BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Limbah Industri - Analisis Pengolahan Limbah pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan Angin di Kabupaten Tapanuli Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Pengertian Limbah Industri

  Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis (Kristanto, 2013). Menurut Palar (2004), limbah industri adalah semua jenis bahan sisa atau bahan buangan yang berasal dari hasil samping suatu proses perindustrian. Limbah industri dapat menjadi limbah yang sangat berbahaya bagi lingkungan hidup dan manusia.

  2.2 Klasifikasi Limbah Industri

  Menurut Setiawan (2015), berdasarkan dari wujud limbah yang dihasilkan, limbah dibagi menjadi tiga yaitu limbah padat, limbah cair dan gas.Limbah yang dihasilkan dari proses atau kegiatan industri antara lain:

  1. Limbah padat Limbah padat industri menurut Kristanto (2013) secara garis besar diklasifikasikan menjadi limbah padat yang mudah terbakar, limbah padat yang tidak mudah terbakar, limbah padat yang mudah membusuk, debu, lumpur, dan limbah yang dapat di daur ulang.PLTU menghasilkan sisa pembakaran berupa limbah padat abu dasar (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) (Lestiani, dkk, 2010). Adapun kategori untuk limbah padat pada industri adalah :

  a. Limbah padat non B3 (bahan berbahaya dan beracun) diantaranya lumpur,

  

boiler ash , sampah kantor, sampah rumah tangga, spare part alat berat, sarung tangan, dan sebagainya.

  b. Limbah padat B3 (bahan berbahaya dan beracun) diantaranya bahan radioaktif, bahan kimia, toner catridge, minyak, dan sebagainya (Marbun, 2008).

  Menurut PP No. 18 tahun 1999, limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Limbah yang termasuk sebagai limbah B3 apabila memiliki a. mudah meledak b. mudah terbakar c. bersifat reaktif d. beracun e. menyebabkan infeksi dan f. bersifat korosif

  2. Limbah cair Limbah cair adalah limbah yang berwujud cair. Limbah cair terlarut dalam air, selalu berpindah, dan tidak pernah diam. Contoh limbah cair industri adalah bahan kimia, hasil pelarut, air bekas produksi, oli bekas, dll (Setiawan, 2015). Limbah cair yang dihasilkan dalam kegiatan operasi PLTU batubara dapat diketagorikan sebagai limbah domestik, air larian permukaan, limbah cair proses operasi, sisa atau bekas minyak berupa oli bekas dan ceceran minyak (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, 2007).

  3. Limbah gas Limbah gas adalah limbah zat (zat buangan) yang berwujud gas (Setiawan,

  2015). Kondisi udara di dalam atmosfer tidak pernah ditemukan dalam keadaan bersih, melainkan sudah tercampur dengan gas-gas lain dan partikulat-partikulat yang tidak kita perlukan. (Sumantri, 2013). Jenis bahan pencemar yang paling sering dijumpai ialah karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO

  2 ), sulfur

  dioksida (SO

  2 ), komponen organik terutama hidrokarbon, dan substansi partikel (Darmono, 2001).

  industri yang menjadi sumber pencemaran udara (Kristanto, 2013) yaitu : industri besi dan baja, industri semen, industri kendaraan bermotor, industri pupuk, industri aluminium, industri pembangkit tenaga listrik, industri kertas, industri kilang minyak, dan industri pertambangan.

2.3 Defenisi Pembangkit Litrik Tenaga Uap (PLTU)

  Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah pembangkit yang mengandalkan energi dari uap untuk menghasilkan energi listrik. Pembangkit listrik ini menggunakan bahan bakar batubara, minyak atau gas sebagai sumber energi primer (Marsudi, 2005).

  Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), merupakan salah satu andalan pembangkit tenaga listrik yang merupakan jantung untuk kegiatan industri. Salah satu bahan bakar yang digunakan adalah batubara. Konsep dasar dari PLTU batubara ini adalah batubara sebagai bahan bakar utama harus disediakan dengan kualifikasi tertentu untuk jangka waktu lama (Sukandarrumidi, 2006).

  Prinsip kerja PLTU batubara secara umum adalah sebagai berikut (Nursyahid, 2013):

  

Gambar 1. Prinsip Kerja PLTU

  Keterangan gambar :

  1. Cooling tower

  15. Penampung batubara

  2. Cooling water pump

  16. Pemecah batubara

  3. Transimission line 3 phase

  17. Tabung Boiler

  4. Transformer 3-phase

  18. Penampung abu batubara

  5. Generator Listrik 3-phase

  19. Pemanas

  6. Low pressure turbine

  20. Forced draught fan

  7. Boiler feed pump

  21. Preheater

  8. Condenser 22. combustion air intake

  9. Intermediate pressure turbine

  23. Economizer

  10. Steam governor valve

  24. Air preheater

  11. High pressure turbine

  25. Precipitator

  12. Deaerator

  26. Induced air fan

  13. Feed heater

  27. Cerobong

  14. Conveyor batubara

  Prinsip kerja :

  1. Batubara dari luar dialirkan ke penampung batubara dengan conveyor(14) kemudian dihancurkan dengan thepulverized fuel mill(16) sehingga menjadi tepung batubara.

  2. Kemudian batubara halus tersebut dicampur dengan udara panas(24) oleh

  forced draught fan (20) sehingga menjadi campuran udara panas dan bahan bakar (batu bara).

  3. Dengan tekanan yang tinggi, campuran udara panas dan batu bara disemprotkan kedalam boiler sehingga akan terbakar dengan cepat seperti semburan api. tersebut akan dimasak dan menjadi uap, dan uap tersebut dialirkan ke tabung boiler(17) untuk memisahkan uap dari air yang terbawa.

  5. Selanjutnya uap dialirkan ke superheater(19) untuk melipatgandakan suhu dan tekanan uap hingga mencapai suhu 570°C dan tekanan sekitar 200 bar yang meyebabkan pipa ikut berpijar merah.

  6. Uap dengan tekanan dan suhu yang tinggi ini, menjadi sumber tenaga turbin tekanan tinggi(11) yang merupakan turbin tingkat pertama dari 3 tingkatan.

  7. Untuk mengatur turbin agar mencapai set point, kita dapat menyeting steam (10) secara manual maupun otomatis.

  governor valve

  8. Suhu dan tekanan uap yang keluar dari turbin tekanan tinggi (11) akan sangat berkurang drastis, untuk itu uap ini dialirkan kembali ke boiler reheater (21) untuk meningkatkan suhu dan tekanannya kembali.

  9. Uap yang sudah dipanaskan kembali tersebut digunakan sebagai penggerak turbin tingkat kedua atau disebut turbin tekanan sedang (9), dan keluarannya langsung digunakan untuk menggerakkan turbin tingkat 3 atau turbin tekanan rendah (6).

  10. Uap keluaran dari turbin tingkat 3 mempunyai suhu sedikit diatas titik didih, sehingga perlu dialirkan ke condensor(8) agar menjadi air untuk dimasak ulang.

  11. Air tersebut kemudian dialirkan melalui deaerator (12) oleh feed pump (7) untuk dimasak ulang. Awalnya dipanaskan di feed heater (13) yang panasnya bersumber dari high pressureset, kemudian ke economizer (23) sebelum

  12. Air pendingin dari condensor akan disemprotkan kedalam cooling tower (1) , dan inilah yang meyebabkan timbulnya asap air pada cooling tower. kemudian air yang sudah agak dingin dipompa balik ke condensor sebagai air pendingin ulang.

  13. Ketiga turbin di gabung dengan shaft yang sama dengan generator 3

  phase (5). Generator ini kemudian membangkitkan listrik tegangan menengah (20-25kV).

  14. Dengan menggunakan transformer 3phase(4) , tegangan dinaikkan menjadi tegangan tinggi berkisar 250-500 kV yang kemudian dialirkan ke sistem transmisi 3 phase.

  15. Sedangkan gas buang dari boiler diisap oleh kipas pengisap(26) agar melewati electrostatic precipitator(25) untuk mengurangi polusi dan kemudian gas yang sudah disaring akan dibuang melalui cerobong(27).

2.4 Limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

  Batubara dan minyak merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan tenaga listrik. Banyak keuntungan yang diperoleh dari penggunaan bahan bakar tersebut, yaitu biayanya relatif murah dan mudah didapatkan karena produknya berlimpah. Di lain pihak, batubara ini dapat menimbulkan masalah serius dalam lingkungan (Darmono, 2001).

2.4.1 Limbah Padat PLTU

  Sumber limbah padat yang dihasilkan dari pengoperasian PLTU batubara Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (2007) : a. selama penampungan dan pemindahan batubara menghasilkan debu batubara, b. sisa pembakaran batubara yang terbawa bersama-sama gas buang menghasilkan abu terbang (fly ash), c. sisa pembakaran batubara yang terakumulasi di bawah tungku pembakaran, menghasilkan abu dasar (bottom ash),

  d. di dasar kolam pengendapan, air larian permukaan, lapangan penumpukan

  batubara, dan kolam instalasi pengolahan air limbah lainnya terkumpul endapan lumpur (sludge).

  2.4.1.2 Karakteristrik Limbah Padat

  PLTU berbahan bakar batubara biasanya menghasilkan limbah padat dalam bentuk abu. Abu batubara yang merupakan limbah dari proses pembangkit tenaga listrik tersebut dapat berupa abu terbang, abu dasar dan lumpur flue gas

  

desulfurization (Samijo, 2010). Limbah B3 yang dihasilkan oleh pembangkit

  antara lain : fly ash, bottom ash, sludge cake (lumpur dari IPAL), oli bekas , bahan terkontaminasi, glasswool, serta limbah laboratorium yang berupa botol kemasan bahan kimia dan bahan kimia kadaluwarsa (Sprint Consultan, 2014).

  Jumlah abu batubara yang dihasilkan per hari dapat mencapai 500 - 1000 ton (Samijo, 2010). Partikulat debu melayang (fly ash) merupakan campuran yang dengan diameter yang sangat kecil, mulai dari < 1 mikron sampai dengan maksimal 500 mikron. Partikulat debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara dan masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan (Pasaribu, 2010).

  2.4.1.3 Pengolahan Limbah Padat

  Pengolahan limbah padat dapat dilakukan melalui proses sebagai berikut: 1. Pemisahan

  Pemisahan perlu dilakukan karena dalam limbah terdapat berbagai ukuran dan kandungan bahan tertentu. Proses pemisahan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

  a. Sistem Balistik : pemisahan cara ini dilakukan untuk mendapatkan ukuran yang lebih seragam, misalnya atas berat dan volumenya. b. Sistem Gravitasi : pemisahan dilakukan berdasarkan gaya beratnya, misalnya terhadap bahan yang terapung dan bahan yang tenggelam dalam air yang karena gravitasi akan mengendap.

  c. Sistem Magnetis : bahan yang bersifat magnetis akan menempel pada magnet yang terdapat pada peralatan sedangkan yang tidak mempunyai akan langsung terpisah.

  2. Penyusutan Ukuran Ukuran bahan diperkecil untuk mendapatkan ukuran yang lebih homogen sehingga mempermudah pemberian perlakuan terhadap pengolahan berikutnya, dengan maksud antara lain :

  Ukuran bahan menjadi lebih kecil b. Volume bahan lebih kecil c. Berat dan volume bahan lebih kecil 3. Pengomposan, bahan kimia yang terdapat di dalam limbah diuraikan secara biokoimia.

  4. Pembuangan limbah.

  Limbah dapat dibuang di laut maupun di darat (sanitary landfill). Pembuangan ke laut harus memperhatikan pemanfaatan laut oleh masyarakat di sekitar tempat pembuangan juga memperhatikan kedalaman laut. Hendaknya lokasi yang ditetapkan adalah lokasi yang benar-benar tidak ekonomis (non- ekonomis) untuk kepentingan apapun (Kristanto, 2013).

  Limbah padat yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, diperlukan cara pengolahan yang lebih spesifik (Mulia, 2005). Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal dengan mengoperasikan insinerator dengan speksifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumalah limbah B3 yang diolah, dapat memenuhi efisiensi pembakaran minimal 99,99% dan efisiensi penghancuran dan penghilangan.

  Hirarki pengelolaan limbah B3 dimaksudkan agar limbah B3 yang dihasilkan masing-masing unit produksi sesedikit mungkin dan bahkan diusahakan sampai nol, dengan mengupayakan reduksi pada sumber dengan pengolahan bahan, subtitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan digunakannya teknologi bersih. Bilamana masih menghasilkan limbah B3 maka diupayakan pemanfaatan limbah B3 (PP RI No. 18 tahun 1999).

  1. Tata cara penyimpanan kemasan limbah B3 : a.

  Penyimpanan kemasan harus dibuat dengan sistem blok.

  Setiap blok terdiri atas 2 (dua) x 2 (dua) kemasan, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap setiap kemasan sehingga jika terdapat kerusakan kecelakaan dapat segera ditangani.

  b.

  Lebar gang antar blok harus memenuhi persyaratan peruntukannya.

  Lebar gang untuk lalu lintas manusia minimal 60 cm dan lebar gang untuk lalu lintas kendaraan pengangkut (forklift) disesuaikan dengan kelayakan pengoperasiannya.

  c.

  Penumpukan kemasan limbah B3 harus mempertimbangkan kestabilan tumpukan kemasan. Jika kemasan berupa drum logam (isi 200 liter), maka tumpukan maksimum adalah 3 (tiga) lapis dengan tiap lapis dialasi palet (setiap palet mengalasi 4 drum). Jika tumpukan lebih dan 3 (tiga) lapis atau kemasan terbuat dari plastik, maka harus dipergunakan rak.

  d.

  Jarak tumpukan kemasan tertinggi dan jarak blok kemasan terluar terhadap atap dan dinding bangunan penyimpanan tidak boleh kurang dari 1 (satu) meter.

  e.

  Kemasan-kemasan berisi limbah B3 yang tidak saling cocok harus disimpan secara terpisah, tidak dalam satu blok, dan tidak dalam bagian penyimpanan yang sama. Penempatan kemasan harus dengan syarat bahwa tidak ada kemungkinan bagi limbah-limbah yang tersebut jika terguling/tumpah akan tercampur/masuk ke dalam bak penampungan bagian penyimpanan lain.

  a. memiliki rancang bangun dan luas ruang penyimpanan yang sesuai dengan jenis, karakteristik dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan/akan disimpan; b. terlindung dari masuknya air hujan baik secara langsung maupun tidak langsung; c. dibuat tanpa plafon dan memiliki sistem ventilasi udara yang memadai untuk mencegah terjadinya akumulasi gas di dalam ruang penyimpanan, serta memasang kasa atau bahan lain untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya ke dalam ruang penyimpanan; d. memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yangmemadai untuk operasional penggudangan atau inspeksirutin. Jika menggunakan lampu, maka lampu peneranganharus dipasang minimal 1 meter di atas kemasan dengansakelar (stop contact) harus terpasang di sisi luar bangunan; e. dilengkapi dengan sistem penangkal petir; f. pada bagian luar tempat penyimpanan diberi penandaan (simbol) sesuai dengan tata cara yang berlaku.

  3. Persyaratan Lokasi Pengumpulan Limbah B3

  a. Luas tanah termasuk untuk bangunan penyimpanan dan fasilitas lainnya sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar; b. Area secara geologis merupakan daerah bebas banjir tahunan; c. Lokasi harus cukup jauh dari fasilitas umum dan ekosistem tertentu.

  Jarak terdekat yang diperkenankan adalah:  150 meter dari jalan utama atau jalan tol; 50 meter dari jalan lainnya;  300 meter dari fasilitas umum seperti daerah pemukiman, perdagangan, rumah sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial, hotel, restoran, fasilitas keagamaan, fasilitas pendidikan, dll.  300 meter dari perairan seperti garis pasang tertinggi laut, badan sungai, daerah pasang surut, kolam, danau, rawa, mata air, sumur penduduk, dll.

   300 meter dari daerah yang dilindungi seperti cagar alam, hutan lindung, kawasan suaka, dll (Keputusan Kepala Bapedal No. 1 tahun 1995).

2.4.1.5 Dampak Limbah Padat

  1. Terhadap lingkungan

  a. Dampak menguntungkan Limbah batubara mempunyai potensi untuk dimanfaatkan salah satunya sebagai sumber beberapa hara mikro pada tanah ampas (Lestiani, dkk 2010).

b. Dampak merugikan Partikel debu dengan diameter > 10 μm biasanya jatuh ke permukaan tanah.

  Peningkatan kadar debu terbang (fly ash) diperkirakan dapat mengganggu/ menurunkan produktifitas usaha perkebunan yang terdapat di sekitar lokasi proyek (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, 2007).

  2. Terhadap manusia

  a. Dampak menguntungkan Abu dari PLTU yang tertampung dapat dijual untuk kebutuhan di pabrik semen atau pada pembuatan paving block (Iswan, 2010).

  b. Dampak merugikan (As) dan kromium (Cr) pada dan berpotensi besar menjadi masalah lingkungan (Lestiani, dkk , 2010). Arsen adalah racun yang bekerja dalam protoplasma sel secara umum. Sekitar 90% arsen yang diabsorbsi di dalam tubuh tersimpan dalam hati, ginjal, dinding saluran pencernaan, limfa, dan paru (Darmono, 2001).

2.4.2 Limbah Cair PLTU

2.4.2.1 Sumber Limbah Cair

  Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan air dalam proses produksinya. Di samping itu ada, pula bahan baku yang mengandung air sehingga dalam proses pengolahannya, air tersebut harus dibuang (Kristanto, 2013).

  Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2009, air limbah dari usaha dan/atau kegiatan pembangkit listrik tenaga termal bersumber dari: proses utama, kegiatan pendukung dan kegiatan lain yang menghasilkan oily

  water. Proses utama adalah proses yang menghasilkan air limbah yang bersurnber

  dari proses pencucian (dengan atau tanpa bahan kimia) dari semua peralatan logam, blowdown cooling tower, blowdown boiler, laboratorium, dan regenerasi resin water treatment plant. Kegiatan pendukung meliputi kegiatan fasilitas air pendingin, kegiatan fasilitas desalinasi, kegiatan fasilitas stockpile batu bara, dan kegiatan air buangan dari fasilitas flue gas desulphurization (FGD) sistem seawater scrubber.

  Air buangan dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel, baik yang larut maupun mengendap. Kerap kali air buangan pabrik berwarna keruh dan bersuhu tinggi. Air limbah yang tercemar mempunyai ciri yang dapat diidentifikasi secara visual lewat kekeruhan, warna, rasa, bau, yang ditimbulkan dan indikasi lainnya. Secara laboratorium, limbah cair ditandai dengan peruabahan sifat kimia air, dimana air telah mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam konsentrasi yang telah melampauhi batas Kristanto (2013).

  Limbah cair yang dihasilkan dalam kegiatan operasi PLTU batubara menurut Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (2007) dapat diketagorikan sebagai limbah domestik, air larian permukaan, limbah cair proses operasi, sisa atau bekas minyak (oli bekas, ceceran minyak). Limbah cair tersebut secara umum tergolongzat pencemar dengan kriteria yang bersifat fisika dan kimia (termasuk kandungan unsur logam dan minyak).

2.4.2.3 Parameter Limbah Cair

  Menurut Sumantri (2013), dalam air limbah terdapat beberapa parameter yang perlu untuk diketahui. Beberapa parameter ini diantaranya :

  1. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

  

Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya oksigen dalam ppm

  atau miligram/liter (mg/L) yang diperlukan untuk menguraikan benda organik

  o

  oleh bakteri pada suhu 20 C selama 5 hari. Biasanya hanya dalam waktu 5

  2. Chemical Oxygen Demand (COD)

  Chemical Oxygen Demand (COD) menggambarkan jumlah total oksigen

  yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegredable) maupun yang sukar didekomposisi secara biologis (nonbiodegredable). Oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi air sampel.

  3. Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen) Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen) adalah banyaknya oksigen yang terkandung di dalam air dan diukur dalam satuan mg/L. Semakin besar oksigen terlarut, maka menunjukkan derajat pengotoran semakin kecil.

  4. Kesadahan

  Kesadahan adalah gambaran kation logam divelansi (valensi 2) yang terdapat dalam air. Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun membentuk endapan (presipitas) maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam.

  5. Seattleable Solid Adalah lumpur yang mengendap degan sendirinya pada kondisi yang tenang selama satu jam secara gaya beratnya sendiri.

  6. TSS ( Total Suspended Solid) Adalah jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang di dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron. koloid. Selain suspended solid ada juga istilah dissolved solid (padatan terlarut).

  7. MLSS (Mixed Liquor Suspendid Solid) MLSS adalah jumlah TSS yang berasal dari pengendap lumpur aktif setelah

  o o

  dipanaskan pada suhu 103 - 105 C.

  8. MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspendid Solid) MLVSS adalah kandungan organicmatter yang terdapat dalam MLSS.

  o

  Didapat dari pemanasan MLSS pada suhu 600

  C. Benda volatile menguap disebut MLVSS.

  9. Kekeruhan (Turbidy)

  Kekeruhan adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air. Kekeruhan ini disebabkan oleh adanya benda tercampur atau benda koloid dalam air.

2.4.2.4 Pengolahan Limbah Cair

  Mulia (2005), pengolahan air limbah dapat dilakukan secara alamiah maupun peralatan. Pengolahan air limbah secara alamiah biasanya dilakukan dengan bantuan kolam stabilisasi. Pengolahan air limbah dengan bantuan peralatan biasanya dilakukan pada instalasi pengolahan air limbah/IPAL (Waste

  Water Treatment Plant/ WWTP).

  Berdasarkan karakteristik dari limbah, proses proses pengolahan dapat (Kristanto, 2013) :

  1. Proses fisika Perlakuan terhadap air limbah dengan cara fisika adalah proses pengolahan secara mekanis dengan atau tanpa penambahan bahan kimia. Proses tersebut diantaranya adalah : a. Penyaringan, agar padatan yang larut dan bahan kasar lainnya terpisah.

  b. Penghancuran, agar padatan yang larut menjadi butir yang lebih kecil dan seragam.

  c. Perataan air, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perataan aliran dengan mengubah sistem saluran dan dengan membuat kolam. Tujuan daripada kedua cara ini adalah agar terdapat keseragaman aliran pada saat terjadi percampuran dengan bahan kimia, sehingga memudahkan pengolahan lanjut. d. Penggumpalan Partikel yang tak larut di dalam air akan terapung di atas permukaan air atau membentuk endapan di dasar wadah. Penambahan zat kimia tertentu membuat partikel ini akan beraksi membentuk suatu gumpalan sehingga dimensi partikel menjadi lebih besar dan karena pengaruh gravitasi maka partikel tersebut akan mengendap. Bahan kimia yang digunakan untuk penggumpalan, misalnya aluminum sulfat atau ferro sulfat. Untuk mempercepat reaksi pada umumnya diguankan bantuan pengaduk yang kecepatannnya dapat diatur.

  e. Sedimentasi, untuk mengendapkan bahan lain yang tidak ikut bereaksi.

  f. Pengapungan udara ke dalam air tujuannya agar bahan-bahan lemak dan minhyak dengan cepat naik ke permukaan air. Pemasukan udara ke dalam air akan menciptakan gelembung-gelembung yang melekat pada suatu partikel dan dibawa naik ke permukaan air.

  g. Filtrasi Merupakan proses penyaringan padatan halus yang tidak mengendap walaupun sudah ditambah bahan kimia. Penyaringan ini menggunakan media seperti pasir, kerikil dan karbon aktif.

  2. Proses Kimia a. Pengendapan dengan bahan kimia.

  Bahan pencemar yang dapat dikurangi atau dihilangkan adalah :

  • fosfat terlarut dapat direduksi jika konsentrasinya kurang dari 1 mg/l dengan bahan aluminium feri sulfat.
  • Beberapa kalsium, magnesium, silica dapat dihilangkan dengan NaOH.
  • Beberapa logam berat dapat dihilangkan dengan kapur (lime)
  • Pengurangan bakteri virus dapat dicapai dengan kapur pada kondisi pH 10,5-11,5 dengan cara penggumpalan dan sedimentasi.

  b. Proses dengan lagon Lagon atau kolam sering diguakan sebagai reactor biological. Lagon dilengkapi dengan peralatan aerasi baik secara alamiah, atau memberikan udara dengan menggunakan kompresor jika dalam kolam tumbuh algae.

  Air limbah yang terdapat dalam kondisi asam atau basa membutuhkan netralisasi sebelum dan sesudah perlakuan (treatment).

  d. Sedimentasi Proses ini menggunakan bantuan koagulan (zat pengendap). Tujuan utama proses sedimentasi melalui proses kimia adalah untuk menghilangkan padatan tersuspensi.

  e. Oksisdasi dan reduksi

  f. Klorinasi

  g. Oksidasi phenol dan sulfur

  3. Proses bilogi a. Pengolahan cara anaerob, melalui reactor aerobik yang berfungsi untuk mengubah bahan organik menjadi air dan karbon dioksida dalam keadaan tersedia oksigen.

  b. Pengolahan cara anaerob, mengubah bahan organik dalam limbah cair tanpa ada oksigen.

  4. Proses fisika-kimia-biologi Ada diantara bahan-bahan yang tidak dapat dihilangkan atau diendapkan dengan penambahan basa atau asam. Karena itu gabungan proses kimia-fisika- biologi amat dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi peralatan pengolahan. bahan kimia tambahan untuk mengikat bahan pencemar kimia anorganik. Proses fisika menekankan pengolahan pada unsur fisik bahan pencemar, misalnya ukuran bahan yang terlalu kasar dan padat, bannyaknya minyak yang bercampur.

  5. Pengolahan lanjut Seringkali proses pengolahan limbah pada proses fisika-kimia-biologi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Proses lanjutan ini terdiri dari beberapa pilihan proses, yaitu : stripping udara, karbon aktif, absorbsi, dan regenerasi.

  Upaya pengolahan limbah cair PLTU yaitu dengan waste water treatment (WWTP). WWTP dirancang dan dibangun untuk menampung, memproses

  plant

  serta membuang limbah cair yang dihasilkan oleh pabrik pembangkit saat beroperasi, termasuk luapan air limpasan dari areal penyimpanan batubara. Proses pengolahan diantaranya berlangsung melalui tahapan penambahan zat koagulan dilanjutkan pengadukan secara cepat, pengadukan lambat dan pengendapan, penyaringan, serta penyesuaian akhir kadar pH (Sprint Consultant, 2014).

2.4.2.5 Dampak Limbah Cair

  1. Terhadap lingkungan Pengoperasian PLTU juga akan menghasilkan bahan buangan (limbah) cair yang jika tidak sempurna proses pengolahannya akan dapat mencemari badan air penerima. Jika limbah cair yang dibuang ke lingkungan sekitar tersebut tanpa proses pengolahan terlebih dahulu diperkirakan akan dapat menyebabkan penurunan kualitas air yang akan berdampak langsung pada penurunan kepadatan dan kelimpahan, serta perubahan komposisi jenis biota akuatik.

  Kegiatan pemeliharaan dan pengecekan sistem kerja peralatan PLTU dilakukan terhadap: boiler dan bag house (akan menghasilkan logam teroksidasi), peralatan balance of plant (akan menghasilkan logam dan ceceran oli), kolam penampung lindi, batubara dan oil water separator (akan menghasilkan padatan tersuspensi, logam dan ceceran oli). Hasil pemeliharaan peralatan ini apabila tidak terkelola dengan baik potensial untuk masuk ke dalam aliran air ke sungai sehingga meningkatkan kadar COD, padatan tersuspensi, minyak, dan logam berat di perairan umum (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, 2007).

  Menurut Darmono (2001), minyak yang mencemari daratan dan terbawa arus air hujan atau air sungai dapat mencemari daerah panai dan berdampak serius terhadap sistem perekonomiann daerah sekitar pantai. Aktivitas para nelayan dan industri pariwisata akan sangat terganggu.

2.4.3 Limbah Gas PLTU

  2.4.3.1 Sumber Limbah Gas

  Menurut Kristanto (2013), pada dasarnya limbah gas industri bersumber dari penggunaan bahan baku, proses dan sisa-sisa pembakaran. Limbah yang terjadi disebabkan karena reaksi kimia, kebocoran gas, penghancuran bahan- bahan, dan lain-lain. Pengoperasian PLTU yang membakar sejumlah batubara akan menghasilkan emisi yang dikeluarkan dari cerobong (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, 2007).

  2.4.3.2 Komposisi Limbah Gas

  Pembakaran batubara akan menghasilkan sejumlah polutan berupa gas dan MW, prediksi jumlah abu yang dihasilkan sebanyak 358.298,61 mg/detik. 10% akan mengendap di tungku pembakaran berupa abu dasar (bottom ash) dan sisanya berupa abu terbang (fly ash) yang diemisikan melalui cerobong ke udara bebas (udara ambien).

  Pembakaran batubara juga menghasilkan CO

  2 yang berperan dalam proses

  pemanasan global (Megasari, dkk, 2008). Apabila proses pembakaran batubara berlangsung tidak sempurna, akan timbul gas CO (Sukandarrrumidi, 2006).

  2.4.3.3 Parameter Limbah Gas

  Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2008, parameter emisi yang diukur pada sumber tidak bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan pembangkit tenaga listrik termal meliputi SO

  2 , NO 2 , tota

  3

  lpartikulat, dan opasitas dengan baku mutu SO

  2 adalah 750 mg/Nm , NO 2 adalah

  3

  3 750 mg/Nm , total partikulat adalah 100 mg/Nm dan opasitas 20 %.

2.4.3.4 Pengolahan Limbah Gas

  1. SO x Teknologi (Flue Gas Desulfurization ) FGD digunakan untuk mengurangi emisi SO

  2 yang dapat mencemari air hujan menjadi hujan asam. Ada dua tipe

  FGD yaitu FGD basah (Wet Limestone Scrubbing) dan FGD kering (Dry

  Limestone Scrubbing ). Pada FGD basah, campuran air dan gamping (batu kapur)

  disemprotkan dalam gas buang. Cara ini dapat mengurangi emisi SO

  2 sampai 70-

  95 %. Kalsium karbonat (CaCO ) dalam batu kapur diubah terlebih dahulu

3 CaSO3 membentuk senyawa baru yaitu kalsium sulfat (CaSO 4 ) atau gypsum.

  FGD kering menggunakan campuran air dan batu kapur atau gamping yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar. Cara ini dapat mengurangi emisi SO

  2 sampai

  70-97 %. FGD kering menghasilkan produk sampingan gypsum yang bercampur dengan limbah lainnya (Sugiono, 2000).

  2. NO x Penelitian dan pengembangan untuk melakukan kendali terhadap pencemaran NO x terutama ditujukan pada dua model kendali, yaitu : a. Modifikasi pembakaran dengan menurunkan jumlah NO yang dihasilkan

  x

  b. Menghilangkan NO x dari gas buang Semakin tinggi suhu pemabakaran, semakin banyak NO x dihasilkan. Rasio udara-bahan bakar yang lebih tinggi (kelebihan udara) akan menghasilkan NO

  x lebih sedikit, tetapi kelebihan udara pada konsentrasi tertentu akan mengencerkan gas-gas pembakaran sehingga menghasilkan suhu pembakaran yang lebih rendah, dan akibatnya akan terjadi penurunan konsentrasi NO x . Beberapa cara telah dilakukan untuk menguragi NO x yang diproduksi selama pembakaran : a.

  Metode pembakaran dua tahap, yaitu sebagian bahan bakar dibakar dengan udara dalam jumlah stoikiometrik lebih rendah dari yang tersedia sehingga oksigen yang tersedia tidak berlebih dan mengurangi produksi NO x . Pada tahap kedua, pembakaran dilanjutkan setelah injeksi udara ke dalam campuran.

  Menghilangkan panas di antara kedua tahapan tersebut, suhu dimana pembakaran terjadi pada keadaan kelebihan udara menjadi lebih rendah b.

  Resirkulasi gas buang kembali ke ruang bakar akan menurunkan suhu api dan menurunkan konsentrasi oksigen yang tersedia. Kedua hal ini mengakibatkan penurunan produksi NO x .

  c.

  Uap air atau air yang diinjeksikan ke dalam ruang bahan bakar juga dapat menurunkan suhu api dan mengurangi produksi NO x (Kristanto, 2013).

  3. Partikel Debu

  Electrostatic precipitator (ESP) yang dipasang pada setiap boiler berfungsi

  untuk memastikan bahwa partikel debu fly ash yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara dapat ditangkap oleh alat ini. ESP tersebut dirancang untuk mencapai efisiensi hingga 99% (Sprint Consultant, 2014).

  ESP atau pengendap udara electrostatik adalah suatu alat yang membersihkan partikel-partikel dari udara yang mengalir dengan menggunakan suatu gaya yang diinduksikan. Alat ini mengalirkan tegangan yang tinggi dan dikenakan pada aliran gas yang berkecepatan rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan secara beraturan dengan cara getaran. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pengendap elektrostatik ini ialah didapatkannya debu yang kering dengan ukuran rentang 0,3 - 40 mikron (Pasaribu, 2010).

  Menurut Mulia (2005) alat ini digunakan untuk membersihkan udara yang kotor dalam jumlah (volume) yang relative besar. Alat pengendap ini berupa tabung silinder yang di tengahnya dipasang kawat yang dialiri arus listrik.

2.4.3.5 Dampak Limbah Gas

  1. Terhadap lingkungan NO x , SO x , CO dan CO

  2 , partikulat dan senyawa organik volatile (Megasari, dkk,

  2008). Gas SO

  2 dan SO 3 , apabila kontak dengan air akan membentuk asam sulfat

  (H

  2 SO 4 ) yang bersifat korosif dan dapat merusak instalasi tungku serta dapat

  membentuk kabut di atmosfer, sehingga mengakibatkan terjadinya hujan asam yang membahayakan kehidupan tanaman dan binatang. Gas nitrogen oksida apabila bereaksi dengan uap atau gas dari senyawa organik dengan bantuan sinar matahari akan menimbulkan kabut fotokimia (Sukandarrumidi, 2006).

  Peningkatan kadar debu di udara juga mengenai populasi fauna darat (terutama aves) yang berkurang atau menghilang dari kawasan PLTU dan wilayah terkena dampak debu (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, 2007). Menurut Darmono (2001), partikel ukuran < 1μm dapat bertahan lama dan melayang di udara sehingga cukup lama dapat terbawa angin ke seluruh penjuru dunia. Kristanto (2013), partikel dengan diameter <1μm biasanya diklasifikasikan sebagai debu dan partikel ini cukup kecil untuk mengendap di tanah, tetapi berlaku sebagai aerosol.

  2. Terhadap manusia

  a. Dampak menguntungkan Iswan (2010), menyatakan bahwa hasil samping dari teknik FGD pada

  PLTU yang dipakai untuk menekan gas SO

  2 adalah gypsum sintetis yang senyawa

  kimianya sama dengan gypsum alam. Gipsum yang dihasilkan sangat bernilai dapat dibuat papan gipsum (gypsum board) yang dipakai untuk plafon (langit- langit rumah), dinding penyekat (partition board) dan pelapis dinding (wall board ).

  b. Dampak merugikan Menurut Iswan (2010), batubara sebagai bahan bakar akan menimbulkan emisi berupa SO

  2 , NO 2 , CO, CO 2 , VHC (Volatile Hydrocarbon) dan SPM

  (Suspended Particulate Matter). SO merupakan sumber gangguan paru-paru dan

  x

  berbagai penyakit pernapasan. SO

  2 dapat dideteksi dari baunya pada konsentrasi

  3-5 ppm. Konsentrasi 20 ppm merupakan jumlah minimal SO mengakibatkan

  2

  iritasi pada mata; dan pada konsentrasi 400-500 ppm berbahaya walaupun kontak secara singkat (Kristanto, 2013).

2.5 Kerangka Konsep

  Memenuhi Syarat Tidak memenuhi

  Sukandarrumidi (2006) menjelaskan bahwa CO timbul sebagai akibat dari pembakaran batubara yang berlangsung tidak sempurna. Gas ini apabila terhisap oleh manusia melalui pernafasan akan bereaksi dengan hemoglobin dalam darah, sehingga akan menghambat transfer oksigen yang pada akhirya membahayakan kehidupan manusia. Kedua bentuk NO

  x

  , yaitu NO dan NO

  2

  sangat berbahaya bagi manusia dan bahwa NO

  2 empat kali lebih berbahaya dibandingkan NO. NO

  2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru Kristanto (2013).

  Limbah padat : KepKaBapedal No.1 / 1995

  1. Penanganan Limbah Padat

  Karakteristik Bangunan/ Tempat Penyimpanan

  Sarana pengolahan limbah PLTU

  • Penimbunan Abu - Penyimpanan Kemasan Bekas B3
  • CWWTP
  • Pengolahan Emisi

  3. Proses Pengolahan Limbah Gas

  Syarat Kualitas limbah cair dan limbah gas

  • Waste water treatment

  plant (WWTP)

  Limbah cair : PerMen LH No.08 / 2009 Limbah gas : PerMen LH No.21 / 2008

  Kemasan Bekas B3 Memenuhi Syarat

  Tidak memenuhi Syarat

  Gambar 2. Kerangka Konsep Karakteristik petugas : Umur, JenisKelamin, Pendidikan, Masa kerja, Tindakan

  2. Proses Pengolahan Limbah Cair