Hubungan pola konsumsi dan obesitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep Dasar Halusinasi

2.1.1.Pengertian Hipertensi

  Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal ( dunia luar ).Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Kusmawati 2010). Halusinasi adalah persepsi sensori yang keliru dan melibatkan panca indra ( isaacs,2002 ).

  Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi di mana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi ,suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang di alami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulasi eksteren : persepsi palsu (Maramis,2005).

  Halusinasi merupakan sensasi panca indra tanpa adanya rangsangan.klien merasa melihat,mendengar,membau,ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (izzudin,2005).

  Dari beberapa penelitian yang di kemukakan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indra terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.

2.1.2.Jenis Halusinasi

  1. halusinasi pengelihatan (visual,optik) : tak berbentuk (sinar.kilapan atau pola cahaya) atau berbentuk .

  2.Halusinasi Pendengaran (anditif,akustik) : Suara manusia,hewan atau mesin,barang,kejadianalamiah dan musik.

  3. Alusinasi penciuman (alfaktorik) : mencium sesuatu bau

  4. Halusinasi pengecap (gustatorik) : merasa/mengecap sesuatu

  5. Halusinasi peraba (taktil) : merasa di raba,disentuh,ditiup,disinari atau seperti ada ulat bergerak di bawah kulitnya.

  6. Halusinasi Kinestik : merasa badanya bergerak dalam sebuah ruang, atau’’phantom lim’’.

  7. Halusinasi Viscera : perasaan tertentu timbul di dalam tubuhnya .

  8. Halusinasi hipnagogik : terdapat adakalanya seseorang yang normal,tepat sebelum tidur persepsi sensorik bekerja salah.

  9.Halusinasi hipnopompik : seperti pada no 8 ,tetapi terjadi tepat sebelum terbangun sama sekali dari tidurnya.

  10.Halusinasi Isterik : timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional (maramis,2005).

  2.1.3.Etiologi Halusinasi

  Menurut Erlinafsiah (2010) ada dua faktor penyebab munculnya halusinasi, yaitu

  1. Faktor Predisposisi Biologis Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan syaraf-syaraf pusat dapat menimbulkan gangguan realita. Gangguan yang mungkin timbul adalah hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan muncul perilaku menarik diri.

  2. Psikologis Keluarga pengasuh yang tidak mendukung (broken home, overprotektif, dictator dan lainnya) serta lingkungan klien sangat mempengaruhi respon psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah: penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang kehidupan klien.

  3. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita: dimana terjadi kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, dan bencana alam) dan kehidupan terisolasi yang disertai stress.

  4. Faktor Presipitas: Faktor Presipitasi di kelompokan sebagai berikut : a. Stress Biologis Yaitu yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi. Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan melakukan secara selektif menanggapi rangsangan.

  b. Stres Lingkungan Secara biologis menetapkan ambang toleransi stress yang berinteraksi dengan

stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perila

2.1.4.Tahapan Halusinasi

  Halusinasi dapat dibagi menjadi beberapa tahapan (Dalami, et al, 2009), yaitu :

  Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan laraia ( 2005) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda yaitu :

  1. Fase I Comforting : klen mengalami klien mengalami perasaan

  mendalam seperti ansietas kesepian,rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Disini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai , menggerakan lidah tanpa suara , pergerakan suara yang cepat , diam dan asyik sendiri .

  2. Fase II Condemning : Pengalaman sensori menjijikan dan

  menakutkan . klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambilo jarak dirinya dengan dengan sumber yang dipersepsikan . Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital ( denyut jantung , pernapasan dan tekanan darah ) , asyik dengan pengalaman sesnsori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

  3. Fase III Controling : Klien berhenti menghentikan pengalaman

  perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain , berkeringan teremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain .

4. Fase IV Conquering : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika

  klien mengikuti perintah halusinasi . Di sini terjadi perilaku kekerasan ,agitasi,menarik diri,tidak mampu merespon terhadap perintah yang komples dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang . Kondisi klien sangat membahayakan . ( Stuart dan Laraia 2005 ).

2.1.5.Gejala Halusinasi Prilaku klien yang terkait dengan halsinasi adalah sebagai berikut.

  Menurut Videbeck ( 20008 ) .

  1. Type paranoid Ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau dimat-matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang-kadang keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan bermusuhan.

  2. Type tidak terorganisirDitandai dengan afek datar atau afek yang tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan disorganisasi perilaku yang ekstrim.

  3. Type katatonikDitandai dengan gangguan psikomotor yang nyata, baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktifitas motorik yang berlebihan, negativisme yang ekstrim, mutisme, gerakan volunter yang aneh, ekolalia atau ekopraksia. Imobilitas motorik dapat terlihat berupa katalepsi (flexibilitas cerea) atau stupor. Aktifitas motorik yag berlebihan terlihat tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus ekternal.

  4. Type tidak dapat dibedakan Ditandai dengan, gejala-gejala skizofrenia campuran (type lain) disertai gangguan pikiran, afek, dan prilaku.

  5. Type residual Ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia sebelumnya, tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek datar, serta sosiasi longggar,(Videbeck, 2008). Menurut Townsend, 2010 Sindrom yang berkaitan dengan skizofrenia dan gangguan psikotik lain menunjukan perubahan dalam isi dan organisasi pikiran, persepsi input sensori, afek atau irama emosi, rasa identitas, kemauan, prilaku psikomotor, dan kemampuan membina hubungan interpersonal yang memuaskan

2.2.Konsep Dukungan Keluarga

2.2.1.Pengertian Dukungan Keluarga

  Menurut Setiadi (2008) dalam bukunya yang berjudul “Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga” mendefinisikan keluarga adalah bagian dari masyarakat yang peranannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dukungan keluarga didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan secara emosional merasa lega.

  Dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam perkembangan penyembuhan halusinasi

seseorang, jika dukungan keluarga diberikan pada pasien halusinasi maka akan memotivasi

pasien tersebut untuk dapat mengontrol halusinasinya. Friedman (2012) berpendapat orang yang

hidup dalam lingkungan yang bersifat suportif, kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang

tidak memiliki lingkungan suportif. Dalam hal ini penting sekali bagi penderita halusinasi untuk

  

berada dalam lingkungan keluarga yang mendukung kesehatannya, sehingga penderita halusinasi

akan selalu terpantau kesehatannya.

  2.2.2.komponen Dukungan keluarga Cara untuk meningkatkan efektivitas keberadaan atau sumber potensial terdapatnya

dukungan dari keluarga yang menjadi prioritas penelitian. Keluarga cenderung terlibat dalam

pembuatan keputusan atau proses terapeutik dalam setiap tahap sehat dan sakit para anggota

keluarga yang sakit. Proses ini menjadikan seorang pasien mendapatkan pelayanan kesehatan

meliputi serangkaian keputusan dan peristiwa yang terlibat dalam interaksi antara sejumlah

orang, termasuk keluarga, teman-teman dan para profesional yang menyediakan jasa pelayanan

kesehatan. Setiadi (2008) mengelompokkan empat jenis dukungan yang meliputi :

  1.Dukungan Emosional

  2. Dukungan Penghargaan

  3.Dukungan Instrumental

  4.Dukungan Informasi

2.2.3.Peran Keluarga

  Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks

keluarga yang menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan, yang berhubungan

dengan individu (Setiadi, 2008). Dalam UU kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 5 menyebutkan

”Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan

perorangan, keluarga dan lingkungan”. Dari pasal di atas jelas bahwa keluarga berkewajiban

menciptakan dan memelihara kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan yang optimal.

  

Untuk itu dalam upaya mengontrol halusinasi pasien, peran keluarga sangatlah penting bagi pasien

untuk dapat meningkatkan kemampuannya mengontrol halusinasi. Dalam penelitian saya ini akan

2.3.Konsep Kemampuan Keluarga

2.3.1.Pengertian Kemampuan Keluarga

  Kemampuan Mengontrol Halu-sinasi Pasien Skizofrenia Sebelum Diberi Intervensi Pelaksanaan Teknik Mengontrol Halusinasi.Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive individual yang berbeda rentang respon neurobiologi (Stuart, 2005). mampu mengidentifisikan dan menginter-pretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengeca- pan dan perabaan) klien halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus tersebut tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalami jika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai stimulus yang diterimanya. Tingkat kemampuan Mengontrol Halusinasi pasien skizofrenia se-sudah diberi Intervensi Pelak-sanaan Teknik mengontrol Halusinasi. Berdasarkan tabel 1 Hasil pengukuran dan pengamatan peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi setelah diberi intervensi pelaksanaan teknik mengontrol Halusinasi hampir seluruhya meningkat yaitu 33% meningkat jadi baik dan (42%) meningkat menjadi cukup. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi adalah sikap respon klien terhadap halusinasi. kejujuran memberikan informasi. kepribadian klien. pengalaman dan kemampuan mengingat (Noviandi, 2008), sedangkan Menurut Kosegeren (2006), didapatkan hasil penelitian padapenerapan asuhan keperawatan menggunakan strategi pelaksanaan mengontrol halusinasi. Bahwa, terjadi peningkatan skor kemampuan klien mengontrol halusinasi pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi peningkatan skor kemampuan mengontrol halusinasi Peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien dipengaruhi oleh adanya pengetahuan pasien cara mengontrol halusinasi, mengenal jenis halusinasi, mengenal isi halusinasi, dan frekuensi terjadinya halusinasi, membuat pasien lebih kuat menghadapi halusinasi Dari intervensi pelaksanan mengontrol halusinasi yang diberikan mulai itu juga pasien lebih mempunyai mekanisme koping kuat, dengan menerapkan pelaksanaan mengontrol halusinasi terutama dalam SP2 dan SP3 mengajarkan pada klien untuk selalu beraktifitas dan bersosial, minimal dengan keluarga, yaitu melakukan aktifitas terjadwal dan bercakap-cakap dengan orang lain. Menurut pengamatan pada saat penelitian, pasien yang teratur dan patuh dalam minum obat, lebih cenderung mengurangi kekambuhan. Kepatuhan pasien halusinasi untuk meminum tersebut yang seharusnya menjadikan pekerjaan rumah tersendiri untuk pelayan Kesehatan, bagaimana cara yang paling tepat memanfaatkan pendamping minum obat yang bisa selalu mendampingi pasien. Ada Beberapa pasien dan keluarga yang sering berusaha melepaskan obatnya sendiri tanpa saran dari psikiaternya. Alasan itu karena ketakutan akan ketergantungan. Kejadian ini sering menimbulkan kekambuhan oleh karena itu pasien jiwa dengan halusinasi wajib menerapkan strategi pelaksanaan mengontrol halusinasi dimana pun berada.Pengaruh Intervensi Pelaksanaan Teknik Mengontrol Halusinasi Terhadap kemampuan mengontrol halusinasi Berdasarkan tabel 1 Berdasarkan uji statistik Wicoxon Signed Rank Test untuk mengetahui perbandingan tingkat kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan sesudah diberi perlakuan melalui intervensi Pelaksanaan Teknik Mengontrol Halusinasi di dapatkan hasil signifikan menunjukkan ρ = 0,002 < α = 0,05, sehingga H0 ditolak dan H1 diterima,

  Kemampuan Klien Skizofrenia Mengontrol Halusinasi Di Wilayah Kerja Puskesmas Putat Jaya Surabaya. Perbandingan pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberi perlakuan dapat dilihat mengontrol Halusinasi tingkat kemampuan mengontrol halusinasi sebagian besar responden berada dalam klasifikasi kurang.

  Sedangkan setelah diberi intervensi kemampuan mengontrol halusinasi responden sebagian besar mengalami peningkatan dan berada pada klasifikasi cukup dan baik.

  Tingkat kemandirian responden dalam kurun waktu 3 minggu meningkat setelah diberi intervensi pelaksanaan teknik mengontrol Halusinasi yang dapat menstimulasi mekanisme koping responden tersebut. pada gambar 4.4 sebelum diberikan intervensi Pelaksanaan teknik mengontrol Halusinasi tingkat kemampuan mengontrol halusinasi sebagian besar responden berada dalam klasifikasi kurang. Sedangkan setelah diberi intervensi kemampuan mengontrol halusinasi responden sebagian besar mengalami peningkatan dan berada pada klasifikasi cukup dan baik. Tingkat kemandirian responden dalam kurun waktu 3 minggu meningkat setelah diberi intervensi pelaksanaan teknik mengontrol Halusinasi yang dapat menstimulasi mekanisme koping responden tersebut.

  Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi adalah sikap respon klien terhadap halusinasi. kejujuran memberikan informasi. kepribadian klien. pengalaman dan kemampuan mengingat (Noviandi, 2008), Menurut Kosegeren (2006), didapatkan hasil penelitian pada penerapan asuhan keperawatan klien halusinasi. Bahwa, terjadi peningkatan skor kemampuan klien mengontrol halusinasi pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi peningkatan skor kemampuan mengontrol halusinasi. Sedangkan menurut (Notoatmojo, 2003) Pendidikan Kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditunjukan kepada perilaku agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. Hal ini menggambarkan bahwa masih rendahnya pendidikan pasien. Rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan menyulitkan seseorang untuk memahami masalah yang terjadi dan sulit menerima ilmu yang didapat. Ada Beberapa pasien dan keluarga yang sering berusaha melepaskan obatnya sendiri tanpa saran dari psikiaternya. Alasan itum karena ketakutan akan ketergantungan.kejadian ini sering menimbulkan kekambuhan oleh karena itu pasien jiwa dengan halusinasi wajib menerapkan strategi pelaksanaan mengontrol halusinasi dimana pun berada . Cara mengontrol halusinasi dan kemampuan mengonrol halusinasi setelah diberikan Strategi Pelaksanaan juga dipengaruhi karena telah lamanya responden menderita skizofrenia. Hal itu membuat pasien sudah mampu mengidentifikasi halusinasi dan cara mengontrolnya. Ditambah lagi perbedaan kemampuan cara mengontrol halusinasi juga karena pendidikan terakhir responden juga rendah. Dibutuhkan teknik mengontrol halusinasi kepada klien skizofrenia dengan halusinasi agar kepercayaan dirinya menjadi kuat dan kemampuan mengontrol halusinasi itu akan meningkat. Serta dorongan motivasi lingkungan dan keluarga yang paling penting untuk meningkatkan harga diri pasien.

2.4.Kerangka konsep

  2.4.1.Kerangka Konsep Penelitian

  Kerangka konseptual penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung. Agar dapat diukur, maka konsep tersebut harus dijabarkan kedalam variabel-variabel (Notoadmodjo, 2010). Kerangka konseptual bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan pasien mengontrol halusinasi.

  2.4.2.Skema Kerangka Konsep Penelitian

  Dukungan Keluarga

  1. Dukungan Emosional

  2. Dukungan Penghargaan

  Kemampuan Pasien

  3. Dukungan Instrumental

  Mengontrol Halusinasi

  4. Dukungan Informasi

2.5.Hipotesa

  Hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah : Ho : Tidak adanya hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasinya. Ha : Adanya hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi.