BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru - Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

2.1. Tuberkulosis (TB) Paru

  2.1.1. Definisi TB Paru

  Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

  tuberculosis yang merupakan bakteri aerob berbentuk batang dan tidak berbentuk

  spora (Knechel, 2009). Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh M. Tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan asam (acid-fast

  

bacillus ). TB merupakan infeksi melalui udara dan umumnya didapatkan dengan

  inhalasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus (Black & Hawks, 2012).

  2.1.2. Transmisi TB paru

Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui droplet di udara, yang disebut

  nukleus droplet, disebabkan oleh batuk, bersin, berbicara atau nyanyian dari orang dengan tuberkulosis paru atau laring. Droplet yang sangat kecil tinggal di udara selama beberapa menit hingga jam setelah meludah. Jumlah basil pada droplet, virulensi basil, terpaparnya basil pada sinar ultraviolet, dan derajat ventilasi mempengaruhi transmisi. Masuknya M tuberculosis ke paru memicu infeksi sistem pernafasan; meskipun organisme dapat menyebar ke organ lain, seperti limpa, tulang/sendi, atau meningen dan menyebabkan tuberkulosis ekstrapulmonal (Knechel, 2009).

  6

2.1.3. Patofisiologi

  6 Sekali dihirup, droplet infeksius diam di sepanjang jalan nafas. Sebagian besar basil tertahan di bagian atas jalan nafas dimana terdapat sel goblet yang mensekresi mukus. Mukus yang dihasilkan menangkap substansi asing, dan silia pada permukaan sel secara terus menerus mendorong partikel yang terjebak untuk berpindah. Sistem ini menyebabkan tubuh mengeluarkan pertahanan fisik awal yang mencegah infeksi pada sebagian besar orang yang terkena tuberkulosis (Knechel, 2009). Bakteri pada droplet yang melewati sistem mukosiliari dan mencapai alveoli dengan cepat dikelilingi dan ditelan oleh makrofag alveolar, sel efektor imunitas yang paling banyak di rongga alveolar. Makrofag ini, garis pertahanan host berikutnya, adalah bagian dari sistem imunitas bawaan dan memberikan kesempatan bagi tubuh untuk merusak mycobakteria yang masuk dan mencegah infeksi. Makrofag memiliki sel fagosit yang melawan banyak patogen tanpa membutuhkan pajanan terhadap patogen sebelumnya. Beberapa mekanisme dan reseptor makrofag terlibat dalam penangkapan mycobacteria. Lipoarabinomannan mycobacterial adalah kunci untuk reseptor makrofag (Knechel, 2009). Sistem tambahan juga memainkan peranan dalam fagositosis bakteri. Protein C3 terikat pada dinding sel dan meningkatkan pengenalan makrofag terhadap mycobakteri. Opsonisasi oleh C3 terjadi cepat, meskipun di ruang udara host dengan tidak ada pajanan terhadap M tuberculosis sebelumnya. Fagositosis berikutnya oleh makrofag memulai aliran kejadian yang dihasilkan oleh kontrol infeksi yang berhasil pada tuberkulosis laten, atau kemajuan penyakit aktif, yang disebut tuberkulosis progresif primer. Hasil utama ditentukan oleh kualitas dari pertahanan host dan keseimbangan yang terjadi antara pertahanan host dan invasi mikobakteri (Knechel, 2009).

  Setelah dicerna oleh makrofag, mikobakteria terus bermultiplikasi dengan lambat, dengan pembelahan sel setiap 25 sampai 32 jam. Dengan menghiraukan apakah infeksi terkontrol atau berkembang, perkembangan awal terkait produksi enzim proteolitik dan sitokin oleh makrofag sebagai usaha untuk menurunkan bakteri. Pelepasan sitokin menarik limfosit T pada bagian sel dimana merupakan imunitas sel. Makrofag kemudian menghadirkan antigen mikobakteria pada permukaan sel T (Knechel, 2009). Proses imun awal berlanjut hingga 2 sampai 12 minggu, mikroorganisme terus bertumbuh sampai mereka mencapai jumlah yang cukup untuk mendapatkan respon imun sel segera yang dapat terdeteksi dengan tes kulit. Untuk orang dengan imunitas sel yang lengkap, langkah pertahanan berikutnya adalah pembentukan granuloma di sekitar organisme M tuberculosis. Lesi tipe nodular ini terbentuk melalui akumulasi dari aktivasi limfosit T dan makrofag, yang membentuk lingkungan mikro yang membatasi replikasi dan penyebaran mikobakteri. Lingkungan ini merusak makrofag dan menghasilkan nekrosis solid awal pada pusat lesi meskipun basilus mampu beradaptasi untuk dapat bertahan. Pada kenyataannya M tuberculosis dapat mengubah fenotipe, seperti regulasi protein, untuk meningkatkan pertahanan (Knechel, 2009).

  Dalam 2 atau 3 minggu, lingkungan nekrotik menyerupai keju lunak, selalu menyerupai nekrosis seperti kayu, dan dikarakteristikkan degan level oksigen yang rendah, pH rendah, dan nutrisi yang terbatas. Kondisi ini membatasi perkembangan lebih lanjut dan tetap tersembunyi. Lesi pada orang dengan sistem imun yang adekuat umumnya mengalami fibrosis dan kalsifikasi, secara sukses mengontrol infeksi sehingga basilus terkandung di dalam dorman, lesi yang sembuh. Lesi pada orang dengan sistem imun yang kurang efektif berlanjut menjadi tuberkulosis progresif primer. Untuk orang dengan kemampuan imun yang rendah, pembentukan granuloma yang dimulai akhirnya tidak berhasil mengisi basilus. Jaringan nekrotik mengalami pencairan, dan dinding fibrosa kehilangan integritas struktural (Knechel, 2009). Material nekrotik semiliquid dapat dialirkan ke bronkus atau dekat dengan pembuluh darah, meninggalkan kavitas yang dipenuhi udara pada bagian semula.

  Jika keluarnya melalui pembuluh darah terjadi, kemungkinan besar terjadi tuberkulosis ekstrapulmonal. Basilus juga dapat dialirkan ke sistem limfatik dan terkumpul di nodus limfa trakeobronkial pada paru yang terkena, dimana organisme dapat membentuk granula baru seperti kayu (Knechel, 2009).

2.1.4. Manifestasi Klinis

  Knechel (2009) mengatakan Tuberkulosis berkembang berbeda-beda pada setiap pasien, tergantung kepada status sistem imun pasien. Tahapan terdiri dari fase laten, penyakit primer, penyakit primer progresif, dan penyakit ekstrapulmonal. Masing-masing tahap memiliki manifestasi klinis yang berbeda- beda.

Tabel 2.1 Perbedaan pada fase Tuberkulosis (Zumla, Raviglione, Hafner dan Reyn, 2013).

  Batuk menjadi produktif b.

  Lesi pengapuran granulomatosa dan menjadi fibrotik, menjadi tampak pada rontgen dada f.

  Pasien rentan terhadap aktif kembalinya penyakit e.

  Pasien tidak merasa sakit d.

  Mycobakteria bertahan di tubuh b. Tidak ada tanda dan gejala yang terjadi c.

  Diagnosis melalui kultur sputum a.

  Temua pada rontgen dada normal e.

  Tanda dan gejala lebih sebagai perkembangan penyakit c. Pasien mengalami kehilangan berat badan progresif, rales, anemia d.

  Diagnosis sulit: temuan pada rontgen dada dapat normal dan sputum negatif terhadap mycobakteria a.

  Early infection Early primary progressive (active) Late primary progressive (active)

  Batuk non produktif e.

  Pasien selalu tanda atau gejala non spesifik (cth. Kelelahan, kehilangan berat badan, demam) d.

  Terjadi inflamasi jaringan c.

  Sistem imun tidak mengontrol infeksi awal b.

  Infeksi mungkin hanya subklinis dan mungkin tidak berkembang menjadi penyakit aktif a.

  Sistem imun melawan infeksi b. Infeksi biasanya terjadi tanpa tanda atau gejala c. Pasien mungkin demam, limfadenopati paratrakeal, atau dispnea d.

  Latent a.

  Infeksi dapat muncul kembali ketika terjadi imunosupresi Tampilan klinis klasik dari Tuberkulosis paru yaitu batuk kronis, produksi sputum, kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, demam, keringat malam, dan hemoptisis. TB ekstrapulmonal terjadi 10-42 % pasien, tergantung pada ras dan latar belakang etnik, usia, ada atau tidaknya penyakit penyerta, genotipe dari M. tuberculosis strain, dan status imun (Zumla, et al., 2013).

2.1.4. Diagnosis

  a. Infeksi laten

  Skreening dan pengobatan untuk infeksi M. Tuberculosis laten diindikasikan untuk kelompok dimana prevalensi infeksi laten tinggi (contoh. Orang asing yang berasal dari daerah endemik tuberkulosis), kelompok dengan resiko tinggi berulang kembalinya penyakit (cth. Pasien dengan infeksi HIV atau diabetes dan pasien yang menerima terapi imunosupresi), dan kelompok dengan kedua faktor tersebut (cth. Interaksi dengan pasien tuberkulosis). Infeksi laten dapat didiagnosa dengan tes kulit tuberkulin atau menguji kadar pelepasan interferon-gamma. Tes kulit tuberkulin lebih murah dan oleh karena itu dianjurkan pada daerah ekonomi rendah. Sensitifitas tes kulit tuberkulin sama dengan uji kadar pelepasan interferon-gamma tetapi kurang spesifik (Zumla, et al., 2013).

  b. Tuberkulosis Aktif

  Kultur dan mikroskopik sputum pada medium cair dengan uji kerentanan obat berikutnya adalah rekomendasi sebagai metode standar untuk mendiagnosa tuberkulosis aktif. Uji kada interferon-gamma dan tes kulit tuberkulin tidak memiliki peranan dalam diagnosa penyakit aktif. Tes amplikasi asam nukleat, citraan, dan pemeriksaan histopatologi dari sampel biopsi mendukung evaluasi. Diagnostik molekular baru yang disebut uji sesitifitas Xpert MTB/RIF mendeteksi M. Tuberculosis komplek dalam 2 jam, dengan uji sensitifitas yang lebih tinggi dari usapan mikroskopi. Uji molekular ini potensial untuk meningkatkan (Zumla et al., 2013).

c. Drug-Resistant Tuberculosis

  Standar terkini uji kerentanan obat utama merupakan sistem kultur liquid otomatis, yang membutuhkan 4 sampai 13 hari untuk hasilnya. Dalam 2 jam, uji kadar Xpert MTB/RIF secara bersamaan memberi hasil terhadap resistensi rifampin, mewakili multidrug resistant tuberkulosis pada tempat dimana prevalensi tnggi dari resistensi obat, sejak resistensi rifampin pada ketiadaan resistensi isoniazid luar biasa (Zumla et al., 2013).

  Modifikasi uji kadar telah diperkenalkan untuk menurunkan kesalahan positif WHO telah merekomendasikan bahwa ketika uji kerentanan obat dilakukan diwaktu yang sama juga dilakukan uji kadar Xpert MTB/RIF untuk mengkonfirmasi resistensi rifampicin dan kerentanan M.tuberculosis terhadap obat lain. Uji skreening lain untuk resistensi obat yaitu uji kadar microscopic-

  observation drug-susceptibility (MODS), uji kadar nitrat reduktase, dan metode reduktase colorimetric. Uji kadar MODS secara simultan mendeteksi M.

  

Tuberculosis bacilli , pada dasar pembentukan ikatan, resistensi isoniazid dan

  rifampicin. Sejak hampir semua dari metode ini tidak tersedia di negara-negara dimana tuberkulosis endemik tinggi, diperkirakan hanya 10% kasus multidrug

  resistant TB terdiagnosa di seluruh dunia dan hanya setengahnya yang menerima pengobatan yang tepat (Zumla et al., 2013).

2.1.5. Pengobatan

a. Infeksi Laten

  Pasien dengan infeksi M tuberculosis laten berisiko tinggi terhadap tuberkulosis aktif sehingga memerlukan pengobatan preventif. Regimen yang dianjurkan adalah isoniazid saja untuk 9 bulan atau durasi yang lebih lama pada pasien yang terinfeksi HIV di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi.

  Baru-baru ini observasi langsung setiap minggu untuk pemberian isoniazid dan rifapentine untuk 12 minggu telah menunjukkan keefektifan isoniazid saja pada dewasa tanpa infeksi HIV di negara dengan beban tuberkulosis yang rendah. Pedoman WHO terbaru merekomendasikan bahwa semua orang yang terinfeksi HIV dengan hasil tes tuberkulin kulit positif atau tidak diketahui dan tanpa tuberkulosis aktif yang tinggal di negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi menerima terapi pencegahan dengan isoniazid paling sedikit 6 bulan. Tiga regimen efektif untuk mencegah tuberkulosis aktif pada orang yang terinfeksi HIV yaitu isoniazid yang dikonsumsi setiap hari untuk 6 sampai 9 bulan, rifampin yang dikonsumsi setiap hari untuk 3 bulan, dan rifampin dan isoniazid dua kali seminggu untuk 3 bulan. Regimen yang berisi rifampin memiliki angka toksisitas obat yang lebih tinggi dengan yang tidak berisi rifampin. Kesulitan mendiagnosa tuberkulosis aktif pada pasien dengan koinfeksi HIV menyebabkan lambatnya terapi pencegahan isoniazid pada praktik klinik. Hanya pasien dengan tes tuberkulin positif yang menerima terapi pencegahan isoniazid sudah menurunkan angka tuberkulosis aktif dan kematian, dan perlindungan terhadap tuberkulosis menurun dalam beberapa bulan setelah berhentinya terapi isoniazid (Zumla et al., 2013).

b. Drug-Sensitive Active Tuberculosis

  Pengobatan tuberkulosis yang efektif membutuhkan diagnosis yang akurat dan dini, skreening untuk resistensi obat dan HIV, pemberian regimen yang efektif di bawah supervisi, dan adanya dukungan pada pasien untuk memenuhi seluruh rangkaian pengobatan. Standar terbaru regimen pengobatan dengan empat obat (isoniazid, rifampin, pyrazinamide, dan ethambutol) mencapai angka kesembuhan lebih dari 95% pada kondisi percobaan dan lebih dari 90% pada pengobatan dengan kelalaian program kontrol tuberkulosis. Pengobatan membutuhkan minimum 6 bulan dengan 2 fase: 2 bulan dengan semua obat pada fase intensif dan 4 bulan dengan isoniazid dan rifampin pada fase lanjutan. Faktor risiko kekambuhan mencakup kavitasi, luasnya penyakit, imunosupresi, dan kultur sputum yang tetap positif pada 8 minggu. Jika ada dari faktor risiko tersebut, terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan (Zumla et al., 2013).

  Tantangan terapi mencakup ketidakkonsistenan kualitas obat, kebutuhan untuk menjamin pemberian obat diobservasi secara langsung dan bahwa dukungan lain disediakan bagi pasien, gangguan pengobatan dan perubahan regimen karena efek samping, efek toksik, interaksi farmakokinetik (terutama dengan terapi antiretroviral pada pasien dengan koinfeksi HIV), dan isu pemenuhan terapi terkait periode pengobatan yang (Zumla et al., 2013).

c. Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR TB)

  Pengobatan MDR TB berdasarkan pada opini para ahli dan membutuhkan ciptaan kombinasi regimen obat yang dipilih dari lima kelompok hirarki obat- obatan dari garis pertama dan garis kedua. Terapi berkaitan dengan risiko tinggi terhadap intoleransi dan efek toksik serius. Regimen dapat dipilih berdasarkan standar atau empiris dan kemudian diganti pada terapi individu setelah data dianggap uji kerentanan obat menjadi ada. Akan tetapi, uji kerentanan obat yang reliabel tidak secara luas tersedia ada di daerah dimana endemik tuberkulosis, terutama pada obat garis kedua (Zumla et al., 2013).

  Pedoman pengobatan WHO untuk MDR TB merekomendasikan bahwa pada fase intensif terapi diberikan paling sedikit 8 bulan. Fluoroquinolone dan agen yang dapat diinjeksikan secara rutin dimasukkan untuk menghasilkan regimen dengan sedikitnya empat obat pada garis kedua yang akan memiliki kepastian dan hampir pasti efektif, seperti pyrazinamide. Terapi harus diberikan untuk sekurangnya 20 bulan pada pasien yang tidak menerima pengobatan untuk MDR TB sebelumnya dan sampai 30 bulan bagi mereka yang sudah menerima pengobatan sebelumnya (Zumla et al., 2013).

  Sebuah penelitian observasional menunjukkan bahwa regimen yang lebih pendek, dengan pengobatan yang diberikan 9 sampai 12 bulan, memiliki efikasi yang dapat diterima dan beberapa reaksi merugikan pada populasi dengan pajanan terhadap obat garis kedua. Regimen ini lebih luas dievaluasi terus menerus dengan regimen pengobatan standar pada pasien dengan MDR TB. Sejak hampir semua obat yang direkomendasikan memiliki efek samping yang serius yang membuat kesulitan pada pengobatan, kosultasi pada para ahli selalu disarankan untuk pengobatan MDR TB (Zumla et al., 2013).

2.2. Konsep Diri

2.2.1 Definisi konsep diri

  Konsep diri merupakan citra mental individu. Konsep diri yang positif penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki konsep diri yang positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal dan lebih tahan terhadap penyakit psikologis dan fisik. Individu yang memiliki konsep diri yang kuat seharusnya lebih mampu menerima atau beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi sepanjang hidupnya. Cara pandang individu terhadap dirinya mempengaruhi interaksinya dengan orang lain (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).

  Roy (1999) dalam Marriner Tomey dan Alligood (2006) mengatakan bahwa konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku seseorang. Roy dan Andrew mengidentifikasi 5 aspek yang berbeda dari konsep diri, yang terdiri dari citra tubuh, sensasi tubuh, ideal diri, konsistensi diri dan moral-etik-spiritual diri. Sensasi tubuh adalah bagaimana perasaan seseorang dan pengalaman sebagai dirinya. Citra tubuh adalah bagaimana pandangan seseorang terhadap dirinya secara fisik dan pandangan seseorang terhadap penampilan personal. Konsistensi diri adalah bagian dari diri yang berusaha untuk mempertahankan organisasi diri yang konsisten dan mencegah ketidakseimbangan. Ideal diri adalah apa yang seseorang inginkan atau mampu lakukan. Moral-etikal-spiritual diri adalah aspek dari diri yang terdiri dari sistem kepercayaan dan evaluasi dari relasi di seluruh bidang.

  2.2.2. Dimensi Konsep Diri a.

  Pemahaman diri: pemahaman yang dimiliki individu mengenai dirinya, termasuk daya tilik diri terhadap kemampuan, sifat, dan keterbatasan dirinya b. Pengharapan diri: harapan individu, mungkin berupa harapan realistis atau tidak realistis c.

  Sosial diri: cara pandang orang lain dan masyarakat terhadap individu d.

  Evaluasi sosial: penilaian individu dalam hubungan dengan orang lain, kejadian, atau situasi (Kozier et al., 2010).

  2.2.3. Komponen Konsep Diri

  Konsep diri mencakup semua persepsi diri yaitu penampilan, nilai dan keyakinan, yang memengaruhi perilaku dan ditunjukkan ketika menggunakan kata-kata saya atau aku (Kozier et al., 2010). Konsep diri yang positif memberikan rasa berarti, menyeluruh, dan konsisten pada seseorang. Konsep diri yang sehat memiliki derajat stabilitas yang tinggi dan menghasilkan perasaan positif terhadap diri. Komponen konsep diri yang sering dipertimbangkan adalah identitas, citra tubuh, dan penampilan peran. Harga diri sangat berkaitan dengan konsep diri. Harga diri berasal dari konsep diri, dan harga diri mempengaruhi konsep diri (Potter & Perry, 2009).

a. Identitas

  Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan konsistensi seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas menunjukkan batasan dan pemisahan dari yang lainnya. Menjadi “diri sendiri” atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari identitas yang benar (Potter & Perry, 2009).

  Identitas personal individu merupakan sensasi individualitas dan keunikan yang disadari dan secara kontinu muncul sepanjang hidup. Individu sering kali memandang identitas mereka dari nama, jenis kelamin, usia, ras, asal etnis atau budaya, pekerjaan atau peran, bakat, dan karakteristik situasional lainnya (Kozier et al., 2010). Stuart & Laraia (2005) dalam Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa pencapaian identitas merupakan hal penting dalam menjalin hubungan dekat, karena individu mengekspresikan identitas mereka saat berhubungan dengan orang lain. Semakin individu dikenal oleh kelompok sosial, maka akan semakin besar harga dirinya. Seorang individu yang mengalami diskriminasi, prasangka, atau tekanan lingkungan biasanya akan menempatkan dirinya secara berbeda dari individu yang memiliki kondisi kehidupan sebaliknya [Ruiz et al., (2002) dalam Potter & Perry (2009)].

  Individu yang memiliki rasa identitas yang kuat mengintegrasikan citra tubuh, performa peran, dan harga diri ke dalam konsep diri sepenuhnya. Rasa identitas ini memberi individu sensasi kontinuitas dan kesatuan kepribadian. Selain itu, individu memandang dirinya sendiri sebagai orang yang unik (Kozier et al., 2010).

b. Citra Tubuh

  Citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas, berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan (Potter & Perry, 2009).

  Citra fisik diri, atau citra tubuh, adalah cara individu mempersepsikan ukuran, penampilan, dan fungsi tubuh dan bagian-bagiannya. Citra tubuh memiliki aspek kognitif dan afektif. Kognitif adalah pengetahuan materi tubuh dan kelekatannya, afektif mencakup sensasi tubuh, seperti nyeri, kesenangan, keletihan, dan gerakan fisik. Citra tubuh adalah gabungan dari sikap, kesadaran dan ketidaksadaran, yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya (Kozier et al., 2010).

  Citra tubuh mencakup fungsi tubuh dan bagian-bagiannya termasuk pakaian, riasan, gaya rambut, perhiasan dan hal lain yang melekat pada diri individu. Citra tubuh juga mencakup prostese tubuh, seperti kaki palsu, gigi palsu dan wig, juga semua alat yang dibutuhkan untuk fungsi, seperti kursi roda, tongkat dan kacamata. Persepsi masa lalu dan saat ini serta bagaimana tubuh berkembang sepanjang waktu merupakan bagian citra tubuh seseorang (Kozier et al., 2010).

  Citra tubuh individu berkembang sebagian dari sikap dan respons orang lain terhadap tubuh individu tersebut dan sebagian lagi dari eksplorasi individu terhadap tubuhnya sendiri. Nilai budaya dan sosial juga memengaruhi citra tubuh individu. Beragam informasi dan media hiburan selama bertahun-tahun memengaruhi cara individu memandang diri mereka dengan orang lain. Apabila citra tubuh individu mendekati ideal dirinya, individu tersebut cenderung berpikir positif tentang komponen fisik dan nonfisik diri (Kozier et al., 2010).

  Individu yang memiliki citra tubuh yang sehat biasanya menunjukkan kekhawatiran baik terhadap kesehatan maupun penampilan. Individu ini akan mencari bantuan apabila sakit dan melakukan praktik promosi kesehatan dalam aktivitas sehari-hari. Individu yang memiliki citra tubuh yang tidak sehat cenderung terlalu mengkhawatirkan penyakit minor dan mengabaikan aktivitas, seperti tidur dan diet sehat yang penting untuk kesehatan (Kozier et al., 2010).

  Individu yang mengalami gangguan citra tubuh mungkin menyembunyikan atau tidak melihat atau menyentuh bagian tubuh yang strukturnya telah berubah akibat penyakit atau trauma. Beberapa individu dapat juga mengekspresikan perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu mengendalikan situasi, dan kerapuhan. Individu tersebut kemungkinan juga menunjukkan perilaku destruktif, seperti usaha bunuh diri atau makan sangat sedikit atau makan sangat berlebihan (Kozier et al., 2010).

c. Penampilan peran

  Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa Penampilan peran (role

  performance ) merupakan cara individu melakukan peran yang berarti. Peran yang

  dimaksud mencakup peran sebagai orang tua, pengawas, atau teman dekat. Peran yang diikuti individu dalam berbagai situasi mencakup sosialisasi terhadap harapan atau standar perilaku. Polanya bersifat stabil dan berubah secara minimal selama masa dewasa. Individu mengembangkan dan menjaga perilaku yang disetujui masyarakat melalui proses-proses berikut ini.

  1) Penguatan-pemadaman : Perilaku khusus menjadi biasa atau dihindari, tergantung apakah mereka setuju dan diperkuat, atau diperkecil dan dihukum.

  2) Hambatan: Individu belajar untuk menahan diri dari suatu perilaku, meskipun saat digoda untuk ikut serta di dalamnya.

  3) Substitusi: Individu menggantikan satu perilaku dengan perilaku lainnya, yang memberikan kepuasan personal yang sama

  4) Imitasi: Individu membutuhkan pengetahuan, keterampilan, atau perilaku dari anggota masyarakat atau kelompok budaya

  5) Identifikasi: Individu memasukkan kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai dari model peran ke dalam suatu ekspresi personal diri yang unik.

  Peran merupakan sekumpulan harapan mengenai bagaimana individu yang menempati satu posisi tertentu berperilaku. Performa peran menghubungkan apa yang dilakukan individu dalam peran tertentu dengan perilaku yang diharapkan oleh peran tersebut. Penguasaan peran berarti bahwa perilaku individu memenuhi harapan sosial. Harapan, atau standar perilaku peran, ditetapkan oleh masyarakat, kelompok budaya, atau kelompok yang lebih kecil yang salah satu anggotanya adalah individu tersebut (Kozier et al., 2010). Konsep diri juga dipengaruhi oleh ketegangan peran dan konflik peran. Individu yang mengalami ketegangan peran frustasi karena merasa atau dibuat merasa tidak adekuat atau tidak cocok dengan satu peran. Konflik peran muncul dari harapan yang bertentangan atau tidak cocok. Dalam konflik interpersonal, individu memiliki harapan yang berbeda mengenai peran tertentu. Dalam konflik antarperan, harapan peran seseorang atau kelompok berbeda dari harapan orang lain atau kelompok lain (Kozier et al., 2010).

d. Harga diri

  Harga diri (self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar dari evaluasi diri karena mewakili keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau nilai personal. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna, dan kompeten [Rosenberg (1965) dalam Potter & Perry (2009)]. Harga diri adalah penilaian individu akan harga dirinya, yaitu bagaimana standar dan penampilan dirinya dibandingkan dengan standar dan penampilan orang lain dengan ideal dirinya sendiri. Apabila harga diri seseorang tidak sesuai dengan ideal dirinya, terjadi penurunan konsep diri (Kozier et al., 2010).

  Terdapat dua jenis harga diri: umum dan spesifik. Harga diri umum adalah seberapa besar individu menyukai dirinya sendiri secara keseluruhan. Harga diri spesifik adalah seberapa besar individu menerima bagian tertentu dari dirinya. Harga diri berasal dari diri sendiri dan orang lain Pada saat bayi, harga diri dikaitkan dengan orang lain. Sebagai orang dewasa, seseorang yang memiliki harga diri tinggi merasa berarti, kompoten, mampu menghadapi kehidupan, dan mengendalikan takdirnya sendiri (Kozier et al., 2010).

  Landasan harga diri dibangun selama pengalaman hidup awal, biasanya dalam struktur keluarga. Akan tetapi, tingkat fungsi orang dewasa pada keseluruhan harga diri mungkin berubah drastis dari hari ke hari dan dari waktu ke waktu. Harga diri fungsional adalah hasil evaluasi kontinu individu terhadap interaksinya dengan orang lain dan objek. Harga diri fungsional dapat lebih tinggi dari harga diri dasar, atau dapat juga mundur ke tingkat di bawah harga diri dasar. Stres berat, misalnya stres akibat penyakit kronis dapat menurunkan harga diri individu. Individu sering kali berfokus pada aspek negatif mereka dan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menghargai aspek positif mereka (Kozier et al., 2010).

2.2.4. Stresor yang memengaruhi Konsep Diri

  Stresor konsep diri adalah perubahan yang nyata atau dapat diterima yang mengancam identitas, citra tubuh, atau penampilan peran. Persepsi individu terhadap tekanan merupakan faktor penting dalam menentukan responnya. Kemampuan untuk menyeimbangkan tekanan yang ada berkaitan dengan beberapa faktor, termasuk jumlah tekanan, lamanya tekanan dan status kesehatan.

  Tekanan dapat mengganggu kemampuan adaptasi seseorang. Perubahan yang terjadi pada kesehatan fisik, spiritual, emosional, seksual, keturunan, dan sosial budaya akan memengaruhi konsep diri. Dapat beradaptasi terhadap tekanan akan menimbulkan rasa diri yang positif, sedangkan kegagalan beradaptasi sering menyebabkan konsep diri yang negatif (Potter & Perry, 2009). Beberapa perubahan dalam kesehatan merupakan stresor dan dapat memengaruhi konsep diri. Perubahan fisik tubuh terkadang menyebabkan perubahan citra tubuh, memengaruhi identitas dan harga diri. Penyakit kronis biasanya akan mengganggu penampilan peran, yang selanjutnya dapat mengubah identitas dan harga diri individu (Potter & Perry, 2009).

2.2.5. Faktor yang memengaruhi konsep diri

  Konsep diri individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Kozier et al. (2010) mengatakan bahwa faktor utama adalah perkembangan, keluarga dan budaya, stresor, sumber, riwayat keberhasilan dan kegagalan serta penyakit.

  a.

  Perkembangan Saat individu berkembang, faktor yang memengaruhi konsep diri berubah.

  Sebagai contoh, bayi membutuhkan lingkungan yang suportif dan penuh kasih sayang, sementara anak-anak membutuhkan kebebasan untuk menggali dan belajar.

  b.

  Keluarga dan budaya Nilai yang dianut anak kecil sangat dipengaruhi oleh keluarga dan budaya.

  Selanjutnya teman sebaya memengaruhi anak dan dengan demikian mempengaruhi rasa dirinya. Ketika anak berkonfrontasi dengan membedakan harapan dari keluarga, budaya dan teman sebaya, rasa diri anak sering kali membingungkan.

  c.

  Stresor Stresor dapat menguatkan konsep diri saat individu berhasil menghadapi masalah. Di pihak lain, stresor yang berlebihan dapat menyebabkan respon maladaptif termasuk penyalahgunaan zat, menarik diri, dan ansietas. Kemampuan individu untuk menangani stresor sangat bergantung pada sumber daya personal.

  d.

  Sumber daya Individu memiliki sumber daya internal dan eksternal. Contoh sumber daya internal adalah rasa percaya diri dan nilai diri, sedangkan sumber daya eksternal meliputi jaringan dukungan, pendanaan yang memadai, dan organisasi. Secara umum, semakin besar jumlah sumber daya yang dimiliki dan digunakan individu, pengaruhnya pada konsep diri semakin positif.

  e.

  Riwayat keberhasilan dan kegagalan Individu yang pernah mengalami kegagalan menganggap diri mereka sebagai orang yang gagal, sementara individu yang memiliki riwayat keberhasilan memiliki konsep diri yang lebih positif, yang kemungkinan dapat mencapai lebih banyak keberhasilan.

  f.

  Penyakit Penyakit dan trauma juga dapat memengaruhi konsep diri. Individu berspon terhadap stresor, seperti penyakit dan gangguan fungsi akibat penuaan dalam berbagai cara: menerima, menyangkal, menarik diri, dan depresi adalah reaksi yang umum.

2.2.6. Konsep Diri Pada Pasien TB paru

  Masalah psikososial adalah salah satu rintangan yang mempengaruhi keberhasilan penderita TB dalam menjalani terapi. Stigma, isolasi dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB menyebabkan penurunan harga diri. Hal ini merupakan perbedaan penyakit TB dari penyakit kronis lainnya. Raynel (2010) dalam penelitiannya mengenai gambaran konsep diri pada penderita TB paru menunjukkan sebesar 56,8% memiliki gambaran diri negatif, 54,1% memiliki ideal diri negatif, 51,4% memiliki harga diri tinggi, 54,1% memiliki penampilan peran positif, dan 62,2% memiliki identitas diri positif.

  Penurunan harga diri karena penyakit menyebabkan hilangnya kepercayaan diri, hubungan sosial yang memburuk dan menyerah untuk berjuang melawan penyakit. Pengangguran dan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan, efek pada status ekonomi pasien, tidak memiliki harapan untuk sembuh, perubahan dalam keluarga dan hubungan sosial dan tidak memiliki dukungan sosial menurunkan harga diri pasien (Erdem & Tasci, 2003).

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Definisi Kepatuhan

  Kepatuhan pengobatan adalah pasien mengikuti pengobatan yang direkomendasikan dengan meminum seluruh obat yang diresepkan selama panjangnya waktu yang dibutuhkan. Kepatuhan penting karena TB hampir selalu teratasi jika pasien patuh terhadap regimen pengobatan TB (Centers for Disease

  Control and Prevention [CDC], 1999).

  Ketidakpatuhan adalah ketidakmampuan pasien atau penolakan untuk mengkonsumsi obat sesuai dengan resep. Ketika pengobatan medis sulit dan berakhir untuk waktu yang lama, seperti pengobatan pada penyakit TB, pasien selalu tidak mengkonsumsi bat mereka sesuai instruksi. Perilaku ini adalah salah satu masalah terbesar dalam pengendalian TB dan dapat mengarah pada konsekuensi yang serius. Pasien yang tidak patuh dapat menyebarkan ke orang lain, tetap sakit untuk waktu yang lebih lama atau memiliki penyakit yang lebih berat, mengembangkan dan menyebarkan resristensi obat TB, dan meninggal karena terhentinya pengobatan (CDC, 1999).

2.3.2. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

  Banyak alasan mengapa seseorang terhambat dalam memenuhi regimen pengobatan TB paru.

  a.

  Usia Penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al. (2012) menunjukkan bahwa usia berhubungan dengan kepatuhan terapi. Kelompok pasien umur 25 tahun ke bawah lebih patuh dari kelompok pasien yang berumur 35-44 tahun (OR: 0,77; 95% CI: 0,99; p<0,049). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anyaike et al.

  (2013) yang dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan atara usia dengan kepatuhan terapi pasien TB (p=0.0165).

  Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello & Itiola (2010) dengan menggunakan uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Anyaike et al. (2013) yang mendapatkan bahwa ada hubungan antara kurangnya uang transportasi dengan kepatuhan pasien (p=0.0001).

  b.

  Jenis Kelamin Penelitian yang dilakukan ole Mkopi, et al (2012) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan usia berhubungan dengan kepatuhan terapi. Pasien perempuan lebih patuh 2 kali dibanding dengan pasien laki-laki (OR= 2,04; 95% CI: 1.24-3,02; p = 0.003). Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan atara jenis kelamin dan terapi (p=0.001). c.

  Dukungan Sosial Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan antara dukungan teman dan keluarga dan kepatuhan pasien (p=0.042).

  Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Solarte & Barona (2008) yang mendapatkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan signifikan dengan kepatuhan penderita TB adalah kurangnya dukungan keluarga.

  d.

  Pasien tidak lagi merasa sakit Ketika pasien tidak lagi merasa sakit, pasien selalu berpikir tidak mengapa jika tidak melanjutkan konsumsi obat TB. Gejala TB dapat bertambah baik secara dramatis selama fase awal pengobatan (8 minggu pertama) (CDC, 1999). Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan antara perasaan membaik dan tidak ingin melanjutkan terapi serta merasa sakit dan depresi juga memiliki hubungan dengan kepatuhan (p=0.0001).

  e.

  Kurangnya pengetahuan Pasien terkadang tidak mengerti secara penuh mengenai regimen pengobatan, atau alasan durasi pengobatan TB yang panjang. Kurangnya pengetahuan dapat menyebabkan ketidakmampuan dan kurangnya motivasi untuk memenuhi regimen (CDC, 1999).

  Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah tidak sekolah sebanyak 39% yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya terapi dibawah pengawasan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello & Itiola (2010) yang menemukan ada pengaruh positif dari konseling terhadap kepatuhan pengobatan pasien. Lebih lanjut dengan menggunakan uji chi square didapatkan bahwa edukasi berhubungan signifikan dengan kepatuhan (p=0,001).

  Zhou, et al. (2012) dalam penelitiannya juga mendapatkan bahwa pasien yang tidak patuh tidak mengetahui TB sebelum diagnosa (P=0.05) dan tidak mendapat edukasi TB terkait kesehatan sebelum terapi (p=0.01). Lebih lanjut, dengan menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan edukasi kesehatan terkait TB sebelum terapi adalah faktor yang berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan pasien.

  f.

  Nilai personal dan budaya Beberapa pasien memiliki kepercayaan personal dan budaya yang kuat mengenai penyakit TB, bagaimana pengobatannya, dan siapa yang dapat dicari untuk pertolongan. Ketika pengobatan TB bertentangan dengan keyakinan, pasien menjadi takut, cemas, atau terasing dari orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien, seperti dokter, asisten dokter dan perawat) (CDC, 1999).

  g.

  Kurangnya keterampilan Pasien-pasien khusus memiliki keterampilan yang kurang untuk mengikuti instruksi dan patuh terhadap regimen yang diresepkan. Pasien lansia dengan keterbatasan mobilitas, pasien dengan penyalahgunaan obat atau masalah kesehatan mental, dan anak muda yang berisiko memiliki masalah untuk kepatuhan (CDC, 1999). h.

  Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan Kurangnya akses terhadap pelayanan kesehtan dapat menjadi hambatan yang signifikan terhadap keberhasilan pemenuhan regimen TB. Usaha khusus harus dibuat untuk menjangkau dan memberikan pelayanan bagi pasien yang tidak memiliki alamat tetap dan alat transportasi. Pasien yang bekerja kemungkinan memiliki jadwal kerja yang bertentangan dengan jam klinik (CDC, 1999). Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah kesulitan mengakses fasilitas kesehatan sebanyak 57% karena kurangnya keuangan dan jarak dari tempat tinggal pasien ke fasilitas kesehatan dan pusat DOT swasta (43%). Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nezenega, Gacho & Tafere (2013) dengan menggunakan analisis multivariat didapatkan area tempat tinggal, waktu bersama tim kesehatan, kemudahan menjangkau, waktu tunggu, pelayanan profesional dam semua kepuasan pasien berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan terapi TB ( p < 0,05). i.

  Hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan Beberapa pasien memiliki hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan.

  Ketika pasien dan petugas kesehatan gagal untuk membangun hubungan saling percaya, kurangnya hubungan dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, Jika pasien percaya atau merasa nyaman dengan perugas kesehatan, mereka lebih mengikut intruksi dan nasehat dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan (CDC, 1999). j.

  Motivasi yang rendah Pasien mungkin memiliki motivasi yang rendah untuk patuh terhadap regimen TB. Jika pasien memiliki banyak prioritas yang bersaing dalam hidupnya seperti penyalahgunaan obat, tuna wisma, penyakit lain (cth. HIV), konsumsi obat TB mungkin tidak menjadi prioritas bagi pasien (CDC, 1999).

2.3.4. Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru

  Penelitian yang dilakukan oleh Gopi et.al (2007) didapatkan dari 1666 partisipan yang diwawancarai, 1108 (67%) patuh dan 558 (33%) tidak patuh. Hal yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al (2012) yang mendapatkan dari 645 pasien yang diuji, 617 pasien (95,7%; 90% CI 94,3%- 96,9%) menunjukkan kepatuhan terhadap terapi TB. Dari 617 pasien yang patuh, 563 (91,2%) melengkapi terapi dengan lengkap, 19 (3,1%) meninggal, 6 (1,0 %) dipindahkan dari tempat penelitian. Solarte & Barona (2008) juga mendapatkan dari seluruh responden, kelengkapan terapi dicapai oleh 65,6 % pasien.

  Bello & Itiola (2010) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa mayoritas pasien (94,6%) patuh terhadap pengobatannya. Dengan uji regresi parsial didapatkan ada pengaruh positif dari konseling terhadap kepatuhan pengobatan pasien. Pada uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844) dan edukasi berhubungan signifikan dengan kepatuhan (p-0,001).

  Penelitian yang dilakukan oleh Nezenega et al. (2013) didapatkan hanya 26% dari responden memiliki kepatuhan yang buruk terhadap terapi mereka. Shargie & Lindtjørn (2007) mendapatkan dari total responden, 81 pasien (20%) gagal menjalani terapi, 310 (77%) melengkapi terapi dengan sukses, sementara sisanya meninggal, pindah dari tempat penelitian. Jakubowiak, Bogorodskaya , Borisov, Danilova & Kourbatova (2008) juga mendapatkan angka kegagalan pasien dalam menjalani terapi 4,6 %. Frekuensi terhentinya terapi 63% pada pasien yang gagal and 36% pada pasien yang terapi dengan sukses. Terhentinya terapi selama fase intensif dan 30% pada pasien yang gagal dan 45% pada hasil yang berhasil.

  Boogaard, Lyimo, Boeree, Kibikib & Aarnoutsec (2011) dalam penelitiannya juga mendapatkan rata-rata angka kepatuhan pada populasi yang diteliti adalah 96.3% (standard deviation, SD: 7.7). Kepatuhan kurang dari 100% pada 70% dari pasien, kurang dari 95% pada 21% pasien, dan kurang dari 80% pada 2%.

  Anyaike et al. (2013) mendapatkan lebih dari dua pertiga (76,5%) responden mengkonsumsi obat antara 3-6 bulan dengan rata-rata durasi 5,4 bulan, (SD=±1.8). Penelitian juga mendapatkan bahwa 80.5% pasien tidak meliupakan pengobatannya dalam 3 bulan terakhir, dan 10,4 % lupa dengan pengobatannya.

  Dari yang lupa meminum obatnya, 42,5 % lupa karena bepergian, 21,7% merasa sakit dan depresi. 34% lupa karena mereka meminum obat di rumah dan 5,6 % lupa karena merasa lebih baik dan tidak melanjutkan pengobatan. Alasan lain yang diberikan adalah: tidak ada uang untuk transportasi, menghindari efek samping obat, lupa, tidak ingin dilihat di klinik ketika mengambil obat, dan tidak dapat mengambil obat karena liburan pemerintah yang tidak terjadwal.

2.4. Landasan Teori

  

Roy (1999) dalam Tomey dan Alligood (2006) mendefinisikan manusia

  adalah sistem adaptif yang holistik. Sebagai sistem adaptif, sistem manusia digambarkan sebagai keseluruhan dengan fungsi satu untuk beberapa tujuan. Sistem manusia mencakup manusia sebagai individu atau kelompok termasuk keluarga, organisasi, komunitas dan sosial sebagai keseluruhan. Roy mendefinisikan manusia sebagai fokus utama dalam keperawatan, penerima asuhan keperawatan, sistem kehidupan kompleks dan adaptif dengan proses internal (kognator dan regulator), bertindak untuk memelihara adaptasi pada empat mode adaptif (fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi).

  Lingkungan adalah segala kondisi, keadaan dan pengaruh di sekeliling dan mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari anggota kelompok, dengan perhatian khusus dari kebersamaan manusia dan sumber bumi yang mencakup stimulus fokal, kontekstual dan residual. Ini adalah perubahan lingkungan yang menstimulus orang tersebut untuk membuat respon adaptif. Lingkungan adalah masukan bagi seseorang sebagai sistem adaptasi termasuk faktor internal dan eksternal. Faktor tersebut bisa jadi kecil atau besar, negatif atau positif. Perilaku yang menunjukkan adaptasi dapat dilihat dari empat model adaptasi yang meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi (Roy, 1999). Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku seseorang (Roy, 1999).

  Dalam penelitian ini hal yang menjadi stimulus bagi pasien adalah penyakit TB paru dan regimen terapi dalam pengobatan TB paru. Modus adaptasi yang akan diteliti adalah konsep diri. Penyakit TB paru yang diderita pasien mendatangkan stigma, isolasi dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB paru sehingga menyebabkan penurunan harga diri. Semua pandangan eksternal yang didapatkan dari lingkungan mempengaruhi konsep diri penderita TB paru.

Dokumen yang terkait

Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

11 79 112

Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2013

1 56 107

Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014

3 69 130

Persepsi Penderita TB Paru Terhadap Program DOTS Dalam Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Peureulak Aceh Timur 2005

1 36 134

Konsep Diri Penderita TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

24 177 86

Hubungan Perilaku Caring Perawat dengan Manajemen Regimen Terapeutik Pasien Tuberkulosis (TB) di Poli TB RS Paru Jember

5 35 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan TB paru dan MDR TB di Indonesia - Perbandingan Nilai Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) pada Pasien Tuberkulosis Paru dan Multi-Drug Resistant (MDR) TB di RSUP H. Adam Malik Medan

1 4 56

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis - Gambaran Peran Serta Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Caring Process dengan Kepuasan Kerja Perawat dan Kepuasan Pasien rawat inap di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

0 0 24