelenggarakan
pemerintahan,
pemerintah
pusat
menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekosentrasi
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sementara itu,
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan menggunakan
asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman
pada asas umum penyelenggaraan Negara, yang didalam Hukum
Administrasi Negara dikenal dengan “asas-asas umum pemerintahan yang
layak”. Di negeri belanda, asas asas umum pemerintahan yang layak ini
sudah diterima sebagai norma hokum yang tidak tertulis, yang harus ditaati
oleh penyelenggara pemerintahan, terutama pejabat Tata Usaha Negara,
dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara. Sebelumnya dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas asas ini sudah mulai
diterima, walaupun secara formal belum diakui sebagai sesuatu norma
hokum tidak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini
22
baru diakui di Negara kita, dengan diundangkannya UU No.28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas, kemudian
dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Asas dimaksud disebut dengan “asas umum penyelenggaraan Negara”, yang
dirinci antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Asas kepastian hokum;
Asas tertib penyelenggaraan Negara;
Asas kepentingan umum;
Asas keterbukaan;
Asas proporsionalitas;
Asas profesionalitas;
Asas akuntabilitas;
Asas efisiensi; dan
Asas efektivitas.
Hal ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan “good governance” (tata
pemerintahan yang baik).
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama
dalam penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali dengan hak dan
kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya;
Memilih pemimpin daerah;
Mengelola aparatur daerah;
Mengelola kekayaan daerah;
Memumngut pajak daerah dan retribusi daerah;
23
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah;
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang
undangan.
Di samping hak-hak tersebut diatas, daerah juga dibebani beberapa
kewajiban, yaitu”
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkap kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistemn jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10.Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11.Melestarikan lingkungan hidup;
12.Mengelola administrasi kependudukan;
13.Melestarikan nilai sosial budaya;
14.Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
15.Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang undangan.
Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana
kerja pemerintah daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja
dan pembiayaan daerah, yang dikelola dalam system pengelolaan keuangan
daerah. Sesuai dengan asas-asas yang telah dikemukakan di atas,
pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara efisien, efektif, transparan,
24
bertanggung jawab, terteib, adil, patuh dan taat pada peraturan
perundang-undangan.
B. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. Kepala daerah
provinsi disebut gubernur dan wakil gubernur. Sementara itu, kepala daerah
kabupaten/kota disebut bupati/walikota dan wakilnya disebut wakil
bupati/wakil walikota.
Di samping kewajiban tersebut di atas, kepala daerah juga mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
kepada
pemerintah
pusat,
dan
memberikan
keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginofrmasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Informasi ini
disampaikan melalui media yang tersedia di daerah dan dapat diakses oleh
public
sesuai
penyelenggaraan
dengan
peraturan
pemerintahan
perundang-undangan.
daerah
kepada
pemerintah
Laporan
pusat
disampaikan kepada presiden melalui gubernur untuk bupati/walikota.
Laporan dimaksud disampaikan satu kali dalam satu tahun. Dengan adanya
ketentuan tentang laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah ini, tidak
menutup kemungkinan adanya laporan lain, baik atas kehendak kepala
daerah atau atas pemerintah pusat sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai
dengan peraturan perundang undangan. Tata cara pelaksanaan pelaporan
25
dimaksud
di
atas
diatur
dalam
peraturan
pemerintah.
Laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah pusat dan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD diatur dalam Pasal
27 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004. Khusus mengenai laporan keterangan
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD, secara prinsip berbeda
dengan pertanggungjawaban kela daerah kepada DPRD, sebagaimana
diatur dalam Pasal 45, 46 UU No. 22 Tahun 1999. Dalam Pasal 46 UU
No.1999 dijelaskan apabila pertanggungjawaban seorang kepala daerah
kepada DPRD ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan
pemberhentiannya kepada presiden. Hal ini di masa lalu sering
menimbulkan
money
politic,
disaat
seseorang
kepala
daerah
menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD. Akan
tetapi dengan diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, hal ini tidak akan
terjadi lagi karena kepala daerah hanya wajib memberikan laporan
keterangan
pertanggungjawaban
kepada
DPRD,
bukan
laporan
pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, 46 UU No.22
Tahun 1999.
Disamping kewajiban yang diberikan kepada kepala daerah dan wakil
kepala daerah, menurut ketentuan pasal 28 UU No. 32 Tahun 2004, kepala
daerah dan wakil kepala daerah dikenakan beberapa larangan, yaitu:
1. Membuat keputusan yang secara khusus, memberikan keuntungan
bagi dirim anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok
politiknya
undangan,
yang
bertentangan
merugikan
dengan
kepentingan
peraturan
umum,
dan
perundangmeresahkan
26
sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga Negara
dan/atau golongan masyarakat luas;
2. Turut serta suatu perusahaan, baik milik swasta, maupun milik
Negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
3. Melaksanakan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi
dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
4. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang,
barangdan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan
atau tindakan yang akan dilakukan;
5. Menjadi advokat atau kuasa hokum dalam suatu perkara di
pengadilan, selain mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan;
6. Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatan;
dan
7. Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara lainnya, atau sebagai
anggota DPRD.
Larangan ini sebenarnya agak sedikit berlebihan lebihan karena
beberapa larangan yang dicantumkan dalam pasal ini sebenarnya telah
merupakan larangan secara umum, bahkan telah merupakan suatu
tindak pidana, seperti korupsi dan lain lain. Namu demikian, pasal ini
pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang
bersih dengan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, konflik
kepentingan dan tindak pidana korupsi. Masalahnya hanya sejauh mana
pasal ini dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan. Jal ini sangat
membutuhkan adanya kemauan politif dari aparatur pemerintahan dan
27
kesadaran masing masing individu, baik sebagai aparatur pemerintahan
maupun sebagai warga masyarakat.
C. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah
Dalam system presidentil, presiden sebagai kepala Negara/kepala
pemerintahan, pada dasarnya tidak dapat diberhentikan sebelum
berakhir masa jabatannya, terkecuali dengan alasan-alasan tertentu. Hal
ini juga berlaku bagi kepala daerah pada dasarnya tidak dapat
diberhentikan
sebelum
berakhir
masa
jabatannya,
terkecuali
sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU No.32 Tahun 2004, yaitu apabila:
1. Meninggal dunia;
2. Permintaan sendiri; atau
3. Diberhentikan;
Pemberhentian, sebagaimana dimaksud pada huruf © diatas dapat
dilakukan karena:
1. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat baru;
2. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap secara berturut-turutselama enam bulan;
3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah/wakil kepala
daerah;
4. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dapat
wakil kepala daerah;
5. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah.
Dalam ketentuan pasal 29 di atas jelas bagi kita bahwa seorang
kepala daerah tidak bisa lagi diberhentikan karena laporan
28
Pertanggungjawaban (LPJ) ditolah untuk kedua kalinya oleh DPRD,
sebagaimana berlaku pada era UU No.22 Tahun 1999 yang lalu. Di
masa berlakunya UU No.22 Tahun 1999, seorang kepala daerah dapat
diusulkan untuk diberhentikan oleh DPRD kepada presiden, karena
laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah yang bersangkutan
ditolah untuk kedua kalinya oleh DPRD. Putusan mengenai
pemberhentian dimaksud biasanya diambil melalui voting, layaknya
seperti yang berlaku pada system parlementer.
Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
karena meninggal dunia, mengundukan diri, berakhir masa
jabatannya dan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap secara berturut turut selama enam bulan,
dan diberitahukan kepada pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam
rapat paripurna. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan tidak
melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
adalah menderita sakit, yang mengakibatkan, baik fisik maupun
mental, tidak berfungsi secara normal, yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui
keberadaannya. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah karena mengundurkan diri (permintaan sendiri), tidak
menghapus tanggung jawab yang bersangkutan selama memegang
jabatan.
Mengenai pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah
karena dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah
29
dan wakil kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban kepala
daerah dan wakil kepala daerah, dan melanggar larangan bagi kepala
daerah dan/ atau wakil kepala daerah, dilaksanakan dengan
ketentuan.
Dengan adanya ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas,
seseorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak dapat
lagi diberhentikan secara wewenang wewenang oleh DPRD melalui
voting, tanpa adanya suatu proses hokum, untuk membuktikan
kesalahan dari kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah yang
bersangkutan. Ketentuan ini mirip dengan proses impeachment
sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat.
DPRD menggunakan hak angketnya untuk menanggapi kasus
tersebut. Hak angket baru bisa dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan Rapat Paripurna DPRD dihadiri oleh sekurang kurangnya
¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang
hadir. Apabila dalam penyeledikan ditemukan bukti DPRD yang hadir.
Apabila dalam penyelidikan ditemukan bukti yang menyatakan kepala
daerah telah melakukan tindak pidana sebagaimana dituduhkan,
DPRD mengusulkan proses penyelesaiannya kepada aparah penegak
hokum sesuai peraturan peundang undangan yang berlaku. Apabila
proses hokum telat berjalan, dan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana
dengan ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih
30
berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan
hokum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian sementara kepada
presiden dengan Keputusan DPRD. Berdasarkan Keputusan DPRD
tersebut, presiden menetapkan pemberhentian sementara kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya
apabila
putusan
pengadilan
tersebut
telah
memperoleh kekuatan hokum tetap, pimpinan DPRD mengusulkan
pemberhentian
hokum
tetap,
pimpinan
DPRD
mengusulkan
pemberhentian berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD, yang
dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD
tersebut, presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah yang bersangkutan. Undang undang baru ini
memberikan perlindungan kepada kepala daerah dan wakil kepala
daerah dari tindakan sewenang wenang DPRD dengan mengatur
secara jelas prosedur hokum yang harus ditempuh untuk dapat
memberhentikan kepala daerah dan/atau kepala daerah.
Seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
diberhentikan sementara, setelah itu melalui proses pengadilan,
ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, paling lambat dalam
waktu tiga puluh hari, presiden telah merehabilitasikan dan
mengaktifkan kembali kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
31
bersangkutan sampai akhir masa jabatannya. Apabila kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang bersangkutan telah berakhir masa
jabatannya, presiden tidak perlu mengaktifkannya lagim cukup
merehabilitasi saja. Tata cara pemberhentian sementara ini lebih
lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah.
D. Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
Berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah,
gubernur di samping sebagai kepala daerah, karena jabatannya,
berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah
provinsi yang bersangkutan. Betapapu luasnya otonomi yang dimiliki
oleh kabupaten/kkota, berdasarkan kedua asas tersebut di atas dan
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah
provinsi yang bersangkutaan, gubernur berwenang melakukan
koordinasi, supervise dan evaluasi terhadap daerah kabupaten/kota
yang ada dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan hal
tersebut di atas, gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil
pemerintah pusat di wilayahnya memiliki tugas dan wewenang:
1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota;
2. Koodinasi penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah
provinsi dan kabupaten/kota;
3. Koodinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Dana yang di perlukan dalam pelaksaan tugas dan wewenang
tersebut diatas dibebankan pada APBN dan dalam pelaksanaan tugas,
dan atas wewenang tersebut, gubernur bertanggung jawab kepada
32
presiden. Kedudukan keuangan dan tata cara pelaksaan tugas dan
wewenang tersebut diatur dalam peraturan pemerintah.
E. Perangkat Daerah
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2) UU No.32 Tahun
2004, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat
daerah. Perangkat daerah provinsi terdiri atas secretariat daerah,
secretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Sementara itu, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas
secretariat daerah, secretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga
teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretarias daerah yang
mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah, dalam
menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan
lembaga
teknis
daerah.
Dalam
melaksanakan
tugas
dan
kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada kepala
daerah. Apabila sekretaris daerah berhalangan dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya, tugasnya dilaksanakan oleh penjabat yang
ditunjuk oleh kepala daerah.
33
Bab 5
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
A. Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat
Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu
Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa
dicapai dengan mengembalik kedaulatan ke tangan rakyat. Selama
ini, baik di masa orde baru maupun di era reformasi, kedaulatan
sepenuhnya berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif, dan di
tangan lembaga legislative. Bahkan di era reformasi ini, kedaulatan
seolah-olah berada di tangan partai politik. Partai politik, melalui
fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat melakukan apa pun, yang
berkaitan dengan kepentingan bangsa dan Negara, bahkan dapat
memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya,
seperti layaknya pada Negara dengan system presidentil. Di daerah
daerah, DPRD melalui pemungutan suara, dapat menjatuhkan kepala
daerah sebelum berakhir masa jabatannya.
B. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
34
Daerah, sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dalam melakukan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah, seharusnya sinkron dengan
pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara
langsung. Di samping alas an tersebut di atas, ada beberapa alas
an lain, yang mengharuskan kita melakukan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.
C. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara
Langsung
1. Penyelenggara
Dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, perubahan yang
paling siginifikan yang terdapat dalam undang-undang baru,
adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung.
2. Panitia Pengawas (Panwas)
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah, pengawasan dilakukan panitia pengawas (panwas)
yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD.
3. Pemantau
Pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, dapat dilakukan oleh pemantau pemilihan yang berasal
dari LSM dan badan hokum dalam negeri. Pemantau untuk dapat
melakukan pemantauan, harus memenuhi syarat antara lain:
35
a) Bersifat independen;
b) Mempunyai sumber dana yang jelas.
Berdasarkan hasil penelitian, KPUD menetapkan pasangan
calon minimal dua pasangan calon yang dituangkan dalam
berita acara penetapan pasangan calon. Sayangnya, dalam
undang undang ini tidak diatur bagaimana jalan keluarnya
apabila pasangan calon yang memenuhi syarat berdasarkan
hasil penelitian KPUD hanya satu pasangan. Kita berharap jalan
keluar untuk mengatasi masalah ini akan kita temukan dalam
peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU
No. 32 Tahun 2004.
Dalam kegiatan kampanye, pasangan calon wajib menyampaikan visi,
misi dan program secara lisan, maupun tertulis kepada masyarakat.
Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib,
dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan bahan kampanye, calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah berhak mendapatkan informasi atau data
dari pemerintah daerah, seusatu ketentuan perundang undangan.
Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh wilayah provinsi;
untuk pemilihan dan gubernur wakil gubernur di seluruh wilayah
kabupaten/kota, untuk pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil
walikota.
Dalam rangka mewujudkan rasa keadila dan pemberian perlakuan
yang sama kepada pasangan calon, media cetak dan media elektronik
36
memberi kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk
menyampaikan tema dan materi kampanye, memasang iklan, dalam rangka
kampanye. Di samping itu pemerintah daerah harus memberikan
kesempatan yang sama kepada pasangan calon, untuk menggunakan
fasilitas umum.
Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, TNI dan
Polri, sebagai peserta kampanye dan juru bicara kampanye dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selama masa kampanye semua
pejabat Negara, dan kepala desa, dilarang membuat keputusan dan/atau
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Kampanye yang mempersoalkan dasar Negara Pancasila, dan
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, menghina
seseorang, agama, ras, golongan, calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah, menghasut atau mengadu domca partai politik, perseorangan,
dan/atau kelompok masyarakat, menggunakan kekerasan, ancaman
kekerasan,
atau
menganjurkan
menggunakan
kekerasan
kepada
perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau mengambil alih kekuasaan
dari pemerintah yang sah, merupakan tidak pidana, dan akan dikenakan
sanksi jika dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan yang berlaku.
Berbeda dengan pemilu legislative dan pemilu presiden dan wakil
presiden, kewenangan memutus dan memeriksa sengketa hasil perhitungan
suara, ada pada mahkamah konstitusi. Sebaiknya, untuk memeriksa dan
memutus sengketa hasil perhitungan suara pada pemilihan kepala daerah
37
dan wakil kepala daerah, juga diserahkan pada Mahkamah Konstitusi. Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 24c ayat (1) UUD 1945, yang antara lain
menyatakan
bahwa
Mahkamah
Konstitusi
berwenang
memnutus
perselisihan tentang hasil pemilhan umum. Sementara itu, pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah, pada dasarnya merupakan pemilihan
umum, hanya saja pemilihan umum yang bersifat local. Di samping itu
Pendahuluan
A. Latar Belakang Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7
Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini di buat
untuk memenuhi tuntutan reformasi yaitu mewujudkan suatu Indonesia Baru,
Indonesia yang lebih demokratis lebih adil, dan lebih sejajtera.
Semenjak dilaksanakannya undang-undang ini secara efektif, telah banyak
perubahan perubahan yang timbul pada penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Perubahan ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga terjadi pada
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sangat bersifat sentralistis.
Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 ini, hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih bersifat desentralistis, dalam arti
sebagian daerah. Wewenang yang tetap dimiliki oleh pemerintah pusat adalah
wewenang di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan,
moneter dan fiscal, serta agama.
Untuk mendorong peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat,
undang-undang ini member peluang kepada daerah-daerah yang memenuhu
1
syarat dan memiliki ptensi untuk dijadikan daerah otonom, melalui pemekaran
daerah.
Di samping itu, guna meningkatkan peranan DPRD sebagai badan legislative
daerah, DPRD yang selama ini ditempatkan sebagai bagian dari pemerintahan
daerah sekarang di pisah dari pemerintah daerah dan dikembalikan pada fungsi
yang
seharusnya
sehingga
mempunyai
kedudukan
sederajat
dengan
pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah.
Di bidang keuangan, diatur perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah melalui UU No. 25 Tahun 1999. Hanya saja formula yang
digunakan undang-undang ini tidak memuaskan sebagian besar daerah karena
dalam pelaksanaannya, ternyata daerah yang kaya menjadi semakin kaya dan
daerah miskin tetap miskin. Hal ini jelas tidak akan dapat mewujudkan
pemerataan dalam kesejahteraan sesuai dengan tujuan pemberian otonomi itu
sendiri. Apabila hal ini tidak disikapi dengan cara yang lebih arif dan bijaksana
dengan membuat suatu formula yang lebih adil, yang dapat mewujudkan
pemerataan kesejahteraan masyarakat di kemudian hari, hal ini akan bias
menimbulkan gejolak antardaerah, yang pada gilirannya akan bias merusak
keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini telah
banyak membawa kemajuan bagu daerah dan juga bagu peningkatan
kesejagteraan masyarakat karena pemerintah daerah diberi wewenan yang
luas untuk mengelola kekayaan daerah guna dimanfaatkan bagi pembangunan
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
2
Namun demikian di sisi lain, UU No. 22 Tahun 1999 dalam pelaksanaannya
juga telah menimbulkan dampak negative, antara lain tampilnya kepala daerah
sebagai raja-raja kecil di daerah karena luasnya wewenang yang dimiliki, serta
tidak jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan di atasnya. Di samping
itu, dengan dimilikinya wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan
keuangan daerah, terbuka peluang untuk tumbuhnya korupsi, klusi, nepotisme
(KKN) di daerah-daerah. Akibatnya terjadilah korupsi secara besar-besaran di
daerah, baik di kalangan eksekutif maupun di kalangan legislative, serta
lahirnya perda-perda tentang retribusi dan pajak daerah, yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi. Banyak hal lain yang bersifat negative sebagai akibat
pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, seperti “money politic”, yang terjadi
dalam pemilihan kepala daerah/Laporan Pertanggjawaban (LPJ) dari kepala
daerah, sengketa antardaerah, baik sengketa kewenangan maupun sengketa
wilayah (perbatasan), dan lain sebagainya.
Penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 betujuan untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada undang-undang tersebut, antara
lain sebagaimana telah dikemukakan di atas, dan juga merupakan konsekuensi
perubahan dalam tatanan kenegaraan akibat amandemen UUD 1945, serta
guna mengantisipasi arus globalisasi, terutama berkaitan dengan peluang
penanaman modal asing di daerah. Penyempurnaan ini dilaksanakan melalui
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lebara Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) yang dengan tegas dalam pasal 239
menyatakan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi.
3
B. Hal-hal Diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004, sama dengan apa yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Hanya saja
UU No. 32 Tahun 2004 lebih memperjelas dengan mempertegas hal-hal yang
sudah diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, guna menutupi kelemahankelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimaksud, terutama
mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara provinsi
dengan kabupaten/kota, serta antara sesame daerah kabupaten/kota.
Hubungan ini berkaitan dengan masalah kesatuan administrasi dan kesatuan
wilayah.
Undang-undang baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan
kierarkis antara kabupaten/kota dengan provinsi, antara provinsi dengan
pemerintah pusat, berdasarkan asas kesatuan administrasi dan asas kesatuan
wilayah tadi. Berdasarkan asas kesatuan administrasi dan asas kesatuan
wilayah, pemerintah pusat berhak melakukan koordinasi, demikian juga
provinsi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap
kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala
daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas pula. Hal ini terlihat
dengan dipilih langsungnya kepala daerah oleh rakyat, sehingga DPRD tidak
dapat lagi menjatuhkan kepala daerah, sebelum masa jabatannya berakhir
melalui suatu putusan politik (pemungutan suara) semata-mata, tetapi terlebih
dahulu harus melalui suatu proses hokum di pengadilan.
4
Perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di
daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung merupakan
konsekuensi perubahan tatanan kenergeraan kita akibat Amanademen UUD
1945. Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan
desentralisasi.
Penerapan otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 ini tetap
dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi luas,
dimaksudkan bahwa kepala daerah diberikan tugas, wewenang hak dan
kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangai oleh
pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah
memeiliki banyak raga dan jenisnya. Di samping itu, daerah diberikan
keleluasan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam
rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian
otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk
menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah
masing-masing. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sementara itu, otonomi yang
5
bertanggung jawab, adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang ada dasarnya
untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatan kesejahteraan rakyat.
Betapapun
luasnya
otonomi
yang
dimiliki
oleh
suatu
daerah,
pelaksanaannya harus dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus menjami adanya
hubungan yang serasi antara masyarakat, pemerintah daerah dan DPRD.
Kinerja penyelenggara otonomi daerah, yaitu pemerintah daerah dan DPRD,
harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan
kepada masyarakat dengan selalu memerhatukan kepentingan dan pelayanan
kepada masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi
masyarakat luas.
UU No. 32 Tahun 2004 antara lain mengatur hal-hal:
1. Pembentukan daerah dan kawasan khusus;
2. Pembagian urusan pemerintahan;
3. Penyelenggaraan pemerintahan;
4. Kepegawaian daerah;
5. Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah;
6. Perencanaan pembangunan daerah;
7. Keuangan daerah;
8. Kerja sama dan penyelesaian perselisihan;
9. Kawasan perkotaan;
10.Desa;
11.Pembinaan dan pengawasan; dan
12.Pertimbangan dalam kebijakan otonomi daerah.
6
Bab 2
Pembentukan Daerah
7
dan Kawasan Khusus
A. Pembentukan daerah
Sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi yang dianut UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dibentuk daerah-daerah
otonom dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1),(2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang menyatakan:
Ayat (1):
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah
provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undangAyat(2):
undang.
Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota,
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan
daerah
sebelumnya, UU No.32 Tahun 2004, meletakkan titik berat otonomi pada
daerah kabupaten dan kota. Hal ini bertujuan untuk lebih mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan
lainnya. Hubungan ini meliputih hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya yang
dilakukan secara adil dan selaras. Hubungan-hubungan ini akan
menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsesama
pemerintahan. Hubungan administrasi adalah hubungan yang terjadi
8
sebagai konsekuensi kebijakan penyelenggaraan system administrasi
Negara. Sementara itu, hubungan kewilayahan adalah hubungan yang
terjadi sebagai konsekuesi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang
diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sehingga wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah Negara yang
bulat. Hal ini berarti betapapun luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu
daerah, pelaksanaan otonomi tersebut tetaplah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 ini, Negara mengakui dan
menghormati satuan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan
istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa
ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti
Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe
Aceh Darussalam), Daerah Istimewa Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di
Papua. Bagi Daerah daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama
dengan daerah daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu,
kepada daerah daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang
diatur dengan undang undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan
istimewa tersebut, secara umum berlaku UU No. 32 Tahun 2004 dan dapat
juga diatur dengan undang udang tersendiri
Untuk daerah-daerah yang memeiliki status istimewa dan diberikan
otonomi khusus, selain diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 ini, juga
diberlakukannya ketentuan khusus, yang diatur dalam undang undang lain.
Hal ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus ibukota (DKI), Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
penyelenggaraan
9
pemerintahannya tetap berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, sedangkan
untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemilihan kepala Daerah/wakil
kepala daerah Dilakukan berdasarkan UU No.18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Naggroe Aceh Darussalam dengan penyempurnaan sebagai berikut.
a. Untuk pemilihan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai
dengan bulan april 2005 diselenggarakan pemilihan secara langsung
sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.
b. Untuk kepala daerah selain yang dimaksud pada huruf (a), pemilihan
kepala daerahnya diselenggarakan sesuai dengan periode masa
jabatannya.
c. Kepala Daerah dan wakill kepala daerah yang berakhir masa jabatannya
sebelum UU No.32 Tahun 2004 ini disahkan sampai dengan bulan April
2005 sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang penjabat kepala
daerah.
d. Penjabat Kepala Daerah tidak dapat menjadi calon kepala daerah yang
dipilih atau calon wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung
sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.
e. Anggota Komisi Independen pemilihan dari unsur anggota komisi
pemilihan umum republic Indonesia diisi oleh Ketua Komisi Pemilihan
Umum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Disamping itu, Negara juga mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hokum adat beserta hak tradisionalnya, sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara kesatuan Republik Indonesia.
10
Pengertian pemerintahan daerah dalam UU No.32 Tahun 2004
adalah:
1. Pemerintah daerah provinsi, yang terdiri dari pemerintah daerah
provinsi dan DPRD provinsi.
2. Pemerintah daerah kabupaten/kota,
terdiri
atas
pemerintah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
Sementara itu, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan
perangkat daerah.
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau beberapa daerah yang bersanding atau pemekaran dari suatu daerah
menjadi dua daerah atau lebih. Pemakaran daerah dapat dilakukan
mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, yaitu 10
tahun untuk provinsi, 7 tahun untuk kabupaten/kota, dan 5 tahun untuk
kecamatan. Pembentukan daerah ditetapkan dengan undang undang, yang
isinya antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota,
kewenangan
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan,
penunjukan
penjabat kepala daerahm pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan
kepegawaian, pendanaan dan dokumen, serta perangkat daerah. Dalam hal
ini yang dimaksud “cakupan wilayah”, khusus untuk daerah yang berupa
kepulauan atau gugusan pulau pulau, dalam penentuan luas wilayahnya
didasarkan atas prinsip Negara kepulauan (archipelago principles) yang
pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.
11
Pembentukan suatu daerah harus memenuhi syarat administrative,
teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administrative untuk provinsi meliputi
adanya:
1. Persetujuan dari DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan
menjadi cakupan wilayah provinsi;
2. Persetujuan DPRD dan gubernur provinsi induk;
3. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Sementara itu, syarat administrasi untuk kabupaten/kota meliputi
adanya:
1. Persetujuan dari DPRD dan bupati/walikota yang bersangkutan;
2. Persetujuan DPRD provinsi dan gubernur;
3. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Persetujuan DPRD dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk Keputusan
DPRD, yang diproses berdasarkan pernyataan aspirasi sebagian besar
masyarakat setempat sedangkan persetujuan gubernur didasarkan pada
hasil kajian tim yang khusus dibentuk oleh pemerintah provinsi
bersangkutan. Tim dimaksudkan mengikutsertakan tenaga ahli sesuai
kebutuhan.
Syarat teknis meliputi factor yang menjadi dasar pembentukan
daerah, yang mencakup factor kemampuan ekonomi, potensi daerah,
pertahanan
keamanan
dan
factor
lain
yang
memungkinkan
terselenggarakannya otonomi daerah. Faktor lain dalam hal ini antara lain
pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat,
rentang kendali penyelenggaraan pemerintah daerah. Syarat fisik meliputi:
12
1.
2.
3.
4.
Paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi;
Paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten;
Paling sendikit empat kecamatan untuk pembentukan kota;
Lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tujuan pembentukan suatu
daerah otonom pada dasarnya adalah untuk memberdayakan daerah,
termasuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Bagi daerah yang tidak mampu
meweujudkan kedua hal tersebut, berarti daerah yang bersangkuta tidak
mampu menyelenggarakan hak otonominya. Daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan hak otonominya dapat dihapus dan digabungkan dengan
daerah lain. Penhapusan dan penggabungan ini dilakukan setelah melalui
evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Evaluasi dalam
hal ini adalah penelitian dengan menggunakan system pengukuran kinerja,
serta indicator-indikatornya, yang meliputi masukan proses, keluaran,
dampak.
Pengukuran
dan
indicator
kinerja
digunakan
untuk
membandingkan daerah dengan daerah lainnya dengan angka rata-rata
secara nasional untuk masing-masing tingkat pemerintahan atau dengan
hasil tahun tahun sebelumnya untuk masing masing daerah. Disamping itu,
dievaluasi juga aspek lain, yaitu keberhasilan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, upaya upaya dan kebijakan yang diambil,
ketaatan terhadap peraturan per-undang undangan dan kebijakan nasional
dan dampak dari kebijakan daerah. Pedoman untuk melakukan evaluasi ini
diatur dalam peraturan pemerintah.
B. Kawasan Khusus
Didalam daerah otonomi provinsi, kabupaten atau kota, dapat
dibentuk kawasan khusus. Kawasan khusus adalah kawasan strategis yang
13
secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut politik,
sosial budaya, lingkungan, dan pertahanan/keamanan. Dalam kawasan
khusus diselenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu sesuai
kepentingan nasional. Kawasan khusus dapat berupa kawasan otorita,
kawasan perdagangan bebas, kegiatan industry, dan sebagainya. Fungsi
pemerintahan tertentu dalam hal ini antara lain pertahanan Negara,
pendayagunaan
wilayah,
wilayah
perbatasan,
dan
pulau-pulau
tertentu/terluar, lembaga pemasyarakatan, pelestarian budaya dan cagar
alam, pelestarian lingkungan hidup, riset dah teknologi.
Kawasan khusus yang berfungsi untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dibidang pertahanan/keamanan Negara dapat berbentuk
pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, dan pangkalan
militer. Kawasan khusus lain dapat berkendali dan pangkalan militer.
Kawasan khusus lain dapat berbentuk pengembangan kawasan industry
strategis,
pengembangan
prasarana
komunikasi,
telekomunikasi,
transportasi, pelabuhan, daerah perdangan bebas, wilayah exploistasi dan
pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, dan lembaga
pemasyarakatan khusus.
Khusus untuk wilayah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas,
harus ditetapkan dengan undang undang, sedangkan untuk bentuk-bentuk
lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tata cara penetapan
kawasan
khusus
ini diatur
dalam
peraturan
pemerintah. Dalam
pembentukan khusus, pemerintah pusat harus mengikut sertakan daerah
dimana kawasan khusus berada. Disamping itu, daerah dapat pula
mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membentuk suatu kawasan
khusus didaerahnya.
14
Bab 3
Pembagian urusan pemerintahan
Dalam penyelenggaraan otonomi luas, utusan pemerintahan yang
diserahkan pada daerah jauh lebih banyak kita dibandingkan dengan urusan
pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Menurut
UU No.32 Tahun 2004, urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap
menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Politik luar negeri;
Pertahanan;
Keamanan;
Yustisi;
Moneter dan fiscal nasional; dan
Agama.
Didalam penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan urusan pemerintahan dibidang:
15
a. Politik luar negeri adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatic dan
penunujuk warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga
internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian
dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan
sebagainya;
b. Pertahanan, adalah misalnya mendirikan atau membentuk angkatan
bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau
sebagian
Negara
mengembakan
dalam
system
keadaan
pertahanan
bahaya,
Negara
membangun
dan
dan
persenjataan,
menetapkan kebijakan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi
setiap warga Negara dan sebagainya;
c. Keamanan, adalah misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian
Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap
orang yang melanggar hokum Negara, menindak kelompok atau
organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan Negara, dan
sebagainya;
d. Moneter dan fiscal nasional, adalah misalnya mencetak uang dan
menetukan nilai mata uang menetapkan kebijakan moneter/fiscal,
mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;
e. Yustisi, adalah misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat
hakim dan jaksa mendirikan lembaga permasyarakatan, menetapkan
kebijakan kehakiman dan imigrasian, member grasi, amnesty, abolisi,
membentuk undang-udang, peraturan pengganti undang undang
peraturan pemerintah dan peraturan lain yang berskala nasional, dan
sebagainya;
f. Agama, adalah misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku
secara nasional, member hak pengakuan terhadap keberadaan suatu
16
agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan
keagamaan, dan sebagainya.
Disamping itu, bagian tertentu urusan pemerintahan lainnya yang
berskala nasional yang tidak diserahkan kepada daerah.
Selain 6 urusan pemerintahan yang telah diuraikan diatas, sisanya
menjadi wewenang pemerintahan daerah. Dengan demikian, urusan
yang dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak terbatas. Daerah
dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan apa saja selain 6 bidang
yang
telah
dikemukakan
diatas,
asal
saja
daerah
mampu
menyelenggarakannya, dan punya potensi untuk dikembangkan guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
wewenang daerah, pemerintah daerah menyelenggarakan otonomi
seluas luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembangunan.
Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan daerah atau
desa, termasuk masyarakatnya atas pengunggasan atau kuasa dari
pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintahan dibidang tertentu. Pemberian tugas pembantuan
harus disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia.
Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat
concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian
atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah
17
pusan dan pemerintahan daerah dengan demikian , pada setiap urusan
yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi
wewenang pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan
provinsi, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada
kabupate/kota. Untuk mewujudkan urusan yang concurrent secara
proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah
kabupaten/kota
disusunlah
criteria
yang
meliputi
eksternalistis,
akuntabilitas dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian
hubungan
pengelolaan
urusan
pemerintahan
antara
tingkat
pemerintahan (Penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004).
Selanjutnya dijelaskan criteria-kriteria berikut ini.
a. Kriteria eksternalistis yaitu pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan
dengan
mempertimbangkan
dampak/akibat
yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat local, urusan pemerintahan
tersebut menjadi wewenang kabupaten/kota; apabila regional menjadi
wewenang provinsi, dan apabila nasional, menjadi wewenang
pemerintah pusat.
b. Kriteria akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang
menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang
lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani
tersebut. Dengan demikian, akuntabilitas penyelenggaraan bagian
urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
18
c. Kriteria
efisiensi,
yaitu
pendekatan
dalam
pembagian
urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personel, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian
dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian
urusan. Artinya, penanganan suatu bagian urusan dipastikan akan lebih
berdaya guna dan berhasil guna apabila oleh daerah provinsi, dan/atau
daerah kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah
pusat. Oleh karena itu, bagian urusan tersebut diserahkan kepada
daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Sebaliknya, apabila suatu
bagian urusan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna bila ditangani
oleh pemerintah pusat, bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh
pemerintah pusat. Untuk pembagian bagian urusan harus disesuaikan
dengan memerhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian
urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna
tersebut didasari dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
dan besar kecilnya risiko yang dihadapi.
d. Keserasian hubungan adalah bahwa pengelolaan bagian urusan
pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda,
bersifat
saling
berhubungan
(interkoneksi),
saling
tergantung
(interindependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan
system dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana diuraikan di atas,
ditempuh melalui mekanisme penyerahan atau pengakuan atas usul daerah
terhadap bagian urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan
diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut, pemerintah pusat melakukan
19
verifikasi terlebih dahulu sebelum member pengakuan atas bagian urusan
urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, terjadap bagian
urusan yang saat ini masih menjadi urusan pemerintah pusat, dengan
criteria tersebut dapat diserahkan kepada daerah.
Walaupun berdasarkan otonomi luas yang dimiliki oleh daerah, daerah
dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang apa pun di luar
urusan yang merupakan urusan pemerintah pusat. Namun, dalam
pelaksanaannya harus mendapat pengakuan dari pemerintah pusat terlebih
dahulu. Pengakuan ini diberikan oleh pemerintah pusat terlebih setelah
melakukan verifikasi terhadap bagian urusan yang diusulkan oleh daerah.
Hal ini berbeda dengan undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
penyerahan suatu urusan kepada daerah tidak memerlukan pengakuan
terlebih dahulu dari pemerintah pusat.
Mengigat begitu luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan
begitu banyak urusan yang dapat diselenggarakan oleh daerah dan begitu
banyak urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah, UU
No.32 Tahun 2004 membagi semua urusan tersebut atas dua kelompok,
yaitu urusan wajib dan urusan pilihan.
Dalam
menjalankan
urusan
pemerintahan,
pemerintah
daerah
mempunyai hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
lainnya. Dari hal ini jelas bagi kita, betapapun luasnya kewenangan yang
dimiliki oleh suatu daerah, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
tertentu, tetap ada hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah lainnya. Hubungan ini meliputi hubungan wewenang, keuangan,
20
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya.
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan sumber daya di
wilayah paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai kea rah laut lepas
dan/atau kea rah perairan kepulauan. Apabila wilayah laut antara dua
provinsi kurang dari 24 mil laut, kewenangan menelola sumber daya
dibawah laut dibagi sama jaraknya atau diukur sesuai prinsip garis tengah
dari wilayah antara dua provinsi tersebut. Sementara itu, untuk
kabupaten/kota memperoleh sepertiga wilayah kewenangan provinsi.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi nelayan kecil dalam melakukan
penangkapan ikan. Mereka dapat melakukan penangkapan ikan sejauh
mereka sanggup mengenai pengelolaan sumber daya di wilayah laut ini,
selanjutnya akan diatur dengan undang-undang.
21
Bab 4
Penyelenggaraan Pemerintahan
A. Penyelenggaraan Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah, dan
DPRD.
Dalam
menyelenggarakan
pemerintahan,
pemerintah
pusat
menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekosentrasi
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sementara itu,
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan menggunakan
asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman
pada asas umum penyelenggaraan Negara, yang didalam Hukum
Administrasi Negara dikenal dengan “asas-asas umum pemerintahan yang
layak”. Di negeri belanda, asas asas umum pemerintahan yang layak ini
sudah diterima sebagai norma hokum yang tidak tertulis, yang harus ditaati
oleh penyelenggara pemerintahan, terutama pejabat Tata Usaha Negara,
dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara. Sebelumnya dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas asas ini sudah mulai
diterima, walaupun secara formal belum diakui sebagai sesuatu norma
hokum tidak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini
22
baru diakui di Negara kita, dengan diundangkannya UU No.28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas, kemudian
dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Asas dimaksud disebut dengan “asas umum penyelenggaraan Negara”, yang
dirinci antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Asas kepastian hokum;
Asas tertib penyelenggaraan Negara;
Asas kepentingan umum;
Asas keterbukaan;
Asas proporsionalitas;
Asas profesionalitas;
Asas akuntabilitas;
Asas efisiensi; dan
Asas efektivitas.
Hal ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan “good governance” (tata
pemerintahan yang baik).
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama
dalam penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali dengan hak dan
kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya;
Memilih pemimpin daerah;
Mengelola aparatur daerah;
Mengelola kekayaan daerah;
Memumngut pajak daerah dan retribusi daerah;
23
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah;
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang
undangan.
Di samping hak-hak tersebut diatas, daerah juga dibebani beberapa
kewajiban, yaitu”
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkap kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistemn jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10.Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11.Melestarikan lingkungan hidup;
12.Mengelola administrasi kependudukan;
13.Melestarikan nilai sosial budaya;
14.Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
15.Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang undangan.
Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana
kerja pemerintah daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja
dan pembiayaan daerah, yang dikelola dalam system pengelolaan keuangan
daerah. Sesuai dengan asas-asas yang telah dikemukakan di atas,
pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara efisien, efektif, transparan,
24
bertanggung jawab, terteib, adil, patuh dan taat pada peraturan
perundang-undangan.
B. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. Kepala daerah
provinsi disebut gubernur dan wakil gubernur. Sementara itu, kepala daerah
kabupaten/kota disebut bupati/walikota dan wakilnya disebut wakil
bupati/wakil walikota.
Di samping kewajiban tersebut di atas, kepala daerah juga mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
kepada
pemerintah
pusat,
dan
memberikan
keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginofrmasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Informasi ini
disampaikan melalui media yang tersedia di daerah dan dapat diakses oleh
public
sesuai
penyelenggaraan
dengan
peraturan
pemerintahan
perundang-undangan.
daerah
kepada
pemerintah
Laporan
pusat
disampaikan kepada presiden melalui gubernur untuk bupati/walikota.
Laporan dimaksud disampaikan satu kali dalam satu tahun. Dengan adanya
ketentuan tentang laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah ini, tidak
menutup kemungkinan adanya laporan lain, baik atas kehendak kepala
daerah atau atas pemerintah pusat sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai
dengan peraturan perundang undangan. Tata cara pelaksanaan pelaporan
25
dimaksud
di
atas
diatur
dalam
peraturan
pemerintah.
Laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah pusat dan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD diatur dalam Pasal
27 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004. Khusus mengenai laporan keterangan
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD, secara prinsip berbeda
dengan pertanggungjawaban kela daerah kepada DPRD, sebagaimana
diatur dalam Pasal 45, 46 UU No. 22 Tahun 1999. Dalam Pasal 46 UU
No.1999 dijelaskan apabila pertanggungjawaban seorang kepala daerah
kepada DPRD ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan
pemberhentiannya kepada presiden. Hal ini di masa lalu sering
menimbulkan
money
politic,
disaat
seseorang
kepala
daerah
menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD. Akan
tetapi dengan diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, hal ini tidak akan
terjadi lagi karena kepala daerah hanya wajib memberikan laporan
keterangan
pertanggungjawaban
kepada
DPRD,
bukan
laporan
pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, 46 UU No.22
Tahun 1999.
Disamping kewajiban yang diberikan kepada kepala daerah dan wakil
kepala daerah, menurut ketentuan pasal 28 UU No. 32 Tahun 2004, kepala
daerah dan wakil kepala daerah dikenakan beberapa larangan, yaitu:
1. Membuat keputusan yang secara khusus, memberikan keuntungan
bagi dirim anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok
politiknya
undangan,
yang
bertentangan
merugikan
dengan
kepentingan
peraturan
umum,
dan
perundangmeresahkan
26
sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga Negara
dan/atau golongan masyarakat luas;
2. Turut serta suatu perusahaan, baik milik swasta, maupun milik
Negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
3. Melaksanakan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi
dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
4. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang,
barangdan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan
atau tindakan yang akan dilakukan;
5. Menjadi advokat atau kuasa hokum dalam suatu perkara di
pengadilan, selain mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan;
6. Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatan;
dan
7. Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara lainnya, atau sebagai
anggota DPRD.
Larangan ini sebenarnya agak sedikit berlebihan lebihan karena
beberapa larangan yang dicantumkan dalam pasal ini sebenarnya telah
merupakan larangan secara umum, bahkan telah merupakan suatu
tindak pidana, seperti korupsi dan lain lain. Namu demikian, pasal ini
pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang
bersih dengan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, konflik
kepentingan dan tindak pidana korupsi. Masalahnya hanya sejauh mana
pasal ini dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan. Jal ini sangat
membutuhkan adanya kemauan politif dari aparatur pemerintahan dan
27
kesadaran masing masing individu, baik sebagai aparatur pemerintahan
maupun sebagai warga masyarakat.
C. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah
Dalam system presidentil, presiden sebagai kepala Negara/kepala
pemerintahan, pada dasarnya tidak dapat diberhentikan sebelum
berakhir masa jabatannya, terkecuali dengan alasan-alasan tertentu. Hal
ini juga berlaku bagi kepala daerah pada dasarnya tidak dapat
diberhentikan
sebelum
berakhir
masa
jabatannya,
terkecuali
sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU No.32 Tahun 2004, yaitu apabila:
1. Meninggal dunia;
2. Permintaan sendiri; atau
3. Diberhentikan;
Pemberhentian, sebagaimana dimaksud pada huruf © diatas dapat
dilakukan karena:
1. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat baru;
2. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap secara berturut-turutselama enam bulan;
3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah/wakil kepala
daerah;
4. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dapat
wakil kepala daerah;
5. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah.
Dalam ketentuan pasal 29 di atas jelas bagi kita bahwa seorang
kepala daerah tidak bisa lagi diberhentikan karena laporan
28
Pertanggungjawaban (LPJ) ditolah untuk kedua kalinya oleh DPRD,
sebagaimana berlaku pada era UU No.22 Tahun 1999 yang lalu. Di
masa berlakunya UU No.22 Tahun 1999, seorang kepala daerah dapat
diusulkan untuk diberhentikan oleh DPRD kepada presiden, karena
laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah yang bersangkutan
ditolah untuk kedua kalinya oleh DPRD. Putusan mengenai
pemberhentian dimaksud biasanya diambil melalui voting, layaknya
seperti yang berlaku pada system parlementer.
Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
karena meninggal dunia, mengundukan diri, berakhir masa
jabatannya dan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap secara berturut turut selama enam bulan,
dan diberitahukan kepada pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam
rapat paripurna. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan tidak
melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
adalah menderita sakit, yang mengakibatkan, baik fisik maupun
mental, tidak berfungsi secara normal, yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui
keberadaannya. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah karena mengundurkan diri (permintaan sendiri), tidak
menghapus tanggung jawab yang bersangkutan selama memegang
jabatan.
Mengenai pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah
karena dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah
29
dan wakil kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban kepala
daerah dan wakil kepala daerah, dan melanggar larangan bagi kepala
daerah dan/ atau wakil kepala daerah, dilaksanakan dengan
ketentuan.
Dengan adanya ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas,
seseorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak dapat
lagi diberhentikan secara wewenang wewenang oleh DPRD melalui
voting, tanpa adanya suatu proses hokum, untuk membuktikan
kesalahan dari kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah yang
bersangkutan. Ketentuan ini mirip dengan proses impeachment
sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat.
DPRD menggunakan hak angketnya untuk menanggapi kasus
tersebut. Hak angket baru bisa dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan Rapat Paripurna DPRD dihadiri oleh sekurang kurangnya
¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang
hadir. Apabila dalam penyeledikan ditemukan bukti DPRD yang hadir.
Apabila dalam penyelidikan ditemukan bukti yang menyatakan kepala
daerah telah melakukan tindak pidana sebagaimana dituduhkan,
DPRD mengusulkan proses penyelesaiannya kepada aparah penegak
hokum sesuai peraturan peundang undangan yang berlaku. Apabila
proses hokum telat berjalan, dan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana
dengan ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih
30
berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan
hokum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian sementara kepada
presiden dengan Keputusan DPRD. Berdasarkan Keputusan DPRD
tersebut, presiden menetapkan pemberhentian sementara kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya
apabila
putusan
pengadilan
tersebut
telah
memperoleh kekuatan hokum tetap, pimpinan DPRD mengusulkan
pemberhentian
hokum
tetap,
pimpinan
DPRD
mengusulkan
pemberhentian berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD, yang
dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD
tersebut, presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah yang bersangkutan. Undang undang baru ini
memberikan perlindungan kepada kepala daerah dan wakil kepala
daerah dari tindakan sewenang wenang DPRD dengan mengatur
secara jelas prosedur hokum yang harus ditempuh untuk dapat
memberhentikan kepala daerah dan/atau kepala daerah.
Seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
diberhentikan sementara, setelah itu melalui proses pengadilan,
ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, paling lambat dalam
waktu tiga puluh hari, presiden telah merehabilitasikan dan
mengaktifkan kembali kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
31
bersangkutan sampai akhir masa jabatannya. Apabila kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang bersangkutan telah berakhir masa
jabatannya, presiden tidak perlu mengaktifkannya lagim cukup
merehabilitasi saja. Tata cara pemberhentian sementara ini lebih
lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah.
D. Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
Berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah,
gubernur di samping sebagai kepala daerah, karena jabatannya,
berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah
provinsi yang bersangkutan. Betapapu luasnya otonomi yang dimiliki
oleh kabupaten/kkota, berdasarkan kedua asas tersebut di atas dan
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah
provinsi yang bersangkutaan, gubernur berwenang melakukan
koordinasi, supervise dan evaluasi terhadap daerah kabupaten/kota
yang ada dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan hal
tersebut di atas, gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil
pemerintah pusat di wilayahnya memiliki tugas dan wewenang:
1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota;
2. Koodinasi penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah
provinsi dan kabupaten/kota;
3. Koodinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Dana yang di perlukan dalam pelaksaan tugas dan wewenang
tersebut diatas dibebankan pada APBN dan dalam pelaksanaan tugas,
dan atas wewenang tersebut, gubernur bertanggung jawab kepada
32
presiden. Kedudukan keuangan dan tata cara pelaksaan tugas dan
wewenang tersebut diatur dalam peraturan pemerintah.
E. Perangkat Daerah
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2) UU No.32 Tahun
2004, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat
daerah. Perangkat daerah provinsi terdiri atas secretariat daerah,
secretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Sementara itu, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas
secretariat daerah, secretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga
teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretarias daerah yang
mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah, dalam
menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan
lembaga
teknis
daerah.
Dalam
melaksanakan
tugas
dan
kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada kepala
daerah. Apabila sekretaris daerah berhalangan dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya, tugasnya dilaksanakan oleh penjabat yang
ditunjuk oleh kepala daerah.
33
Bab 5
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
A. Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat
Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu
Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa
dicapai dengan mengembalik kedaulatan ke tangan rakyat. Selama
ini, baik di masa orde baru maupun di era reformasi, kedaulatan
sepenuhnya berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif, dan di
tangan lembaga legislative. Bahkan di era reformasi ini, kedaulatan
seolah-olah berada di tangan partai politik. Partai politik, melalui
fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat melakukan apa pun, yang
berkaitan dengan kepentingan bangsa dan Negara, bahkan dapat
memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya,
seperti layaknya pada Negara dengan system presidentil. Di daerah
daerah, DPRD melalui pemungutan suara, dapat menjatuhkan kepala
daerah sebelum berakhir masa jabatannya.
B. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
34
Daerah, sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dalam melakukan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah, seharusnya sinkron dengan
pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara
langsung. Di samping alas an tersebut di atas, ada beberapa alas
an lain, yang mengharuskan kita melakukan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.
C. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara
Langsung
1. Penyelenggara
Dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, perubahan yang
paling siginifikan yang terdapat dalam undang-undang baru,
adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung.
2. Panitia Pengawas (Panwas)
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah, pengawasan dilakukan panitia pengawas (panwas)
yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD.
3. Pemantau
Pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, dapat dilakukan oleh pemantau pemilihan yang berasal
dari LSM dan badan hokum dalam negeri. Pemantau untuk dapat
melakukan pemantauan, harus memenuhi syarat antara lain:
35
a) Bersifat independen;
b) Mempunyai sumber dana yang jelas.
Berdasarkan hasil penelitian, KPUD menetapkan pasangan
calon minimal dua pasangan calon yang dituangkan dalam
berita acara penetapan pasangan calon. Sayangnya, dalam
undang undang ini tidak diatur bagaimana jalan keluarnya
apabila pasangan calon yang memenuhi syarat berdasarkan
hasil penelitian KPUD hanya satu pasangan. Kita berharap jalan
keluar untuk mengatasi masalah ini akan kita temukan dalam
peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU
No. 32 Tahun 2004.
Dalam kegiatan kampanye, pasangan calon wajib menyampaikan visi,
misi dan program secara lisan, maupun tertulis kepada masyarakat.
Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib,
dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan bahan kampanye, calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah berhak mendapatkan informasi atau data
dari pemerintah daerah, seusatu ketentuan perundang undangan.
Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh wilayah provinsi;
untuk pemilihan dan gubernur wakil gubernur di seluruh wilayah
kabupaten/kota, untuk pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil
walikota.
Dalam rangka mewujudkan rasa keadila dan pemberian perlakuan
yang sama kepada pasangan calon, media cetak dan media elektronik
36
memberi kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk
menyampaikan tema dan materi kampanye, memasang iklan, dalam rangka
kampanye. Di samping itu pemerintah daerah harus memberikan
kesempatan yang sama kepada pasangan calon, untuk menggunakan
fasilitas umum.
Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, TNI dan
Polri, sebagai peserta kampanye dan juru bicara kampanye dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selama masa kampanye semua
pejabat Negara, dan kepala desa, dilarang membuat keputusan dan/atau
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Kampanye yang mempersoalkan dasar Negara Pancasila, dan
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, menghina
seseorang, agama, ras, golongan, calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah, menghasut atau mengadu domca partai politik, perseorangan,
dan/atau kelompok masyarakat, menggunakan kekerasan, ancaman
kekerasan,
atau
menganjurkan
menggunakan
kekerasan
kepada
perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau mengambil alih kekuasaan
dari pemerintah yang sah, merupakan tidak pidana, dan akan dikenakan
sanksi jika dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan yang berlaku.
Berbeda dengan pemilu legislative dan pemilu presiden dan wakil
presiden, kewenangan memutus dan memeriksa sengketa hasil perhitungan
suara, ada pada mahkamah konstitusi. Sebaiknya, untuk memeriksa dan
memutus sengketa hasil perhitungan suara pada pemilihan kepala daerah
37
dan wakil kepala daerah, juga diserahkan pada Mahkamah Konstitusi. Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 24c ayat (1) UUD 1945, yang antara lain
menyatakan
bahwa
Mahkamah
Konstitusi
berwenang
memnutus
perselisihan tentang hasil pemilhan umum. Sementara itu, pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah, pada dasarnya merupakan pemilihan
umum, hanya saja pemilihan umum yang bersifat local. Di samping itu