Pengaruh Corporate Social Responsibility, kepemilikan institusional, dan kepemilkan asing terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011 dan 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan

   Dengan terpisahnya pemilik perusahaan pada perusahaan go public yang

  diwakili oleh dewan komisaris (principal) dengan orang yang mengelola perusahaan yaitu manajemen (agent), akan terjadi gap atau konflik kepentingan. Hal tersebut terjadi karena manajer tidak akan mau bekerja untuk kepentingan pemilik perusahaan jika tidak selaras dengan kepentingan mereka. Hubungan keagenan timbul pada saat seorang atau lebih individu yang disebut sebagai

  

principal menggaji individu lain yang disebut sebagai agent untuk memberikan

  jasa kepadanya, kemudian mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Lubis dan Putra, 2012:11).

  Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan dan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan terhadap pihak manajemen. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan akan cenderung untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham.

  Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang saham).

  Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung atas pengelolaan perusahaan, namun informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya sehingga hal ini memacu terjadinya konflik keagenan.

  Dalam kondisi yang demikian, ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (information asymmetric) (Putri dan Nasir, 2006).

2.1.2 Teori Stakeholder

  Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang

hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus mampu memberikan

manfaat bagi stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat

dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder perusahaan tersebut

(Ghozali dan Chariri, 2007).

  Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan

untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan

perusahaan. Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi

pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap

media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan

untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan.

Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting

bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara untuk memuaskan keinginan stakeholder (Sinaga, 2012).

  Stakeholder akan mempengaruhi pelaksanaan dan pengungkapan

  pertanggungjawaban sosial. Penganut active posture akan melakukan pengungkapan pertanggungjawaban sosial sesuai dengan permintaan stakeholder inti (stakeholder yang paling mempengaruhi perusahaan). Penganut passive

  

posture akan melakukan pengungkapan pertanggungjawaban sosial secara adil

  untuk semua stakeholder. Sehingga mungkin akan ditemui adanya beda fokus dalam pelaksanaan dari masing-masing perusahaan sesuai pandangan masing- masing perusahaan (Anggraini, 2011).

2.1.3 Teori Legitimasi

  Ghozali dan Chariri (2007) mengungkapkan definisi teori legitimasi sebagai suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan sejalan dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar dimana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan yang nyata atau potensial, ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan. Dengan melakukan pengungkapan sosial, perusahaan merasa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi.

  Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup. Tanggung jawab sosial perusahaan, baik teori legitimasi maupun teori stakeholder, telah menjelaskan mengenai apa yang menyebabkan perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dimana perusahaan itu menjalankan kegiatannya.

  Pada dasarnya pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan bertujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dilihat dari satu sisi, tujuan ini memiliki maksud yang baik. Namun penjelasan teori atas pengungkapan sosial ini menunjukkan bahwa terdapat banyak motivasi yang bertitik tolak dari kepentingan manajer ataupun perusahaan. Bahwa tujuan akhir dari adanya pengungkapan sosial perusahaan adalah tidak lain untuk menunjang tujuan utama perusahaan dalam usaha mendapatkan profit maksimum. Lebih jauh lagi, legitimasi ini akan meningkatkan reputasi perusahaan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai perusahaan tersebut (Rawi, 2008).

2.1.4 Teori Institusional

  Ide pokok teori institusional adalah bahwa organisasi dibentuk oleh lingkungan institusional yang mengitarinya (Gudono, 2009). Menurut teori institusional, perilaku organisasi atau keputusan yang diambil organisasi dipengaruhi oleh institusi di luar organisasi. DiMaggio dan Powell (1983) mengatakan bahwa, organisasi akan berupaya untuk menyesuaikan diri atau

  

isomorphic (sama dalam tampilan tetapi berbeda didalamnya) akibat tekanan dari

  luar jika ingin bertahan hidup. Menurut Meyer dan Rowan (1977), banyak posisi, kebijakan, program, dan prosedur organisasi modern dipengaruhi oleh opini publik, pandangan konstituen, dan pengetahuan melalui sistem pendidikan, prestis sosial, hukum, dan pengadilan.

  Zahra (2013) mengungkapkan bahwa ada tiga proses bagaimana organisasi menyesuaikan diri. Pertama, coersive isomorphism yaitu proses penyesuaian menuju kesamaan dengan “pemaksaan”. Tekanan datang dari pengaruh politik dan masalah legitimasi. Misalnya, tekanan muncul karena peraturan pemerintah yang memiliki sanksi bagi yang melanggarnya. Begitu pula dalam sebuah perusahaan milik negara atau BUMN. BUMN yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh negara mendapatkan tekanan untuk meningkatkan prestis sosial. BUMN secara tidak langsung diharuskan memberikan pelayanan yang maksimal karena berada di bawah pengawasan pemerintah. Pemerintah sebagai pihak yang kompeten dalam urusan negara dianggap lebih mampu mengawasi jalannya suatu usaha yang nantinya akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat juga. Dengan adanya paksaan dan tekanan, pemerintah memberikan perhatian lebih kepada BUMN maupun BUMD yang tersebar di seluruh Indonesia.

  Dalam proses menyesuaikan diri ini, ketika perusahaan milik negara (BUMN) berhadapan dengan perusahan lain (BUMD) yang mungkin lebih berkuasa, pemerintah selaku pemegang saham terbesar BUMN bisa jadi merasa berada dalam tekanan publik, sehingga pihak pemerintah akan berupaya lebih birokratis agar memenuhi tuntutan masyarakat. Dimana hal ini lebih mengarah kepada prestis sosial/ memunculkan citra positif bagi BUMN dan juga pemerintah itu sendiri. Namun, jika BUMN tidak berhasil meningkatkan prestis, maka citra pemerintah akan dinilai buruk di mata masyarakat.

  Kedua, mimetic isomorphism yaitu proses di mana organisasi meniru organisasi lain yang berhasil dalam satu bidang, meskipun organisasi peniru tidak tahu persis mengapa mereka meniru, bukan karena dorongan supaya lebih efisien. Menurut DiMagio dan Powell (1983), biasanya proses peniruan ini muncul di lingkungan yang tidak pasti. Sebagai contoh, manajemen perusahaan Jepang banyak ditiru oleh perusahaan dari negara lainnya karena dianggap berhasil.

  Ketiga, normative isomorphism sering diasosiasikan dengan profesionalisasi dan menangkap tekanan normatif yang muncul di bidang tertentu.

  Norma atau sesuatu yang tepat bagi organisasi berasal dari pendidikan formal dan sosialisasi pengetahuan formal itu di bidang tertentu yang menyokong dan menyebarkan kepercayaan normatif itu. Ketika profesionalisme meningkat maka meningkat juga tekanan normatif itu.

2.1.5 Nilai Perusahaan (Firm Value)

  Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham (Wahidawati, 2002). Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan terbuka yang sering dikaitkan dengan harga saham (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Harga saham yang tinggi mengindikasikan nilai perusahaan yang tinggi. Nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak hanya pada kinerja perusahaan saat ini namun juga prospek perusahaan di masa depan (Hardiyanti, 2012).

  Menurut Kurlelasari (2013) “Nilai Perusahaan didasarkan atas arus kas operasinya. Nilai perusahaan berarti nilai jual perusahaan atau nilai tambah bagi pemegang saham”. Dengan demikian ketika ingin memaksimumkan nilai perusahaan, berarti manajemen perlu memproyeksi arus kas perusahaan agar selalu sehat dari waktu ke waktu. Hal ini berarti nilai perusahaan dapat dilihat dari kesehatan arus kas operasionalnya dan harga yang pantas dibayar oleh pembeli apabila perusahaan dijual.

  Menurut Nurlela dan Islahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi keuntungan pemegang saham sehingga keadaan ini akan diminati oleh investor arena dengan permintaan saham yang meningkatkan menyebabkan nilai perusahaan juga akan meningkat. Nilai perusahaan dapat dicapai dengan maksimum jika para pemegang saham menyerahkan urusan pengelolaan perusahaan kepada orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya, seperti manajer maupun komisaris.

  Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan di masa lampau dan prospeknya di masa depan. Ada beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan, salah satunya Tobin’s Q. Kim dkk (1993) menuturkan bahwa rasio Q dapat dipakai untuk menilai monopoli perusahaan dan struktur pasar, dan juga untuk menilai kesempatan akuisisi. Rasio Tobin’s Q ini disebut sebagai salah satu alternatif jenis rasio yang menggunakan pendekatan harga pasar dengan nilai buku perusahaan (PBV ratio) seperti yang dikemukakan oleh Damodaran (1996: 334). Perbedaan yang jelas antara rasio Q dengan rasio PBV adalah rasio Q mendeskripsikan seluruh perusahaan (total hutang ditambah modal), bukan hanya dari sisi ekuitas saja seperti menghitung PBV (Pohan, 2005).

2.1.6 Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan)

   Menurut The World Business Council for Sustainable Develpoment

  (WBCSD), Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan didefenisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.

  Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility

(CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela

mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan

interaksinya dengan stockholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang

hukum (Saputri, 2011).

  Selain itu, menurut Ha’ashi (dalam Daft, 2007:213), Corporate Social

  

Responsibility adalah kewajiban manajemen untuk membuat pilihan dan

  mengambil tindakan yang akan memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan dan kepentingan masyarakat serta organisasi itu sendiri.

  Perkembangan CSR secara konseptual menurut Nurlela dan Islahuddin (2008) mulai dibahas sejak tahun 1980-an yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

  1. Maraknya fenomena take over antar korporasi yang kerap dipicu oleh keterampilan rekayasa financial.

  2. Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan semakin kokohnya imperium kapitalisme secara global.

  3. Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negara-negara berkembang sehingga semakin dituntutnya untuk memperhatikan hak azasi manusia, kondisi sosial, dan perlakuan yang adil.

  4. Globalisasi dan menciutnya peran sektor publik (pemerintah) hampir di seluruh dunia telah menyebabkan tumbuhnya LSM yang memusatkan perhatian mulai dari isu kemiskinan sampai pada kekhawatiran akan punahnya berbagai spesies baik hewan maupun tumbuhan sehingga ekosistem semakin labil.

  5. Adanya kesadaran dari perusahaan akan arti penting merk dan reputasi perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan.

  Serta menurut Deegan (2002), alasan yang mendorong praktek pengungkapan Corporate Social Responsibility antara lain:

  1. Mematuhi peraturan yang ada dalam Undang-undang 2.

  Pertimbangan rasionalitas ekonomi 3. Mematuhi pelaporan dan proses akuntabilitas 4. Mematuhi persyaratan peminjaman 5. Mematuhi harapan masyarakat 6. Konsekuensi ancaman atas legitimasi perusahaan 7. Mengelola kelompok stakeholder tertentu 8. Menarik dana investasi 9. Mematuhi persyaratan industri 10.

  Memenangkan penghargaan pelaporan Agustine (2014) menyatakan bahwa Corporate Social Responsibility merupakan suatu pengembangan konsep yang dikemukan oleh John Elkington pada tahun 1997, yaitu “The Triple Bottom Line”. Dalam konsep tersebut dinyatakan bahwa agar perusahaan dapat mempertahankan keberlangsungannya maka perlu memperhatikan 3P, yaitu tidak hanya profit, namun juga mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat (people) serta ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

  Menurut Supriatna (2013), terdapat 4 prinsip yang harus dipegang dalam melaksanakan Corporate Social Responsibility, yakni:

  1. Kesinambungan atau sustainability. Ini bukan berarti perusahaan akan terus-menerus memberikan bantuan kepada masyarakat. Tetapi, program yang dirancang harus memiliki dampak yang berkelanjutan.

  Corporate Social Responsibility berbeda dengan donasi bencana alam yang bersifat tidak terduga dan tidak dapat diprediksi.

  2. Corporate Social Responsibility merupakan program jangka panjang.

  Perusahaan harus menyadari bahwa sebuah bisnis dapat tumbuh karena dukungan atmosfer sosial dari lingkungan disekitarnya, karena itu,

  Corporate Social Responsibility yang dilakukan adalah wujud

  pemeliharaan relasi yang baik dengan masyarakat dan bukanlah aktivitas sesaat untuk mendongkrak popularitas atau mengejar profit.

  3. Corporate Social Responsibility akan berdampak positif kepada masyarakat, baik secara ekonomi, lingkungan, maupun sosial.

  Perusahaan yang melakukan Corporate Social Responsibility harus peduli dan mempertimbangkan sampai ke dampaknya.

  4. Dana yang diambil untuk Corporate Social Responsibility tidak dimasukkan ke dalam cost structure perusahaan sebagaimana budget untuk marketing yang pada akhirnya akan ditransformasikan ke harga jual produk. “Corporate Social Responsibility yang benar tidak membebani konsumen”. Indikator keberhasilan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu perusahaan dan masyarakat. Dari sisi perusahaan, citranya harus semakin baik di mata masyarakat. Sementara itu, dari sisi masyarakat, harus ada peningkatan kualitas hidup, karenanya, penting bagi perusahaan melakukan evaluasi untuk mengukur keberhasilan program Corporate Social Responsibility, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

  Metode yang sering dipergunakan dalam menilai Corporate Social

  Responsibility adalah metode konten analisis laporan tahunan perusahaan atau check list (Anggraini, 2011). Permanasari (2010) menyebutkan tema-tema yang

  termasuk dalam wacana Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial adalah:

  1. Kemasyarakatan Tema ini mencakup aktivitas kemasyarakatan yang diikuti oleh perusahaan, misalnya aktivitas yang terkait dengan kesehatan, pendidikan, dan seni serta pengungkapan aktivitas kemasyarakatan lainnya.

  2. Ketenagakerjaan Tema ini meliputi dampak aktivitas perusahaan pada orang-orang dalam perusahaan tersebut. Aktivitas tersebut meliput rekruitmen, program pelatihan, gaji dan tuntutan, mutasi dan promosi, dan lainnya.

  3. Produk dan Konsumen Tema ini melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa, antara lain pelayanan, kepuasan pelanggan, kejujuran dalam iklan, kejelasan/kelengkapan isi pada kemasan, dan lainnya.

  4. Lingkungan hidup Tema ini meliputi aspek lingkungan dari proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber daya alam.

2.1.7 Kepemilikan Institusional (Institutional Ownership)

  Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham oleh pihak-pihak yang berbentuk institusi seperti yayasan, bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dana pensiun, perusahaan berbentuk perseroan (PT), dan institusi lainnya. Institusi biasanya dapat menguasai mayoritas saham karena mereka sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya. Oleh karena menguasai saham mayoritas, maka pihak institusional dapat melakukan pengawasan terhadap kebijakan manajemen lebih kuat dibandingkan dengan pemegang saham lain (Kartika, 2013).

  Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.

  Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut penelitian Wening (2009) semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.

  Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:

  1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi.

  2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.

2.1.8 Kepemilikan Asing (Foreign Ownership)

  Kepemilikan asing adalah jumlah saham yang dimiliki oleh pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap saham perusahaan di Indonesia. Selama ini kepemilikan asing merupakan pihak yang dianggap peduli terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti diketahui, negara-negara di Eropa sangat memperhatikan isu sosial misalnya hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan lingkungan.Kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap Corporate Social Responsibility .

  Isu kepemilikan perusahaan lokal oleh perusahaan asing bukanlah hal yang baru lagi di dunia bisnis. Mekanisme pemantauan kepemilikan saham oleh pemegang saham asing adalah melalui merger atau dengan cara pengendalian terhadap pengambilan keputusan melalui votting power dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mempekerjakan atau menunjuk seseorang untuk mewakilinya di dalam dewan komisaris, serta membuat mekanisme pengawasan lain seperti pembentukan komite audit yang bertujuan untuk memastikan bahwa manajemen bekerja berdasarkan kepentingan para shareholders (Siregar dan Utama, 2006).

2.2 Penelitian Terdahulu

  1. Wien Ika Permanasari (2010) menguji pengaruh kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, dan Corporate Social

  Responsibility terhadap nilai perusahaan. Dalam penelitian ini yang

  menjadi variabel independen adalah kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, dan Corporate Social Responsibility.

  Sedangkan variabel dependennya adalah nilai perusahaan. Nilai perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan nilai Tobin’s Q.

  Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling terhadap perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2008. Sebanyak 68 perusahaan non keuangan digunakan sebagai sampel. Metode analisis dari penelitian ini menggunakan uji asumsi klasik dan regresi berganda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi nilai perusahaan adalah variabel

  Corporate Social Responsibility . Sedangkan variabel yang tidak

  mempengaruhi nilai perusahaan adalah kepemilikan manajemen dan kepemilikan institusional.

  2. Fachrur Dian dan Rika Lidyah (2014) menguji pengaruh Corporate

  Social Responsibility , kepemilikan manajerial, dan kepemilikan

  institusional terhadap nilai perusahaan. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah Corporate Social Responsibility, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional. Sedangkan variabel dependennya adalah nilai perusahaan. Nilai perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan nilai Tobin’s Q. Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling terhadap perusahaan tambang batu bara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010- 2012. Sebanyak 11 perusahaan tambang batu bara digunakan sebagai sampel. Metode analisis dari penelitian ini menggunakan uji asumsi klasik dan regresi berganda. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa

  Corporate Social Responsibility tidak berpengaruh terhadap nilai

  perusahaan, begitu juga kepemilikan manajerial yang berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan, sedangkan variabel kepemilikan institusional mempengaruhi nilai perusahaan.

  3. Komang Fridagustina Adnantara (2013) menguji pengaruh struktur kepemilikan saham dan Corporate Social Responsibility pada nilai perusahaan. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan publik, dan Corporate Social Responsibility. Sedangkan variabel dependennya adalah nilai perusahaan. Nilai perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan nilai Tobin’s Q. Pengumpulan data menggunakan metode

  

purposive sampling terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di

  Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2010. Sebanyak 47 perusahaan manufaktur digunakan sebagai sampel. Analisis metode penelitian ini menggunakan metode analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan institusional dan kepemilikan publik berpengaruh positif pada Corporate Social Responsibility, dan Corporate Social

Responsibility terbukti memiliki pengaruh positif pada nilai perusahaan.

  Dapat disimpulkan bahwa secara langsung struktur kepemilikan tidak berpengaruh pada nilai perusahaan, namun melalui Corporate Social

  Responsibility , kepemilikan institusional dan kepemilikan publik berpengaruh tidak langsung pada nilai perusahaan.

  4. Rika Nurlela dan Islahuddin (2008) menguji pengaruh Corporate Social

  

Responsibility terhadap nilai perusahaan dengan prosentase kepemilikan

  manajemen sebagai variabel moderating. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Corporate Social Responsibility dan variabel dependennya adalah nilai perusahaan. Serta terdapat variabel moderating yaitu adalah prosentase kepemilikan manajemen dan tipe industri. Nilai perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan nilai Tobin’s Q. Pengumpulan data menggunakan metode purposive

  

sampling terhadap perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa

  Efek Jakarta tahun 2005. Sebanyak 41 perusahaan non keuangan digunakan sebagai sampel. Analisis metode penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

  

Corporate Social Responsibility, prosentase kepemilikan manajemen,

  serta interaksi antara Corporate Social Responsibility dengan prosentase kepemilikan manajemen secara simultan bepengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan secara parsial hanya prosentase kepemilikan manajemen dan interaksi antara Corporate

  

Social Responsibility dengan prosentase kepemilikan manajemen yang

  berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan sedangkan variabel lain yang terdapat dalam penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

  5. Meryaty (2011) menguji pengaruh Corporate Governance terhadap nilai perusahaan. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Corporate Governance yang diproksikan ke dalam komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,, kepemilikan asing, dan kualitas auditor. Sedangkan variabel dependennya adalah nilai perusahaan. Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling terhadap perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009. Sebanyak 18 perusahaan digunakan sebagai sampel. Metode analisis dari penelitian ini menggunakan uji asumsi klasik dan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial seluruh variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu

  2 Dian dan Lidyah (2014)

  Corporate Social Responsibility dan

  Nilai Perusahaan

  Variabel Dependen:

  Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional

  Variabel Independen: Corporate Social Responsibility ,

  Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Tambang Batu Bara yang Terdaftar di BEI (2010- 2012)

  Corporate Social Responsibility ,

  Pengaruh

  memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan.

  No. Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

  Corporate Social Responsibility

  Nilai Perusahaan Kepemilikan manajemen dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, sedangkan

  Corporate Social Responsibility Variabel Dependen:

  Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional, dan

  Variabel Independen:

  terhadap Nilai Perusahaan (Perusahaan Non Keuangan yang Terdaftar di BEI tahun 2007-2008)

  Social Responsibility

  Pengaruh Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional, dan Corporate

  1 Permanasari (2010)

  kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, sedangkan kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

  3 Adnantara (2013)

  berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

  Corporate Social Responsibility

  Nilai Perusahaan

  Variabel Dependen:

  Kepemilikan Manajemen, Tipe Industri

  Variabel Independen: Corporate Social Responsibility Variabel Moderating:

  Terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating

  Corporate Social Responsibility

  Pengaruh

  4 Nurlela dan Islahuddin (2008)

  Corporate Social Responsibility

  Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham dan

  Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan kepemilikan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, dan

  Corporate Social Responsibility.

  kepemilikan institusional dan kepemilikan publik berpengaruh signifikan terhadap

  Corporate Social Responsibility ,

  Nilai Perusahaan Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap

  Responsibility Variabel Dependen:

  Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Publik, dan Corporate Social

  Variabel Independen:

  pada Nilai Perusahaan (Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI tahun 2008-2010)

  Corporate Social Responsibility

  tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, kepemilikan manajemen berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, serta interaksi antara

  (Perusahaan Corporate Social Non Keuangan Responsibility dan yang terdaftar prosentase di BEJ tahun kepemilikan 2005) manajemen tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

  5 Meryaty Pengaruh Variabel Corporate

  Corporate Independen: Governance ,

  (2011)

  Governance Corporate komisaris

  terhadap Nilai Governance , independen, Perusahaan Komisaris kepemilikan pada Independen, manajerial, Perusahaan Kepemilikan kepemilikan Perbankan di Manajerial, institusional,, BEI (2007- Kepemilikan kepemilikan 2009) Institusional,, asing, dan kualitas

  Kepemilikan Asing, auditor tidak dan Kualitas Auditor berpengaruh signifikan secara

  Variabel Dependen:

  parsial terhadap Nilai Perusahaan nilai perusahaan.

2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual adalah suatu hubungan atau kaitan yang mencerminkan hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya dari penelitian yang sedang diteliti.

  Corporate Social Responsibility

  H

  1

  (X )

1 Kepemilikan Nilai Perusahaan

  Institusional (Y)

  H

  2

  (X

  2 )

  Kepemilikan Asing H

  3

  (X

  3 )

  H

  

4

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan tersebut diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan bahwa solusi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi (Sekaran, 2009: 135).

  Dari kerangka konseptual, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: H

  

1 : Corporate Social Responsibility berpengaruh signifikan terhadap nilai

  perusahaan H

  

2 : Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap nilai

  perusahaan H

  3 : Kepemilikan asing berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan

  H

  

4 : Corporate Social Responsibility, kepemilikan institusional, dan

  kepemilikan asing berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Respon Masyarakat Kecamatan Pahae Julu Terhadap Kehadiran Pt. Sarulla Operation Limited (SOL) di Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 10

Respon Masyarakat Kecamatan Pahae Julu Terhadap Kehadiran Pt. Sarulla Operation Limited (SOL) di Kabupaten Tapanuli Utara

0 1 7

I. Identitas Responden - Pengaruh Diferensiasi Produk Dan Kepercayaan Merekterhadap Keputusan Pembelian Mobil Avanza Di Pt.Astrainternasionaltbk-Toyota Auto 2000 Medan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Diferensiasi - Pengaruh Diferensiasi Produk Dan Kepercayaan Merekterhadap Keputusan Pembelian Mobil Avanza Di Pt.Astrainternasionaltbk-Toyota Auto 2000 Medan

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Diferensiasi Produk Dan Kepercayaan Merekterhadap Keputusan Pembelian Mobil Avanza Di Pt.Astrainternasionaltbk-Toyota Auto 2000 Medan

0 0 8

Pengaruh Diferensiasi Produk Dan Kepercayaan Merekterhadap Keputusan Pembelian Mobil Avanza Di Pt.Astrainternasionaltbk-Toyota Auto 2000 Medan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Uraian Teoritis 2.1.1 Entreprenuerial Networking - Pengaruh Entrepreneurial Networking Dan Lingkungan Bisnis Eksternal Terhadap Kinerja Usaha Umkm

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Entrepreneurial Networking Dan Lingkungan Bisnis Eksternal Terhadap Kinerja Usaha Umkm

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Teori Pesinyalan (Signaling Theory) - Pengaruh Return On Asset (ROA) Dan Pertumbuhan Penjualan Terhadap Debt to Equity Ratio (DER) Pada Perusahaan Tekstil Yang Terdaftar Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 0 18

Tema Produk dan Konsumen

0 0 35