2.2. Anatomi Kepala 2.2.1. Kulit Kepala - Karakteristik Penderita Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Darat Rawat Inap Di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi Tahun 2010-2011

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Definisi Cedera Kepala Cedera kepala adalah suatu trauma mekanik pada kepala baik secara langsung

  atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan

  21 fisik, kognitif, fungsi psikososial, baik temporer maupun permanen.

  Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

  22 fungsi fisik.

  2.2. Anatomi Kepala

  23

  2.2.1. Kulit Kepala

  Kulit kepala menutupi tengkorak, terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu: skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponneurosis atau

  

galea aponeurotika , loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan

pericranium .

  24

  2.2.2. Tengkorak

  Tengkorak adalah tulang kerangka kepala yang disusun menjadi dua bagian, yaitu kranium atau kalvaria yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Permukaan ini ditembusi banyak lubang supaya dapat dilalui serabut saraf dan pembuluh darah.

2.2.3. Meningen

  Meningen adalah jaringan membran penghubung yang melapisi otak dan medula spinalis. Ada tiga lapisan meningen yaitu: a.

  Durameter (lapisan luar) Durameter adalah lapisan terluar meningen, merupakan lapisan yang liat, kasar, dan terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium.

25 Durameter mempunyai dua lapisan membran, yaitu endosteal

  dan meningeal. Arteri-arteri meningen terletak antara durameter dan permukaan dalam kranium (ruang epidural). Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut bridging veins.

  23 b.

  Selaput arakhnoid (lapisan tengah) Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis, tembus pandang, dan seperti laba-laba.

25 Selaput ini dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial,

  disebut spatium subdural dan dari piameter oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh cairan serebrospinalis.

  c.

  Piameter (lapisan dalam) Piameter adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam, membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang

  23 masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh piameter.

  23 Gambar 2.1 Lapisan Kranium

2.2.4. Otak Otak adalah suatu bagian yang menarik dan kompleks dari anatomi manusia.

  Otak bertanggung jawab untuk banyak hal seperti memicu emosi dan sumber

  26

  informasi. Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: a.

  Otak besar (cerebrum) Otak besar mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh korpus kallosum.

  Setiap hemisfer terdiri atas empat lobus yaitu: a.1. Lobus frontal berfungsi sebagai aktivitas motorik, fungsi intelektual, emosi, dan fungsi fisik. Pada lobus frontal bagian kiri terdapat area yang berfungsi sebagai pusat motorik bahasa. a.2. Lobus parental terdapat sensori primer dari korteks, berfungsi sebagai proses input sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan, dan suhu ringan. a.3. Lobus temporal mengandung area auditorus, tempat tujuan yang datang dari telinga. Berfungsi sebagai input perasa pendengaran, pengecap, penciuman, dan proses memori. a.4. Lobus oksipital mengandung area visual otak, berfungsi sebagai penerima informasi dan menafsirkan warna, refleks visual.

  b.

  Otak kecil (cerebellum) Otak kecil besarnya kira-kira seperempat otak besar. Di antaranya dibatasi oleh tentorium serebri. Fungsi utama otak kecil adalah koordinasi aktivitas muskular, kontrol tonus otot, mempertahankan postur, dan keseimbangan.

  c.

  Batang otak (truncus serebri) Batang otak terdiri atas otak tengah (mesencephalon), pons, dan medula oblongata. Batang otak berfungsi dalam pengaturan refleks untuk fungsi vital tubuh. Otak tengah berfungsi sebagai stimulus pergerakan otot dari dan ke otak. Pons menghubungkan otak tengah dengan medula oblongata, berfungsi sebagai pusat refleks pernapasan dan mempengaruhi tingkat karbon dioksida, dan aktivitas vasomotor. Medula oblongata mengandung pusat refleks pernapasan, bersin,

  25

  menelan, batuk, muntah, sekresi saliva, dan vasokonstriksi

  26 Gambar 2.2 Anatomi Otak

  25

2.2.5. Cairan Cerebrospinalis

  Cairan cerebrospinalis banyak ditemukan dalam ventrikel, di saluran sentral medula spinalis dan di ruang arachnoid. Cairan ini merupakan penyaringan dari darah, berupa plasma yang tidak berwarna, jernih, dan normalnya mengandung protein dan glukosa. Pada orang dewasa rata-rata diproduksi cairan cerebrospinalis sebanyak 400-600 ml/hari.

  Setelah bersirkulasi di otak dan medula spinalis, cairan cerebrospinalis kemudian kembali ke otak dan diabsorbsi di vili arachnoid selanjutnya masuk ke sistem vena jugularis ke vena cava superior dan akhirnya masuk ke sirkulasi sistemik. Fungsi dari cairan cerebrospinalis adalah untuk mempertahankan fungsi normal saraf seperti untuk nutrisi dan pengaturan lingkungan kimia susunan saraf pusat.

2.3. Penyebab Cedera Kepala

  Penyebab umum cedera kepala yaitu karena kecelakaan lalu lintas, juga disebabkan karena hal lain seperti terjatuh, terpukul, serangan fisik, kecelakaan industri, kecelakaan di rumah, kecelakaan kerja, olahraga, dan saat bermain.

  27 Penyebab terpenting cedera kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas

  (60% kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala).

28 Menurut penelitian Turner di New York tahun 1996, kecelakaan lalu lintas

  merupakan penyebab 48-53 % dari insidens cedera kepala, 20-28 % karena terjatuh dan 3-9 % lainnya disebabkan tindak kekerasan, olahraga dan rekreasi.

  22

2.4. Epidemiologi Cedera Kepala

2.4.1. Distribusi Cedera Kepala

a. Orang

  Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar 30 tahun) dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

  29 Menurut Miller, anak-anak usia <15 tahun beresiko mengalami cedera kepala (33%) dan berumur >65 tahun 70-88%.

  

28

Angka kematian pasien yang berusia 15-

  22 tahun yaitu 32,8 kasus per 100.000 orang dan tingkat kematian pada pasien berusia lanjut (>65 tahun) adalah sekitar 31,4 kasus per 100.000 orang.

  31 Data dari Jasa Marga menyatakan bahwa resiko kecelakaan lalu lintas

  dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Hampir 50% kematian global terjadi pada golongan dewasa dengan kisaran umur 14-44 tahun dan menimpa laki-laki

  8 hampir tiga kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan.

  Berdasarkan penelitian Balitbang Kesehatan bagian terbesar kasus kecelakaan lalu lintas terjadi antara kendaraan bermotor dan pejalan kaki (47%) dan sebanyak

  32 43% korban meninggal adalah pejalan kaki.

  b. Tempat Menurut WHO (2011) lebih dari 90% kematian akibat kecelakaan lalu lintas

  terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, kejadian tertinggi adalah di

  11

  daerah Afrika dan Timur Tengah. Hasil analisa lanjut data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi cedera akibat lalu lintas secara nasional sebesar

  15 27,0%.

  Menurut wilayah Provinsi proporsi cedera tertinggi akibat kecelakaan lalu lintas terdapat di Provinsi DI Yogyakarta (44,7%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (15,1%). Berdasarkan data di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta penderita cedera kepala yang rawat inap terdapat paling banyak menderita cedera kepala ringan sebesar 60-70% dengan CFR tertinggi 35-50% akibat cedera kepala

  15 berat.

  c. Waktu

  Penelitian Kleiven di Swedia (1987-2000) terdapat 22.000 pasien cedera

  33 kepala menunjukkan insidens tahunan sebesar 229 per 100.000 penduduk.

  Penelitian Tagliaferri et al, di Eropa tahun 2006 rata-rata kematian akibat cedera

  33

  kepala sekitar 15 kasus per 100.000 (CFR=11%). Di Amerika Serikat selama tahun 1997-2007 terdapat sebanyak 53,0% korban kecelakaan yang menderita cedera kepala, dengan rata-rata korban yang meninggal sebanyak 18 per 100.000

  35 penduduk.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan Woro tahun 2005 terhadap pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati kebanyakan korban kecelakaan mengalami cedera kepala dengan kondisi yang parah (64,7%). Kecelakaan banyak terjadi di siang hari, namun kecelakaan malam hari mempunyai proporsi lebih

  8

  tinggi tingkat keparahan cederanya (59%). Waktu kejadian kecelakaan lalu lintas

  32 yang paling sering adalah antara pukul 07.00-12.00 WIB.

2.4.2. Determinan Cedera Kepala

  Menurut teori Haddix, cedera dipengaruhi oleh faktor manusia (host),

  15 penyebab (agent), dan lingkungan (environment).

  Hasil penelitian Balitbang Kesehatan menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban kecelakaan lalu lintas berumur antara 20-39 tahun (47%), suatu golongan umur yang paling aktif dan produktif. Sebanyak 74% dari korban sebagian besar adalah pria. Pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh (25%)

  

32

dan 11% adalah pelajar dan mahasiswa.

  Menurut WHO (2011) tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas jalan lebih tinggi pada kelompok usia muda, anak-anak dan orang muda di bawah usia 25 tahun mencapai lebih dari 30% dari mereka tewas dan terluka dalam kecelakaan lalu lintas. Dari usia muda tersebut, laki-laki lebih mungkin terlibat dalam kecelakaan lalu lintas daripada perempuan, laki-laki muda di bawah usia 25

  9 tahun hampir 3 kali lebih mungkin untuk terbunuh dalam kecelakaan mobil. Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Ditemukan kontribusi masing-masing faktor, yaitu manusia/pengemudi (75%), kendaraan (5%), kondisi jalan (5%), dan faktor lainnya.

  a.

  Faktor manusia. Faktor manusia meliputi pemakai jalan, penumpang, dan pengemudi. Faktor pengemudi yang dimaksudkan adalah keterampilan mengemudi, gangguan kesehatan (mabuk, mengantuk, letih), kepemilikan SIM, menaati peraturan dan rambu lalu lintas. Faktor penumpang yang dimaksudkan adalah jumlah muatan yang berlebihan. Faktor pemakai jalan bukan hanya pejalan kaki atau pengendara, tetapi ada juga pedagang kaki lima, sarana perparkiran, peminta-minta dan semacamnya.

  b.

  Faktor kendaraan. Lalu lintas jalan raya penuh dengan berbagai jenis kendaraan. Pertama kendaraan tidak bermotor yaitu: sepeda, becak, gerobak, delman. Kedua kendaraan bermotor yaitu: sepeda motor, roda tiga/betor, mobil, bus, truk. Di antaranya kecelakaan lalu lintas paling sering pada kendaraan sepeda motor.

  c.

  Faktor jalanan. Faktor jalanan dapat berupa keadaan fisik jalan (licin, berlubang-lubang, lurus/berkelok, datar/mendaki/menurun) dan rambu-rambu.

  Faktor lingkungan mencakup cuaca dan geografik, yaitu diduga bahwa dengan adanya kabut, hujan, terik matahari, jalan licin akan membawa resiko

  1

  kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Woro tahun 2005 terhadap pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati proporsi cedera akibat kecelakaan lebih tinggi saat cuaca hujan (64,7%) dibandingkan dengan cuaca cerah

  8 atau tidak hujan (26,9%).

2.5. Klasifikasi Cedera Kepala

  25

  2.5.1. Komosio Serebri (geger otak)

  Komosio serebri adalah gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak akibat cedera kepala. Gejala-gejala yang terjadi adalah mual, muntah, nyeri kepala, hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa diertai anamnesia retrogad yaitu hilangnya ingatan pada kejadiaan-kejadian sebelum terjadinya kecelakaan/cedera.

  25

  2.5.2. Kontusio Serebri (memar otak)

  Kontusio serebri adalah gangguan fungsi neurologik akibat cedera kepala yang disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, Otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan. Gejala yang timbul lebih khas yaitu, penderita kehilangan gerakan, kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit

  ,

  2.5.3. Hematoma Epidural

  Hematoma epidural adalah suatu hematoma yang cepat terakumulasi di antara tulang tengkorak dan durameter, biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningen

  36

  media. Gejala yang ditimbulkan yaitu sakit kepala, konfusi, kejang, defisit lokal, koma, dan jika tidak diatasi akan membawa kematian.

  Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor (perbedaan besar/bentuk pupil mata), yaitu pupil melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada mulanya positif akan

  37 menjadi negatif.

  38

  2.5.4. Hematoma Subdural

  Hematoma subdural kebanyakan sering terjadi di atas konveksitas hemisfer, dimana kebebasan bergerak dari otak adalah paling besar dan lokasi yang relatif lebih jarang adalah di daerah fosa posterior, dimana gerak lebih kecil. Kebanyakan hematoma subdural terjadi di bridging vein yang menghubungkan sistem vena dari otak dengan sinus venosus yang tertutup dalam durameter. Hematoma subdural bisa akut atau kronik.

  a.

  Hematoma subdural akut Biasanya ada hubungannya dengan cedera yang jelas dan sering kali disertai laserasi (robek) atau kontusi (memar) otak. Timbulnya gejala pada umunya tertunda dan ditandai secara klinis oleh gangguan kesadaran yang fluktuatif. Hasil dari hematoma subdural akut tergantung bukan saja hanya dari tindakan bedah tetapi juga dari luka pada otak di dekatnya.

  b.

  Hematoma subdural kronik Hematoma subdural kronik terlihat paling sering pada pada orang tua dan peminum alkohol. Pada penderita demikian biasanya didapatkan sedikit atrofi otak yang berakibat bertambah bebasnya pergerakan otak di dalam ruang tengkorak. Gejala-gejalanya lebih kurang nyata, pemeriksaan CT scan sangat memudahkan diagnostik.

  39

  2.5.5. Hematoma Intraserebral

  Hematoma intraserebral biasanya terjadi karena cedera kepala berat, ciri khasnya adalah hilang kesadaran dan nyeri kepala berat setelah sadar kembali. Lebih dari 50% penderita hematoma intraserebral disertai hematoma epidural dan hematoma subdural. Paling banyak terjadi di lobus frontalis atau temporalis, dan tidak jarang ditemukan multipel. Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya hematoma.

  39

2.5.6. Fraktur Kranii

  Fraktur pada tengkorak dapat terjadi di tempat benturan maupun di tempat yang jauh dari benturan. Penanggulangan fraktur tulang kepala bergantung pada jenis fraktur. Terdapat beberapa bentuk fraktur tulang kepala, yakni linear, stelata, komunutif, dan impresi.

  Patah tulang impresi ialah fraktur dengan fragmen tulang terdorong ke dalam. Diagnosa dibuat dengan foto rontgen kepala, termasuk foto tangensial pada tempat yang dicurigai. Indikasi utamanya adalah gangguan neurologik atau kejang.

  Patah tulang tengkorak dasar pada umumnya terjadi pada petrosum, atap orbita, atau pada basis oksiput. Diagnosis berdasarkan anamnesis dan gejala klinis, seperti perdarahan dari hidung atau telinga, dan sekitar mastoid atau orbita. Foto rontgen pada waktu akut tidak diperlukan karena pada umumnya tidak memberikan tambahan informasi berarti, bahkan dapat membahayakan jiwa penderita. Saraf otak dapat juga cedera.

  25

2.6. Tingkat Keparahan

  Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasglow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenal oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai tingkat keparahan cedera kepala. GCS yang dimaksudkan yaitu: a.

  Respon membuka mata (E) Buka mata spontan Buka mata bila dirangsang suara Buka mata bila dirangsang nyeri Tidak membuka mata dengan rangsangan apapun

  c. Respon motorik (M) Mengikuti perintah Mengetahui tempat rangsangan nyeri Menolak rangsangan nyeri (menarik ke samping) Menghindari rangsangan nyeri (menarik ke belakang) Reaksi ekstensi abnormal, kaku Tidak ada reaksi dengan rangsangan nyeri apapun

  2.6.2. Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12) 21,36

  Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat kelainan pada CT scan otak, rawat rumah sakit <48 jam, amnesia pasca trauma (APT) <1 jam, dan biasanya tidak memerlukan tindakan operasi.

  2.6.1. Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15) 21,36

  1 Berdasarkan nilai GCS maka pembagian tingkat keparahan cedera kepala sebagai berikut:

  2

  3

  4

  5

  6

  Nilai

  1

  Nilai

  2

  3

  4

  5

  Nilai

  b. Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang Kata-kata tidak teratur Suara tidak jelas Tidak ada suara dengan rangsangan apapun

  1

  2

  3

  4

  Hilang kesadaran antara 30 menit sampai 22 jam, tidak terdapat kelainan pada CT scan otak, rawat rumah sakit >48 jam, APT 1-22 jam, dan biasanya tidak memerlukan tindakan operasi.

  

21,36

2.6.3. Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)

  Hilang kesadaran lebih dari 22 jam akibat penurunan kesadaran yang sangat progresif, GCS menetap dalam 48 jam sesudah cedera, dan APT >7 hari.

2.7. Komplikasi dan Kelainan Cedera Kepala

  39

  2.7.1. Gangguan Neurologik

  Cedera kepala dapat menyebabkan cedera saraf otak yang dapat berupa anosmia (bau), gangguan visus, strabismus, cedera nervus fasialis, gangguan pendengaran atau keseimbangan, disartri, dan disfagia. Kadang terdapat afasia dan hemiparesis.

  39

  2.7.2. Sindrom Pascatrauma

  Biasanya sindrom pascatrauma terjadi pada cedera kepala yang tergolong ringan dengan GCS >12, ataupun pingsan yang tidak lebih dari 20 menit. Sindrom tersebut berupa nyeri kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, cemas, dan mudah tersinggung. Tidak didapatkan kelainan neurologik.

  Keluhan tersebut biasanya berlangsung hingga 2-3 bulan pascatrauma walaupun kadang jauh lebih lama.

  6

  2.7.3. Kebocoran Cairan Serebrospinal

  Kebocoran Cairan Serebrospinal (CSS) pada cedera kepala terutama menyertai fraktur basis. Kebocoran CSS dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara rongga subarakhnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil dan menutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis di kemudian hari. Pada proses penyembuhan luka kebocoran CSS, umumnya kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis fraktur dan menyebabkan kebocoran terus- menerus, maka perlu tindakan operatif.

  39

  2.7.4. Sindrom Psikis Pascatrauma

  Sindrom psikis pascatrauma yang agak jarang ditemukan, meliputi penurunan inteligensia baik verbal maupun perilaku, gangguan perilaku, gangguan berpikir, rasa curiga serta sikap bermusuhan, cemas, menarik diri, dan depresi. Yang paling menonjol adalah gangguan daya ingat. Faktor utama timbulnya neuropsikiatrik ini adalah beratnya cedera dan bukan faktor premorbid seperti status sosial, umur atau tingkat pendidikan.

  6

  2.7.5. Kejang Post Traumatika

  Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Kejang post traumatika dapat dibagi menjadi: a.

  Kejang post traumatika dini (immediate post traumatic seizuries) merupakan kejang yang timbul dalam 22 jam pertama setelah cedera kepala.

  b.

  Kejang post traumatika awal (early post traumatic seizuries) merupakan kejang yang terjadi antara hari pertama sampai ketujuh setelah cedera kepala.

  c.

  Kejang post traumatika lanjut (late post traumatic seizuries) merupakan kejang yang timbul lebih dari 1 minggu setelah cedera kepala.

  d.

  Post traumatic epilepsi merupakan kejang post traumatika lanjutan yang timbul berulang-ulang dan bukan disebabkan oleh hal lain kecuali cedera kepala.

  Sebanyak 60% penderita yang mengalami kejang dini dan kejang awal terjadi dalam 22 jam pertama, lebih kurang setengahnya terjadi dalam jam pertama setelah cedera kepala. Dua per tiga keseluruhan penderita akan mengalami kejang lebih dari satu kali, dan 10% akan mengalami status epileptik.

6 Hidrosefalus yang timbul setelah cedera kepala secara umum dapat dibedakan

2.7.6. Hidrosefalus

  atas dua tipe, yaitu: a.

  Hidrosefalus non komunikan. Jenis ini dapat timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan yang terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem sentrikel.

  Sehingga aliran CSS terbendung. Jenis ini biasanya timbul karena adanya perdarahan di fossa posterior yang menekan ventrikel IV.

  b.

  Hidrosefalus komunikan. Jenis ini timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada rongga subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan ini timbul karena adanya darah pada rongga subarachnoid yang mengganggu aliran maupun penyerapan CSS. Biasanya terjadi pada 2 bulan pertama setelah cedera kepala. Jenis ini lebih sering ditemukan daripada non komunikan. Secara klinis harus dipertimbangkan adanya hidrosefalus ini jika setelah cedera kepala, penderita memperlihatkan perbaikan awal yang cepat namun selanjutnya tidak ada kemajuan atau bahkan perburukan. Untuk alasan ini idealnya perlu dilakukan CT scan.

39 Pada cedera kepala berat akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan

2.7.7. Ganggguan Gastrointestinal

  saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.

  6

2.7.8. Neurogenic Pulmonary Edema

  Neurogenic pulmonary edema jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala berat. Terdapat dua mekanisme yang mungkin bekerja secara sinergis. Pertama peningkatan Tekanan Tinggi IntraKranial (TTIK) yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan peningkatan Pulmonary Capillary

  Wedge Pressures (PCWP) dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru. Kedua

  pelepasan katekolamin yang terjadi akan memengaruhi endotel kapiler sehingga permeabilitas alveolar juga meningkat.

2.8. Pencegahan Cedera Kepala

  Pencegahan cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas diarahkan kepada upaya untuk menurunkan kejadian kecelakaan lalu lintas. Upaya pencegahan yang dilakukan yaitu:

  1

  2.8.1. Pencegahan Primordial

  Pencegahan primordial adalah pencegahan yang dilakukan kepada orang- orang yang belum terkena faktor resiko yaitu berupa safety facilities: koridor (sidewalk), jembatan penyeberangan (over hedge bridge), rambu-rambu jalan (traffic signal ), dan peraturan (law).

  1

  2.8.2. Pencegahan Primer

  Pencegahan primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum suatu peristiwa terjadi untuk mencegah faktor resiko yang mendukung terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala seperti: a.

  Tidak mengemudi dengan gangguan kesehatan (terlalu lelah, mengantuk, di bawah pengaruh obat-obatan dan alkohol) b.

  Pengendalian kecepatan kendaraan/ tidak mengebut

c. Penggunaan helm dan sabuk pengaman d.

  Muatan penumpang tidak berlebihan e. Membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet, kondisi tidak berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok)

  5

2.8.3. Pencegahan Sekunder

  Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk menghentikan atau mengurangi perkembangan penyakit atau cedera kepala ke arah kerusakan dan ketidakmampuan.

  Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis berupa anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis.

  a. Anamnesis Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya

  kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat juga tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keluarga pasien diminta keterangan tentang apa yang terjadi.

  b. Pemeriksaan Fisik Umum

  Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital yaitu kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran juga dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (mengantuk), sopor (tidur), atau koma. Selain itu dapat pula ditentukan dengan GCS.

  c. Pemeriksaan Neurologis Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap.

  Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III (okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI (abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus), nervus X (vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII (hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah), dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.

  d. Pemeriksaan Radiologis d.1. Foto rontgen polos

  Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior. Bila lesi terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat di daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah).

  Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.

  d.2. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)

  CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan- potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.

  CT-Scan kepala merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua pasien dengan GCS<12 sebaiknya menjalankan pemeriksaan CT-Scan, sedangkan pada pasien dengan GCS>12 CT-Scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari satu kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.

  

28

d.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

  MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT- Scan. Kelainan yang tidak tampak pada CT-Scan dapat dilihat dengan MRI.

  Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT- Scan sehingga tidak sesuai dengan situasi gawat darurat.

  5

2.8.4. Pencegahan Tersier

  Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah komplikasi cedera kepala yang lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses pemulihan penderita cedera kepala. Tujuan rehabilitasi setelah cedera kepala yaitu untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di dalam masyarakat.

  2.9. Kerangka Konsep Karakteristik Penderita Cedera Kepala 1.

  Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Pekerjaan 2. Penyebab 3. Waktu kejadian 4. Tingkat keparahan 5. Lama rawatan rata-rata 6. Keadaan sewaktu pulang 7. Sumber biaya 8. CFR penderita cedera kepala

  2.10. Definisi Operasional 2.10.1.

  Penderita cedera kepala adalah pasien yang mengalami suatu trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial, baik temporer maupun permanen berdasarkan diagnosa dokter dan dinyatakan menderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas darat yang tercatat pada kartu status.

  2.10.2. Umur adalah usia penderita yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas: 1. ≤ 15 tahun 2. 16-24 tahun 3. 25-44 tahun 4. ≥ 45 tahun 2.10.3. Jenis kelamin adalah ciri khas (organ reproduksi) yang dimiliki penderita seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas:

  1. Laki-laki

  2. Perempuan

  2.10.4. Pekerjaan adalah kegiatan utama yang dilakukan oleh penderita seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas:

  1. PNS/TNI/Polri

  2. Pegawai swasta

  3. Wiraswasta

  4. IRT

  5. Pelajar/Mahasiswa

  6. Tidak bekerja

  2.10.5. Penyebab adalah kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan terjadinya cedera kepala pada korban seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas:

  1. Kecelakaan lalu lintas (KLL) roda dua

  2. Kecelakaan lalu lintas (KLL) roda tiga

  3. Kecelakaan lalu lintas (KLL) roda empat atau lebih

  2.10.6. Waktu kejadian adalah jam terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh penderita cedera kepala seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas: 1. 00.01-06.00 WIB 2. 06.01-12.00 WIB 3. 12.01-18.00 WIB 4. 18.01-24.00 WIB

  2.10.7. Hari kejadian adalah hari terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh penderita cedera kepala seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas: 1.

  Senin 2. Selasa 3. Rabu 4. Kamis 5. Jumat 6. Sabtu 7. Minggu

  2.10.8. Tingkat keparahan adalah derajat keparahan yang dialami oleh penderita cedera kepala seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas:

  1. Ringan (GCS 13-15)

  2. Sedang (GCS 9-12)

  3. Berat (GCS 3-8)

  2.10.9. Lama rawatan rata-rata adalah jumlah hari rata-rata perawatan penderita cedera kepala seperti yang tertera pada kartu status.

  2.10.10. Keadaan sewaktu pulang adalah kondisi penderita sewaktu keluar dari rumah sakit seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas:

  1. Pulang Berobat Jalan (PBJ)

  2. Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS)

  3. Meninggal

  4. Rujuk

  2.10.11.Sumber biaya adalah asal biaya yang digunakan penderita selama masa perawatan seperti yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas:

  1. Askes

  2. Jamkesmas

  3. Jamkesda

  4. Umum Untuk analisa statistik dikategorikan menjadi: 1.

  Bukan biaya sendiri (Askes, Jamkesmas, dan Jamkesda) 2. Biaya sendiri (Umum)

  2.10.12. CFR penderita cedera kepala adalah angka atau proporsi kefatalan akibat cedera kepala yang diperoleh dari hasil bagi antara jumlah kematian akibat cedera kepala dengan jumlah penderita cedera kepala dalam periode waktu yang sama (tahun) dikali dengan 100%.