Kornea Mufakat Pendidikan Lomba esai Nas
KORNEA MUFAKAT PENDIDIKAN
Negeri seribu pulau, satu dari jutaan julukan yang diberi oleh dunia untuk
disandang Indonesia menjadi bukti bahwa negeri ini bukan hanya tempat
mengayunkan kaki saja, bukan hanya sekedar sebagai alternatif destinasi wisata
pelepas penat atau sasaran empuk negara maju untuk berinvestasi. Tapi juga
menunjukan bahwa bumi pertiwi ini menjadi tanah di mana semua unsur biotik
maupun abiotik dengan berbagai keunikannya masih bisa utuh meski sifat
pluralisme tidak dapat lepas dari rekatan. Sederhana memang alasannya, sama,
sama arah hidup, sama menghentakan kaki kanan, sama melirik sudut kiri, sama
menggelengkan kepala jika ada fenomena anomali yang terjadi. Banyak hal yang
membentuk poin untuk menjadi pembahasan yang tidak pernah basi, selalu
diperbaharui hanya karena jika topik tersebut tersapu angin, maka sedikitnya ada
saja bagian dari identitas negara yang tertelan globalisasi.
Kaum muda dan masa depannya. Ya, itu dia yang selalu jadi isu hangat
disetiap kesempatan perbincangan. Kaum muda, bukan hanya mereka yang
sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah, atau mungkin sedang sibuk
menyusun skripsi, tapi usia produktif yang harus mampu meninjau, mengelola
serta memperbaharui atau setidaknya mengemas ulang sebuah produk agar
menjadi lebih unggul dan mampu bersaing lebih. Hal seperti ini umumnya selalu
terjadi disetiap negara, dengan prioritas yang berbeda dan cara masing-masing
untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan hal itu, tidak melihat bahwa itu
negara berkembang, maju, berpaham liberalis, komunis, pancasila bahkan, atau
mungkin dalam segi bentuk pemerintahannya, ya, layaknya negara demokrasi.
Berbicara soal masa depan dengan berbagai tantangan yang mengekor,
dengan kepala yang berbeda dalam setiap pemecahannya, dengan zaman yang
tidak ingin menunggu persoalan selesai satu persatu, Indonesia menjadi negara
yang kaya akan semua aspek kehidupan. Negara yang masih mencari jati diri dan
mencoba untuk mengukuhkannya, dan saat ini memiliki bentuk pemerintahan
demokrasi. Demokrasi, kata dengan arti dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat
yang tercantum dalam kamus sederhana warga negara Indonesia memang “diaku”
sebagai bentuk pemerintahan Indonesia.
Berdalih bahwa rakyat sebagai penyelenggara, pengawas, dan pelaksana
pemerintahan, Indonesia menjadi salah satu negara yang mengaagendakan
pemilihan umum sebagai pesta lima tahunan. Tiap periode yang bergulir, selalu
saja ada perubahan yang signifikan, baik itu perolehan suara partai politik atau
daftar pemilih tetap yang kian bertambah. Tahun ini menjadi bonus demografi
Indonesia, di mana usia produktif bertambah, dan secara otomotis bertambah pula
hak suara yang dapat disumbangkan.
Banyak elite politik yang gencar mencari sekaligus mencuri perhatian
rakyat, khususnya kaum muda yang kali ini menjadi “sasaran empuk” untuk
menebar janji atau hanya sekedar iming-iming. Sebut saja para remaja, kadang
dengan usia yang sudah berhak menentukan pilihan secara langsungpun ada
beberapa diantara mereka yang masih saja bingung dengan sistem yang ada di
negeri ini. Baik itu harus memilih pemimpin yang seperti apa, wakil rakyat yang
bagaimana sifatnya, atau mungkin partai politik dengan ciri khas warna apa yang
mengantongi
visi
misi
yang
tidak
muluk-muluk
dalam
pelaksanaan
pemerintahannya nanti.
Tak sulit memang untuk menjadi seorang yang demokratis, dan
mewujudkan negara demokrasi, sederhananya dengan datang langsung ke tempat
pemungutan suara, memilih kandidat yang dijagokan, dan gugur sudah kewajiban
dengan ciri tinta ungu pada salah satu jari tangan, dan ini berlaku pada
pembaharuan pemerintahan. Sudah cukupkah? Cukup, apabila demokrasi dilihat
dari aspek terbesar dalam sebuah wilayah, di mana suara terbanyak atau yang
mendominasi menjadi hasil atau mufakatnya. Untuk gugatan atau celotehancelotehan yang keluar setelah mutlaknya hasil musyawarah hanya menjadi bumbu
tambahan. Dan hal tersebut (demokrasi) dapat dianalogikan seperti pohon. Mulai
dari bagian terbawah pohon atau yang dikenal sebagai akar. Akar memiliki bentuk
yang serabut dan serabut itulah yang diibaratkan sebagai berbagai macam gagasan
yang lahir, naik sedikit ke bagian atas, batang. Dari serangkaian proses yang
terjadi sebelumnya batanglah yang menjadi hasil mutlak dari perbedaan tadi,
namun seiring perkembangan zaman, nampaknya hasil mutlakpun akan menjadi
acuan untuk lahir ide-ide baru, ya, si batang yang bercabang, dari situ mulai
kembali terjadi pembaharuan berkaitan dengan kebutuhan, karena beda zaman,
makin banyak pula persoalan yang harus terjawab, setelah menemui titik temu
berupa hasil yang baru atau kita sebut saja daun jika dalam bagian pohon, namun
lagi-lagi, ada saja ketidakpuasan sudut pandang lahir dan alhasil lahirlah “buah”
sebagai puncak dari demokrasi tadi. Dan tugas dari stakeholder (kaum muda)
selanjutnya yaitu membuat varian buah yang ada tadi menjadi keberagaman dalam
satu wadah. Dan pada intinya, demokrasi merupakan proses dalam sebuah
pencarian yang terjadi sejak dulu, dan hasil yang didapat, sekarang menjadi acuan
untuk pembaharuan. Dan itu berlaku dalam semua hal dan berkesinambungan.
Dan apabila mengacu pada konteks yang lebih merinci, demokrasi tidak
hanya berlaku pada sebuah pembentukan atau pembaharuan pemerintahan, namun
pada setiap hal yang memang butuh beberapa opini dalam pengambilan
keputusan. Itu terjadi dan berlangsung setiap hari. Dalam keluarga, lingkungan
masyarakat, sekolah, dan atau organisasi.
Kali ini kaum muda bertugas sebagai pemegang tongkat estapet budaya
demokrasi. Jika ada kesalahan atau ketidakselarasan akan hal ini, mungkin ada
saja yang mengira bahwa ada sistem yang salah, entah itu dari kaum mudanya
sendiri, dari lingkungan di mana mereka tinggal, atau mungkin kesalahan
pemerintah. Asumsi jika ada kesalahan yang terjadi pada kaum muda, pasti ini
tidak akan terlepas pada aspek lingkungan di mana kaum muda itu berdomisili
atau bergaul, bahkan peran pemerintah atau sebaliknya. Hanya saja yang jadi
pertanyaan, aspek mana yang paling banyak berkontribusi dalam pemebentukan
karakter kaum muda guna menjadi generasi yang berbudaya demokratis, namun
tetap etis dan selalu berpikir logis.
Sebenarnya sebelum jauh kepada pelaksanaan demokrasi sendiri, rasanya
kaum muda yang di sini menjadi pemeran utama pada pengkaitan diri mereka
dengan budaya demokrasi, pembentukan karakter (character building) dan juga
pembekalan ilmu yang berkaitan menjadi modal mereka dalam eksekusi tingkat
lanjut mengenai salah satu bentuk pemerintaha ini (demokrasi).
Acap kali kaum muda ingin merasa bebas dalam setiap tindakan, ya meski
dalam tanda kutip tidak mengekang apa yang sudah menjadi aturan. Terkenal
dengan kaum masa transisi, pikiran yang labil dan bahkan ada saja diantara
mereka yang mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Ini tandanya, budaya
demokrasi belum melekat pada diri mereka. Demokrasi bukan hanya musyawarah,
bukan hanya diskusi, tapi juga dapat diartikan penuh pertimbangan. Saat
seseorang harus memutuskan dengan cepat tanpa ikut campur sumbang pikiran
orang lain, maka orang tersebut mesti memikirkan risiko, atau kejadian apapun
yang terjadi nantinya, tidak merugikan orang lain dan jelas menguntungkan
dirinya. Hal ini juga dapat dijadikan langkah awal dalam pembentukan karakter
kaum muda guna menjadi pribadi yang demokratis.
Kembali pada arti demokrasi dalam skala besar yang menyangkut pada
urusan ketatanegaraan. Saat pemerintah dibentuk oleh sistem demokrasi, dengan
rakyat yang memiliki peran sangat penting, ada rasa bingung yang muncul
setelahnya. Apabila Indonesia masih menganut sistem musyawarah dalam setiap
pencapaian mufakat ini, lalu mengapa rasanya negara maritim ini bagai penganut
okhlokrasi? Kata “rasanya” bisa saja diartikan sebagai “perasaan” atau belum
tentu terjadi pada Indonesia, namun faktanya, tak mengenal wakil rakyat, pajabat
daerah, atau bahkan aparat penegak hukum sangat akrab dengan korupsi, kolusi
juga nepotisme, bukan sebagai pemeberantas, melainkan eksekutor. Bukan hanya
itu, ketidak akraban mereka, khusunya wakil rakyat kepada rakyatpun seolah
menegaskan bahwa mereka bukan sebagai jembatan aspirasi. Masih demokrasikah
Indonesia?
Kaum muda kena imbas? Jelas. Tapi tak usah diambil pusing, contohnya
saja hal ini berdampak kepada pola pikir kaum muda yang harus lebih dipertajam
lagi untuk masa mendatang, beri mereka kebebasan beraspirasi tanpa menembus
labirin hukum, berekspresi dengan jiwa muda mereka, mengeksplorasi
kemampuan dengan segala imajinasinya.
Mau tidak mau, antara kaum muda dan demokrasi hubungannya begitu
erat. Hidupnya demokrasi dalam lingkungan mereka merupakan sebuah identitas,
sebuah keputusan atau bahkan sebuah alternatif, misalnya dalam menentukan
pendidikan. Jelas terjadi hubungan kausal antara demokrasi dan pendidikan itu
sendiri. Demokrasi sebagai “kornea”, dapat diartikan sebagian bagian terluar,
terpenting dan bersifat kuat karena memiliki proses yang hasil ahkitnya cukup, di
mana kaum muda atau katakanlah remaja dengan tekad mengenyam pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi lagi, dibarengi dengan kemampuan akademis yang
mumpuni, disertai keahlian nonakademis, dan juga ketepatan dalam menentukan
pilihan jurusan pendidikan. Karena hal ini sering menjadi sebuah dinding
kegagalan atau setidaknya kekeliruan, hanya karena antara penentuan pendidikan,
musyawarah dengan orang tua (demokrasi), keinginan dan gengsi tidak sinkron.
Demokrasi sejenis ini mungkin terkesan sederhana, namun hasilnya bisa
menjadi penentu perjalanan demokrasi Indonesia dalam lingkup yang lebih besar.
Negeri seribu pulau, satu dari jutaan julukan yang diberi oleh dunia untuk
disandang Indonesia menjadi bukti bahwa negeri ini bukan hanya tempat
mengayunkan kaki saja, bukan hanya sekedar sebagai alternatif destinasi wisata
pelepas penat atau sasaran empuk negara maju untuk berinvestasi. Tapi juga
menunjukan bahwa bumi pertiwi ini menjadi tanah di mana semua unsur biotik
maupun abiotik dengan berbagai keunikannya masih bisa utuh meski sifat
pluralisme tidak dapat lepas dari rekatan. Sederhana memang alasannya, sama,
sama arah hidup, sama menghentakan kaki kanan, sama melirik sudut kiri, sama
menggelengkan kepala jika ada fenomena anomali yang terjadi. Banyak hal yang
membentuk poin untuk menjadi pembahasan yang tidak pernah basi, selalu
diperbaharui hanya karena jika topik tersebut tersapu angin, maka sedikitnya ada
saja bagian dari identitas negara yang tertelan globalisasi.
Kaum muda dan masa depannya. Ya, itu dia yang selalu jadi isu hangat
disetiap kesempatan perbincangan. Kaum muda, bukan hanya mereka yang
sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah, atau mungkin sedang sibuk
menyusun skripsi, tapi usia produktif yang harus mampu meninjau, mengelola
serta memperbaharui atau setidaknya mengemas ulang sebuah produk agar
menjadi lebih unggul dan mampu bersaing lebih. Hal seperti ini umumnya selalu
terjadi disetiap negara, dengan prioritas yang berbeda dan cara masing-masing
untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan hal itu, tidak melihat bahwa itu
negara berkembang, maju, berpaham liberalis, komunis, pancasila bahkan, atau
mungkin dalam segi bentuk pemerintahannya, ya, layaknya negara demokrasi.
Berbicara soal masa depan dengan berbagai tantangan yang mengekor,
dengan kepala yang berbeda dalam setiap pemecahannya, dengan zaman yang
tidak ingin menunggu persoalan selesai satu persatu, Indonesia menjadi negara
yang kaya akan semua aspek kehidupan. Negara yang masih mencari jati diri dan
mencoba untuk mengukuhkannya, dan saat ini memiliki bentuk pemerintahan
demokrasi. Demokrasi, kata dengan arti dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat
yang tercantum dalam kamus sederhana warga negara Indonesia memang “diaku”
sebagai bentuk pemerintahan Indonesia.
Berdalih bahwa rakyat sebagai penyelenggara, pengawas, dan pelaksana
pemerintahan, Indonesia menjadi salah satu negara yang mengaagendakan
pemilihan umum sebagai pesta lima tahunan. Tiap periode yang bergulir, selalu
saja ada perubahan yang signifikan, baik itu perolehan suara partai politik atau
daftar pemilih tetap yang kian bertambah. Tahun ini menjadi bonus demografi
Indonesia, di mana usia produktif bertambah, dan secara otomotis bertambah pula
hak suara yang dapat disumbangkan.
Banyak elite politik yang gencar mencari sekaligus mencuri perhatian
rakyat, khususnya kaum muda yang kali ini menjadi “sasaran empuk” untuk
menebar janji atau hanya sekedar iming-iming. Sebut saja para remaja, kadang
dengan usia yang sudah berhak menentukan pilihan secara langsungpun ada
beberapa diantara mereka yang masih saja bingung dengan sistem yang ada di
negeri ini. Baik itu harus memilih pemimpin yang seperti apa, wakil rakyat yang
bagaimana sifatnya, atau mungkin partai politik dengan ciri khas warna apa yang
mengantongi
visi
misi
yang
tidak
muluk-muluk
dalam
pelaksanaan
pemerintahannya nanti.
Tak sulit memang untuk menjadi seorang yang demokratis, dan
mewujudkan negara demokrasi, sederhananya dengan datang langsung ke tempat
pemungutan suara, memilih kandidat yang dijagokan, dan gugur sudah kewajiban
dengan ciri tinta ungu pada salah satu jari tangan, dan ini berlaku pada
pembaharuan pemerintahan. Sudah cukupkah? Cukup, apabila demokrasi dilihat
dari aspek terbesar dalam sebuah wilayah, di mana suara terbanyak atau yang
mendominasi menjadi hasil atau mufakatnya. Untuk gugatan atau celotehancelotehan yang keluar setelah mutlaknya hasil musyawarah hanya menjadi bumbu
tambahan. Dan hal tersebut (demokrasi) dapat dianalogikan seperti pohon. Mulai
dari bagian terbawah pohon atau yang dikenal sebagai akar. Akar memiliki bentuk
yang serabut dan serabut itulah yang diibaratkan sebagai berbagai macam gagasan
yang lahir, naik sedikit ke bagian atas, batang. Dari serangkaian proses yang
terjadi sebelumnya batanglah yang menjadi hasil mutlak dari perbedaan tadi,
namun seiring perkembangan zaman, nampaknya hasil mutlakpun akan menjadi
acuan untuk lahir ide-ide baru, ya, si batang yang bercabang, dari situ mulai
kembali terjadi pembaharuan berkaitan dengan kebutuhan, karena beda zaman,
makin banyak pula persoalan yang harus terjawab, setelah menemui titik temu
berupa hasil yang baru atau kita sebut saja daun jika dalam bagian pohon, namun
lagi-lagi, ada saja ketidakpuasan sudut pandang lahir dan alhasil lahirlah “buah”
sebagai puncak dari demokrasi tadi. Dan tugas dari stakeholder (kaum muda)
selanjutnya yaitu membuat varian buah yang ada tadi menjadi keberagaman dalam
satu wadah. Dan pada intinya, demokrasi merupakan proses dalam sebuah
pencarian yang terjadi sejak dulu, dan hasil yang didapat, sekarang menjadi acuan
untuk pembaharuan. Dan itu berlaku dalam semua hal dan berkesinambungan.
Dan apabila mengacu pada konteks yang lebih merinci, demokrasi tidak
hanya berlaku pada sebuah pembentukan atau pembaharuan pemerintahan, namun
pada setiap hal yang memang butuh beberapa opini dalam pengambilan
keputusan. Itu terjadi dan berlangsung setiap hari. Dalam keluarga, lingkungan
masyarakat, sekolah, dan atau organisasi.
Kali ini kaum muda bertugas sebagai pemegang tongkat estapet budaya
demokrasi. Jika ada kesalahan atau ketidakselarasan akan hal ini, mungkin ada
saja yang mengira bahwa ada sistem yang salah, entah itu dari kaum mudanya
sendiri, dari lingkungan di mana mereka tinggal, atau mungkin kesalahan
pemerintah. Asumsi jika ada kesalahan yang terjadi pada kaum muda, pasti ini
tidak akan terlepas pada aspek lingkungan di mana kaum muda itu berdomisili
atau bergaul, bahkan peran pemerintah atau sebaliknya. Hanya saja yang jadi
pertanyaan, aspek mana yang paling banyak berkontribusi dalam pemebentukan
karakter kaum muda guna menjadi generasi yang berbudaya demokratis, namun
tetap etis dan selalu berpikir logis.
Sebenarnya sebelum jauh kepada pelaksanaan demokrasi sendiri, rasanya
kaum muda yang di sini menjadi pemeran utama pada pengkaitan diri mereka
dengan budaya demokrasi, pembentukan karakter (character building) dan juga
pembekalan ilmu yang berkaitan menjadi modal mereka dalam eksekusi tingkat
lanjut mengenai salah satu bentuk pemerintaha ini (demokrasi).
Acap kali kaum muda ingin merasa bebas dalam setiap tindakan, ya meski
dalam tanda kutip tidak mengekang apa yang sudah menjadi aturan. Terkenal
dengan kaum masa transisi, pikiran yang labil dan bahkan ada saja diantara
mereka yang mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Ini tandanya, budaya
demokrasi belum melekat pada diri mereka. Demokrasi bukan hanya musyawarah,
bukan hanya diskusi, tapi juga dapat diartikan penuh pertimbangan. Saat
seseorang harus memutuskan dengan cepat tanpa ikut campur sumbang pikiran
orang lain, maka orang tersebut mesti memikirkan risiko, atau kejadian apapun
yang terjadi nantinya, tidak merugikan orang lain dan jelas menguntungkan
dirinya. Hal ini juga dapat dijadikan langkah awal dalam pembentukan karakter
kaum muda guna menjadi pribadi yang demokratis.
Kembali pada arti demokrasi dalam skala besar yang menyangkut pada
urusan ketatanegaraan. Saat pemerintah dibentuk oleh sistem demokrasi, dengan
rakyat yang memiliki peran sangat penting, ada rasa bingung yang muncul
setelahnya. Apabila Indonesia masih menganut sistem musyawarah dalam setiap
pencapaian mufakat ini, lalu mengapa rasanya negara maritim ini bagai penganut
okhlokrasi? Kata “rasanya” bisa saja diartikan sebagai “perasaan” atau belum
tentu terjadi pada Indonesia, namun faktanya, tak mengenal wakil rakyat, pajabat
daerah, atau bahkan aparat penegak hukum sangat akrab dengan korupsi, kolusi
juga nepotisme, bukan sebagai pemeberantas, melainkan eksekutor. Bukan hanya
itu, ketidak akraban mereka, khusunya wakil rakyat kepada rakyatpun seolah
menegaskan bahwa mereka bukan sebagai jembatan aspirasi. Masih demokrasikah
Indonesia?
Kaum muda kena imbas? Jelas. Tapi tak usah diambil pusing, contohnya
saja hal ini berdampak kepada pola pikir kaum muda yang harus lebih dipertajam
lagi untuk masa mendatang, beri mereka kebebasan beraspirasi tanpa menembus
labirin hukum, berekspresi dengan jiwa muda mereka, mengeksplorasi
kemampuan dengan segala imajinasinya.
Mau tidak mau, antara kaum muda dan demokrasi hubungannya begitu
erat. Hidupnya demokrasi dalam lingkungan mereka merupakan sebuah identitas,
sebuah keputusan atau bahkan sebuah alternatif, misalnya dalam menentukan
pendidikan. Jelas terjadi hubungan kausal antara demokrasi dan pendidikan itu
sendiri. Demokrasi sebagai “kornea”, dapat diartikan sebagian bagian terluar,
terpenting dan bersifat kuat karena memiliki proses yang hasil ahkitnya cukup, di
mana kaum muda atau katakanlah remaja dengan tekad mengenyam pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi lagi, dibarengi dengan kemampuan akademis yang
mumpuni, disertai keahlian nonakademis, dan juga ketepatan dalam menentukan
pilihan jurusan pendidikan. Karena hal ini sering menjadi sebuah dinding
kegagalan atau setidaknya kekeliruan, hanya karena antara penentuan pendidikan,
musyawarah dengan orang tua (demokrasi), keinginan dan gengsi tidak sinkron.
Demokrasi sejenis ini mungkin terkesan sederhana, namun hasilnya bisa
menjadi penentu perjalanan demokrasi Indonesia dalam lingkup yang lebih besar.