BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Pengaruh Pemanfaatan Dana pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-MP) Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, serta mata pencaharian yang tidak menentu. Disadari bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain.

  Karakteristik kemiskinan seperti tersebut di atas dan krisis ekonomi yang terjadi telah menyadarkan semua pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun organisasi masyarakat warga yang benar- benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman.

  Konsep pembangunan dijadikan dasar berbagai kebijakan dan alasan bagi setiap tindakan pelaku. Hal ini karena adanya motivasi untuk mengejar masa depan yang lebih baik, menurut kondisi dan cara masing-masing, hingga melahirkan berbagai konsep pembangunan, antara lain: reconstruction,

  modernization, westernization, social change, liberation, inovation serta national

building , yang implementasinya mengarah pada sebuah konsep keterbelakangan

  (kemiskinan). Adapula pandangan yang mengatakan, keterbelakangan (kemiskinan) dilihat dari kapasitas masyarakat yang tidak mampu mengumpulkan modal, dimana ketergantungan ekonomi dapat pula menghasilkan kemiskinan.

  Kemiskinan dapat berasal dari karakteristik orang-orang miskin itu sendiri, artinya ada semacam budaya kemiskinan. Tetapi ada pula yang memandang bahwa orang menjadi miskin karena dieksploitasi oleh kelompok dominan elit penguasa. Dari berbagai pemikiran di atas menunjukkan, fenomena-fenomena kemiskinan belum disentuh secara persepstif konfrehensif dan terkesan belum dilaksanakan secara terpadu.

  Dalam mencermati persoalan ini, intervensi pendidikan dan proses pembelajaran, sangat penting dalam menjelajahi ‘benang merah’, yaitu usaha bersikap transparan dan akuntabel, dengan mendekatkan diri pada orientasi kemajuan. Sedangkan dari tinjauan psikologis, kemajuan tidak dapat dicapai apabila pelaku pembangunan dalam kondisi internal yang laizes fair, sehingga perlu pembelajaran kritis masyarakat agar cerdas, cakap, dan bermoral, selaku subyek pembangunan.

  Negara mempunyai kewajiban menanggulangi permasalahan kemiskinan, guna mencapai tujuan pembangunan yaitu meningkatkan kesejahteraan hidup dari seluruh rakyat. Pembangunan yang tidak mengubah kondisi kemiskinan akan menyisakan masalah ekonomi, sosial dan politik. Usaha untuk melaksanakan pembangunan nasional yang meliputi pembangunan daerah diperlukan adanya perencanaan dan penyusunan yang lebih baik dan mantab, baik mengenai sumber- sumber penerimaan maupun kondisi masyarakat setempat. Penanggulangan kemiskinan menjadi penting karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, meningkatkan beban sosial ekonomi masyarakat, menurunkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, mengurangi partisipasi aktif masyarakat, menurunkan tingkat ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat, dan kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang Yudhoyono dan Harniati (2004).

  Pengembangan kapasitas masyarakat pada hakikatnya merupakan usaha meningkatkan kemampuan masyarakat itu sendiri, sehingga kegiatan tersebut seharusnya mendapat dukungan dan peran serta aktif dari masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat sebagai pihak yang paling berkepentingan belum memahami secara betul makna dari pengembangan kapasitas itu sendiri dan tidak memberikan tanggapan secara positif terhadap upaya-upaya pengembangan kapasitas yang dilaksanakan maka bisa dipastikan upaya tersebut tidak akan berdaya guna dan berhasil sesuai tujuan yang ingin dicapai. Ada empat tahapan pemberdayaan di dalam masyarakat, yaitu tahap penyadaran, tahap pemahaman, tahap pemanfaatan, dan tahap pembiasaan. Tahap pemberdayaan dimana mengelola sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang berada di masyarakat dari yang tidak berdaya ke berdaya lalu mandiri dan madani, tahap penyadaran yaitu tahapan yang memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat tentang pembangunan di lingkungannya, Tahapan pemahaman yaitu tahapan yang merubah paradigma tentang pembangunan dari masyarakat dan untuk masyarakat, tahap pemanfaatan yaitu tahapan memanfaatkan sumber-sumber daya manusia yang ada di masyarakat dan sumber daya lainnya. Tahap pembiasaan adalah tahapan paling akhir dalam proses pemberdayaan, dimana masyarakat telah terbiasa untuk terlibat secara aktif dalam pembangunan di lingkungannya, karena pada pada dasarnya hasil atau keluaran yang didapatkan adalah untuk kepentingan mereka sendiri.

  Tujuan pembangunan berisikan tujuan kuantitatif yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu, terutama persoalan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2015. Tujuan ini di rumuskan dari “Deklarasi Milenium” dan Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara penandatangan pada september 2000. Kemiskinan telah menjadi agenda bersama setiap negara yang tergabung dalam membangun komitmen tujuan pembangunan milenium (Millenium

  

Development Goals , MDGs). Sebagai salah satu anggota MDGs, Indonesia turut

terikat dengan komitmen ini Sukidjo (2009).

  Delapan tujuan pembangunan milenium juga menjelaskan mengenai tujuan pembangunan manusia, yang secara lansung dapat memberikan dampak bagi penanggulangan kemiskinan ekstrim. Masing-masing tujuan MDGs terdiri dari target-target yang memiliki batas pencapaian minimum yang harus di capai Indonesia pada tahun 2015. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena program yang ada selama ini hanya dilihat dari aspek ekonomi yang bersifat charity tanpa menekankan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat menjadi mandiri Sukidjo (2009).

  Perencanaan dalam pembangunan seringkali mengalami kegagalan, menurut Kartasasmita (1997) bahwa salah satu penyebab kegagalan perencanaan adalah karena perencanaan tidak memberikan kesempatan berkembangnya kapasitas serta potensi masyarakat secara penuh. Dengan demikian sistem perencanaan yang diterapkan saat ini adalah perencanaan partisipatif. Namun perencanaan partisipatif tidak mudah dilakukan karena berbagai hambatan. Salah satu hambatan partisipasi adalah karena masyarakat tidak memiliki kemampuan dan kekuasaan. Namun pemberian kekuasaan saja tidak ada artinya apabila tidak diikuti peningkatan kapasitas untuk melakukannya.

  Penanggulangan kemiskinan membutuhkan penanganan yang menyeluruh dalam skala perwilayahan yang memadai yang memungkinkan ketidak paduan antar pendekatan sektoral, perwilayahan dan partisipatif yang dalam hal ini di pilih kecamatan sebagai lokus program yang mampu mempertemukan perencanaan dari atas dan dari bawah.

  Di tataran kecamatan inilah rencana pembangunan yang direncanakan oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) bertemu dengan perencanaan dari masyarakat dalam Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) kecamatan sehingga dapat digalang perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan selaras waktu (synchrone). Dengan demikian PNPM Mandiri Perkotaan akan menekan pemanfaatan Musrembang Kecamatan sebagai mekanisme harmonisasi kegiatan berbagai program yang ada sehingga peran forum LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat) tingkat kecamatan menjadi sangat vital.

  Berdasarkan pemikiran tersebut diatas maka pendekatan atau upaya– upaya rasional dalam mencapai tujuan program dengan memperhatikan prinsip– prinsip pengelolahan program adalah pembangunan yang berbasis masyarakat dengan : a.

  Menggunakan kecamatan sebagai lokus program b. Memposisikan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan c. Mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembanguanan pembangunan partisipatif d.

  Mengunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai karakteristik sosial dan geografis. Melalui proses pemberdayaan yang terdiri atas pembelajaran, kemandirian, keberlanjutan.

  Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM Mandiri Perkotaan) adalah kelanjutan dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini berupaya menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa lembaga kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan program masyarakat jangka menengah dalam penanggulangan kemiskinan yang menjadi pengikat dalam kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat (Departemen Pekerjaan Umum, 2008).

  Penguatan kelembagaan masyarakat yang dimaksud terutama juga dititik beratkan pada upaya penguatan perannya sebagai motor penggerak dalam ‘melembagakan' dan ‘membudayakan' kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan (nilai-nilai dan prinsip-prinsip di P2KP), sebagai nilai-nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat. Melalui kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang masih terjebak pada lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya antara lain diharapkan juga dapat tercipta lingkungan kota dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam permukiman yang lebih responsif, dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

  Kepada kelembagaan masyarakat tersebut yang dibangun oleh dan untuk masyarakat, selanjutnya dipercaya mengelola dana abadi P2KP secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dana tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, yang diputuskan oleh masyarakat sendiri melalui rembug warga, baik dalam bentuk pinjaman bergulir maupun dana waqaf bagi stimulan atas keswadayaan masyarakat untuk kegiatan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, misalnya perbaikan prasarana serta sarana dasar perumahan dan permukiman.

  Model tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk penyelesaian persoalan kemiskinan yang bersifat multi dimensional dan struktural, khususnya yang terkait dengan dimensi-dimensi politik, sosial, dan ekonomi, serta dalam jangka panjang mampu menyediakan aset yang lebih baik bagi masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatannya, meningkatkan kualitas perumahan dan permukiman meraka maupun menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, maka dilakukan proses pemberdayaan masyarakat, yakni dengan kegiatan pendampingan intensif di tiap kelurahan sasaran.

  Melalui pendekatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung masyarakat (BLM) Kelurahan sasaran, P2KP cukup mampu mendorong dan memperkuat partisipasi serta kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya, Program Penanggulangan Kemiskinan berpotensial sebagai “Gerakan Masyarakat” yakni: dari, oleh dan untuk masyarakat.

  Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Oleh sebab itu mulai 2007, PNPM Mandiri P2KP diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan pencapaian sasaran Millenium Development

  

Goals (MDGs) sehingga tercapai pengurangan penduduk miskin sebesar 50% di

tahun 2015.

  Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai target pertama MDGs. Menurut data BPS jumlah penduduk miskin menurun dari 32,53 juta jiwa pada 2009 menjadi 31,02 juta jiwa tahun 2010 dengan penurunan yaitu 1,51 juta jiwa, Sedangkan tahun 2011 Sebesar 29,89 juta jiwa dan tahun 2012 sebesar 29,13 juta jiwa, hal ini tetap merupakan jumlah yang sangat tinggi. Pada tingkat nasional, dengan usaha yang lebih keras, indonesia akan dapat mengurangi kemiskinan dan kelaparan hingga setengahnya pada tahun 2015.

  Menurut data PNPM Kota Medan mencatat tahun 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 444.986 Jiwa atau sekitar 15,91% dari total 2.796.980 jiwa penduduk Kota Medan, sedangkan tahun 2011 penduduk miskin mencapai 416.015 Jiwa atau 15,03% dari total penduduk 2.767.325 jiwa Data ini juga menujukan bahwa tahun 2012 penduduk miskin Kota Medan berjumlah 322.609 jiwa dari 2.517.912 jiwa atau 12,81%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

  Tabel 1.1 Persentase Jumlah Penduduk Miskin Kota Medan

  

Tahun Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Persentase

(Jiwa) Miskin (Jiwa) %

  2010 2.796.980 444.986 15,91 2011 2.767.325 416.015 15,03 2012 2.517.921 322.609 12,81

  Sumber : PNPM-MP Kota Medan tahun 2010 sampai 2012

  Gambar 1.1.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Kota Medan Tahun 2010 - 2012

  Sumber : PNPM-MP Kota Medan Sesuai Dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.07/2009 Pedoman Pendanaan Urusan Pusat dan Daerah Untuk Penanggulangan Kemiskinan yang bersumber Dana APBN, APBD dan Dana Swadaya Masyarakat maka realisasi dana dari tahun 2010 sampai tahun 2012 untuk Kota Medan adalah sebagai berikut:

  Gambar 1.1.2 Realisasi Dana PNPM Kota Medan Tahun Anggaran 2010 – 2012

  Sumber : APBN dan APBD dan Dana Swadaya Masyarakat PNPM Kota Medan TA. 2010 sampai 2012

  Sebagai salah satu Program Inti adalah PNPM Mandiri, maka dasar hukum pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan adalah sama dan merujuk pada dasar hukum PNPM Mandiri, sebagaimana ditetapkan dalam Pedoman Umum PNPM Mandiri, Peraturan Presiden nomor. 13 tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.

  Penelitian yang dilakukan Santoso (2011) mengungkapkan bahwa Desentralisasi Fiskal sebagai salah satu instrumen kebijakan yang mempunyai prinsip dan tujuan, antara lain untuk (1) menguranggi kesenjangan fiskal antara antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal

  fiscal imbalance), (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan

  mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, (4) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil dan (5) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.

  Dalam pengalokasian dana PNPM pemerintah dalam hal ini mengeluarkan peraturan Menteri Keuangan sebagai pejabat wewenang anggaran dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2010 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan tahun Anggaran 2011 pada Pasal (2) yang berbunyi Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah digunakan untuk perencanaan lokasi dan alokasi DUB serta penentuan besaran (persentase) penyediaan DDUB oleh daerah dalam rangka pelaksanaan Bantuan Langsung Masyarakat Program Pemberdayaan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan Tahun Anggaran 2011. dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.05/2011 tentang Penyusunan dan Pelaksanaan Anggaran lanjutan Program atau kegiatan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri tahun Anggaran 2010 sebagai Anggaran Belanja tambahan Tahun Anggaran 2011. Melalui jalur Dana Urusan Bersama bagi Pemerintah Pusat dan Dana Daerah untuk Urusan Bersama bagi Pemerintah Daerah sebagai sumber dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) seiring perjalanan program ini menuai kritikan mengenai efektifitas dan banyaknya kasus penyalahgunaan dana program nasional pemberdayaan masyarakat yang mengunakan dana APBN, APBD dan Dana Masyarakat dengan melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan program untuk meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dan mencapai target Indeks Persentase Penduduk Miskin Daerah (IPPMD).

  Pemilihan Program PNPM dalam penelitian ini karena program ini berhubungan lansung kepada masyarakat yang bersumber dana APBN, APBD dan Dana Swadaya Masyarakat. Dari tiga sumber dana ini program yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah apakah mempunyai dampak signifikan terhadap kemiskinan. Karena kemiskinan menjadi isu sentral dalam penialian kinerja pusat dan daerah dengan menjadikan penggurangan kemiskinan merupakan indikator keberhasilan pemerintahannya.

  Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Pemanfaatan Dana Pada Program Nasional

  Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM – MP) Kota Medan.”

1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “ Apakah Pemanfaatan Dana PNPM yang bersumber dari APBN, APBD, dan Dana Swadaya Masyarakat Pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan berpengaruh secara parsial terhadap kemiskinan?”

  1.3. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : “ Untuk mengetahui Seberapa pengaruh Pemanfaatan Dana PNPM yang bersumber dari APBN, APBD, dan Dana Swadaya Masyarakat Pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan berpengaruh secara parsial terhadap kemiskinan”

  1.4. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh Pemanfaatan dana APBN, APBD, dan

  Dana Swadaya Masyarakat terhadap kemiskinan.

  2. Bagi pemerintah, untuk pemerintah pusat dan daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam pengalokasian dan pemanfaatan dana PNPM Mandiri Perkotaan yang berasal dari APBN dan APBD yang berbasis kinerja sehingga tercapai tujuan dan sasaran program.

  3. Bagi masyarakat ataupun para stakeholder , penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Dana APBN, APBD serta dana swadaya masyarakat terhadap kemiskinan perkotaan.

4. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber referensi.

1.5. Originalitas

  Penelitian ini merupakan replikasi dan pengembangan penelitian dari Santoso (2011) yang berjudul Pengaruh PNPM dan Alokasi Belanja Daerah Untuk Pendidikan, Kesehatan dan Perkerjaan umum terhadap Penanggulanggan Kemiskinan . Tetapi perbedaannya disini melihat seberapa besar pengaruh APBN, APBD, dan dana swadaya masyarakat terhadap kemiskinan tahun berikutnya secara silmultan dan parsial dalam pelaksanannya dan pengelolaannya sehingga dapat mencapai IPPMD dan target MDG’s 2015.

  Penelitian Pengaruh PNPM dan Alokasi Belanja Daerah Untuk Pendidikan, Kesehatan dan Perkerjaan umum terhadap Penanggulanggan Kemiskinan dilakukan Santoso (2011) dengan melakukan studi kasus Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur menyimpulkan bahwa penaggulangan kemiskinan dapat berhasil dilakukan bila ada kerjasama antara Pusat dan Daerah.

  Perbedaan selanjutnya adalah dalam Penelitian yang dilakukan Santoso (2011) mempunyai variabel dependen yaitu Indeks Kemiskinan, Indeks Kedalaman kemiskinan, Indeks Keparahan Kemiskinan dengan penelitian kuantitatif membandingkan dengan Independen PNPM, Belanja Daerah urusan Pendidikan, Belanja Daerah urusan Kesehatan dan Belanja Daerah urusan Pekerjaan Umum Sedangkan Penelitian ini variabel dependen adalah Kemiskinan dan variabel independennya Dana APBN, APBD dan Dana Swadaya Masyarakat .

  Penelitian Santoso (2011) melakukan studi kasus dengan mengambil populasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dengan periode penelitian 3 tahun yaitu tahun 2007 - 2009, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 151 kelurahan dari 21 Kecamatan atau seluruh kelurahan yang ada di Kota Medan sebagai populasinya dengan periode penelitian tahun 2011 dan 2012.