BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian - Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tuberkulosis

  2.1.1 Pengertian

  Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberkulosis, sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2002).

  2.1.2 Etiologi

  Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam (BTA).

  Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat

  dormant, tertidur lama selama beberapa hari (Depkes, 2002).

  2.1.3 Cara Penularan

  Sumber penularan adalah penderita TBC BTA Positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya.

  Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang

  11 dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut, bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes, 2002).

  2.1.4 Risiko Penularan

  Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk terdapat 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TBC, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TBC (Depkes, 2002).

  Dari keterangan di atas dapat diperkirakan pada daerah dengan ARTI 1% maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, di mana 50 penderita adalah BTA Positif.

  2.1.5 Riwayat terjadinya Tuberkulosis Paru

  Penyakit ini diawali oleh infeksi primer pada seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB Paru. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru sehingga mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe di sekitar hilus paru, hal ini berlangsung sekitar 4-6 minggu. Setelah infeksi primer terjadi, perkembangan penyakit tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respons daya tahan tubuh. Ada kuman persisten atau dormant (tidur) dan akan aktif ketika daya tahan tubuh tidak mampu melawan kuman tersebut, sehingga terjadilah penderita TB Paru, waktu yang

  2.1.6 Gejala dan Tanda

  a. Gejala utama Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.

  b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai : 1)

  Dahak bercampur darah 2)

  Batuk darah 3)

  Sesak nafas dan rasa nyeri dada 4)

  Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Depkes, 2002).

  2.1.7 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru

  Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya Positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TBC maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif, kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi (Depkes, 2002).

  2.1.8 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

  Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive

  

promotive case dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang

  aktif). Selain itu, semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya (Depkes, 2002).

  2.1.9 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

  Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu: a. lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru b. bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau

  BTA negatif c. Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah diobati d. Status HIV pasien

a. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh (Anatomical Site) yang terkena:

  1) Tuberkulosis paru

  Tuberkulosis pru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

  2) Tuberkulosis ekstra paru

  Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, Pasien dengan TB paru dan TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru.

b. Kalsifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis,

  Keadaan ini terutama ditujukan pada TB paru: 1)

  Tuberkulosis paru BTA positif

  a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

  b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

  c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biarkan kuman TB positif.

  d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

  2) Tuberkulosis paru BTA negatif

  Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a)

  Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

  b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

  c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

  c. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

  pasien, yaitu:

  1) Kasus baru

  Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.

  2) Kasus yang sebelumnya diobati

  a) Kasus sembuh (Relaps)

  Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

  b) Kasus setelah putus berobat (Default)

  Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

  c) Kasus setelah gagal (Failure)

  Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

  3) Kasus Pindahan (Transfer In)

  Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan

  4) Kasus lain:

  Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, iii. kembali diobati dengan BTA negatif

2.2 Pengobatan Tuberkulosis Paru (TBC)

  Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

2.2.1 Pengobatan TB pada Orang Dewasa

  Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

  Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu : a. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.

  Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. b.

  Obat sekunder : Exionamid, Paraminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

  

Obat Dosis harian D Dosis Dosis 3x/minggu

(mg/kgbb/hari) 2x/minggu (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)

  INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg) Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg) Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g) Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g) Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

  Pengobatan TBC pada orang dewasa

a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

  Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada: o o Penderita baru TBC paru BTA positif.

  Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

Tabel 2.2 Dosis untuk Panduan OAT KDT untuk Kategori 1 Tahap Intensive Tahap Lanjutan

  

Berat Badan Tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16

RHZE(150/75/400/275) minggu RH (150/150)

  30 - 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT 38 - 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT 55 - 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT .> 75 75 kg 5 tablet 5 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT – Kombipak untuk Kategori 1

  

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah

pengobatan pengobatan isoniazd rifampisin pirazinamid Ethambutol hari/kali

@ 300 @ 450 @ 500 mgr @ 250 mgr menelan mgr mgr obat

  Intensif 2 bulan

  1

  1

  3

  3

  56

  2

  1 - - Lanjutan 4 bulan

  48

b. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB

  Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskop is. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

  Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak m ikroskopis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.4 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak Tipe Pasien Tahap Pengobatan Hasil Tindak Lanjut

  Pemeriksaan Dahak

  Akhir Tahap Intensif Negatif Tahap lanjut dimulai Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan.

  Jika setelah sisipan masih tetap positif:

  • Tahap lanjut tetap diberikan
  • Jika memungkinkan, lakukan niakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR

  Pada bulan ke-5 Negatif Pengobatan dilanjutkan pengobatan

  Pasien

  Positif Pengobatan diganti

  baru

  dengan OAT kategori 2

  dengan mulai dari awal. kategori I

  Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR

  Akhir Pengobatan Negatif Pengobatan dilanjutkan (AP) Positif Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR

Tabel 2.4 (Lanjutan) Tipe Pasien Tahap Pengobatan Hasil Tindak Lanjut

  Pemeriksaan Dahak

  Akhir Intensif Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan Positif Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tersukan pengobatan tahap lanjutan. Jika setelah sisipan masih tetap positif:

  • Tahap lanjut tetap diberikan

  Pasien

  • Jika memungkinkan,

  paru BTA

  lakukan biakan, tes

  positif

  resistensi atau rujuk ke

  dengan

  layanan TB-MDR

  pengobatan

  Pada bulan ke-5 Negatif Pengobatan diselesaikan

  ulang

  pengobatan Positif Pengobatan dihentikan,

  kategori 2

  rujuk ke layanan TB- MDR

  Akhir pengobatan Negatif Pengobatan diselesaikan (AP) Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB-

  MDR. Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB-MDR. Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB- MDR.

c. Sembuh

  Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

d. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3

  30 – 37 kg 2 tab 4 KDT

  2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT

  Diberikan kepada: o

  o Penderita gagal terapi. o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

Tabel 2.4 Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori 2 Berat badan

  Tahap Intensif tiap hari RHZE ( 150/75/400/275)+ S Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150)+etambutol Selama 56 hari Selama 28 hari

  • 500 mg Streptomicin inj.
  • 2 tab etambutol 38 – 54 kg + 750 mg Streptomicin inj.
  • 3 tab etambutol
    • – 70 kg 4 tab KDT

  • 1000 mg 4 tb 4 KDT 4 tab 2 KDT
  • 4 tab Etambutol Streptomicin inj.

  • 1000 mg Streptomicin inj.
  • 5 tab etambutol

  Tahap pengoba tan Lama pengoba tan Tablet isonia zid @ 300 mgr Kaplet rifamfi sin @ 450 mgr Tablet Pirazina mid @ 500 mgr Etambutol Streptomi cin injeksi Jumlah ari / kali menela n obat Etambu tol @ 250 mgr Etambu tol @ 400 mgr Tahap intensif dosis harian

  3

  60

  2 1 - - 2 -

  28 Tahap lanjutan 2 kali semingg u 4 bulan

  56

  3

  3

  3

  1

  1

  3 tab KDT 3 tab 2 KDT

  1

  1

  2 bulan 4 bulan

Tabel 2.5 Dosis Panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

  5tab 4 KDT 5 tab 2 KDT

  >71 kg 5 tab 4 KDT

  55

  • 0,5 gr

2.2.2 Multi Drugs Resistensi Obat TB (MDR) TB Paru

  Kebanyakan MDR TB terjadi karena kurang patuhnya pasien dalam pengobatan Tb.Resistensi yang terjadi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Deteksi awal MDR Tb dan memulai terapi sedini mungkin merupakan faktor penting untuk tercapainya keberhasilan terapi pada penyakit Paru tersebut.

  Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan Multi Drugs Resistensi. Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) adalah yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. TB) resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya.

  Kepatuhan pengobatan sangatlah penting untuk penatalaksanaan pengobatan Penderita TB Paru yang mempengaruhi kesembuhan pasien tersebut.Apabila pasien tidak patuh dapat menyebabkan Multi Drugs Resistensi terhadap satu atau beberapa obat anti tuberculosis (OAT) Paru, yang akan berdampak pada lamanya kesembuhan pasien dan akan memerlukan biaya yang semakin mahal.

2.3 Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru

  Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian adapun tujuan penanggulangan Tuberkulosis paru adalah :

2.3.1 Jangka Panjang

  Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

2.3.2 Jangka Pendek

  Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA penemuan penderita sesuai dengan target CDR yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 70% secara bertahap (Depkes, 2002).

2.4 Faktor-Faktor Risiko

  Faktor risiko adalah suatu determinan yang diperlukan sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya masalah kesehatan atau penyakit. Karakteristik tertentu dari golongan penduduk yang mempunyai resiko untuk terjangkitnya penyakit TB lebih besar bila dibandingkan dengan golongan lain (Depkes, 2007), faktor resiko tersebut adalah :

2.4.1 Umur

  Sampai pada usia pubertas antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan kejadian TB Paru. Namun setelah melewati usia pubertas hingga dewasa terdapat perbedaan yang beragam di berbagai negara. Penyakit TB sebagian besar (± 75%) menyerang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut juga di temukan pada penelitian kasus kontak TB yang dilakukan oleh Chandra Wibowo dkk di RSUP Manado di mana dari 15 orang penderita, 14 orang (93,33%) berusia produktif (19-55 tahun) dan hanya 1 orang (6,67%)berusia 56 tahun. Rentang usia TB pada kasus kontak adalah 28-46 tahun pada laki-laki dan 20-56 tahun pada perempuan (Depkes, 2007).

2.4.2 Jenis Kelamin

  Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat TB Paru sesudah bersalin.

  Sementara di Afrika dan India tampaknya menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi TB Paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia pada jenis kelamin. Pada wanita prevalensi menyeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam di bandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai 60 tahun.

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chandra Wibowo di RSUP Manado menemukan bahwa pada laki-laki mendapatkan TB Paru Pada kasus kontak 0, 36 kali pada perempuan. Menurut Ismen MD 2000 dalam Chandra Wibowo dkk 2004 bahwa penelitian di negara maju didapatkan laki-laki memiliki resiko tertular akibat kontak lebih besar dari pada perempuan. Sebaliknya di negara berkembang diperkirakan sama, bahkan perempuan sedikit lebih banyak karena berbagai alasan sosial budaya.

  Peran perempuan di sini cukup penting, karena selain merawat penderita TB Paru di rumah, suka melakukan aktivitas rumah tangga untuk anak, suami dan anggota keluarga lain sehingga penularan dapat dengan mudah dan cepat menular ke anggota keluarga lain.

2.5 Kepatuhan

  Kepatuhan (compliance) berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut, taat pada perintah, aturan atau disiplin (Ridwan, 2012). Menurut Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

  Kelman dalam Sarwono (1997) mengemukakan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian internalisasi. Kepatuhan dapat didasarkan karena ingin menghindari hukuman/sangsi, atau ingin memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran. Kepatuhan seperti ini adalah kepatuhan sementara. Sedangkan kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan dimana seseorang memahami makna, dan mengerti akan pentingnya suatu tindakan atau suatu keadaan.

  Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,makanan serta lingkungan. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan merupakan respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, petugas kesehatan dan obat- obatannya (Notoatmojo, 2007).

  Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.

  Gejala kejiwaan yang yang dimaksud dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosial budaya, masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005). atau kegiatan yang dilakukan penderita agar dapat sembuh. Kepatuhan menjalankan aturan pengobatan sangat penting untuk mencapai kesehatan secara optimal. Perilaku kepatuhan dapat berupa perilaku patuh dan tidak patuh yang dapat diukur melalui dimensi kemudahan, lama pengobatan, mutu, jarak dan keteraturan pengobatan. Kepatuhan akan meningkat bila instruksi pengobatan jelas, hubungan obat terhadap Universitas Sumatera Utarapenyakit jelas dan pengobatan teratur serta adanya keyakinan bahwa kesehatan akan pulih, petugas kesehatan yang menyenangkan dan berwibawa, dukungan sosial keluarga pasien dan lain sebagainya (Medicastore, 2007).

2.5.1 Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

  Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Suddart dan Brunner (2002) adalah:

  1. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan pendidikan.

  2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi.

  3. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan.

  4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan lainnya yang termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut diatas juga ditemukan oleh Bart Smet dalam psikologi kesehatan.

  Faktor - faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2002) antara lain :

  1. Pemahaman tentang intruksi Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.

  2. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

  3. Isolasi sosial dan keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

  4. Keyakinan, sikap dan kepribadian Becker et al (1979) dalam Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

2.5.3 Strategi Untuk Meningkatkan Kepatuhan

  Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah :

  1) Dukungan Profesional Kesehatan

  Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik Dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

  2) Dukungan Sosial

  Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi. 3)

  Perilaku Sehat Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.

  4) Pemberian Informasi Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.

2.6 Keluarga

2.6.1 Definisi Keluarga

  tentang pengertian keluarga. Bailon dan Maglaya (1976) mendefinisikan keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang saling berinteraksi satu sama lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Pendapat Friedman, Bowden, dan Jones (2003) keluarga adalah sebuah sistem kecil yang terbuka yang terdiri atas suatu rangkaian bagian yang saling ketergantungan dan dipengaruhi baik oleh struktur lingkungan eksternal dan interna.

  Beberapa definisi keluarga yang sering dipakai anatara lain (Lubis, 2008) : a. Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat yang terdiri dari suami, isteri, atau suami isteri dan anaknya atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.

  b.

  Menurut Tinkham dan Voorlies keluarga adalah persekutuan dua atau lebih individu yang terikat oleh darah, perkawinan, atau adopsi yang membentuk satu rumah tangga, berhubungan dalam peraturan keluarga, serta menciptakan dan memelihara budaya yang sama.

  c.

  Goldenberg mendefinisikan keluarga sebagai sekumpulan individu yang bertempat tinggal dalam satu fisik dan psikis yang sama saja, tetapi merupakan sistem sosial alamiah yang memiliki kekayaan bersama, mematuhi peraturan, peranan, struktur kekuasaan, bentuk komunikasi, tatacara negosiasi, sera tata cara penyelesaian masalah bersama, yang memungkinkan pelbagai tugas dapat dilaksanakan secara efektif.

  Ada berbagai macam bentuk keluarga, menurut Goldenberg (1980, dalam Lubis, 2008) membedakan bentuk keluarga menjadi sembilan macam, yaitu: a.

  Keluarga inti (nuclear family). Keluarga yang terdiri dari suami, istri serta anak-anak kandung.

  b.

  Keluarga besar (extended family) Keluarga yang disamping terdiri dari suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak saudara lainnya, baik menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang berasal dari pihak suami atau pihak isteri.

  c.

  Keluarga campuran (blended family) Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung serta anak-anak tiri.

  d.

  Keluarga menurut hukum umum (common law family) Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan sah serta anak-anak mereka yang tinggal bersama.

  e.

  Keluarga orang tua tunggal (single parent family) Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta anak-anak mereka tinggal bersama.

  f.

  Keluarga hidup bersama (commune family) Keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak yang tinggal bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan bersama. g.

  Keluarga serial (serial family) Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing, tetapi semuanya menganggap sebagai satu keluarga.

  h.

  Keluarga gabungan/komposit (composite family) Keluarga terdiri dari suami dengan beberapa istri dan anak-anaknya (poliandri) atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya (poligini) yang hidup bersama. i.

  Keluarga tinggal bersama (cohabitation family) Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.

2.6.3 Fungsi Keluarga

  Menurut Friedman (2004) keluarga diharapkan mampu melakukan fungsi dan tugas kesehatan keluarga yang meliputi : a.

  Fungsi Afektif Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian anak, pemantapan kepribadian orang dewasa, serta pemenuhan kebutuhan psikologis para anggota keluarga. Terpenuhinya fungsi afektif,keluarga meningkatkan kualitas, stabilitas, perilaku dalam hubungan keluargaserta harga diri keluarganya (Friedman, Bowden, dan Jones, 2003).

  b.

  Fungsi Sosialisasi Fungsi keluarga mempersiapkan anak-anak sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dalam masyarakatnya. Menurut Fiedman, Bowden, dan

  Jones (2003) mendefinisikan sosialisasi dalam istilah peran adalah proses perkembangan atau perubahan yang dijalani seseorang sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran sosial.

  Fungsi Reproduksi Fungsi menjaga kelangsungan garis keturunan dan menambah anggota keluarga yang kelak akan menjadi anggota masyarakat.

  d.

  Fungsi Mengatasi Masalah Keluarga Fungsi keluarga memelihara peraturan dan kemapanan keluarga pada waktu berinteraksi dengan lingkungan dalam dan lingkungan luar keluarga.

  e.

  Fungsi Ekonomi Fungsi keluarga menyediakan sumber ekonomi secara cukup serta mengatur pemakaiannya secara efektif. Kondisi ekonomi akan mempengaruhi keluarga secara signifikan. Ketika ekonomi keluaarga dalam keadaan sulit maka struktur, fungsi, dan proses keluarga akan terganggu, oleh sebab itu seseorang akan memutuskan apakah tetap bekerja dan kapan harus pension (Kaankien, 2010).

  f.

  Fungsi Pemenuhan Kebutuhan Fisik Fungsi keluarga memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, perumahan, dan kesehatan.

2.7 Perilaku

  Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor- terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu : a.

  Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

  b.

  Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

  Perilaku dibedakan atas pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2003) :

a. Pengetahuan

  Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan : 1.

  Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara secara benar.

  3. Aplikasi (Aplication) Apikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

  4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

  5. Sintesis (Synthesis) Sintensis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.

b. Sikap

  Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok :

  1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

  2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

  

atitude ). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan

emosi memegang peranan penting.

  Menurut Purwanto (1999) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Ciri - ciri sikap adalah : a.

  Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat-sifat biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

  b.

  Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat- syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

  c.

  Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dirumuskan dengan jelas. Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. d.

  Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sikap inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan e.

  Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Purwanto, 1999).

  Sikap dibedakan atas beberapa tingkatan :

  a. Menerima (Receiving ) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

  b. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

  c. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  d. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi.

c. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).

  pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan.

  Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :

  1. Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

  2. Respon terpimpin (Guided Response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

  3. Mekanisme (Mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

  4. Adopsi (Adoption) Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

  Menurut Notoatmodjo (2003) ada beberapa faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang yaitu : a.

  Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk menggembangkan kepribadian dan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Degan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pegetahuan yang didapat tenaga kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat dperoleh pada pendidikan non formal. Konselig merupakan salah satu kegiatan pendidikan non formal yang dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan konseling memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan sasaran.

  b.

  Media Massa/Informasi Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga meghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang apa memengaruhi pengetahuan masyarakat tenang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majaah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media seseorang. Adanya infomsi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

  c.

  Sosial Budaya dan Ekonomi Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demkian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga aka menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlakukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status ekonomi in akan memengaruhi pengetahuan seseorang.

  d.

  Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik, fiologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses tidak masukknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbale balik ataupun tidak akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu e.

  Pengalaman Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan menifestasi dalam bidang kerjanya.

  f.

  Umur Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola piker seseorang.

  Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat.

2.8 Landasan Teori

  Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh mahluk hidup, baik yang diamati secara langsung atau tidak langsung perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya, yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, berpersepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia.

  Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner maka Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan kesehatan seseorang diselenggarakan dengan empat macam pendekatan yaitu pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit (preventive), penyembuhan Respon atau reaksi manusia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat pasif dan bersifat aktif. Bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Perilaku terhadap pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan yang modern maupun pelayanan kesehatan yang tradisional. Perilaku ini menyakut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan pengguna fasilitas, petugas, dan obat-obatan. Perilaku seseorang di pengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain ; susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

  Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan, kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu : a.

  Faktor perilaku (behavioral causes) b.

  Faktor diluar perilaku (non behavioral causes) Selanjutnya faktor perilaku di pengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor- faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor pemungkin (enabling

  factors) , dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors), yaitu :

  a. Faktor-Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

  Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Untuk berprilaku sehat, misalnya : pemeriksaan kesehatan pertumbuhan dan perkembangan bayi diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu.

  Selain itu kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa pertumbuhan dan perkembangan bayi. Misalnya pada waktu imunisasi, tidak semua orang tua memperkenankan anaknya diimunisasi karena takut anaknya akan menjadi demam atau menjadi sakit.

  Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.

  b. Faktor-Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

  Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya : air bersih, tempat pembuangan sampah, jamban, ketersediaan bahan pangan yang bergizi dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta dan sebagainya.

  Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku pemeriksaan kehamilan, ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil. Fasilitas ini biasanya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku

c. Faktor-Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

  Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.

  Termasuk juga undang -undang, peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat biasanya bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan membutuhkan peranan perilaku.

  Faktor Predisposing : Pengetahuan

  • Sikap -
  • keyakinan

  Kepercayaan/

  • Faktor Enabling :

  Variabel demografi

  • Perilaku Kesehatan tersedia

  Sumber-sumber yang

  • dan pra sarana kesehatan

  Ketersediaan sarana

  • Faktor Reinforcing :

  Lingkungan fisik

  • suami

  Dukungan Istri /

  • kesehatan masyarakat

  Dukungan tenaga

Gambar 2.1 Landasan Teori Lawrence Green (1980)

2.9 Kerangka Konsep

  Mengacu kepada landasan teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut : Perilaku : 1.

  Pengetahuan Kepatuhan Pengobatan 2.

  Penderita TB Paru Sikap 3.

  Tindakan

Dokumen yang terkait

Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013

1 56 107

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis - Implementasi Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling Kota Padangsidimpuan tahun 2015

1 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Analisis Tentang Pernikahan Dini di Kecamatan Kota Pinang Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2015

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis - Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan dengan Kejadian Tuberkuloso Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 30

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Definisi - Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis - Gambaran Peran Serta Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru - Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian 2.1.1 Jamban Keluarga - Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepemilikan Jamban Keluarga di Desa Sipange Julu Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2013

0 2 21