BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Demokrasi Di Tanoh Gayo Lues

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, dimana rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting. Menurut Abraham Lincoln negara demokratis adalah negara yang memiliki bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi Mulai tumbuh seiring dengan

   adanya globalisasi.

  Perkembangan demokrasi di Indonesia mulai nampak pasca era reformasi dibawah kepemimpinan BJ. Habibie, Perkembangan tersebut juga telah berpengaruh terhadap perkembangan di Aceh. Aceh merupakan wilayah konflik, dimana selama kurang lebih 30 tahun sejak 1976-2005 terjadi perjuangan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) untuk membebaskan diri dari Indonesia. Pada tanggal

  15 Juli 2006, Aceh memiliki momentum demokrasi, hal ini ditandai dengan persetujuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) secara bulat terhadap rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Dengan adanya momentum ini masyarakat Aceh bisa memulai pembangunan dan melupakan masa konflik yang berkepanjangan. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan turunan dari nota kesepahaman Helsinki, yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 oleh pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka demi menyelesaikan damai di Aceh.

  Setelah perundingan RI dan GAM dalam menyelesaikan konflik Aceh, Aceh memiliki Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai pedoman untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri khususnya dalam proses 1 pemilihan kepala daerah. Pada pilkada tahun 2012 di Kabupaten Gayo Lues

  

Haynes, jeff. 2000. Demokrasi dan Masyrakat Sipil di Dunia Ketiga. Penerjemah : Soemitro. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal. 5. memiliki perbedaan dari daerah-daerah lainnya di Indonesia, yakni hadirnya partai politik lokal. Kehadiran partai politik lokal memberi dampak positif terhadap perkembangan demokrasi karena partai politik lokal tersebut baru pertama kalinya ikut berpartisipasi bersama partai politik nasional untuk mensukseskan pilkada di Aceh. Dengan ditetapkan UUPA No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh terdapat Qanun yang terdiri dari Pasal yang menerangkan tataran teknis penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh.

  Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Aceh dijelaskan bahwa Aceh merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan Perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, yang

   dipimpin oleh seorang Gubernur.

  Selain itu Pasal 1 ayat (12) UUPA juga menjelaskan bahwa Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRA), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRK), Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota (Undang-Undang Pemerintahan Aceh).

  Pemilihan kepala daerah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang ini mengatur prosesi pilkada di seluruh Indonesia.

2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006.

  Dalam ketentuan umum Undang-Undang pemilu legislatif 2009 Pasal 1 ayat (1) menjelaskan Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia.

  Adapun mengenai aturan penyelenggaraan Pemilu Aceh dijabarkan dalam Qanun Aceh No. 7 tahun 2007, Qanun Aceh yang menjelaskan mengenai aturan main penyelenggaraan pemilu Aceh dalam pemilihan Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota.

  Selain itu, KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) tidak lagi memegang tanggungjawab sebagai penyelenggara pilkada seperti yang masih dilakukan di daerah-daerah lain di Indonesia. Sebaliknya peran dan tanggungjawab tersebut diambil alih oleh KIP (Komisi Independen pemilihan) sebagai sebuah lembaga yang diharapkan lebih bersikap netral dan independen dalam proses pemilihan umum di Aceh. Anggota KIP sebagai penyelenggara pemilihan diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan di tetapkan secara bertanggungjawab dan diresmikan atau dilantik oleh Gubernur.

  Selain itu Qanun Aceh ini juga menjelaskan tentang peran dan fungsi KIP dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum khususnya Pilkada di Aceh. KIP dapat menjalankan peran dan fungsinya secara bebas, langsung, jujur, adil dan teratur serta tertib dalam menyelenggarakan pemilu serta tidak memihak kepada organisasi dan serikat manapun, dan mampu memberikan kesempatan kepada rakyat untuk meningkatkan kualitas perannya dalam menentukan keputusan

   3 politiknya.

  Qanun Aceh no 7 tahun 2007.

  Untuk meningkatkan perannya KIP Aceh bertanggung jawab terhadap prosesi pemilihan di Aceh yaitu Pilkada yang berada ditingkat pusat (Provinsi) dan pemilihan kepala daerah yang berada di tingkat II (Kabupaten). Dalam pemilihan kepala daerah tingkat II (Kabupaten), KIP Kabupaten/Kota diberikan wewenang oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 untuk menjalankan pemilu legislatif di tingkat Kabupaten.

  Berdasarkan wewenang tersebut, KIP Kabupaten Gayo Lues merupakan lembaga pemilihan umum tingkat Kabupaten melakukan beberapa peranan tentang tahapan-tahapan untuk melangsungkan proses Pilkada di Kabupaten Gayo Lues.

  Dalam pelaksanaan pilkada 2012 di Kabupaten Gayo Lues, KIP sebagai penyelenggara pilkada mengalami hambatan yang terjadi disaat pilkada berlangsung sehingga menghambat proses berjalannya demokrasi, seperti dalam penyusunan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh KIP Kabupaten Gayo Lues dalam tahap persiapan terhambat dalam jumlah anggaran, jadwal waktu untuk pembacaan uji tes baca Al-quran terhadap calon bupati dan wakil bupati, banyak Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berkurang, menyusun dan mengumumkan Daftar Pemilihan Sementara (DPS) sangat singkat sehingga kemungkinan kecil masih banyak mengandung pemilih ganda, pada masa kampanye pilkada Kabupaten Gayo Lues memiliki indikasi yang penuh dengan

  money politik serta laporan dana kampanye yang kurang tertib, dan masih terdapat

  kekeliruan dalam penyusunan berita pemungutan suara di pilkada Kabupaten Gayo Lues 2012.

  Yang membuat peneliti tertarik melakukan penelitian di Kab. Gayo Lues, karena dengan di tetapkannya otonomi khusus di Aceh terkait dengan partai politik lokal masyarakat Aceh merasa kepentingan dan aspirasi mereka dapat tersalurkan dengan baik melalui partai-partai lokal tersebut. Sedangkan belum berlakunya otonomi khusus masyarakat Gayo Lues merasa aspirasi mereka kurang di terima dengan baik oleh partai-partai nasional. Hal ini dikarenakan adanya kepentingan elit-elit partai di pusat yang mempengaruhi proses penyerapan aspirasi masyarakat di Kab. Gayo Lues sehingga masyarakat menjadi apatis terhadap setiap pemelihan kepala daerah yang diusung oleh partai-partai yang berlaku secara nasional.

  Setelah lahirnya otonomi khusus dan diberlakukannya politik lokal di Aceh khususnya di Kab. Gayo Lues maka masyarakat merasakan Demokrasi yang sebenarnya. Masyarakat beranggapan kepala daerah yang diusung oleh partai Aceh akan dapat menyerap aspirasi masyarakat khususnya pada pemilihan bupati Kab. Gayo Lues karena bupati yang diusung oleh partai Aceh tidak akan mendapat tekanan dari elit-elit dipusat terkait dengan kepentingan mereka di Aceh. Sehingga dengan demikian Bupati terpilih dapat benar-benar memahami apa yang menjadi keinginan masyarakat Gayo Lues untuk kemudian mewujudkannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang pro kepada masyarakat Gayo Lues.

1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan pemikiran di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam kajian ini adalah :

  1. Bagaimanakah upaya Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam menyelenggarakan pilkada di Kabupaten Gayo Lues tahun 2012?

  2. Apa sajakah hambatan yang dihadapi KIP Kabupaten Gayo Lues dalam menyelenggarakan pilkada tahun 2012?

  1.3 Batasan Masalah

  Penelitian memerlukan batasan masalah sehingga fokus penelitian dapat di lakukan. Adapun batasan penelitian ini adalah “Hambatan-hambatan dan upaya Komisi Indepeden Pemilihan (KIP) di Kabupaten Gayo Lues pada Pilkada 2012”.

  1.4 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini di lakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut : 1.

  Untuk menjelaskan faktor yang menjadi hambatan KIP dalam menyelenggarakan pilkada Kabupaten Gayo Lues tahun 2012.

2. Untuk menjelaskan upaya KIP dalam mengsukseskan pilkada Kabupaten Gayo Lues tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian

  Dengan adanya penelitian ini semoga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini dan di masa yang akan datang. Manfaat penelitian ini dapat disebut sebagai berikut: 1.

  Secara teoritis, penelitian ini dapat mengasah pengetahuan dan informasi khususnya tentang Teori Demokrasi dan Pemilu khususnya di Kabupaten Gayo Lues.

  2. Secara akademis, penelitian ini dapat menambah khazanah dan pengetahuan khususnya di departemen ilmu politik (Fisip) USU.

  3. Khususnya masyarakat dapat menambah pengetahuan tentang KIP(Khususnya KIP Gayo Lues) serta dapat lebih Demokratis lagi dalam bermasyarakat.

1.6. Kerangka Teoritis

1.6.1 Birokrasi

  Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para

  

  pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Weber memandang birokrasi sebagai arti umum, luas, serta merupakan tipe birokrasi yang rasional. Weber berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, sebab yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu hal yang penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi negara tertentu. Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting yang membedakan antara

  

kondisi organisasi tertentu dengan lainnya.

  Menurut weber, proses semacam ini bukan menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, dan bukan pula mampu menghasilkan suatu deskripsi yang benar dari konsep birokrasi secara keseluruhan, tetapi hanya sebagai suatu konstruksi yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Menurut weber tpe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut :

1. Pejabat secara rasional bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya 2.

  Jabatan disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan kesamping dengan konsekuensinya berupa perbedaan kekuasaan.

4 Safri Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi (Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal

  5 180

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005),

hal.16.

  3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lain

  4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.

  5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya 6.

  Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun.

  7. Terdapat struktur pengembangan karieryang jelas.

  8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk kepentingan pribadi.

  9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970).

   Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat

  pemerintah/para birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang- orang yang dipimpin.

   1.

  Sebagai Tipe organisasi yang khas.

  Birokrasi dalam ha ini mempunyai tiga arti, yaitu : 2.

  Sebagai suatu sistem (struktur).

  3. Sebagai suau tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya.

   6 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.17 7 Safri Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi (Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal 181. 8 Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT Bumi Aksara 2006), hal. 63. Dalam negara administratif, pemerintah dan seluruh jajarannya dikenal sebagai abdi masyarakat dalam pemberian berbagai jenis pelayanan yang diperlukan oleh seluruh warga masyarakat. Keseluruhan jajaran pemerintahan negara merupakan satuan birokrasi pemerintahan yang juga dikenal dengan istilah civil service. Pemerintah beserta seluruh jajaran aparatur birokrasi bukanlah satu- satunya pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetapi merupakan kenyataan bahwa peranan pemerintah dan jajarannya bersifat dominan.

  Diantaranya berbagai satuan kerja yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan, terdapat pembagian tugas yang pada umumnya didasarkan pada

  

  prinsip fungsionalisasi. Fungsionalisasi berarti bahwa setiap instansi pemerintah berperan selaku penanggung jawab utama atas terselenggaranya fungsi tertentu, dan perlu bekerja secara terkoordinasi dengan instansi lain. Setiap instansi pemerintah mempunyai “kelompok pelanggan” dimana kepuasan kelompok ini harus dijamin oleh birokrasi pemerintahan, antara lain kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang pendidikan dan pengajaran dilayani oleh instansi yang secara funsional menangani bidan pendidikan dan pengajaran, dan sebagainya.

  Fungsi pengaturan terselenggara dengan efektif karena kepada suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaan. Pada dasarnya seringkali aparatur

  

  pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik. Pendekatan tersebut 9 antara lain bahwa dalam menghadapi permasalahan, pemecahan yang dilakukan

  

Fritz Morstein marx, The Administration State-An Introduction to Beurreucracy, (London: The University

10 of Chicago Press, 1957), hal.20-28.

  Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT Bumi Aksara 2006), hal. 65. dengan mengeluarkan ketentuan normatif dan formal, misalnya peraturan dan berbagaiperaturan pelaksanaannya.

  Menurut Peter Al Blau dan Charles H.Page dalam Bintoro, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe organisasi yang bertujuan mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.

  Berbagai perkiraan mengenai masa depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan petunjuk bahwa tantangan yang akan dihadapi oleh Birokrasi Pemerintah di masa depan akan semakin besar, baik dalam bentuk dan

  

  jenisnya, maupun intensitasnya. Mengenai penanganan patologi birokrasi dan terapinya, berarti agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomis,

  

  sosio-kultural, dan teknologikal. Berbagai penyimpangan yang dilakukan para birokratperlu diidentifikasikan untuk dicari terapi yang paling efektif, sehingga patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam kelompok-kelompok tertentu.

  Kondisi birokrasi pemerintahan Indonesia di era orde baru merupakan perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal-rasional dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah seperti terdapatnya posisi seseorang yang tidak sesuai dengan keahliannya. Birokrasi Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari faktor historis tersebut disebut sebagai “Birokrasi

   Patrimonial” sebagai warisan budaya masa lampau. Priyo budi santoso

  menyebut model teoritis untuk memahami karakteristik politik dan birokrasi 11 Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta;Ghalia Indonesia, 12 1994), hal.35-81.

  

Safri Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi (Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal

13 191.

  

Indra Pahlevi, Birokrasi dan Perubahan Sosial Politik, (Jakarta:Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi SekJen DPR-RI, 1998), hal.9. Indonesia khususnya pada masa Orde Baru guna melengkapi konsep birokrasi patrimonial tersebut yang disebut dengan model bureaucratic-polity (politik birokrasi). Karl D Jackson menjelaskan sebagai berikut : Politik birokrasi adalah suatu sistem politik di mana kekuasaan dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan terbatas sepenuhnya pada para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi, termasuk khususnya para ahli berpendidikan tinggi yag terkenal sebagai teknokrat, dalam hal ini militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lain seperti partai-partai politik, kelompok-kelpompok kepentingan, atau organisasi kemasyarakatan. Berbagai tindakan didesain untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah yang berasal dari dalam elit itu sendiri tanpa banyak memerlukan partisipasi atau mobilisasi massa. Kekuasaan tidak dilibatkan oleh artikulasi

   kepentingan sosial dan geografi di sekitar masyarakat.

  Secara lebih sempit, Harold crouch mencatat bahwa bureaucratic-polity di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu lembaga politik yang dominan adalah birokrasi, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi, serta massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.

  Seymour Martin Lipset dalam Miftah Thoha, mengatakan bahwa komponen pembangunan ekonomi salah satunya adalah industrialisasi. Semula masyarakatnya bersifat agraris serta serba manual dan kemudian pelan-pelan atau

  

  cepat akan mengarah ke tatanan masyarakat yang industrialis. Salah satu ciri yang menonjol adalah gerak yang dinamis yang mempengaruhi struktur dan

  14 15 Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT Bumi Aksara 2006), hal.70.

  

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.20 mekanisme kerja birokrasi di Indonesia yang disertai oleh sikap kritis masyarakat sebagai akibat meningkatnya tingkat pendidikan.

  Menurut Miftah Thoha, gerak dinamis dan sikap kritis tersebut mempengaruhi kualitas hidup suatu bangsa. Masyarakat akan menuntut demokratisasi di segala bidang termasuk pelayanan dan sistem birokrasi pemerintah dimana kejahatan konvensional yang sangat mengganggu ekonomi nasional adalah korupsi. Menurut Afan Gafar, kebijakan publik di Indonesia mewajibkan rakyat untuk ikut terlibat didalamnya, sehingga masyarakat dapat mengeluh hingga berbuat anarkis, minimal dengan cara demonstrasi di jalan.

  Model birokrasi yang ideal bukan bertumpu pada kultur semata, tetapi juga bertumpu pada profesionalisme birokrasi terutama aparat birokrasinya. Profesionalisme birokrasi ini terfokus pada adanya perjenjangan struktur secara tertib dengan pendelegasian wewenang , posisi jabatan dengan tugas-tugas, dan aturan-aturan yang jelas, serta tersedianya personel yang memiliki kecakapan dan kredibilitas yang memadai dalam bidang tugasnya.

  Menurut Akhmad Setiawan, birokrasi di Indonesia tergolong birokrasi

  

  yang tidak bebas berpolitik. Hal ini tercermin dalam birokrasi yang sulit untuk tidak terlibat politik sementara ciri patrimonial masih melekat. Hal inilah yang menjadikan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi lebih terlihat. Birokrasi pemerintahan yang ideal tercipta ketika karakter birokrasi ideal terpenuhi, yaitu birokrasi yang terstruktur baik, tidak adanya jabatan yang inefisien, aturan yang jelas, personel yang cakap, birokrasi yang apolitis, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.

  Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus mampu dan 16 cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut

  

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.21 sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan. Sementara itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber, Gullick, dan Urwick, yaitu (i) struktur, (ii) hierarki, (iii) otoritas, (iv) dikotomi

  

  kebijakan administrasi rantai pemerintah, dan (v) sentralisasi. Meskipun model tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, namun pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai

   dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.

  Teori birokrasi tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi negatif yang sangat terkait dengan gejala sebagai berikut :

  1. Smith, menyebutkan Inmobilism-inability to function, adalah kenyataan yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif.

  2. E. bardock, mengemukakan gejala kelemahan adalah tekonisme, yaitu kecenderungan sikap administratoryang menyatakan mendukung suatu kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya melakukan sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat kecil tersebut dapat pula berbentuk procrastination, yaitu bentuk partisipasi dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan.

3. Kelemahan lain adalah koordinasi yang dapat menimbulkan kelebihan (surpluses) maupun kekurangan (shortages).

  17 18 Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, cet Kesatu (Jakarta:PT Bumi Aksara 2006), hal. 66.

  

Safri Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi (Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal

202

  4. Kelemahan lain adalah kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority), yaitu kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh pembantu pimpinan secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

  5. Selain itu terdapat juga gejala resistance,baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh aparat dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan.

  Birokrasi harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan kepentingan publik untuk menjadikannya sebagai power center karena dapat mengancam potensi masyarakat. Dalam hal patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam lima kelompok, yaitu : Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi, contohnya : Penyalahgunaan wewenang dan jabatan, penguburan masalah, menerima sogok atau suap, pertentangan kepentingan, kecenderungan mempertahankan status quo/ketakutan pada perubahan, arogansi dan intimidasi, kredibilitas relatif rendah/nepotisme, paranoia dan otoriter astigmatisme, patologi yang disebabkan karna kurang/rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Artinya, rendahnya produktivitas kerja dan mutu pelayanan tidak semata-mata disebabkan oleh tindakan dan perilakuyang disfungsional, tetapi juga karena tingkat pengetahuan dan keteramplan yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas yang diemban, dan patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Yang digolongkan dalam melanggar tindakan hukum, antara lain : Menerima sogok/suap, korupsi, dan tata buku yang tidak benar, patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional/negative, yaitu bertindak sewenang-wenang dan melalaikan tugas, dan patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.

  Pemahaman patologi birokrasi secara tepat memerlukan analisis mendalam mengenai konfigurasi birokrasi tersebut yang akan terlihat dalam berbagai situasi internal yang dapat berakibat negatif terhadap birokrasi yang bersangkutan, antara lain : Penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat, eksploitasi, tidak tanggap, motivasi yang tidak tepat, kekuasaan kepemimpinan, beban kerja yang terlalu berat, dan perubahan sikap yang mendadak.

  Birokrasi pemerintahan merupakan organisasi yang paling besar di setiap negara yang ditentukan oleh berbagai faktor, seperti komplekksitas fungsi yang harus diselenggarakan, besarnya tenaga kerja yang digunakan, besarnya anggaran yang dikelola, beraneka ragamnya sarana dan prasarana yang dikasai serta dimanfaatkan, serta luasnya wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan, sehingga birokrasi pemerintahan perlu selalu berusahaagar seluruh organisasi birokrasi itu dikelola berdasarkan prinsip- prinsip organisasi.

  Adapun langkah-langkah yang dapat diambil, terdiri dari perencanaan, rekruitmen, seleksi, penembapatan sementara, penempatan tetap, penentuan sistem imbalan, perencanaan dan pembinaan karier, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pemutusan hubungan kerja, pensiunan, dan audit kepegawaian.

  Pengembangan sistem kerja harus diarahkan pada hilangnya persepsi

  

  negatif mengenai birokrasi. Pengembangan sistem kerja harus didsarkanpada pendekatan kesisteman yang berarti bahwa struktur apapun yang digunakan, semuanya harus tetapterwujud dalam kesatuan gerak dan langkah. Artinya, seluruh birokrasi bergerak sebagai satu kesatuan yang dapat diwujudkan apabila pengembangan sistem kerja birokrasi dapat ditujukan pada seluruh langkah yang

   ditempuh dalam proses administrasi negara.

  Citra birokrasi umumnya bersifat negatif, sehingga nilai-nilai loyalitas, kejujuran, semangat pengabdian, disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan sendiri, tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas, kesediaan berkorban, dan dedikasi, harus selalu ditekankan untuk dijunjung tinggi.

  Beberapa cara yang dapat menghilangkan citra negatif, yaitu : 1.

  Mendorong proses demokrasi dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk peningkatan pengawasan sosial agar penyimpangan oleh para anggota birokrasi semakin berkurang.

  2. Mengurangi campur tangan birokrasi dalam berbagai kegiatan- kegiatan dalam masyarakat yang semakin maju, merupakan porsi masyarakat untuk menyelenggarakannya.

  3. Menggunakan setiap kesempatan untuk menumbuhkan persepsi mengenai pentingnya orientasi pelayanan, bukan orientasi kekuasaan, 19 dalam berpikir dan bertindak.

  

Fritz Morstein marx, The Administration State-An Introduction to Beurreucracy, (Chicago & London: The

20 University of Chicago Press, 1957), hal.30

Indra Pahlevi, Birokrasi dan Perubahan Sosial Politik, cet Kesatu (Jakarta:Pusat Pengkajian dan Pelayanan

Informasi SekJen DPR-RI, 1998), hal.10-13.

4. Mengharuskan para pejabat tinggi membuat pernyataan mengenai kekayaan pada waktu mulai menjabat.

  Selama kedudukan dominan berada di tangan birokrat, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk setiap urusan/keperluan. Birokrasi pemerintahan yang semakin kuat dan menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan kekuasaan. Selama kekuasaan legislatif dan judikatif berada dibawah penguasa sebab peran kepela eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan posisi di kedua lembaga tersebut. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi pengawasan secara efektif karena eksekutif lebih kuat daripada legislatif sedangkan lembaga judikatif tidak kuat dan tidak independen karena adanya

  

  campur tangan dari kepala eksekutif engan demikian, pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi terabaikan sebab lemahnya fungsi kontrol legislatif.

  Berdasarkan hal tersebut, sistem ketatanegaraan yang perlu direformasi adalah mencakup bidang politik, ekonomi, dan hukum pada tataran sistem, serta reformasi bidang moral intelektual dan sosial budaya pada tataran karakter. Di bidang politik, perubahan itu berkenaan dengan penyempurnaan undang-undang pemilihan umum partai politik, susunan dan kedudukan anggota DPR, MPR,dan DPRD, serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Di bidang ekonomi, diperlukan undang-undang anti monopoli, perlindungan konsumen, serta perbaikan terhadap

  

  undang-undang ketenagakerjaan idang hukum, diperlukan undang-undang tentang HAM dan bela negara. Sedangkan dalam tatanan karakter, perlu dibuat 21 undang-undang etika pemerintahan dan menegakkan law enforcement . Selain itu,

  

Safri Nugraha, et al, Hukum Administrasi Negara, cet Kesatu edisi revisi (Depok:CLGS-FHUI, 2007), hal

22

  20 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.22 peran birokrasi juga harus dikembangkan kepada prinsip pelayanan yang cepat dan tepat, efisien, dan efektif. Pemerintah juga dituntut untut untuk memprioritaskan pembenahan sistem yang menyangkut kelembagaan dan sistem pendukung lainnya. Fungsi birokrasi termasuk aparatur negara hendaknya bisa sebagai penyelesai masalah (a world of solution) I serta menghindarkan diri dari

  

  sumber masalah (source of problem)

1.6.2 Pemilu dan Sistem Pemilihan Umum

  1.6.2.1 Definisi Pada hakikatnya pemilu di negara manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pimpinan rakyat atau pemimpin negara. Pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya. Secara universal pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (repsentative goverment) yang menurut Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern.

  Pemilu merupakan salah satu sarana utama menegakkan tatanan politik yang demokratis. Fungsinya adalah sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi. Esensinya sebagai sarana demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan negara yang benar-benar memancar suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat.

  Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari hak- hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak politik rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Dalam formulasi lain dikatakan bahwa pemilu merupakan sarana asas kedaulatan rakyat berdasarkan 23 Pancasila dalam negara Republik Indonesia.

  

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet Kesatu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005),

hal.23

  Dalam ketentuan Umum Undang-Undang Pemilu Legislatif No.10 tahun 2008, Pasal 1 ayat (1) menjelaskan pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

   dan Undang-Undang dasar Republik Indonesia.

  Ketentuan umum Pasal 1 ayat (10) Qanun No.7 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu di Aceh, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil, untuk memilih presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota dewan Perwakilan Rakyat Aceh, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota, Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/wakil Bupati, Walikota/wakil Walikota.

  Pemilihan umum adalah salah satu pranata yang paling refresentatif atas berjalannya demokrasi, tidak pernah ada demokrasi tanpa ada pemilihan umum. Beberapa pengertian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa pemilu adalah suatu cara atau sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan berdasarkan semangat Pancasila dan

   Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Bagi negara-negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum (general election) merupakan ciri penting yang harus dilaksanakan secara berkala sesuai dengan peraturan yang ada. Sebelum dilakukan kajian lebih jauh seputar sistem pemilihan umum, ada baiknya kita telusuri definisi dari sistem pemilihan umum dari sejumlah ahli. Definisi-definisi tersebut akan mengantar kita kepada definisi operasional sistem pemilihan umum yang

   digunakan dalam tulisan ini. 24 25 . Undang-Undang Pemilu Legislatif No. 10 tahun 2008.

  

Eddy Purnama, 2007. Negara Kedaulatan Rakyat. Bandung : Nusamedia.Hlm.23., SP. 2003. Teori Politik

26 Modren, Jakarta:PT.Raja Grafindo.Hlm. 23.

  

Dieter Nohlen, "Electoral Systems" dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha,

Encyclopedia of political communication, (California: Sage Publications, 2008) lihat dalam

Di akses pukul 15:12 WIB

  Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower dan Andrea Mattozzi dari

  

California Institute of Technology . Menurut mereka, yang dimaksud dengan

  sistem pemilihan umum adalah menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan umum sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan.

  Transformasi suara menjadi kursi parlemen atau pejabat publik, memetakan kepentingan masyarakat, dan keberadaan partai politik. Sistem pemilihan umum yang baik harus mempertimbangkan konsep-konsep dasar tersebut. Pemilu di indonesa diselenggarakan untuk memilih presiden dan wakilnya, gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, bupati/wakil bupati, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan

   Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan kabupaten/kota.

16.3 Demokrasi

1.6.3.1 Pengertian Demokrasi

  Secara etimologis, demokrasi berasal bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dengan demikian, secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Konsep demokrasi diterima oleh hampir seluruh negara di dunia. Diterimanya konsep demokrasi disebabkan oleh keyakinan mereka bahwa konsep ini merupakan tata pemerintahan yang paling unggul dibandingkan dengan tata pemerintahan lainnya

27 Sisk, Timothy. 2002. Demokrasi Di Tingkat lokal, international IDEA Mengenai Keterlibatan,

  Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan. Jakarta: International IDEA Institut For Democracy And Elektoral Asisistance.Hlm.55

  BEBERAPA PENGERTIAN 1.

  Demokrasi (“pemerintahan oleh rakyat”) semula dalam pemikiran Yunani berarti bentuk politik dimana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Ini mereka usulkan untuk menentang pemerintahan oleh satu orang (monarki) atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari kedua jenis pemerintahan ini (tirani dan oligarki)

  2. Pemerintahan oleh rakyak dapat dilakukan secara langsung atau melalui wakil-wakil rakyat. Secara langsung terdapat dalam demokrasi murni, melalui wakil-wakil rakyat dalam demokrasi perwakilan. Bersama-sama dengan monarki dan oligarki, demokrasi tercatat sebagai salah satu bentuk pokok pemerintahan. Dalam perjalanan sejarah, arti demokrasi mengalami perubahan yang mendalam.

  3. Dasar pemikiran modern tentang demokrasi ialah ide politis-filosofis tentang kedaulatan rakyat. Ini berarti, semua kekuasaan politik dikembalikan pada rakyat itu sendiri sebagai subyek asali otoritas ini. Yang ditambahkan di sini ialah persyaratan agar semua warga negara mampu menggunakan rasionya dan mempunyai suara hati. Dan hendaknya mereka sendiri, sebagai manusia yang bebas dan pada dasarnya sama, berperan serta dalam mengambil keputusan tentang masalah-masalah politik yang menjadi perhatian mereka. Bagaimanapun, rakyat secara keseluruhan dapat menjalankan kekuasaan tertinggi negara secara bersama hanya pada satu tingkat yang sangat terbatas (demokrasi langsung atau demokrasi murni). Karena itu proses-proses hukum harus dituangkan dalam undang-undang dasar. Proses-proses semacam itu memungkin rakyat mengambil bagian secara tidak langsung dalam pembentukan kebijakan politik dengan pemilihan secara bebas dan rahasia wakil-wakil rakyat yang menduduki jabatan dalam jangka waktu tertentu.

  Wakil-wakil ini dipilih menurut prinsip yang ditentukan oleh suara mayoritas tertentu dan mereka diberikan hak dan kewajiban yang digariskan secara jelas (demokrasi perwakilan atau representatif).

  4. Pluralitas partai-partai politik seyogiyanya memberikan rakyat yang menujunjung tinggi alternatif-alternatif politik kesempatan untuk berbicara secara terbuka dan tampilnya orang-orang yang cukup bermutu. Demokrasi dalam arti ini tidak terikat pada bentuk republik (di mana kepala negara dipilih oleh rakyat atau wakil-wakilnya).

  5. Suatu demokrasi yang hidup mengandaikan kematangan politik, penilaian yang baik dan kesiapan pada pihak warga negara untuk mengebawahkan kepentingan-kepentingan pribadinya kepada tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum. Tatkala prasyarat-prasyarat ini dipenuhi, rakyat hendaknya diberi peluanguntuk berperan serta dalam pemerintahan sewaktu mereka memintanya. Keputusan-keputusan demokratis yang dicapai secara adil haruslah diakui sebagai mengikat seluruh warga negara, karena dalam sebuah demokrasi, otoritas legitim, yang diberikan Allah kepada rakyat, dijalankan dengan sungguh-sungguh. Bagaimanapun, peraturan-peraturan resmi tentang pengambilan keputusan demokratis itu sendiri tidak menyediakan jaminan mutlak melawan ketidakadilan. Bentuk-bentuk partisipasi demokratis penuh tanggung jawab lambat laun mulai giat di luar arena politik (misalnya, proses-proses demokratis dalam perusahaan-perusahaan, di sekolah-sekolah dan universitas-universitasm, dan sebagainya).

  Demokrasi oleh para filsuf dievaluasi secara berbeda-beda : 1.

  Plato, memandang demokrasi dekat dengan tirani, dan cenderung menuju tirani. Ia juga berpendapat bahwa demokrasi merupakan yang terburuk dari semua pemerintahan yang berdasarkan hukum dan yang terbaik dari semua pemerintahan yang tidak mengenal hukum.

  2. Aristoteles, melihatdemokrasi sebagai bentuk kemunduran politeia, dan yang paling dapat ditolerir dari ketiga bentuk pemerintahan yang merosot; dua yang lain adalah tirani dan oligarki.

  3. Sesudah Renaissance berkembanglah ide kedaulatan, teori kontrak sosial, dan doktrin hak-hak alamiah. Perkembangan ini mendukung berkembangnya demokrasi. Namun demikian, banyak pendukung , termasuk Locke sendiri, tetap menganut monarki terbatas.

4. Spinoza menganggap demokrasi lebih baik daripada monarki.

  Soalnya kemerdekaan bagi warga negara mesti ada jaminannya. Demokrasi lebih klop dengan kemerdekaan seperti itu.

  5. Montesquieu, perintis ajaran tentang pemisahan kekuasaan, lebih suka monarki konstitusional. Sebenarnya ia berkeyakinan bahwa bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi klasik yang dibangun di atas kebajikan kewarganegaraan. Ia berkeyakinan pula bahwa yang ideal itu tak akan tercapai.

  6. Rousseau mendukung kebebasan dan kedaulatan manusia. Pada hematnya, bentuk pemerintahan mesti didasarkan pada aneka macam pengkajian historis. Bersamaan dengan itu, analisis dan penegasannya pada kebebasan menunjang pemikiran demokratis.

  7. Amerika mencoba mengambil ide-ide dari sebagian besar pandangan-pandangan yang terurai di atas, sambil membangun sebuah “demokrasi perwakilan” yang kekuasaannya berasal dari rakyat. Pemerintahan secara perwakilan tidak saja sesuai dengan ukuran negara. Itu juga menyediakan obat pemberantas penindasan oleh mayoritas.

8. John Stuart Mill menganjurkan pemerintahan perwakilan dan kemerdekaan bagi warga negara sebesar-besar dan seluas-luasnya.

  Ia membenci dominasi mayoritas.

  9. John Dewey percaya demokrasi sebagai suatu metode pengorganisasian masyarakat yang selaras dengan metode

   penelitian.

  Konsep demokrasi merupakan sebagai suatu sistem politik dimana partai- partai politik berlomba untuk mendapatkan suara masa pemilih, dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam hal kebebasan untuk memilih elit tandingannya. Menurut Schumpeter demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan untuk pemerintah berdasarkan dari hasil suara

  

  yang diperoleh. Demokrasi sering diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil–wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas Abraham Lincoln menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari

   rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

  Jadi kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada 28 kehendak rakyat. Selain itu prinsip-prinsip demokrasi memiliki konsep kedaulatan 29 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia : Jakarta 2002. 30 Varma, S.P. 2003. Teori Politik Modern. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.Hlm.29.

  Ngabiyanto. 2003. Paparan Kuliah Ilmu Politik, Semarang : UNNES.Hlm.127. rakyat sebagai cara untuk memecahkan masalah yang rumit : rakyat berkuasa

  

tetapi sekaligus diperintah . Tidah dapat di bantah bahwa pemerintah/negara

  pihak yang berkuasa dalam pengaturan masyarakat. Demi kepentingan bersama, rakyat diharuskan mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuat pemerintah yang

   bertindak atas nama rakyat.

1.6.3.2. Demokrasi Lokal

  Istilah demokrasi lokal bermakna banyak, tergantung ruang dan tempat, dan memang tidak ada satupun konsep atau model yang bisa dianggap sebagai perwujudan terbaik dari demokrasi. Pada saat yang sama ada pemahaman umum mengenai proses-proses terpenting dari kehidupan demokratis yang dapat diterapkan secara universal. Kehidupan demokrasi mengharuskan adanya pemilu berkala (reguler) dan murni dan kekuasaan bisa dan harus berpindah tangan melalui proses pemilihan yang jujur, bukan kekerasan atau pemaksaan. Dalam berdemokrasi, oposisi dan minoritas berhak untuk menyuarakan pandangan mereka dan mempunyai pengaruh. Harus selalu ada kesempatan melakukan pergantian di dalam menjalankan pemerintahan koalisi. Demokrasi mengharuskan adanya penghargaan sekaligus perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik yang dasar. Demokrasi juga harus disertai oleh hak-hak yang menyangkut

   masalah pembangunan, ekonomi, dan lingkungan.

  Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi 31 mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa 32 Eddy Purnama, 2007. Negara Kedaulatan Rakyat. Bandung : Nusamedia.Hlm.24.

  

Sisk, Timothy. 2002. Demokrasi Di Tingkat local, international IDEA Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan. Jakarta: International IDEA Institut For Democracy And Elektoral Asisistance.Hlm.65. mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung. Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pada fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik indonesia yang pertama kali di gelar sejak kemerdekaan Indonesia.

  Perubahan politik dari sentralistik ke desentralisasi tentu saja berdampak pada perubahan politik lokal. Perubahan politik tersebut tidak hanya terjadi pada proses politik, secara prosedural seperti pemilukada, kewenangan perencanaan dan kebijakan daerah, pengolaan anggaran daerah, semakin kuatnya peran legislatif terutama dalam pengawasan terhadap eksekutif, juga menguatkan seperti pers, ormas, kelompok kepentingan warga, kelompok profesi dan sebagainya. Perubahan politik lokal tersebut apabila dapat dijalani dengan baik akan berdampak pada kehidupan demokrasi di daerah menjadi lebih baik. Namun dalam prakteknya masih jauh dari harapan. Bagaimana potret demokrasi lokal yang sesungguhnya terjadi di daerah ? Pertama, demokrasi elektoral, demokrasi masih sekedar dimaknai sebagai pelaksanaan pemilu legislatif, dan pemilukada semata. Kedua, kepala daerah selaku pimpinan eksekutif masih belum menunjukkan perannya secara maksimal. Ketiga, lembaga legislatif di daerah perannya semakin menguat dalam melakukan kontrol politik terhadap eksekutif. Keempat, hubungan dan kerjasama politik antara kepala daerah, legislative dan yudikatif. Kelima masih menguatkanya budaya primordialisme, yang berdampak

   pada ego sentrisme kedaerahan, kesukuan, dan atau golongan.

  Demokrasi Lokal. 22 Desember 2012. Pukul 23.22.

1.6.3.3. Desentralisasi