Pancasila Sebagai Dan Philosophische Grondsl

PANCASILA SEBAGAI PHILOSOPHISCHE GRONDSLAG1
Oleh : Hermawan Prasojo
PENDAHULUAN
“Pancasila berarti, justru karena ia tidak sakti” 2 , demikian Goenawan
Mohammad menyampaikan pandangannya dalam naskah pidatonya saat
peluncuran politikana.com. Pandangan Gunawan Muhammad ini seolah mewakili
perspektif baru dalam memandang Pancasila. Setelah hampir selama 32 tahun
Pancasila seolah ‘dikeramatkan’, pasca Reformasi Pancasila justru seperti hilang
begitu saja. Hal ini disebabkan manipulasi penerapan Pancasila di masa Orde
Baru yang mengakibatkan orang menjadi sinis terhadap Pancasila, sebab
Pancasila adalah label politik Orde Baru.

Mengkaji dan mengembalikan

Pancasila dianggap mengembalikan kewibawaan Orde Baru.

Setidaknya

pandangan Gunawan Mohammad memberikan angin segar bahwa Pancasila
masih ada yang peduli, sebab tidak sedikit di luar itu yang justru terang-terangan
menganggap Pancasila sudah usang dan harus diganti. Di sisi lain, ada pula yang

tetap berupaya hampir ‘mengkeramatkan’ Pancasila sebagaimana pada masa Orde
Baru berkuasa.
Perdebatan status Pancasila tidak berhenti sebatas itu.

Pancasila,

dikalangan ilmuwan masih diperdebatkan statusnya, apakah ia sebagai ideologi
atau bukan.
1

Di satu pihak, ada pendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya

Kata Philoshophiche Grondslag adalah bahasa Belanda yang berarti filsafat dasar. Kosakata
Bahasa Belanda ini dijadikan judul bukan berarti tidak mencintai bahasa Indonesia, hanya sekedar
ingin mendekatkan dengan akar sejarah lahirnya Pancasila, sebab kata-kata tersebut yang
disampaikan Pidato Bung Karno dihadapan Dokuritsu Junbi Cosakai ("Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan") pada tanggal 1 Juni 1945
2
Gunawan Mohammad, Menggali Pancasila Kembali, Pidato Peluncuran Politikana.com, Jakarta,
2009 hal 6


dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham,
Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut
Onghokham Pancasila merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’,
dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama
warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan
dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of
Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis (Kompas, 6 Desember
2001). Melihat Pancasila sebagai ideologi, menurut Mahzar, menyebabkan
monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa, sementara Garin menilai
bahwa Pancasila dijadikan alat industrialisasi monokultur yang berakibat
terjadinya sentralisasi. Keduanya berpendapat bahwa Pancasila tidak boleh lagi
menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi
paradigma peradaban global. Franz Magnis Suseno menyatakan, ‘Pancasia lebih
tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara
keseluruhan daripada sebuah ideologi’
Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam
pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh
pemikir pemikir lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan langsung
terhadap pendapat yang menolak Pancasila sebagai ideologi. Ini terlihat pada

pandangan Koentowijoyo, Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto
Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), James
Dananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asy’ari (Kompas, 12 Juni 2004). Patut
dicatat bahwa pendapat-pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu

muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama
ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim-rezim
pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang
memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut meletakkan
analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti
yang dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno, dan
Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto.3
Di tengah terpaan krisis multidimensi yang berkepanjangan, Bangsa
Indonesia kali ini memang benar-benar membutuhkan pandangan hidup. Hal ini
penting, mengingat pengaruh ideologi asing dalam berbagai bidang kehidupan tak
terelakkan. Kapitalisme, terutama sangat tampak dalam perkembangan ekonomi.
Jurang antara kaya dan miskin justru semakin lebar.

Berkaitan dengan


pendapatan, Prof Esmi Warasih mengatakan bahwa masalah pemerataan
pendapatan memang menjadi perhatian yang utama dalam pembangunan sekarang
ini.

Agar pelaksanaan pembangunan nasional dapat berjalan lancar, maka

bersamaan dengan itu harus pula diwujudkan stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis baik di bidang politik maupun ekonomi. Kegoncangan-kegoncangan
ekonomi jelas akan menghambat pembangunan dan secara politis mengganggu
integrasi nasional.

4

Ketergangguan integrasi nasional ditunjukkan dengan

beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan hal itu, seperti misalnya
kasus kekerasan atas nama agama, konflik etnis, konflik atas nama agama, konflik
rakyat dan pengusaha, serta kasus-kasus yang lain.
3


Agus Wahyudi, Pancasila Doktrin Yang Ideologis atau Konsepsi Politis, Makalah, Yogyakarta,
2009, hal 2
4
Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Universitas Diponegoro, 2010, hal 130

Berdasarkan beberapa hal di atas, maka tampaknya bangsa Indonesia harus
segera menentukan dengan tegas filsafat dasarnya, fundamen, pikiran terdasarnya
yang oleh Soekarno disebut dengan pikiran ‘sedalam-dalamnya’. 5

Apakah

Pancasila masih relevan sebagai ideologi, sekedar sebagai kontrak politik, atau
bahkan diganti.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Pancasila adalah ‘isme’ (ideologi) yang dibutuhkan bangsa
Indonesia atau sekedar kontrak politik ?
2. Bagaimana


Reaktualisasi

Pancasila

Sebagai

Filsafat

Dasar

(Philoshophische Gronslag) Bangsa Indonesia?

5

Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, Pidato dihadapan BPUPKI 1 Juni 1945, Republika.co.id 2010

PEMBAHASAN
1. Apakah Pancasila adalah ‘isme’ (Ideologi) atau Sekedar Kontrak Politik ?
Konsep ideologi, menurut sejarah perkembangannya, dapat dibedakan
dalam dua pendekatan, pertama, pendekatan positif atau netral, yaitu ketika

ideologi dipahami dalam pengertian yang murni deskriptif, artinya sebagai sistem
pemikiran (system of thought), sistem kepercayaan (system of belief) atau sebagai
praktek simbolik (symbolic practises). Ideologi dalam pengertian ini dianggap
hadir dan menggerakkan tindakan atau rencana politik sehari-hari, tidak
dipersoalkan apakah rencana atau program yang digerakkan dengan basis ideologi
atau ajaran ini akan mengubah atau mempertahankan tatanan sosial (social order).
Pendekatan kedua adalah pendekatan kritis, yaitu ketika ideologi dipahami
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mempertahankan relasi
kekuasaan yang tidak seimbang atau sebagai proses mempertahankan dominasi.
Dengan demikian, ideologi di sini dilihat sebagai bukan secara apa adanya, tetapi
selalu dianggap berhubungan dengan realitas sosial dan relasi kekuasaan.
Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia mengatakan bahwa
Pancasila bukan Ideologi. Menurut Ismail Yusanto, Pancasila hanya sebagai set
of phylosophi (seperangkat gagasan filosofis) bukan sebagai ideologi. Sebab,
kalau ideologi mengandung dua unsur penting yang pertama pemikiran
menyeluruh terhadap alam semesta, kehidupan dan manusia. Dan Kedua darinya

lahirlah sistem. Inilah yang tidak dimiliki oleh pancasila dan hanya sebagai
perangkat falsafah.6
Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai

ideologi mengaburkan makna yang lebih kompleks dari konsep ideologi dan
peranannya. Barangkali yang ditolak bukan Pancasila sebagai ideologi, melainkan
pengertian ideologi Pancasila yang selama ini memperkuat otoritarianisme negara.
Jadi, ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap
Pancasila sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar. Dalam perkembangan sejarah
faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam rangkaian sidangsidang BPUPKI dan PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah mengalami
perkembangan. Ia diinterpretasikan dan bahkan dilaksanakan oleh berbagai aktor
dan kekuatan politik untuk mewarnai kehidupan berbangsa sepanjang sejarah
Indonesia dengan caranya masing-masing. Sejak proklamasi kemerdekaan
Indonesia negeri ini telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam sistem
politiknya; dari yang ‘liberal’ kepada bentuk yang ‘otoriter’ dan diberi nama
‘demokrasi terpimpin’; dari pemerintah sipil kepada pemerintahan militer; dari
sistem kepartaian yang multi-mayoritas kepada sistem mayoritas tunggal ;
dari ’Orde Lama’ ke ’Orde Baru’. Perubahanperubahan ini cukup mendasar. Yang
menarik adalah semuanya membenarkan diri atas nama Pancasila
Hal ini tampaknya tak lepas dari perumusan awal Pancasila itu sendiri
yang adalah inspirasi untuk sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya
6


Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, www.mediaumat.com/headline-news/3026pancasila-bukan-ideologi.html

mengandung ‘kurang’, karena senantiasa bergulat antara ‘eka’ dan ‘bhineka’.
Sebab itu tepat sekali ketika Bung Karno menggunakan kiasan ‘menggali’ dalam
merumuskan Pancasila. ‘Menggali’ melibatkan bumi dan tubuh; Pancasila lahir
dari jerih payah sejarah, dan – seperti halnya hasil bumi -- menawarkan sesuatu
yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Ia tak ‘ready-for-use’. Ia tak menampik tafsir
yang kreatif. Ia membuka kemungkinan untuk tak jadi doktrin, sebab tiap doktrin
akan digugat perkembangan sejarah – dan sebab itu Bung Karno mengakui: tak
ada teori revolusi yang ‘ready-foruse’. Yang juga tampak dalam keterbukaan
untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau tak mau
harus diimbangi oleh ‘sila’ yang lain: bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan
‘sila’ keberagamaan (‘Ketuhanan Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi ‘sila’
kesatuan bangsa (‘kebangsaan Indonesia’), dan sebaliknya. Kita juga tak akan
patut dan tak akan bisa bila kita ingin menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa
diimbangi perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya 7 . Kenyataan ini sering
diartikan, seperti dikatakan Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan State
Manque, dimana ’aspirasi yang satu ke aspirasi yang lain tak kunjung terpenuhi’
dan ‘bangsa Indonesia tetap saja tersandung-sandung dari satu sistem politik ke
sistem politik lainnya’. Mochtar Pabotinggi menulis apakah seandainya Geertz

menunggu duapuluh tahun ia akan tetap menempatkan Indonesia sebagai state
manque ?8

7

Gunawan Mohammad, Op. Cit, hal 8
Dikutip oleh Agus Wahyudi dari Pabotinggi, Mochtar, “Indonesia: Historicizing the New Order’s
Legitimazy Dilemma”, in Political Legitimacy in Southeast Asia: Quest for Moral Authority,
Muthiah Alagappa (ed.), Stanford University Press, California, 1995, pp. 244-256
8

Dewasa ini, pada masa yang sering disebut dengan era reformasi, memang
terjadi kembali perubahan yang meniscayakan transformasi nilai dan penyesuaian
tatanan kelembagaan. Meskipun demikian perubahan ini nampaknya disertai oleh
kesadaran kolektif yang lebih percaya diri berkenaan defenomena hubungan
antara Pancasila dan perubahan perubahansistem politik sosial, dan ekonomi di
Indonesia selama ini, penjelasannya sangat sederhana. Ada banyak cara yang
menyebabkan orang bisa sampai pada kesimpulan yang sama dan kesimpulan
yang berbeda-beda dapat diturunkan dari sumber doktrin atau ajaran yang sama.
Inilah yang sebenarnya terjadi dibalik munculnya “praktek“ Pancasila yang

berbeda-beda di Indonesia. Fenomena semacam ini sebenarnya berlaku umum,
bukan merupakan sesuatu yang khas Pancasila atau melulu terjadi di Indonesia.
T.E. Utley dan J. Stuart Mclure mencatat kesaksiannya, seseorang yang menerima
ajaran sosial dan politik kepausan tidak berarti mengatakan bahwa orang itu
niscaya mengikuti arah tindakan sosial dan politik tertentu yang diambil langsung
dari ajaran itu. Dalam kenyataannya penerimaan ajaran ini nampak sejalan dengan
berbagai pandangan yang luas dan berbedabeda berkenaan dengan masalah
ekonomi, sosial, dan konstitusional.

Sebaliknya, seseorang yang merupakan

anggota Partai Buruh di Inggris tidak dengan sendirinya menerima semua atau
sebagian besar doktrin-doktrin sosial dan ekonomi yang abstrak pada Partai itu.
Studi Douglas E. Ramage berjudul Politics in Indonesia : Democracy, Islam and
the Ideology of Tolerance (Routledge, London, 1995), juga memperjelas
kesalahan ilusi bahwa Pancasila dapat disepakati sebagai sebuah doktrin yang
akan menghasilkan pandangan tunggal tentang tatanan sosial, politik, dan

ekonomi. Ramage menunjukkan bahwa sejak Orde Baru, Pancasila sebagai dasar
negara tidak lagi dipersoalkan, dan perdebatan yang berkembang adalah mengenai
makna dan implikasi Pancasila bagi struktur politik dan partisipasi warga negara
dalam proses politik. Menurut Ramage, Pancasila memiliki fungsi tertentu,
yaitu ’sebagai referensi ideologi yang potensial untuk [memecahkan] masalahmasalah fundamental dalam kehidupan nasional’.9
Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak,
dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak
Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan
semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial
mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga berdasarkan prinsip
kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk
mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus
tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa
yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara
biasa dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua
pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka.
Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak
karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah
struktur bersama yang terbentuk dari idea-idea dan karena itu, ‘salah satu fungsi
penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi

9

Dikutip dari Ramage, Douglas E., “Pancasila Discourse in Suharto’s Late New Order”, in
Democracy in Indonesia 1950s and 1990s, David Bourchier and John Legge (eds),
Monash University, Victoria, 1994 oleh Agus Wahyudi, Pancasila Doktrin Ideologis atau
Konsepsi Politis, Yogyakarta, 2009, hal 6

bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah
masyarakat’ 10. Dalam hal ini, keberadaan Pancasila sebagai Ideologi bersama,
atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Weltanchauung, sebuah pandangan
tentang dunia dan kehidupan sangat diperlukan. Bung Karno menyadari betul
bahwa bangsa Indonesia terdiri dari banyak faham. Itulah mengapa Pancasila
disebutnya dengan menggali Pancasila. Bahkan Bung Karno mengatakan, “tak
ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang
‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak
ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di
dalamnya’11. Disinilah peran Pancasila sebagai filsafat dasar sangat dibutuhkan
menjadi payung bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dalam pengertian
tersebut telah menjadi suatu sistem atau cita-cita atau keyakinan sehingga telah
menjadi

ideologi

yang

mengandung

tiga

unsur

yaitu

:

logos

(rasionalitas/penalaran), pathos (penghayatan), dan ethos (kesusilaan).
Pancasila masih sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Hasil survey
Badan Pusat Statistik menemukan dalam surveinya, publik masih membutuhkan
Pancasila. Dari 12.000 responden yang ditanya, 79,26 persen menyatakan
Pancasila penting dipertahankan, sementara 89 persen masyarakat berpendapat
permasalahan bangsa, disebabkan kurangnya pemahaman nilai-nilai Pancasila,"
kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melansir hasil survei itu dalam pidato
kebangsaan di Gedung MPR, Rabu 1 Juni 2011. Hal ini membuktikan bangsa
Indonesia sangat membutuhkan Pancasila.
10
11

Agus Wahyudi, Op.Cit hal 9-10
Gunawan Mohammad, Loc.Cit

2. Bagaimana Reaktualisasi Pancasila Sebagai Filsafat Dasar (Philoshophische
Gronslag) Bangsa Indonesia
Istilah filsafat diambil dari bahasa Yunani “Philos” artinya suka,cinta, dan
sophia artinya kebijaksanaan. Jadi kata itu berarti cinta kepada keistimewaan 12.
Pancasila sebagai Filsafat Dasar setidaknya dapat dijelaskan melalui aspek
sebagai berikut 13:
a. Aspek Ontologis
Dasar ontologi Pancasila adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak
monopluralis, oleh karenanya disebut juga sebagai dasar antropologis.
Subyek pendukungnya adalah manusia, yakni : yang berketuhanan, yang
berperikemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang
berkeadilan pada hakikatnya adalah manusia.
b. Aspek Epistemologi
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya adalah suatu sistem
pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila menjadi pedoman
dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang makna hidup serta dasar
bagi manusia Indonesia untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
dalam hidup dan kehidupan. Aspek Aksiologi
Kehidupan manusia sebagai makhluk subjek budaya, pencipta, dan
penggerak nilai berarti manusia secara sadar mencari, memilih, dan

12

Otje Salman, Filsafat Hukum Perkembangan dan dinamika masalah, Refka Adi tama, Bandung,
2009, hal 3
13

Edy Prihartono, S,Sos.,MMSi, Pancasila, Universitas Gunadharma, Jakarta, hal 22

melaksanakan (menikmati) nilai.

Jadi nilai merupakan fungsi rohani

jasmani manusia. Pancasila dalam hal ini menjadi nilai, sumber nilai,
hakikat nilai, termasuk membingkai etika, ketuhanan, dan agama.
Reaktualisasi Pancasila
Reaktualisasi Pancasila sebagai filsafat dasar bangsa Indonesia diperlukan
mengingat beberapa waktu terakhir Pancasila menjadi terpinggirkan seolah-olah
turut bersalah atas kegagalan Orde Baru.

BJ. Habibie dalam pidatonya

mengatakan bahwa Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah
denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan
kebebasan berpolitik.

Salah satu faktor penyebab mengapa Pancasila seolah

terlupakan menurut BJ Habibie adalah salah satunya dikarenakan penolakan
segala hal yang berhubungan dengan orde baru.

Harus diakui di masa lalu

memang terjadi mistisisasi Pancasila secara sistematif, terstruktur, dan massif.
Pancasila menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, maka etika
kepemimpinan berganti, Pancasila ikut dijustifikasi menjadi bagian Orde Baru dan
seperti

menjadi

sebuah

trauma

sejarah,

mucullah

demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol,
dari rezim politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena
dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik
sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan 14 . Ada tiga
kesalahan besar ‘Orde Baru’ dalam memandang kelima prinsip Pancasila. Yang
pertama adalah membuat Pancasila hampir-hampir keramat. Yang kedua,
14

BJ Habibie, Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Pidato Hari
Kesaktian Pancasila 1 Juni 2011, Republika.co.id

membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif, si berkuasa.
Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.
Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah
menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok, penolakan terhadap
kemajemukan, dan segala tindakan yang kontraproduktif terhadap perjalanan
bangsa.

Hal ini menjadi penting untuk menentukan ke arah mana biduk

peradaban bangsa mau dibawa15. Gunawan Mohammad mengatakan16 :
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah
kehilangan bahasa untuk menangkis 100 tahun kekerasan yang tersirat dalam
sikap sewenang-wenang yang juga pongah.
Reaktualisasi Pancasila atau seperti kata Bung Karno yang dikutip oleh Gunawan
Mohammad ‘Menggali Pancasila Kembali’ perlu memberhatikan beberapa hal
berikut :
1. Pancasila jangan dimutlakkan dan harus terbuka
Seperti pada saat pertama kali diusulkan. Pancasila bukanlah sesuatu yang
kaku dan mutlak. Pancasila justru mesti terbuka, bahkan sejak dahulu
Pancasila adalah Ideologi terbuka. Yang juga tampak dalam keterbukaan
untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau
tak mau harus diimbangi oleh ‘sila’ yang lain: bangsa ini tak akan bisa
hanya menjalankan ‘sila’ keberagamaan (‘Ketuhanan Yang Maha Esa’)
tanpa juga diimbangi ‘sila’ kesatuan bangsa (‘kebangsaan Indonesia’), dan
sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa bila kita ingin
15
16

ibid
Gunawan Mohammad, Op.Cit, hal 9

menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan
begitulah seterusnya.

Memutlakkan satu ‘sila’ saja akan melahirkan

kesewenangwenangan juga tak akan berhasil.
Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu
dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang bebas
dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka.
Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia
dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang
diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya
bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi sebagai
gejala wajar.
2. Pancasila dipandang sebagai Ideologi yang dinamik
Ideologi Pancasila dipandang sebagai ideologi yang menunjukkan sifatnya
yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan
yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk
menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai
Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari
alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi,
dan pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak apriori menolak bahanbahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai
yang dipertimbangkan dapat memperkaya

dan memperkembangkan

kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa

Indonesia. Bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak
defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal
dan dihindari karena dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan
bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu kaku, sehingga segala sesuatu yang
menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk menentukan
mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diintegrasikan dalam
pengembangan dirinya.17
3. Nilai-nilai Pancasila diungkapkan dan dirumuskan dari sumber nilai utama
yaitu :
a. Nilai-nilai yang bersifat fundamental, universal, mutlak, dan abadi dari
Tuhan YME tercermin dalam inti ajaran-ajaran agama dalam kitab suci.
b. Nilai-nilai yang bersifat kolektif nasional yang merupakan intisari dari
nilai-nilai yang luhur budaya masyarakat yang tersebar di seluruh
nusantara
Kedua nilai tersebut diharapkan menjadikan Pancasila benar-benar menjadi
filsafat dasar (philoshophisce gronslag) yang mewadahi perbedaan faham, agama,
dan latar belakang budaya Bangsa Indonesia serta membingkainya dalam
persatuan yang dinamis, tidak kaku, namun penuh nilai. Inilah rasanya yang oleh
Bung Karno dikatakan bahwa Pancasila adalah Weltanchauung, sebuah
pandangan tentang dunia dan kehidupan, ia sebenarnya sedang meniti buih untuk
selamat sampai ke seberang18.

17Mulyono,

18

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila dalam kehidupan, UNDIP, hal 5

Ir. Soekarno, Op.Cit, hal 7

PENUTUP
1. Perbedaan para pakar, dan pendapat berbagai kalangan tentang Pancasila
adalah Ideologi atau bukan tidak perlu diberdebatkan lebih jauh, mengingat
dasar yang disampaikan oleh mereka yang tidak setuju bahwa Pancasila
adalah ideologi justru berangkat dari asumsi sejarah penerapan Pancasila di
masa orde baru.

Peranannya sebagai Filsafat Dasar (Philoshophische

Gronslag) menjadikan Pancasila dalam hal ini memiliki prasyarat disebut
sebagai ideologi atau ‘isme’ bangsa Indonesia karena yang mengandung tiga
unsur yaitu : logos (rasionalitas/penalaran), pathos (penghayatan), dan ethos
(kesusilaan).
2. Substansi dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam
kehidupan praksis adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan
dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik
hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.
Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi
apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap nilainilai asing yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi
Pancasila. Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam
mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan
kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan warga masyarakat Indonesia.
Reaktualisasi dan Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara

sangat

diperlukan

dengan

memandang

Pancasila

tidak

dimutlakkan dan harus bersifat terbuka, memandang Pancasila sebagai

Ideologi yang dinamik, dan merumuskan nilai Pancasila ke dalam dua nilai
utama yaitu nilai yang bersifat fundamental dan nilai yang bersifat kolektif
nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Sulfikar, Epistemologi Pancasila, Kompas, Rabu 3 Nopember 2004
Habibie, BJ. Pidato Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 2011, Republika.Co.id,
Diakses Tanggal 20 Desember 2011
Mohammad, Gunawan, Menggali Pancasila Kembali, Jakarta, 2009
Mulyono, Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila dalam Kehidupan, UNDIP,
Semarang, Tanpa Tahun
Prihartono, Edi, Pancasila, Universitas Gunadarma, Jakarta
Salman, Otje, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, Refika
Aditama, Bandung, 2010
Soekarno, Pantja-sila, Pidato Pengukuhan Pancasila 1 Juni 1949, Republika.co.id,
Diakses Tanggal 23 Desember 2011
Suparto, Revitalisasi Pancasila, Dekonstruksi Ideologi Nasional, Kompas,
Oktober 2004
Wahyudi, Agus, Pancasila Doktrin yang Ideologis atau Konsepsi Politis, UGM,
Yogyakarta, 2009
Warasih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2011