Revitalisasi Bahasa Indonesia sebagai Ba

Revitalisasi Bahasa Indonesia sebagai Basis Transformasi
Budaya Bangsa
Oleh: Andik Wahyun Muqoyyidin1
1

Dosen Tetap Fakultas Agama Islam
Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum (UNIPDU) Jombang

PENDAHULUAN
Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan
ke-66 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
sudah berusia 83 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia
tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat maturasi atau “kematangan” dan
“kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit getirnya
perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” dengan menetapkan bulan
Oktober sebagai Bulan Bahasa.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang
banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa
Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise
tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia

bersikap fleksibel dan inklusif dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar
menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah
perubahan dan dinamika itu?.
Sementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui,
bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih
dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan

1

terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis,
menyelipkan setumpuk istilah asing―padahal sudah ada padanannya dalam bahasa
Indonesia.
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa
nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak
henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan benar. Bahkan, juga telah menunjukkan perhatian yang cukup besar dan serius
dalam upaya menumbuhkembangkan bahasa Indonesia. Melalui “tangan panjang”-nya,
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), pemerintah telah meluncurkan
beberapa kaidah kebahasaan baku agar dapat dijadikan sebagai acuan segenap lapisan

masyarakat

dalam

berbahasa

Indonesia,

seperti

Pedoman

Umum

Ejaan

yang

Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa
Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah itu
tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak.
Pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya
payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan
nyata dari penuturnya.

Pembelajaran Bahasa Indonesia
Bagi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia merupakan simbol dan identitas kultural
maupun politis yang menjadi rantai pengikat kuat dalam membangun kebersamaan sebagai
sebuah komunitas di dalam keberanekaragaman kepentingan. Sebagai sebuah rantai
pengikat, bahasa Indonesia yang dideklarasikan sebagai identitas tunggal kebahasaan lebih
dari setengah abad yang lalu telah teruji mampu mempersatukan beragam kepentingan dan

2

latar belakang etnis maupun agama. Berdasarkan hal ini maka sudah selayaknya
revitalisasi penggunaan bahasa Indonesia melalui program pembelajaran di sekolah harus
selalu ditingkatkan dari hari ke hari.
Realitas pengembangan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa standar dalam

ragam kegiatan ilmiah merupakan hal yang patut diperhatikan pembinaannya. Mengapa?
Karena secara ideologis, fungsi bahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD
1945 khususnya berkaitan dengan fungsinya sebagai penanda identitas nasional belum
sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan kultural.
Indonesia memiliki keberagaman nilai yang sangat luas, terhampar dari Sabang
hingga Merauke. Dalam konteks perbedaan nilai yang beragam tersebut, maka perlu
dibangun ruang dialog (public sphere) kebahasaan yang lebih terbuka. Ruang ini penting
untuk memberikan kesempatan yang sama besar bagi nilai-nilai lokalitas maupun etnisitas
dalam memberikan pengayaan terhadap bahasa Indonesia melalui program pembelajaran di
sekolah.
Namun

demikian,

membangun

kesetaraan

nilai


melalui

pengembangan

kebahasaan tidaklah cukup dengan membangun standar baku kebahasaan, tetapi lebih jauh
semangat pengembangan kesetaraan nilai kebahasaan harus diwacanakan secara terus
menerus dalam seluruh aktivitas pendidikan tanpa memperkecil arti nilai-nilai yang
bersifat lokalitas (local wisdom).
Di sisi lain, ruang dialog publik kebahasaan yang dibangun harus mampu menjadi
instrumen perubahan nilai yang dalam jangka panjang memberi pengaruh kuat pada
perkembangan kualitas individual, cara berpikir dan berperilaku para siswa kita. Ini berarti
bahwa pembangunan aspek kebahasaan harus menjadi prioritas sehingga memungkinkan
terbangunnya kualitas komunikasi di dalam berbagai kepentingan dalam konteks
pendidikan secara sadar. Penggunaan bahasa yang berkualitas dan benar di dalam semua

3

komunikasi pembelajaran dan rutinitas kehidupan nasional pada gilirannya akan
memberikan pengaruh kuat pada perubahan cara pandang para siswa kita terhadap setiap
fenomena yang muncul. Hal ini juga paling tidak akan memberikan dampak positif pada

pemahaman generasi muda akan nilai-nilai adiluhung budaya bangsa yang termanifestasi
melalui bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila kebijakan revitalisasi penggunaan
bahasa Indonesia di semua jenjang pendidikan dilakukan di dalam konteks kesetaraan
sistem nilai, tertata secara sistemik dan sistematis. Mengapa harus demikian? Karena
bahasa secara umum dapat menjadi inspirasi perubahan yang mampu mempengaruhi
perilaku dan cara berpikir para siswa kita dalam mengambil keputusan penting yang
bersifat lebih luas. Kesalahan penggunaan bahasa di dalam satu bentuk komunikasi
seringkali diikuti oleh kesalahan-kesalahan lain yang bersifat struktural dan substantif. Jika
dalam sebuah komunikasi pembelajaran tidak terjadi pengertian yang setara antara guru
dan siswa, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan kesalahan penafsiran yang
berakibat hilangnya makna bahasa yang dimaksudkan dalam komunikasi yang dilakukan.
Akibatnya proses belajar hanya akan melahirkan miskonsepsi kurikuler.
Oleh karena itu, hal terbaik yang dilakukan untuk menghindari kesalahankesalahan maupun konflik nilai sebagai akibat kesalahan penafsiran tersebut kita harus
menempatkan bahasa sebagai mediator setara yang menghubungkan berbagai kepentingan.
Dengan demikian, konflik nilai yang muncul sebagai perbedaan cara pandang maupun cara
mengkomunikasikan gagasan baik oleh guru maupun siswa dapat dilihat sebagai sebuah
pengayaan bahasa yang bersifat dialektis. Artinya, variasi-variasi yang muncul di dalam
konteks kebahasaan dapat dipahami sebagai varian dialek yang mengandung arti yang
setara dengan maksud yang sesungguhnya. Ini semua yang harus disadari oleh para guru


4

kita dalam proses pembelajaran di kelas maupun kegiatan-kegiatan kurikuler lainnya di
dalam konteks yang lebih luas.

Revitalisasi Bahasa Indonesia
Revitalisasi secara etimologis bermakna ‘proses penghidupan kembali’. Sesuatu
yang telah mati dihidupkan kembali melalui sebuah proses yang berpijak pada metodologi
ilmiah, dengan refleksi dalam setiap tahapan siklus proses, dan berkesinambungan. Upaya
revitalisasi merupakan usaha secara intens menggali dan membangkitkan kembali nilainilai yang lama terkubur (tenggelam). Revitalisasi makna kultural bahasa Indonesia adalah
usaha membangkitkan kembali makna kultural bahasa Indonesia sebagai media
mempersatukan bangsa. Tentu saja, bahasa bukan satu-satunya wahana untuk
menyembuhkan degradasi multidimensional bangsa Indonesia yang menyerang sel
kekebalan tubuh bangsa, yaitu persatuan dan kesatuan. Paling tidak, upaya tersebut mampu
memberi kontribusi positif dalam rangka menciptakan bahasa Indonesia yang lebih baik.
Penobatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional oleh Bapak Pendiri Bangsa
(founding fathers) memiliki bobot kultural yang kental dan hanya mencerminkan satu
watak masyarakat, yakni Indonesia. Namun sayang, kekayaan makna kultural ini, hari ini,
telah banyak dilupakan dan dinafikan.

Di era globalisasi, ketika teknologi informasi seolah menjadi raja dalam multiaktivitas manusia, bahasa menjadi semakin inferior. Fungsi bahasa tak lebih hanya sebagai
alat komunikasi yang miskin makna. Bahkan tak jarang bahasa digantikan oleh
kecanggihan mesin sehingga tak perlu menggunakan kata-kata yang terikat struktur
gramatikal maupun semantik, karena dinilai terlalu primitif (ketinggalan jaman).
Pendeknya, bahasa kian terpojok di tengah riuhnya kehidupan modern. Contoh konkretnya,
pembelajaran bahasa Indonesia hanya berhenti di tataran materi pembelajaran di sekolah
dan terperosok hanya pada persiapan UNAS semata, dengan fokus pembelajaran bahasa

5

pada model soal pilihan ganda (multiple choice) yang memassifkan aplikasi bahasa itu
sendiri. Implikasinya, bahasa menjadi kehilangan makna semantis, estetis, serta
sosiolinguistik-nya. Padahal ketiganya menyiratkan makna kultural yang mampu memberi
kontribusi positif menuju masyarakat yang lebih beradab (civilited).
Anasir semantik menghadirkan kebermaknaan kosakata bahasa. Tinjauan makna
ini memberi kekayaan estetika bahasa. Apabila sebuah komunitas mampu menemukan
nilai-nilai estetis dalam alat komunikasinya, yakni bahasa yang dipergunakan, maka
komunitas tersebut mampu berkomunikasi secara santun dan memiliki pola pendekatan
yang beradab. Pola komunikasi dalam segala aktivitas kehidupan jika menggunakan anasir
estetis dijamin akan terhindar dari kesalahpahaman komunikasi yang berpotensi konflik.

Sebuah pesan dari komunikator apabila diterima dengan gejala keliru-tafsir akan
melahirkan pemahaman yang berbeda dari komunikan. Faktanya, seorang komunikator
dewasa ini dalam menyampaikan pesan cenderung menyukai untuk menggunakan tuturan
provokatif dan mengabaikan estetika bahasa. Jika tujuannya hanya untuk mendapatkan
perhatian dari komunikan, tujuan tersebut sudah lama tercapai. Tetapi jika tujuannya
adalah menyampaikan pesan maka konfliklah yang mungkin tercapai.
Hasil Ujian Nasional (UN) bahasa Indonesia enam tahun terakhir terus menurun.
Untuk SMP, nilai rata-rata UN bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7.46, tahun 2007
menjadi 7.39, dan tahun 2008 menjadi 7.00. Untuk tingkat SMA Jurusan Bahasa, nilai ratarata bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7.40, tahun 2007 menjadi 7.08, dan tahun 2008
turun lagi menjadi 6.56. Hal yang sama terjadi juga di SMA Jurusan IPA dan IPS
(Kompas, 1/11/2008 dan 12/1/2009).
Pada UN tahun 2009/2010, nilai bahasa Indonesia menempati juru kunci dari
enam mata pelajaran yang di-UN-kan. Dari enam mata pelajaran yang di-UN-kan, bahasa
Indonesia adalah mata pelajaran yang paling banyak membuat siswa tidak lulus.

6

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebagian
besar kasus ketidaklulusan siswa dalam UN SMA, SMK dan MA tahun 2010 disebabkan
jebloknya nilai pelajaran bahasa Indonesia.

Kemendikbud menemukan, rata-rata mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi
momok bagi siswa SMA, SMK dan MA di semua jurusan. Menurut Mendikbud, M. Nuh,
banyak siswa yang tidak lulus UN dan harus mengulang karena salah satu mata pelajaran
tidak memenuhi syarat, terutama bahasa Indonesia. Pada UN tahun 2010/2011 ini pun,
nilai bahasa Indonesia menempati posisi paling bontot dari enam mata pelajaran yang diUN-kan.
Fakta-fakta di atas tentu mengganggu, menyulitkan, menghambat perkembangan
bahasa Indonesia, bahkan menghilangkan pesona bahasa Indonesia. Apa yang salah dengan
pembelajaran bahasa Indonesia? Bagaimana kita menyikapinya? Upaya apa yang mesti
dilakukan untuk meningkatkan kegairahan belajar bahasa Indonesia, simbol identitas
nasional kita itu?
Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang demikian memprihatinkan, mau atau
tidak, mengharuskan kita untuk melakukan langkah revitalisasi, yaitu dengan
menghidupkan dan menggairahkan kembali proses pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah didukung etos dan semangat guru yang andal serta kegairahan siswa yang terus
meningkat intensitasnya dalam belajar dan berlatih berbahasa.
Menurut hemat penulis, sejumlah upaya yang mesti dilakukan dalam rangka
revitalisasi bahasa Indonesia. Pertama, Pasal 33 Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 29 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, bahwa bahasa pengantar
pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dan

konsekuen.

7

Kedua, guru harus menawarkan bahasa Indonesia secara superior. Pembelajaran
bahasa Indonesia harus dikemas semenarik mungkin, sehingga menumbuhkan rasa cinta
dan semangat belajar para siswa. Kalau para siswa sudah cinta, mereka akan memberikan
perhatian tinggi dan berusaha menjaga bahasa Indonesia dari rupa-rupa pengaruh yang ada.
Selain pembelajaran di kelas, secara periodik para siswa diajak berkunjung ke media massa
dan penerbit buku yang berkualitas, agar kecintaan mereka terhadap bahasa Indonesia
semakin kuat.
Ketiga, lembaga pemerintah, perusahaan dan sekolah mewajibkan para pegawai,
karyawan, dan para komunitas sekolahnya (kepala sekolah, guru, staf dan siswa) untuk
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, minimal selama jam kantor dan jam
sekolah. Untuk mengefektifkannya, reward and punishment dapat diberlakukan.
Keempat, lomba-lomba pidato berbahasa Indonesia, lomba menulis esai, lomba
menulis cerpen, lomba bermain drama dan lomba-lomba yang memacu tumbuh
kembangnya sikap positif dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia mesti digalakkan.
Selama ini kita terlalu bangga dengan lomba-lomba yang berbau sains dan teknologi.
Kelima, para penulis berita, para presenter, tayangan-tayangan telivisi hendaknya
menggunakan bahasa Indonesia yang santun, bahasa Indonesia yang baik dan benar serta
komunikatif demi pengembangan dan keberadaan bahasa Indonesia yang kita cintai.
Keenam, ketertiban dan santun dalam berbahasa yang mencerminkan tajamnya
kemampuan bernalar sebagai ciri manusia Indonesia yang berbudaya dan kritis mutlak
ditumbuhkembangkan dan diejawantahkan dalam komunikasi dan kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, keteladanan para pemimpin (leadership by example), pejabat/birokrat,
guru, kaum cerdik pandai, dan juga imbauan (bahkan akan lebih baik juga ada regulasi
khusus untuk pemantapan penggunaan bahasa Indonesia) dari instansi terkait, bahkan
pemerintah daerah (Pemda) menjadi sangat penting.

8

Ketujuh, di era globalisasi dan teror media massa yang begitu kuat intensitasnya
saat ini, semua pihak harus bekerja sama menjaga agar bahasa Indonesia tetap menjadi
identitas dan kebanggaan nasional. Peran penting bahasa Indonesia harus tetap dijaga dan
ditumbuhkembangkan. Komitmen untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar serta komunikatif harus ditumbuhkembangsuburkan dan dipelihara.
Sedangkan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah langkah
revitalisasi yang mesti ditempuh, di antaranya, pertama, menciptakan dan sekaligus
memberdayakan guru. Upaya pemberdayaan guru hendaknya dimulai sejak calon guru
menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) agar kelak
setelah benar-benar menjadi guru tidak asing lagi dengan dunianya dan siap pakai. Jelas,
tuntutan ideal semacam ini bukan tugas yang ringan bagi LPTK, sebab selain harus mampu
mencetak lulusan yang punya kemampuan akademik tinggi, juga harus memiliki integritas
kepribadian yang kuat dan ketrampilan mengajar yang andal.
Kedua, guru hendaknya tidak terlalu banyak dibebani oleh tuntutan kurikulum
yang dapat memasung kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) hendaknya memberikan ruang dan peluang yang begitu terbuka
bagi para guru dalam melakukan inovasi pembelajaran dan mengaplikasikan kreativitas
pembelajaran secara optimal dalam mengemas kegiatan mengajar-belajar.
Tujuan pembelajaran bahasa bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai ahli
bahasa, melainkan sebagai seorang yang dapat menggunakan bahasa untuk keperluannya
sendiri, dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya apa yang ada di luar dirinya dari
mendengar, membaca, dan mengalami, serta mampu berkomunikasi dengan orang di
sekitarnya tentang pengalaman dan pengetahuannya.
Ketiga, buku paket yang wajib dipakai hendaknya diupayakan untuk dicarikan
buku ajar yang sesuai dengan tingkat kematangan jiwa dan latar belakang sosial-budaya

9

siswa. Hal ini perlu dipikirkan, sebab bahan ajar yang ada dalam buku paket dinilai belum
sepenuhnya mampu menarik minat dan gairah siswa untuk terlibat secara aktif dalam
proses pembelajaran bahasa Indonesia.
Jika langkah revitalisasi tersebut dapat terwujud, tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah bukan mustahil diraih. Anjuran pemerintah untuk menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada seluruh masyarakat pun tidak akan bersifat
sloganistis an sich. Bahkan, mungkin pada gilirannya nanti bahasa Indonesia benar-benar
akan menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise
tersendiri di era globalisasi, fleksibel dan inklusif, dan para penuturnya akan tetap bangga
dan setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di
tengah derap peradaban jaman. Sebab, jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan
kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah.

Transformasi Budaya Bangsa
Bahasa adalah salah satu produk budaya manusia. Sebagai sebuah produk budaya,
bahasa dituntut untuk selalu dinamis sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada
pada masyarakat penuturnya. Dengan demikian, sebuah bahasa akan tetap adaptif terhadap
kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Selain mengemban fungsi sebagai alat
komunikasi, bahasa juga merupakan sarana ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan
dan konsep-konsep serta sarana transformasi atas nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.
Hampir semua komponen produk kebudayaan seperti yang dinyatakan Taylor
dalam Ohoiwutun (2002: 77) bahwa pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat,
serta kemampuan dan kebiasaan lainnya membutuhkan sebuah bahasa sebagai sarana
transformasinya. Upaya pemeliharaan martabat, fungsi dan peran sebuah bahasa tidak
terlepas dari kebijakan bahasa (language policy) dan perencanaan bahasa (language

10

planning) baik pada tingkat pusat maupun di daerah. Kesemua upaya tersebut bermuara
pada pemakaian bahasa (language use).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa,
multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua
perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional.
Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan
posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status
demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa.
Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga
kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia, seperti
jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya,
yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari
penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi
dikuasai dan dipelajari oleh keturunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang
termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe.
Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa
kata bahasa Indonesia.
Upaya untuk mentransformasi budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata
bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di
samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan
bukan sebaliknya.
Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa
tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan

11

daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan
masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e)
pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan
revitalisasi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa
nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan
untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber
kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat
berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan
pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)).
Sebagaimana yang kita ketahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Baik buruknya perilaku atau sikap
masyarakat juga bergantung pada kebudayaannya. Setiap masyarakat mempunyai
kebudayaan yang secara kontinu ditaati dan diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Secara sadar atau tidak sadar, secara terstruktur maupun tidak terstruktur, masyarakat
melalui anggota-anggotanya akan mengajarkan kebudayaannya. Proses mengajarkan inilah
yang disebut sebagai transformasi budaya atau pewarisan kebudayaan.
Dalam proses belajar kebudayaannya, manusia tentunya tidak begitu saja
menerima apa adanya. Ia akan selalu menggunakan daya nalarnya untuk memahami,
menyelami, memilih, dan melaksanakan apa yang menurut pandangannya baik. Bisa saja
yang ia lakukan sedikit berbeda atau berbeda sama sekali dengan yang diajarkan oleh
kebudayaan atau masyarakatnya. Perbedaan ini awalnya bisa menimbulkan konflik dalam
masyarakat. Namun, jika kemudian dapat saling menyesuaikan diri, konflik itu pun akan
hilang.

12

Proses transformasi budaya dapat dilakukan melalui ucapan, sikap, atau perilaku
yang sudah terpola. Dengan kata lain, transformasi kebudayaan dilakukan melalui proses
belajar yang selanjutnya bisa berupa sosialisasi dan enkulturasi.
Selanjutnya, setelah anak beranjak besar atau remaja, ia akan belajar dari teman
seusianya. Ia mulai mengenal nilai-nilai, norma-norma, atau budaya yang mungkin
berbeda dengan yang ada dalam lingkungan keluarganya. Setelah dewasa, ia akan semakin
luas mengembangkan potensinya seiring dengan perkembangan kepribadiannya.
Sosialisasi adalah suatu proses ketika seseorang mempelajari cara hidup
masyarakat untuk mengembangkan potensi dirinya. Proses sosialisasi diawali dari
keluarga. Seorang anak yang baru lahir akan diajarkan berbagai kemampuan dan
pengetahuan dasar yang ditentukan dengan kebiasaan atau kebudayaan tempat keluarga
tersebut tinggal.
Ia akan dikenalkan status dan peran sosial orang-orang di sekelilingnya, seperti
panggilan ayah, ibu, kakak, atau paman dan bibi. Ia juga akan dikenalkan nilai dan norma
sosial yang ada di lingkungan keluarga dan sekitarnya. Enkulturasi adalah proses seseorang
mempelajari dan menyesuaikan diri, baik pemikiran maupun sikapnya terhadap adat
istiadat, sistem sosial, nilai, norma, dan aturan yang hidup atau berlaku dalam budayanya.
Proses ini juga sebenarnya sering diartikan sebagai sosialisasi kebudayaan,
terutama dalam kaitannya dengan pewarisan kebudayaan atau transformasi budaya.
Sosialisasi

merupakan

pengenalan

seseorang

terhadap

lingkungan

sosial

atau

masyarakatnya, sedangkan enkulturasi merupakan proses pengenalan seseorang dengan
budaya atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakatnya.
Perbedaan ini sebenarnya untuk kepentingan penelaahan ilmu pengetahuan karena
sebenarnya antara sosialisasi dan enkulturasi yang dipelajari adalah sesuatu yang sama dan

13

merupakan suatu yang menyatu atau integral. Jadi, apa yang diwariskan atau diajarkan
dalam sosialisasi merupakan sesuatu yang diajarkan pula dalam enkulturasi.
Untuk mengembalikan kehidupan masyarakat Indonesia ke jalan yang telah
ditempuh para pendiri bangsa (founding fathers) yang berbasis moral agama, kita perlu
mengadakan perubahan budaya dan mengekalkan perubahan tersebut dalam sastra dan
bahasa. Maka disinilah letak pentingnya revitalisasi bahasa Indonesia sebagai basis
transformasi budaya bangsa. Karena berpalingnya kita dari pemikiran-pemikiran dasar para
pendiri bangsa, pengalaman bangsa kita tercinta ini menjadi suram yang ditandai oleh
merosotnya moral atau demoralisasi, runtuhnya kesadaran berbangsa, semaraknya pahampaham Barat seperti relativisme moral, free values dan paham-paham Barat lainnya yang
kurang begitu relevan. Tak lain dan tak bukan, apa yang dapat kita laksanakan dalam dunia
sastra dan bahasa adalah mengadakan perubahan (transformasi) besar-besaran. Hal tersebut
dapat dilaksanakan dalam bentuk tulisan yang bersifat jurnal ilmiah atau majalah
ilmiah/budaya dan dikirim pada lembaga-lembaga yang bersangkutan.

KESIMPULAN
Bagi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia merupakan simbol dan identitas kultural
maupun politis yang menjadi rantai pengikat kuat dalam membangun kebersamaan sebagai
sebuah komunitas di dalam keberanekaragaman kepentingan dan latar belakang etnis
maupun agama. Berdasarkan hal ini maka sudah selayaknya revitalisasi penggunaan
bahasa Indonesia melalui program pembelajaran di sekolah harus selalu ditingkatkan dari
hari ke hari. Di samping itu revitalisasi bahasa Indonesia sebagai basis transformasi budaya
bangsa di tengah-tengah masyarakat hendaknya secara kontinu dilakukan dengan
sosialisasi dan enkulturasi baik melalui ucapan, sikap, atau pun perilaku yang sudah
terpola.

14

DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, Abuhasan. 2009. Catatan 50 Tahun Polemik Kebudayaan. Dian Rakyat: Jakarta.
Nyahu, Anthony. 2009. Revitalisasi Bahasa dan Sastra Dayak Ngaju sebagai Lambang
Identitas
Daerah
di
Tengah
Pergaulan
Masyarakat
Heterogen.
http://nyahudayak.blogspot.com/2009/11/revitalisasi-bahasa-dan-sastra-dayak.html
Pasti,

Y. Priyono. 2011. Revitalisasi Bahasa
news.com/kolom/revitalisasi-bahasa-indonesia

Indonesia.

http://www.equator-

Ridjal, Fauzie dan M. Rusli Karim (ed). 1991. Dinamika Budaya dan Politik dalam
Pembangunan. Tiara Wacana: Yogyakarta.
Suyanto. 2009. Pembelajaran Bahasa Indonesia. http://www.dinaspendidikanparepare.info/index.php?option=com_content&view=article&id=109:pembelajaran
-bahasa-indonesia&catid=59:artikel-pembelajaran
Tuhusetya, Sawali. 2009. Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah.
http://pawiyatan.com/2009/04/06/revitalisasi-pembelajaran-bahasa-indonesia-disekolah/
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan. Pilar Media: Yogyakarta.

15

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111