BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Kehidupan Anak Penyusun Batu Bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

  Hasil studi yang dilakukan Bagong Suyanto pada tahun 2001 dalam jurnal yang ditulis Eny Hikmawati, menyebutkan jumlah pekerja anak usia 7-14 tahun di Indonesia meningkat 1,64 juta pada bulan Oktober 1997 menjadi 1,73 juta pada Agustus 1998, dan meningkat menjadi 1,81 juta pada Desember 1998.

  Pertambahan jumlah pekerja anak ini meningkat 6 kali lipat di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah pedesaan. Hasil penelitian juga mengungkap munculnya pekerja anak berusia 5-9 tahun yang jumlahnya mencapai 203 ribu orang pada Desember 1998 (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial: 2011, 43)

  Dari hasil penelitian oleh Tuti Atika, dkk, dalam Jurnal Studi Pembangunan Magister Studi Pembangunan USU diperoleh bahwa faktor penyebab anak bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang sering tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh orang tuanya. Adapun alasan yang lain adalah untuk membantu ekonomi keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, mendorong anak bekerja meringankan beban ekonomi keluarga. Selain itu, motivasi anak bekerja karena ingin memperoleh penghasilan sendiri. Hal ini berkaitan dengan gesekan-gesekan sosial dan globalisasi ide tentang gaya hidup menyebarnya budaya konsumerisme yang menyebabkan pentingnya akses terhadap uang bagi anak (Jurnal Studi Pempangunan, 2006 : 76)

  Dari survei mengenai pekerja anak yang dilaksanakan oleh YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) tahun 1984 ditemukan bahwa ketidakmampuan orangtua untuk memenuhi kebutuhan anak dan ketidakmampuan untuk membiayai sekolah anak (84%) merupakan faktor utama yang mendorong anak untuk bekerja. (Abu Huraerah, 2007: 80)

  Hasil riset yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret (P3G LPPM UNS) dengan koordinator peneliti Drs. D. Priyo Sudibyo, M.Si, dkk pada tahun 2010 mengkaji tentang pekerja anak dengan mendasarkan atas Konvensi Hak Anak (KHA) dari PBB serta pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2002, menunjukkan bahwa dari 45 anak yang terdiri dari 12 anak perempuan (10 anak berusia 10 - 17 tahun) dan 33 anak laki-laki (16 anak berusia 10 - 17 tahun), bekerja di berbagai sektor atau bidang diantaranya, 5 anak bekerja di sektor konstruksi, 5 anak terlibat AYLA (anak yang dilacurkan), 6 anak sebagai pemulung sampah, 10 anak menjadi anak jalanan, 1 anak sebagai PRT, 11 anak bekerja di industri rumahan dan 7 anak bekerja di sektor mengandung bahan kimia berbahaya. Bila dilihat dari jam kerjanya, 32 anak bekerja 4-8 jam, 6 anak bekerja selama kurang dari 4 jam dan 7 anak lebih dari 8 jam. Sedangkan berdasarkan pendapatan 28 anak memperoleh pendapatan kurang dari Rp. 25.000,00 sehari dan 17 anak memperoleh lebih atau sama dengan Rp. 25.000,00 perhari. Untuk pemanfaat atau penggunaan pendapatan anak-anak yang dieksplorasi mengungkapkan untuk diri sendiri dan orang tua sebanyak 19 anak dan ada sebanyak 18 anak yang menggunakan untuk diri sendiri akses 3 Juni 2013, pukul 22.45 WIB).

  2.2. Definisi Anak

  Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam

  

Convention on the Rights of the Child (1989) yang diratifikasi pemerintah

  Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebuthkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang- undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Abu Huraerah, 2007:31)

  Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan peribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah sese0rang melampaui usia 21 tahun.

  2.3. Pekerja Anak

  Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Bagong Suyanto, 2010). Dengan demikian, anak-anak tersebut bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa orang lain.

  Pekerja anak merupakan suatu istilah yang seringkali menimbulkan perdebatan, meskipun sama-sama digunakan untuk menggantikan istilah buruh anak. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilah anak-anak yang terpaksa bekerja. Biro Pusat Statistik menggunakan istilah anak-anak yang aktif secara ekonomi. Definisi Pekerja Anak menurut ILO/ IPEC adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual dan moral. Konsep pekerja anak didasarkan pada Konvensi ILO No 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang menggambarkan definisi internasional yang paling komprehensif tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, mengacu secara tidak langsung pada “kegiatan ekonomi”. Konvensi ILO menetapkan kisaran usia minimum dibawah ini dimana anak-anak tidak boleh bekerja. Usia minimum menurut Konvensi ILO No 138 untuk negara-negara dimana perekonomian dan fasilitas pendidikan kurang berkembang adalah semua anak berusia 5 – 11 tahun yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi adalah pekerja anak sehingga perlu dihapuskan. Anak- anak usia 12 – 14 tahun yang bekerja dianggap sebagai pekerja anak, kecuali jika mereka melakukan tugas ringan. Sedangkan usia sampai dengan 18 tahun tidak diperkenankan bekerja pada pekerjaan yang termasuk berbahaya.

  Pekerjaan ringan dalam Konvensi No 138 Pasal 7, menyatakan bahwa pekerjaan ringan tidak boleh menggangu kesehatan dan pertumbuhan anak atau menggangu sekolahnya serta berpartisipasinya dalam pelatihan kejuruan atau “kapasitas untuk memperoleh manfaat dari instruksi yang diterimanya. Tugas yang dilaksanakan dalam pekerjaan ringan tidak boleh merupakan pekerjaan yang berbahaya dan tidak boleh lebih dari 14 jam per minggu. Ambang batas ini didukung oleh Konvensi ILO no 33 tahun 1932 mengenai usia minimum (Pekerja di bidang Non Industri) dan temuan tentang dampak anak bekerja terhadap tingkat kehadiran prestasi di sekolah dan terhadap kesehatan anak.

  Pekerja anak melakukan pekerjaan tertentu sebagai aktifitas rutin harian, jam kerjanya relatif panjang. Ini menyebabkan mereka tidak dapat bersekolah, tidak memiliki waktu yang cukup untuk bermain dan beristirahat, dan secara tidak langsung aktifitas tersebut berbahaya bagi kesehatan anak. Sedangkan anak bekerja, mereka melakukan aktifitas pekerjaan hanya sebagai latihan. Kegiatan tersebut tidak dilakukan setiap hari, jam kerja yang digunakan juga sangat pendek, dan aktifitasnya tidak membahayakan bagi kesehatan anak serta mendapatkan pengawasan dari orang yang lebih dewasa atau ahlinya. Dalam hal ini anak masih melakukan aktifitas rutinnya seperti sekolah, bermain dan beristirahat.

2.4. Faktor Penyebab Anak Bekerja

  Keterlibatan anak dalam dunia kerja tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab tersebut ada yang berasal dari dalam diri anak maupun karena pengaruh lingkungan terdekat dengan anak. Secara garis besar faktor penyebab ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik.

  Faktor pendorong merupakan faktor yang berasal dari dalam diri si anak, yang mendorong anak untuk melakukan aktifitas tertentu yang menghasilkan uang.

  Dengan hasil yang diperoleh anak akan menjadi senang dan dorongan tersebut akan terpuaskan. Faktor pendorong yang menyebabkan anak memilih menjadi pekerja anak antara lain : kemiskinan yang dialami orangtua, adanya budaya dan tardisi yang memandang anak wajib melakukan pekerjaan sebagai bentuk pengabdian kepada orangtua, relatif sulitnya akses ke pendidikan, tersedianya pekerjaan yangmudah diakses tanpa membutuhkan persyaratan tertentu, dan tidak tersedianya fasilitas penitipan anak pada saat orangtua bekerja.

  Faktor penarik adalah faktor yang berasal dari luar diri anak. Faktor inilah yang menjadi alasan bagi dunia kerja untuk menerima anak bekerja. Anak dipandang sebagai tenaga kerja yang murah dan cenderung tidak banyak menuntut. Pekerja anak dipandang tidak memiliki kemampuan yang memadai, baik secara fisik maupun kemampuan. Dengan demikian para pengusaha akan cenderung memilih anak karena upah yang diberikan akan cenderung lebih murah dari pada orang dewasa. Di samping itu anak lebih patuh dan penurut terhadap instruksi yang diberikan oleh orang dewasa.

  Selain beberapa faktor di atas, penyebab anak memasuki dunia kerja dapat dilihat dari beberapa faktor antara lain: ekonomi, sosial, budaya dan faktor-faktor lain. Dari faktor ekonomi, kemiskinan keluarga menyebabkan ketidak mampuannya dalam memenuhi kebutuhan pokok. Kondisi ini menyebabkan anak dengan kesadaran sendiri atau dipaksa oleh keluarga untuk bekerja, sehingga kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi dan membantu keluarga dalam mencari nafkah. Secara sosial ketidak harmonisan hubungan antar anggota keluarga dan pengaruh pergaulan dengan teman, merupakan faktor yang menyebabkan anak bekerja. Bagi anak, bekerja bukan sekedar kegiatan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Tetapi juga sebagai pelampiasan atas ketidak harmonisan hubungan diantara anggota keluarga. Di samping itu pekerjaan dan teman-teman di tempat bekerja merupakan tempat yang dapat dijadikan tempat bergantung bagi anak.

  Faktor budaya yang menyebabkan anak bekerja adalah adanya pandangan dari sebagian masyarakat yang lebih menghargai anak yang bekerja. Mereka menganggap bahwa anak yang bekerja merupakan bentuk pengabdian kepada orangtua. Faktor-faktor lain yang turut menjadi penyebab anak memasuki dunia kerja adalah tersedianya sumber lokal yang dapat menjadi lahan pekerjaan bagi anak, pola rekriutmen yang mudah dan anak merupakan tenaga kerja yang murah dan mudah diatur.

  Dampak dari pekerja anak yang secara tidak langsung akan ditanggung oleh masyarakat dan negara antara lain : pertama, anak tidak memiliki bekal pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga akan memperpanjang siklus kemiskinan yang selama ini sudah dialami keluarga anak. Kedua, Anak yang bekerja pada usia dini akan cenderung memilliki fisik yang lebih rapuh, merasa takut dan tidak memiliki rasa percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain yang baru dikenalnya.

  Memperhatikan pada dampak negatif terhadap perkembangan anak tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pekerja anak merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian berbagai pihak. Masalah pekerja anak bukanlah masalah yang memiliki faktor penyebab tunggal, sehingga penanganannya pun perlu melibatkan beberapa pihak yang berhubungan dengan anak. Pandangan yang mempermasalahkan pekerja anak juga dapat dilihat dari perspektif hak anak.

  Perspektif hak anak memandang bahwa hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara Internasional.

  Setiap anak tanpa terkecuali memiliki 4 hak dasar yang meliputi : hak atas kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Hak untuk tumbuh kembang merupakan hak anak untuk memperoleh pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama serta hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.

  Membiarkan anak untuk menjadi pekerja anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak anak, terutama hak untuk berkembang. Pekerja anak menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja. Ini menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperoleh pendidikan, melakukan aktfitas yang berkaitan dengan seni dan budaya, tidak memiliki waktu luang yang memungkinkannya untuk bersosialisasi dengan teman sebaya dan cenderung berada pada situasi yang berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.

2.5. Hak dan Kebutuhan Anak

  Setiap anak memiliki hak dan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh orangtua atau keluarga maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya. Pemenuhan hak dan kebutuhan pada anak akan berpengaruh besar pada tumbuh kembang anak, baik dalam hal fisik maupun emosional anak sebagai generasi penerus bangsa.

  Semakin terpenuhinya hak dan kebutuhan anak maka semakin besar kemungkinan untuk menghasilkan generasi yang membangun bangsa dan negaranya.

2.5.1. Hak-hak Anak

  Anak merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang kelak diharapkan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya demi kelestarian bangsa dan negara. Membuat perencanaan masa depan tanpa memperhitungkan variabel anak adalah sebuah pikiran amoral dan historis, karena tidak meletakkan manusia sebagai faktor determinan dalam perubahan masyarakat. Bila itu terjadi, maka dalam prosesnya akan dengan mudah melupakan faktor-faktor kepentingan anak dan lebih untuk menuruti egoisme manusia dewasa yang berfikir hanya untuk kepentingan sesaat. Anak-anak karena ketidakmampuan ketergantungaan dan ketidakmatangan, baik fisik, mental maupun intelektual, perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa). Perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak adalah kewajiban agama dan kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari keluarga, masyarakat dan negara.

  Dalam sebuah keluarga terdapat anak-anak yang menjadi tanggung jawab orang tua, baik yang masih dalam kandungan, masa bayi hingga anak mencapai usia dewasa dan mandiri. Sebagai bagian dari masyarakat bangsa, anak juga memiliki hak yang berguna dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya. Pengakuan terhadap hak anak secara Internasional dilakukan oleh PBB melalui suatu konvensi yaitu pada tahun 1989. Prinsip- prinsip yang dianut dalam Konvensi Hak Anak adalah (Buletin Kalingga: November-Desember 2004) 1.

  Non Diskriminasi (Pasal 2). Semua hak anak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa perbedaan apapun.

  2. Kepentingan terbaik untuk anak (Pasal 3). Semua tindakan yang menyangkut anak, pertimbangannya adalah apa yang terbaik untuk anak.

  3. Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui atas perkembangan hidup dan perkembangannya harus dijamin.

  4. Penghargaan terhadap pendapat anak (Pasal 12). Pendapat anak terutama yang menyangkut hal-hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Konvensi hak anak tersebut diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam

  Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa anak memiliki hak-hak antara lain: hak untuk hidup layak, hak untuk berkembang, hak untuk dilindungi, hak untuk berperan serta, hak untuk menolak menjadi pekerja anak, dan hak untuk memperoleh pendidikan.

  Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 (disetujui DPR RI tanggal

  23 September 2002), perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih kokoh. Hak anak relatif lebih lengkap dan cukup banyak dicantumkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut adalah sebagai berikut.

  Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

  Pasal 5 : Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Pasal 6 : Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orangtua.

  Pasal 7 : (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri.

  (2) Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  Pasal 8 : Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial

  Pasal 9 : (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus

  Pasal 10 : Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

  Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

  Pasal 12 : Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

  Pasal 13 : (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

1. Diskriminasi; 2.

  Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 3. Penelantaran; 4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 5. Ketidakadilan; dan 6. Perlakuan salah lainnya

  (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman

  Pasal 14 : Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

  Pasal 15 : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari: 1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik; 2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; 3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial; 4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

5. Pelibatan dalam peperangan

  Pasal 16 : (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai hukum.

  (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana pendjara anak hanya dilakukan apabila dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

  Pasal 17 : (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: 1. Mendapat perlakukan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

  2. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlakuuu dan 3. Membela diri dan memperoleh memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan

  Pasal 18 : Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

2.5.2. Kebutuhan Anak

  Huttman dalam Abu Huraerah (2012:38) merinci kebutuhan anak adalah:

1. Kasih sayang orangtua 2.

  Stabilitas emosional 3. Pengertian dan perhatian 4. Pertumbuhan kepribadian 5. Dorongan kreatif 6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar

  7. Pemeliharaan kesehatan 8.

  Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai

  9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif 10.

  Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan. Menurut Suharto yang dikutip oleh Abu Huraerah (2012 : 39), untuk menjamin pertumbuhan fisik anak, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orangtua sebagai perantara dengan dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan kasih sayang, pemahaman, suasana rektratif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggung jawab sosial, peran-peran sosial dan ketrampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat. Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga menalami hambatan mental, lemah daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku mal-adaptif, seperti: autis, ‘nakal’, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia ‘tidak normal’ dan pelaku kriminal.

2.5.2.1. Pendekatan holistik pada tumbuh kembang anak

  Seorang psikiater terkenal, Dadang Hawari berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak seutuhnya dipengaruhi empat faktor yang saling berinteraksi satu dengan yang lain: faktor organobiologik, psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spritual (agama).

  Anak akan tumbuh dan berkembang sehat apabila keempat faktor tersebut terpenuhi dengan baik. interaksi dari keempat faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Abu, Huraerah, 2012 : 40) :

  Organo- Agama/

  Biologik Spiritual

  Anak Sosial-

  Psiko- Budaya

  Edukatif

Gambar 2.1. Bagan Pendekatan Holistik Pada Tumbuh Kembang Anak

  Dalam hal agama, anak harus mendapapat pendidikan agama sejak dini sehingga dapat menjalankan peraturan dengan pemahaman yang benar. Dalam hal organo-biologik, anak membutuhkan pemenuhan jasmaninya secara fisik demikian pula dengan tingkat gizi yang seharusnya mereka terima sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara sehat. Dalam hal psiko-edukatif, anak membutuhkan pendidikan baik secara formal maupun informal yang sangat berpengaruh pada kecerdasan dan mental anak guna masa depan yang baik. Dalam sosial-budaya, anak membutuhkan pola-pola interaksi yang baik dan ajaran budaya yang bernilai positif untuk dijalankan sebagai makhluk sosial.

2.5.2.2. Gaya mendidik anak yang tidak efisien

  Daniel Golemen mengungkapkan tiga gaya mendidik anak yang secara emosional pada umumnya tidak efisien, yaitu:

  1. Sama sekali mengabaikan perasaan Orangtua seperti ini memperlakukan masalah emosional anaknya sebagai hal kecil atau gangguan, sesuatu yang mereka tunggu-tunggu untuk dibentak. Mereka gagal memanfaatkan momen emosional sebagai peluang untuk menjadi lebih dekat dengan anak atau untuk menolong anak untuk memperoleh pelajaran-pelajaran dalam ketrampilan emosional.

  2. Terlalu membebaskan Orangtua seperti ini peka akan perasaan anak, tetapi jarang berusaha memperlihatkan respon-respon alternatif kepada anaknya.

  Mereka mencoba menenangkan semua kekecewaan, dan misalnya akan menggunakan tawar-menawar serta suap agar anak berhenti bersedih hati dan marah.

  3. Menghina dan tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak Orang tua seperti ini suka mencela, mengecam, dan menghukum keras anak mereka. Misalnya, mereka mencegah setiap ungkapan kemarahan anak dan menjadi kejam jika melihat tanda kemarahan paling kecil sekalipun. Mereka adalah orangtua yang akan berteriak marah pada anak yang mecoba menyampaikan alasannya, “Jangan Membantah!” (Hermanta dalam Abu Huraerah, 2012 : 42) Gaya mendidik anak yang tidak efisien akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Anak yang didik dengan pola dan aturan tertentu di dalam sebuah keluarga, cenderung akan mengikuti dan meregenerasikan pola dan aturan yang sudah ia terima sebelumnya tersebut. Jika pola dan aturan yang anak terima bersifat menyimpang, maka anak akan cenderung melakukan tindakan menyimpang, demikian pula sebaliknya.

2.6. Proses Enkulturasi Pada Anak

  Istilah yang sesuai untuk kata enkulturasi adalah “pembudayaan”. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah institutionalization. Proses enkulturasi adalah proses seorang individu nmempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya terhadap adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. (Koentjaraningrat, 2009: 189)

  Proses enkulturasi sudah berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Anak kecil mulai belajar dengan cara menirukan tingkah laku orang-orang di sekitarnya, yang lama kelamaan menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tingkah lakunya “dibudayakan”. Selain di lingkungan keluarga, norma-norma tersebut dapat pula dipelajari dari pengalamannya bergaul dengan sesama warga masyarakat dan secara formal di lingkungan sekolah.

  Pada mulanya, yang dipelajari oleh seorang anak tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsur-unsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat abstrak. Meskipun enkulturasi hampir memiliki makna yang sama dengan sosialisasi, namun keduanya memiliki arti yang berbeda. Di dalam enkulturasi seorang anak mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan yang telah menjadi kebudayaannya. sedangkan di dalam sosialisasi, seorang anak melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya.

2.7. Perubahan Fungsi Keluarga

  Perubahan fungsi keluarga dapat menimbulkan munculnya disorganisasi keluarga. Keluarga tradisional merupakan suatu lembaga multifungsi dan mempunyai berbagai fungsi ekonomi, perlindungan, pendidikan, religi, rekreasi, biologis, kasih sayang dan status. Perubahan sosial telah merubah fungsi-fungsi dari keluarga kepada lembaga-lembaga yang lain, dan dalam banyak hal keluarga sekarang merupakan bayangan dari yang lama itu sendiri. (Khairuddin, 1999 : 123)

  Fungsi ekonomi, misalnya, merupakan kepentingan yang menentukan karena keluarga bukanlah selamanya merupakan unit produksi yang utama.

  Kecenderungan menempatkan beban pendidikan formal hampir sepenuhnya pada masyarakat, dan keluarga telah kehilangan sebagian besar fungsi pendidikannya kecuali pada masa-masa awal si anak. Sekolah gereja moderen telah banyak mengambil alih pendidikan agam dan sama sekali memperkecil fungsi agama keluarga. Negara telah memegang hak untuk melindungi kesejahteraann wargannya mulai dari ayunan sampai kel liang kubur. Pada satu tujuan tentang perjalanan hidup, negara telah meningkatkan peranan perlindungannya atas si anak, pada tujuan lain, program-program bantuan terhadap orang-orang jompo seterusnya telah menurun fungsi perlindungan keluarga terhadap mereka-mereka yang berusia lanjut.

  Fungsi-fungsi tradisional tertentu sebagian besar telah dipegang oleh lembaga- lembaga atau asosiasi-asosiasi lain. Rekreasi yang bersifat komersil telah menjadi begitu kuat, sehingga hampir menutupi fungsi rekreasi keluarga, khususnya pada pusat-pusat kota. Fungsi status yang ada dalam suatu negara berubah terus menerus dan tidak dapat diganti oleh agen yang sama. Pada awalnya, status sebagian besar ditentukan oleh kelahiran. Posisi dalam masyarakat dengan ukuran luas menghasilkan keanggotaan seseorang dalam suatu keluarga khusus. Sekarang banyak yang lebih menekankan pada individu dan prestasinya daripada berdasarkan keanggotaannya di dalam suatu kelompok keluarga. Hal ini cenderung untuk demokratis, dan hal ini juga memperlihatkan menurunnya fungsi tradisional. Nilai pokok dari keluarga zaman sekarang terletak pada tiga hal yang fungsinya tidak dapat dijalankan oleh lembaga lain yakni fungsi biologis, fungsi sosialisasi, dan fungsi kasih sayang.

  Fungsi biologis menentukan peranan keluarga dalam melaksanakan hubungan sosial yang serasi yang didalamnya anak-anak dikandung dan dilahirkan. Fungsi biologis merupakan alat pengerahan masyarakat dengan tambahan angota-anggota baru. Hal ini merupakan fungsi yang terpenting dari segala fungsi-fungsi, tanpa dengan ini keluarga dan masyarakat biasanya akan bertambah buruk dan musnah.

  Dalam fungsi sosialisasi, proses kepribadian si anak ditentukan lewat interaksi sosial. Agen utama dalam hubungan ini adalah keluarga dan masyarakat. Setiap masyarakat seharusnya mengajar si anak untuk menjadi anggota yang bertanggung jawab dan paling utama adalah melalui keluarga. Melalui keluarga si anak belajar menerima norma-norma sosial, sikap-sikap, nilai-nilai, serta pola- pola tingkah laku sehingga bahasa, pola-pola seks, keyakinan agama, sopan santun, dan cara pengaplikasian elemen-elemen kebudayaan diatasi melalui keluarga.

  Fungsi kasih sayang termasuk pengertian simpatik, kepuasan diri, perasaan aman, dan keinginan untuk dicintai dan dihargai. Fungsi kasih sayang juga memerlukan kasih sayang perkawinan, perasaan cinta dan penghargaan diantara pasangan suami istri, akan tetapi kebutuhan-kebutuhan perkawinan lebih daripada sekedar kasih sayang romantis untuk memastikan keabadiannya.

2.8. Pekerja Anak Rawan Eksploitasi

  Hampir semua studi tentang pekerja anak membuktikan adanya tindakan yang merugikan anak. Para pekerja anak umumnya selain dalam posisi tak berdaya, juga sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi. Di sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi resiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa.

  Kecenderungan eksploitasi terhadap anak berkaitan secara signifikan dengan ranah eksternal makro yang saling mempengaruhi dengan keterdesakan dan atau marginalisasi kelompok anak-anak baik secara sosial, psikologis, dan ketahanan mental dari serangan budaya atau gaya hidup materialistis yang semakin meluas.

  Dinamika sosial ekonomi secara tidak disadari telah menimbulkan persoalan yang tidak terduga, sebagaimana pelacuran anak, fenomena ABG (Anak Baru Gede), aborsi, dan pornografi anak.

  Keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi, bila dilakukan secara proporsional dan mengikuti aturan hukum yang berlaku barangkali persoalan ini tidak akan terlalu merisaukan. Dengan latar belakang kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif belum berkembang, peran anak sebagai salah satu sumber penghasilan keluarga bagaimnapun tidak akan dapat diingkari begitu saja. Tetapi yang memprihatinkan meski secara resmi pemerintah telah menerbitkan sejumlah aturan hukum, dalam praktik berbagai pelanggaran tetap saja terjadi.

  Di berbagai daerah, pekerja anak sering dipekerjakan pada malam hari dan sering 10-12 jam sehari bahkan tidak jarang lebih. Studi yang dilakukan Irwanto dkk (Bagong Suyanto : 2010) menemukan bahwa sekitar 71,9 % pekerja anak bekerja selama lebih dari 7 jam sehari. Pekerja anak yang menjadi pembantu rumah tangga dan mereka yang bekerja di jermal bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari. Tidak sedikit anak-anak juga bekerja dalam kondisi lingkungan kerja yang buruk dan berbahaya.

2.9. Kemiskinan

  Dalam membicarakan masalah kemiskinan dan/atau pemiskinan, akan ditemui istilah kategoritatif kemiskinan (Johanes Mardinin: 1996), diantaranya:

1. Kemiskinan Absolut

  Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien. Orang yang dalam kondisi ini sangat ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi tersebut akan mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan, terutama untuk dapat bekerja. Di Indonesia garis batas minimum kebutuhan hidup yang ditentukan BPS sebesar 2.100 kalori per kapita per hari.

  2. Kemiskinan Relatif

  Kemiskinan relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya, Karto adalah orang yang sangat kaya di desanya, tetapi setelah dibandingkan dengan orang-orang di kota ternyata Karto tergolong miskin.

  3. Kemiskinan Struktural

  Kemiskinan struktural lebih menunjuk kepada orang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah. Mereka tetap miskin atau menjadi miskin bukan karena tidak mau berusaha memperbaiki nasibnya, tetapi karena usaha yang mereka lakukan selalu kandas dan terbentur pada sistem atau struktur masyarakat yang berlaku.

  4. Kemiskinan Situasional atau Kemiskinan Natural

  Kemiskinan situasional atau kemiskinan natural terjadi jika seseorang atau sekelompok orang tinggal di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dan oleh karenanya mereka menjadi miskin. Dengan kata lain, kemiskinan itu terjadi sebagai akibat dari situasi yang tidak menguntungkan seperti kemarau panjang, tanah tandus, gagal panen, atau bencana-bencana alam.

5. Kemiskinan Kultural

  Kemiskinan penduduk terjadi karena kultur masyarakatnya. Masyarakat rela dengan keadaan miskinnya karena diyakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap serakah yang pada gilirannya akan membawa kepada ketamakan. Misalnya, masyarakat yang menganut pietisme-dualistis mempunyai anggapan bahwa manusia terdiri dari dua bagian yang saling bertentangan, yaitu jiwa (suci) dan raga (yang dianggap hina). Sementara itu, mereka juga beranggapan bahwa keselamatan manusia sangat ditentukan oleh pietas, yaitu kesalehan yang menolak kehinaan.

2.10. Definisi Konsep 1.

  Pekerja anak merupakan setiap anak yang berusia antara 5 sampai dengan 17 tahun yang telah bekerja sebagai penyusun batu bata minimal selama 1 tahun di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam.

  2. Kilang batu bata merupakan tempat terjadinya proses produksi dan perdagangan batu bata yang menjadi lingkungan anak penyusun batu bata bekerja untuk memperoleh uang.

  3. Teman sebaya adalah anak yang menjadi teman bermain dan bekerja pekerja anak yang di dalam hubungannya merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti usia, kebutuhan dan tujuan yang dapat mempererat interaksi sosialnya.

  4. Kehidupan sosial ekonomi merupakan perilaku sosial dari anak yang menyangkut interaksinya dan perilaku ekonomi dari anak yang berhubungan dengan pendapatan dan pemanfaatannya 5. Kondisi pekerja anak adalah kondisi kerja anak yang meliputi jam kerja, upah atau gaji, jenis dan sifat pekerjaan, resiko pekerjaaan, dan interaksi anak yang bekerja dengan sesama pekerja anak lainnya.

  6. Keluarga adalah orang yang pernah mengasuh, mendidik dan merawat si anak hingga anak tersebut bekerja sebagai penyusun batu bata dan diakui oleh si anak sebagai keluarga.

  7. Hak-hak anak merupakan hak untuk dilindungi baik secara jasmani maupun rohani, hak untuk mendapat perhatian dan kasih sayang secara penuh dari keluarga dan lingkungan sosial di sekitarnya, hak untuk memperoleh pendidikan dan hak untuk menolak menjadi pekerja anak.

  8. Enkulturasi merupakan proses anak menjadikan aktifitas bekerja di usia dini sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari sehingga menganggap bekerja sebagai sebuah kewajaran untuk membantu orangtua.