BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pecandu Ganja - Analisa Volume, pH dan Kadar Ion Kalsium Saliva Yang Distimulasi Pada Pecandu Ganja di Pusat Rehabilitasi Insyaf Medan Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pecandu Ganja

  Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

3 Tahun 1997. Ganja rata-rata dikonsumsi sebanyak 150–200 mg atau 5–7 linting ganja

  per hari. Pola konsumsi ganja secara teratur dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk mengalami ketergantungan. Seseorang dikatakan ketergantungan dengan ganja atau zat tertentu apabila telah memiliki minimal tiga kriteria Diagnostic

  

and Statical Manual of Mental Disorder -IV (DSM-IV) yang dikeluarkan oleh

American Psychiatric Association pada tahun 1994, yaitu:

  1. Toleransi, yaitu terjadi peningkatan kebutuhan dosis dari ganja yang dikonsumsi agar mendapatkan efek yang diinginkan atau akan terjadi penurunan efek ganja apabila digunakan terus-menerus dengan dosis yang sama.

  2. Ketagihan, yaitu terjadi sindrom ketagihan pada ganja dan dengan penarikan ganja dapat mengurangi simtom-simtom ketagihan pada seseorang.

  3. Ganja biasanya dikonsumsi dengan jumlah yang lebih banyak dalam jangka waktu yang lebih lama.

  4. Terdapat keinginan yang persisten untuk mendapatkan ganja atau gagalnya upaya untuk mengurangi dan berhenti mengonsumsi ganja.

  5. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan ganja, menggunakan ganja dan berhenti mengonsumsi ganja.

  6. Berkurangnya kemampuan seseorang dalam menjalankan kehidupan sosial, bekerja dan aktivitas lainnya akibat efek dari ganja.

  7. Tetap mengonsumsi ganja walaupun telah mengetahui efek samping ganja terhadap kesehatan fisik dan psikologisnya dan kemungkinan terjadinya eksaserbasi

  1,30 dalam mengonsumsi ganja.

  Salah satu cara agar pecandu ganja berhenti mengonsumsi ganja yaitu dengan proses rehabilitasi. Menurut UURI No. 35 tahun 2009, terdapat dua jenis rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis, yang merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika dan rehabilitasi sosial, yang merupakan suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu ganja dapat kembali melaksanakan fungsi

  3

  sosial dalam kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pecandu ganja yang menjalani masa rehabilitasi merupakan orang yang telah berhenti mengonsumsi ganja

  1

  dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketergantungan. Akan tetapi, pecandu ganja yang telah berhenti mengonsumsi ganja masih dapat mengalami defisit fungsi fisiologis dan psikologis akibat riwayat konsumsi ganja sebelumnya. Keparahan defisit fungsi fisiologis dan psikologis bergantung pada usia ketika mengonsumsi ganja, lamanya

  14 mengonsumsi ganja, dan jumlah ganja yang digunakan.

2.2 Ganja

  Ganja berasal dari tanaman Cannabis sativa yang ditemukan oleh Linaeus pada tahun 1735. Tanaman ini diolah dengan cara mengeringkan dan mengompres bagian tangkai, daun, biji dan bunganya yang mengandung banyak resin sehingga meghasilkan produk baru yang disebut dengan ganja. Ganja merupakan salah satu narkotika yang paling banyak beredar karena proses budidaya dan pengolahannya yang cukup

  1,2 mudah.

  Tanaman Cannabis sativa mengadung lebih dari 400 bahan kimia, termasuk 60 bahan kimia aktif yang disebut dengan cannabinoid. Cannabinoid yang terdapat pada tanaman Cannabis sativa antara lain Delta-9-tetrahydrocannabinol, Delta-8-

  

tetrahydrocannabinol, cannabinol, dan cannabidiol. Delta-9-tetrahydrocannabinol

  (THC) merupakan cannabinoid yang paling berpengaruh pada sistem tubuh dan ganja mengandung 4–8% THC. Dewasa ini kekuatan ganja meningkat 15 kali dibanding pada tahun 1960 atau 1970 dan ganja yang berasal dari Afrika, Brazil, Meksiko dan Asia Tenggara memiliki kandungan THC sepuluh kali lebih banyak. Hal ini merupakan akibat dari manipulasi genetik dan kondisi pertumbuhan yang dilakukan

  1,8-10 pada saat budidaya ganja.

  Gambar 1. Tanaman Cannabis sativa dan

  30 sediaan ganja.

  Gambar 2. Struktur kimia Delta-9-

  tetrahydrocannabinol

  9 (THC).

2.2.1 Cara Mengonsumsi Ganja

  Ganja telah dikonsumsi selama ribuan tahun oleh masyarakat dunia dengan budaya yang berbeda-beda, sehingga terdapat juga perbedaan dalam cara mengonsumsi ganja. Namun secara umum, ganja dapat dikonsumsi dengan cara dihisap atau dihirup

  1,16,31 dan dimakan atau diminum.

  96% dari pecandu ganja mengonsumsi ganja dengan cara dihisap atau dihirup. Cara ini merupakan yang paling efisien dalam mengonsumsi ganja dan memiliki efek yang cepat pada otak sehingga pecandu ganja akan cepat merasakan euforia, halusinasi dan relaksasi. 70% ganja dihisap atau dihirup melalui lintingan ganja, 16% melaui pipa air atau bong dan 5% dengan mencampurkan ganja dengan rokok tembakau.

  Masyarakat Barat sering menggunakan ganja dalam bentuk lintingan ganja atau rokok ganja. Lintingan ganja terdiri dari sejumlah ganja yang dilinting dalam kertas beras silinder baik dengan cara manual atau menggunakan mesin penggulung. Lintingan

  1

  ganja biasanya berisi 0,5–1 gram ganja dengan atau tanpa tambahan tembakau. Ganja juga dapat dihisap atau dihirup menggunakan berbagai jenis pipa. Pipa tembakau sederhana juga dapat digunakan untuk mengonsumsi ganja, namun biasanya pipa untuk ganja terbuat dari bahan tahan panas seperti batu, kaca, gading dan logam. Pipa yang paling sering digunakan untuk mengonsumsi ganja adalah pipa air yang disebut dengan bong. Bong memiliki berbagai varian bentuk namun pada prinsipnya memiliki cara kerja yang sama. Ketika menggunakan bong, asap pembakaran ganja akan terhisap melalui lapisan air yang dingin. Bong merupakan alat yang cukup kompleks dan tidak

  1,31 mudah dibawa.

  Gambar 3. Konsumsi ganja dengan cara

  

32

dilinting.

  33 Gambar 4. Pipa air atau bong .

  Kandungan THC dalam ganja merupakan molekul yang mudah larut dalam lemak dan alkohol sehingga ganja dapat dicampur ke dalam berbagai bahan makanan dan minuman untuk dikonsumsi. Cara mengonsumsi ganja seperti ini membuat efek dari ganja akan lebih lama muncul karena penyerapannya terjadi lebih lambat. Biasanya ganja dipanaskan dengan minyak goreng atau mentega sampai getah ganja keluar dari daunnya, getah ini kemudian digunakan untuk membuat kue dan biskuit. THC dapat juga diekstrak dengan alkohol sehingga menghasilkan larutan yang dapat diencerkan dengan limun atau minuman lainnya. Di Amerika Serikat dan Inggris, larutan ganja tersebut biasanya dicampurkan dengan air dan diminum untuk penggunaan medis. Di India, ganja biasanya dikonsumsi dengan melinting ganja menjadi bulatan kecil

  1,8 kemudian langsung dimakan atau dicampurkan dengan air mendidih dan diminum.

2.2.2 Farmakologi Ganja

  Metabolisme THC terjadi di hati dan dipecah menjadi 11-hydroxy-THC yang juga merupakan agen psikoaktif. Karena sifatnya yang lipofilik, eliminasi THC dari dalam tubuh berlangsung cukup kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama. THC berakumulasi di jaringan adiposa selama lima sampai tujuh hari dan secara perlahan dikeluarkan lagi ke tubuh. Waktu paruh eliminasi dari THC dari jaringan

  25% melalui urin dan 65% ke dalam usus untuk di reabsorbsi sehingga efek samping

  9 dari THC dapat bertahan lebih lama.

  Reseptor cannabinoid berdasarkan afinitasnya dibagi menjadi reseptor CB

  1 dan

  reseptor CB

  2 . Reseptor CB 1 dapat ditemukan di hipokampus, ganglia basal, serebelum,

  sistem saraf dan juga ditemukan di saluran kelenjar saliva submandibula (ductal

  system ). Reseptor CB 2 ditemukan di makrofag pada limpa, sel-sel imun, dan sel-sel 1,10,21,29

  asini kelenjar saliva submandibula. Ketika menghisap ganja, THC akan masuk melalui paru-paru sebanyak 50% kemudian diabsorbsi ke aliran darah dan mencapai

  7

  otak dalam beberapa menit. Aktivasi reseptor cannabinoid pada otak yaitu di bagian hipokampus, ganglia basal dan serebelum yang mempengaruhi perasaan senang, ingatan, pemikiran, konsentrasi, pergerakan, koordinasi dan persepsi waktu serta sensoris. Hipokampus terdapat pada lobus temporal dan berperan untuk ingatan jangka pendek. Apabila THC berikatan dengan reseptor cannabinoid di hipokampus maka akan terjadi pengumpulan kembali ingatan-ingatan yang baru terjadi. Ganglia basal berperan dalam pergerakan spontan, perencanaan dan inisiasi. Serebelum merupakan pusat kontrol motorik dan koordinasi, hal ini yang dapat menyebabkan kerusakan pada sistem koordinasi motorik pada pecandu ganja. THC yang masuk ke dalam otak dapat menstimulasi sel-sel otak di nucleus accumbens dan prefrontal cortex untuk mengeluarkan neurotransmiter dopamin yang berperan dalam pengaturan emosi dan sikap, sehingga dapat menyebabkan munculnya rasa senang dan santai pada seseorang. Dosis rendah THC dapat menstimulasi terjadinya sedasi, sedangkan dosis tinggi THC

  

1,8,13,34

dapat menyebabkan terjadinya halusinasi.

  Penggunaan ganja sebagai bahan medikasi telah dilarang di beberapa negara sejak abad 20, namun pada awalnya ganja dapat digunakan sebagai bahan medikasi

  1,30

  dengan dosis yang tepat. Efek THC ganja dalam tubuh bergantung pada dosis yang

  9

  diterima seseorang, dosis tepat penggunaan THC yaitu 5–25 mg. Kandungan THC tersedia dalam bentuk pil yang berguna untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien dengan sindrom defisiensi imun dan juga untuk mengurangi rasa mual dan muntah pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi. Cannabinoid pada ganja juga efektif dalam ganja dengan dosis yang tepat dapat mengobati inflamasi membran mukosa, lepra, demam, obesitas, asma, infeksi saluran urin dan batuk. Manfaat terapi dari cannabinoid yaitu sebagai analgesik, relaksasi otot, anti alergi, bronkodilator, neuroproteksi, bahan sedatif, antiemesis, serta menurunkan tekanan intraokular. Pada tahun 1980 terdapat banyak penelitian mengenai manfaat medis ganja, namun karena konsumsi ganja secara teratur dan dalam jangka waktu yang panjang dapat mempengaruhi kesehatan sistemik dan status mental maka penggunaan ganja sebagai bahan medikasi dilarang di beberapa

  1,8,10 negara termasuk di Indonesia.

  Gambar 5. Lokasi reseptor cannabinoid di

  12 otak.

2.8 Pengaruh Ganja Terhadap Kesehatan

  THC yang bersifat psikoaktif dapat mempengaruhi hampir seluruh sistem dalam tubuh dengan cara berikatan dengan reseptor cannabinoid. Ketika pecandu mengalami ketergantungan pada ganja dan mengonsumsi ganja terus-menerus dengan dosis yang berlebihan dalam jangka panjang maka hal ini dapat mengganggu kesehatan pada

  1,7 pecandu.

2.8.1 Kesehatan Sistemik

  Asap pembakaran ganja dengan kandungan THC yang terhirup dapat dengan Paru-paru dilapisi oleh jutaan alveoli yaitu kantung tempat terjadinya pertukaran gas. Alveoli memiliki luas permukaan 90 kali lebih besar dari kulit sehingga THC dapat dengan mudah menembus alveoli kemudian masuk ke dalam aliran darah. Setelah masuk ke dalam aliran darah, THC akan menuju jantung dan kemudian dipompakan ke seluruh tubuh melalui arteri. THC sangat mudah berpenetrasi ke dalam otak karena terdapat banyak reseptor cannabinoid dengan konsentrasi tinggi di dalam otak sehingga THC lebih banyak terakumulasi di otak dan kemudian memulai efeknya ke beberapa

  1,8 bagian tubuh.

  Pada paru-paru pecandu ganja, terdapat banyak makrofag yang rusak. Makrofag merupakan sel darah putih besar yang memiliki fungsi sebagai pembunuh bakteri dan jamur, serta membuang jaringan yang rusak Dengan turunnya fungsi makrofag maka paru-paru rentan terhadap serangan bakteri, jamur dan sel-sel kanker. Hal ini menyebabkan sering terjadi infeksi paru-paru atau bronchitis pada pecandu ganja dengan simtom seperti batuk, peningkatan produksi sputum, serta emfisema. Kandungan tar dalam ganja juga dapat menyebabkan mutasi dari sel-sel di paru-paru

  1,7,8 sehingga meningkatkan risiko terjadinya kanker paru-paru pada pecandu ganja.

  Di dalam jantung, THC dapat mengakibatkan meningkatnya beban jantung. Hal ini mengakibatkan kekuatan jantung dalam memompa darah semakin besar diikuti dengan terjadinya vasodilatasi pada arteri. Secara klinis, dapat dilihat terjadinya peningkatan denyut nadi pada para pecandu ganja yang disebut dengan takikardi dan peningkatan detak jantung sebagai efek akut dari konsumsi ganja. Ketika terjadi peningkatan beban jantung maka kebutuhan terhadap oksigen dalam jantung juga meningkat, apabila oksigen kurang banyak untuk membantu kerja jantung maka dapat

  

8

terjadi kardiak iskemik pada pecandu ganja.

  THC yang terakumulasi di dalam otak menstimulasi sel-sel otak sehingga dikeluarkan neurotransmitter dopamin yang memicu pecandu ganja untuk merasa euforia, halusinasi, peningkatan persepsi sensoris dan peningkatan selera makan. Namun setelah beberapa saat, pecandu akan merasa kantuk dan depresi. Penggunaan ganja yang terus menerus menyebabkan disfungsi dari neurotransmitter tersebut

  8,9,34

  paranoid, halusinasi, euforia, serta emosi yang berubah-ubah. Konsumsi ganja jangka panjang juga dapat memepengaruhi fungsi otak dengan cara mengurangi aliran

  8 darah otak sehingga dapat menurunkan metabolisme otak dan fungsi serebelum.

  Konsumsi 2,5 mg THC per kilogram massa tubuh atau 7 batang rokok ganja per hari dapat menurunkan hormon sentral pada menstruasi, termasuk hormon follicle-

  

stimulating , hormon luteinizing dan hormon progesteron. Gangguan pada hormon-

  hormon tersebut dapat mengakibatkan terjadinya infertilitas pada perempuan Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mueller, dkk. bahwa 61% dari perempuan infertil memiliki riwayat mengonsumsi ganja. Pada pria, ganja dapat mempengaruhi produksi sperma yaitu berkurangnya jumlah dan motilitas sperma. Menurut Hembree, dkk. pecandu ganja yang mengonsumsi 8 linting ganja per hari selama satu bulan mengalami penurunan jumlah dan motilitas sperma yang

  8,32 signifikan.

  Gambar 6. Pengaruh ganja terhadap

  12 kesehatan sistemik.

2.8.2 Kesehatan Rongga Mulut

  Ganja juga dapat mempengaruhi kesehatan rongga mulut pecandu ganja melalui sifat iritatif ganja dan adanya reseptor cannabinoid dalam kelenjar saliva yang dapat menyebabkan terjadinya masalah-masalah kesehatan rongga mulut pecandu

  1,35-38 ganja.

  Pada pecandu ganja terjadi keadaan mulut kering atau xerostomia. Akibat mulut yang kering para pecandu sering mengonsumsi minuman ringan dan makanan

  

23,24

  manis sehingga pH saliva menjadi asam. Selain itu, asap pembakaran dari ganja dapat mereduksi oksigen dalam rongga mulut dan meningkatkan koloni bakteri anaerob sehingga membuat pH saliva semakin turun. Semakin turun pH saliva maka akan memicu terjadinya demineralisasi gigi sehingga meningkatkan kejadian karies pada

  13,25

  pecandu ganja. Hal ini sesuai dengan penelitian Ditmyer, dkk. (2014) memberitahukan bahwa terjadi peningkatan prevalensi dan keparahan karies pada pecandu ganja dimana pecandu ganja memiliki jumlah DMFT (decay, missing, filling

  36 teeth ) dua kali lebih tinggi dibanding perokok biasa.

  Gambar 7. Gambaran karies pada

  24 pecandu ganja.

  Konsumsi ganja dapat mengakibatkan terjadinya pembesaran gingiva terutama di daerah interdental papila dan marginal gingiva. Ciri ini serupa dengan efek dari obat anticonvulsive yaitu phenytoin. Hal ini dihubungkan dengan kandungan

  

Cannabidiol (CBD) pada ganja yang memiliki efek dan struktur kimia yang sama

  38

  dengan phenytoin. Selain pembesaran gingiva, berkurangnya volume saliva pada pecandu ganja dapat mengakibatkan berkurangnya fungsi imun dari saliva dalam menjaga kesehatan rongga mulut. Sehingga pada pecandu ganja terjadi peningkatan jumlah bakteri dan jamur pada rongga mulut, termasuk bakteri anaerob dan Candida

  

albicans . Pembentukan plak gingiva dan meningkatnya koloni bakteri anaerob dapat

25,35

  meningkatkan terjadinya gingivitis pada pecandu ganja. Kurangnya kesadaran pecandu ganja dalam menjaga kebersihan mulutnya menyebabkan gingivitis tersebut

  11,35,37 berkembang menjadi periodontitis diikuti dengan kehilangan tulang alveolar.

  Densitas dari Candida albicans semakin meningkat disebabkan oleh hidrokarbon pada ganja yang menjadi sumber energi bagi spesies kandida tertentu termasuk Candida

  

albicans . Hal ini mengakibatkatkan terjadinya candidiasis pada pecandu ganja. Ketika

  diteliti menggunakan teknik kultur imprint terlihat terjadinya peningkatan densitas

  

Candida albicans pada rongga mulut pecandu ganja. Faktor lain yang dapat

  mempengaruhi candidiasis pada pecandu ganja adalah kebersihan mulut yang buruk

  7,35 dan faktor nutrisi yang tidak terpenuhi.

  Ganja memiliki konsentrasi zat karsinogen aromatic hydrocarbon seperti

  39

benzopyrene yang lebih banyak dibandingkan tembakau. Ketika menghisap ganja,

  rongga mulut terpapar oleh asap pembakaran yang panas, paparan yang terjadi secara kronis menyebabkan zat-zat karsinogen mempengaruhi epitel rongga mulut. Sehingga terjadi perubahan-perubahan pada sel epitel rongga mulut yang disebut dengan

  1,7,9,39

cannabis stomatitis termasuk leukodema dan hiperkeratosis. Leukodema terjadi

  pada 57,1% pecandu ganja. Leukodema memiliki gambaran klinis seperti mukosa tampak tipis, opaque, berwarna putih keabuan dan sering terjadi di bagian bukal.

  35 Mukosa bukal akan tampak mengkerut dan membentuk lipatan. Hiperkeratosis pada

  umumnya mengenai bibir atas dan bawah di lokasi penempatan ganja. Bercak berdiameter sekitar 7 mm dan umumnya terletak lateral dari garis tengah. Papula- papula menimbul putih jelas terlihat di seluruh bercak hiperkeratosis, membuat suatu

  

40

  permukaan kasar dan keras saat dipalpasi. Apabila cannabis stomatitis tidak segera ditangani maka epitel rongga mulut akan semakin berdiferensiasi dan menjadi lesi premalignan seperti leukoplakia. Leukoplakia merupakan lesi putih pada mukosa mulut yang tidak dapat dihapus dan merupakan reaksi protektif terhadap iritasi kronis yang mulut dalam kurun waktu 5 tahun. Kanker rongga mulut yang sering ditemukan pada

  7,13,39,40

  pecandu ganja adalah tipe squamous cell carcinoma. Hubungan antara kanker rongga mulut dan pemakaian ganja lebih signifikan pada pasien usia di bawah 50

  35 tahun.

  Gambar 8. Lesi leukoplakia pada lateral

  32 lidah pecandu ganja.

2.4 Saliva

  Saliva merupakan cairan yang disekresikan oleh kelenjar saliva yang menjaga kelembaban rongga mulut. Saliva terdiri dari 99% air dan 1 % komponen organik serta anorganik. Komponen organik saliva yaitu mucin, laktoferin, kallekriene, lisozim, peroksidase, tiosianat, ptialin atau amilase, maltase, lipase. Komponen anorganik saliva yaitu sodium, chloride, potasium, kalsium, bikarbonat, fosfat, amonia, magnesium,

  15

  flour, yodium. 93% saliva disekresikan oleh kelenjar saliva mayor yaitu kelenjar parotid, submandibular dan sublingual sedangkan 7% lainnya oleh beberapa kelenjar

  18,41 saliva minor yang tersebar di mukosa rongga mulut.

  Sekresi saliva bersifat spontan dan kontinu disebabkan oleh stimulasi konstan

ujung saraf parasimpatis yang berakhir di kelenjar saliva. Selain sekresi yang bersifat

konstan, sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui dua jenis refleks saliva yang berbeda

yaitu refleks saliva sederhana dan refleks saliva didapat. Refleks saliva sederhana

terjadi ketika kormoreseptor di dalam rongga mulut dirangsang oleh adanya makanan.

Reseptor-reseptor tersebut memulai impuls serabut saraf aferen yang membawa

  

informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva kemudian mengirim

impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi

saliva. Pada refleks saliva didapat, sekresi saliva terjadi tanpa rangsangan melainkan

hanya melalui berpikir, melihat, atau menghirup aroma makanan. Stimulus tersebut

  19,42 bekerja melalui korteks serebrum untuk merangsang pusat saliva di medula.

  

Gambar 9. Letak anatomi kelenjar saliva mayor. A, kelenjar saliva parotid.

  20 B, kelenjar saliva submandibula. C, kelenjar saliva sublingual.

  Kelenjar saliva dipersarafi oleh saraf otonom yaitu saraf simpatis dan

parasimpatis yang bekerja beriringan. Asetilkolin merupakan postganglionic

transmitter saraf parasimpatis dan noradrenalin adalah postganglionic transmitter saraf

simpatis yang bekerja pada kelenjar saliva. Noradrenalin bekerja pada

  α1- adrenoceptors dan β1-adrenoceptors, sedangkan asetilkolin bekerja pada reseptor

  muskarinik M1 dan M3. Baik saraf parasimpatis maupun simpatis, keduanya

  

meningkatkan sekresi dari saliva. Rangsangan saraf simpatis mensekresi saliva dengan

volume yang lebih sedikit, kental dan mengandung lebih banyak musin. Sedangkan

rangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan berperan dominan dalam

sekresi saliva yang cair dan kaya enzim. Saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi

sehingga aliran darah untuk kelenjar saliva meningkat dan mengakibatkan peningkatan

  19,42 volume saliva.

  Komponen organik saliva disintesis oleh sel sekretori dari kelenjar saliva yang

memperoleh nutrisi dari pembuluh darah. Ketika sel-sel sekretori distimulasi, saliva

  

sirkulasi darah. Ketika saraf distimulasi, ion klorida dipindahkan ke dalam sel. Hal ini

meningkatkan reaksi elektrolit yang menyebabkan influks dari ion sodium. Peningkatan

ion sodium dan klorida pada sel menghasilkan tekanan osmotik sehingga cairan masuk

ke dalam sel dan sel mengalami pembengkakan. Tekanan pada sel meyebabkan

rupturnya sel dan mengeluarkan cairan serta elektrolit, sehingga saliva yang hipotonik

dapat disekresikan ke dalam rongga mulut. Perbedaan jalur sekresi saliva

  2+

mengakibatkan perbedaan komposisi saliva. Mobilisasi dari Ca dan adenosine 3’, 5’ –

cyclic monophosphate (cAMP ) dapat menghasilkan interaksi yang sinergis sehingga

  13,19 dapat mensekresikan saliva dengan jumlah protein dan cairan yang seimbang.

2.5 Pengaruh Ganja Terhadap Saliva

  Ganja mempengaruhi saliva melalui dua mekanisme utama, yaitu secara sistemik dan secara lokal. Secara sistemik, ganja bekerja melalui ikatan THC dengan reseptor cannabinoid yang ditemukan pada kelenjar saliva submandibula mamalia, yaitu pada sistem saluran kelenjar saliva (ductal system) dan pada sel asini, serta ikatan THC dengan reseptornya pada saraf yang memiliki efek parasimpatolisis. Secara lokal, ganja mempengaruhi saliva melalui asap pembakaran ganja yang langsung

  21,23,25,29 mempengaruhi saliva sesaat setelah menghisap ganja.

2.5.1 Pengaruh Ganja Terhadap Volume Saliva Volume dan komponen saliva sangat mempengaruhi kesehatan rongga mulut.

  

Kekurangan saliva akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang karena dapat

20,37

menyebabkan kesulitan berbicara, makan, menelan dan mengecap rasa. Pada orang

dewasa yang sehat, jumlah volume saliva baik dengan stimulasi ataupun tanpa stimulasi

berkisar antara 500 sampai 1500 ml/hari. Rata-rata saliva istirahat yang berada pada

  15

rongga mulut adalah 1 ml. Volume saliva dengan stimulasi yang normal berkisar

lebih dari 5,0 ml/5 menit, rendah 3,5–5,0 ml/5 menit dan hiposalivasi kurang dari 3,5

  43

ml/5 menit. Penurunan volume saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa keadaan,

seperti proses menua, menopause, latihan fisik berlebihan, radioterapi, kemoterapi, antikolinergik diantaranya antidepresan, antipsikosis, antihipertensi, serta antihistamin, 20,23 kebiasaan merokok dan menghisap ganja. Pada penelitian Woyceichoski IEC., dkk

  (2011) diketahui bahwa volume saliva pada pecandu kokain dalam masa rehabilitasi

  19

  yaitu 1,39 ml/menit dengan standar deviasi 0,678. Sedangkan menurut penelitian Ravenel MC., dkk (2012) diketahui bahwa pada pecandu methamphetamine yang telah berhenti kurang dari 12 bulan, volume saliva terstimulasinya lebih dari 5 ml/5 menit sebanyak 8 sampel, 3,5-5 ml/5 menit sebanyak 5 sampel, dan kurang dari 3,5 ml/ 5

  43 menit sebanyak 1 sampel.

  Ganja mempengaruhi volume saliva akibat kandungan THC dalam ganja yang

  23

  memiliki sifat parasimpatolitik. Reseptor cannabinoid secara umum berpasangan dengan protein G yang berada pada membran sel saraf parasimpatik. Hal ini dapat menyebabkan THC yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan protein G dan reseptor cannabinoid, menginhibisi saluran ion kalsium dan mengaktivasi saluran potasium. Masuknya ion kalsium ke dalam sel di ujung sinaps diperlukan untuk proses eksositosis neurotransmitter dan aktivasi saluran potasium menyebabkan hiperpolarisasi sel sehingga sel-sel pada saraf parasimpatik akan mengalami hambatan

  44

  pada proses eksositosis. Dengan demikian, fungsi saraf parasimpatis terinhibisi dan saraf parasimpatis tidak dapat merangsang kelenjar saliva untuk mensekresikan saliva.

  

Sekresi saliva hanya didapat melalui sistem saraf simpatis yang menyebabkan

terjadinya vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah ke kelenjar saliva, sehingga sel- sel asini mengalami atropi dan menghasilkan saliva dengan volume yang lebih sedikit,

  20,42 kental dan mengandung lebih banyak musin.

  Selain itu, pada penelitian Prestifilipo, dkk (2006) menemukan bahwa selain

  terdapat pada sistem saraf, otak dan sel imun, reseptor cannabinoid dapat juga ditemukan di kelenjar saliva yaitu pada sistem saluran kelenjar saliva (ductal system) dan pada sel asini. THC pada ganja akan bereaksi apabila berikatan dengan reseptornya

  

sehingga ketika THC berikatan dengan reseptornya yang berada pada kelenjar

  submandibula selama stimulasi elektrik maka dapat terjadi penurunan pengeluaran

  

asetilkolin yang merupakan postganglionic transmitter saraf parasimpatis sehingga

  

menyatakan bahwa 84% dari pecandu ganja mengalami mulut kering dan 91% merasa

  haus setelah mengonsumsi ganja. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hiposalivasi pada

  21,24

  pecandu ganja. Pada pecandu ganja yang telah berhenti mengonsumsi ganja, kerusakan sistem saraf yang diakibatkan oleh kebiasaan mengonsumsi ganja sebelumnya akan bertahan selama lebih dari satu tahun setelah pecandu berhenti

  9,14 mengonsumsi ganja.

2.5.2 Pengaruh Ganja Terhadap pH Saliva

  pH saliva merupakan derajat keasaman saliva yang penting dalam menjaga

integritas gigi karena mempengaruhi proses demineralisasi hidroksiapatit. Saliva

normal berkisar dari 6–7 namun dapat dipengaruhi oleh jumlah aliran saliva dari 5,3

sampai 7,8. pH saliva dengan stimulasi dapat dikatakann sehat apabila bernilai 6,8-7,8,

  43

asam 6-6,6 dan sangat asam 5,0-5,8. pH saliva dapat dipengaruhi oleh irama

cyrcadian dan diet. pH akan sangat rendah ketika tidur dan sesaat setelah bangun tidur

dan kemudian akan meningkat ketika beraktivitas. Setelah mengonsumsi diet kaya

karbohidrat, pH saliva juga akan mengalami penurunan namun akan kembali normal

beberapa saat kemudian. Namun apabila terjadi penurunan pH terus menerus sehingga

mencapai titik kritis yaitu 5,5–5,0 maka rongga mulut akan menjadi asam dan

meningkatkan koloni mikroorganisme kariogenik seperti Streptococcus mutans

sehingga menyebabkan terjadinya karies. pH saliva dapat meningkat ketika terjadi

peningkatan konsentrasi ion bikarbonat dalam saliva apabila terjadi peningkatan aliran

  25,27

sekresi saliva yang distimulasi. Berdasarkan penelitian Ravenel MC., dkk (2012)

diketahui bahwa penggunaan obat-obatan terlarang dapat mempengaruhi pH saliva.

  Pada pecandu methamphetamine yang telah berhenti kurang dari 12 bulan terjadi penurunan pH dengan nilai sekitar 6,0-6,6 sebanyak 2 sampel dan 6,8-7,8 sebanyak 12

  43

  sampel. Sedangkan pada penelitian Woyceichoski IEC., dkk (2011) diketahui bahwa pH pada pecandu kokain dalam masa rehabilitasi yaitu 7,11 dengan standar deviasi

  19 0,212.

  Pada pecandu ganja, dapat terjadi penurunan pH saliva akibat asap hasil rongga mulut dan meningkatkan koloni bakteri anaerob sehingga membuat rongga

  25,26

  mulut pecandu menjadi asam. Berkurangnya volume saliva mengakibatkan terjadi gangguan pada saliva dalam menjalankan fungsinya, salah satunya dalam menjaga

  

kelembaban rongga mulut dan menyediakan sensasi rasa seseorang. Dengan

berkurangnya kelembaban rongga mulut dan sensasi rasa menyebabkan para pecandu

ganja sering mengonsumsi minuman ringan setelah mengonsumsi ganja untuk

  15,23,24

  mengatasi mulut yang kering sehingga pH saliva semakin menurun. Asap pembakaran rokok atau ganja yang terdiri dari karbondioksida juga dapat menurunkan pH saliva dengan cara berikatan dengan kandungan air pada saliva, mengeluarkan ion

  25,26 hidrogen dan membentuk asam, seperti formula di bawah ini.

  CO

  2 +H

  2 O H

  2 CO

  3 H +HCO

  3

2.5.3 Pengaruh Ganja Terhadap Ion Kalsium dalam Saliva

  Di dalam saliva juga terdapat kandungan penting yaitu ion anorganik seperti ion kalsium yang merupakan buffer yang paling efisien dalam menjaga keseimbangan pH rongga mulut. Ion kalsium dalam saliva juga berguna dalam proses remineralisasi, mencegah larutnya enamel gigi, dan mineralisasi plak. Ion kalsium berperan sangat penting dalam menjaga gigi agar tetap sehat. Kalsium memproteksi gigi secara tidak langsung dengan cara menguatkan tulang rahang, menguatkan pertautan gigi dan tulang, mencegah terjadinya celah dimana bakteri dapat terinvasi ke dalam gigi, mencegah terjadinya inflamasi dan pendarahan. Konsumsi kalsium yang cukup

  17,27

  diperlukan untuk pertumbuhan struktur gigi yang baik. Konsentrasi kalsium pada saliva dari kelenjar submandibular yaitu 3,7 mmol/l lebih tinggi dibanding pada plasma

  16

  darah yaitu 2,5 mmol/l. Dalam saliva utuh kadar ion kalsium normal yaitu 1- 2

  17 mmol/l.

  Kadar ion kalsium dalam saliva dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,

  17,28,41

  yaitu:

  1. Jenis kelenjar, sekresi kalsium terbesar dihasilkan oleh kelenjar

  2. Ritme biologis, kadar ion kalsium saliva akan menurun pada pagi dini hari.

  3. Stimulus, dalam keadaan tanpa stimulasi sebagian besar saliva utuh berasal

  

dari kelenjar submandibularis, sedangkan dalam keadaan distimulasi sebagian besar

saliva utuh berasal dari kelenjar parotis.

  4. Curah saliva, merupakan faktor penting terhadap kadar komponen saliva. Konsentrasi kalsium akan menurun ketika curah saliva meningkat.

  5. Penyakit-penyakit sistemik, seperti cystic fibrosis dan hiperparatiroidisme.

  Gigi pecandu ganja yang berkontak dengan saliva yang bersifat asam dapat menyebabkan lepasnya ion kalsium dari dalam gigi dan larut ke dalam saliva sehingga

  26,27 jumlah kadar ion kalsium dalam saliva meningkat, sesuai dengan formula berikut.

  2 2+ 3– – Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH)

  10Ca + 6PO 4 + 2OH Solid Solution

  Cannabinoid dapat menyebabkan peningkatan jumlah kandungan protein serta konsentrasi kalsium tanpa mempengaruhi jumlah elektrolit lain pada sekresi saliva

  2+

  akhir. Ketika reseptor cannabinoid teraktivasi, terjadi peningkatan signal Ca cytosolic sehingga meningkatkan kadar kalsium pada saliva akhir. Reseptor cannabinoid yang terdapat pada sistem saluran kelenjar saliva (ductal system) meningkatkan mobilisasi

  2+

  intraseluler Ca dari retikulum endoplasma dan reseptor cannabinoid yang terdapat

  2+

  pada sel asini meningkatkan pengeluaran Ca dengan aktivasi SOCE (Store Operated

  2+ 21,29 Ca Entry).

2.6 Kerangka Teori

  Ganja

  Asap pembakaran ganja dihisap

  cannabinoid CO 2 Delta-8-

  Delta-9- cannabinol cannabidiol tetrahydrocan tetrahydrocanna nabinol binol (THC)

  Pembesaran gingiva seluruh tubuh

  Akumulasi di RM + -

  Aktivasi reseptor cannaboid CO +H O H CO H +HCO 2 2 2 3 3 kelenjar saliva sel saraf pH saliva submandibula sistem saraf sistem saraf Demineraliasi gigi parasimpatis simpatis aktivasi saluran 2+ potasium sel signal Ca

Pengeluaran

asetilkolin cytosolic Eksositosis parasimpatis (-) kerja saraf parasimpatis vasokonstriksi Atropi sel asini 2 2+ 3– –

  

Ca

10 (PO 4 ) 6 (OH)

  10Ca + 6PO 4 + 2OH Sekresi saliva

  Ion kalsium saliva Volume saliva

2.7 Kerangka Konsep

  Delta-9-tetrahydrocanna binol (THC) Asap pembakaran ganja dihisap CO 2 Inhibisi sistem saraf parasimpatis

  Volume saliva Sekresi saliva Pengeluaran asetilkolin signal Ca 2+ cytosolic pH saliva

  CO 2 +H 2 O H 2 CO 3 H + +HCO 3 - Ca

10

(PO 4 ) 6 (OH) 2

  10Ca 2+ + 6PO 4 3– + 2OH Demineraliasi gigi

  Akumulasi di RM

  Ion kalsium saliva Aktivasi reseptor cannaboid sel saraf kelenjar saliva submandibula kerja saraf parasimpatis

  Ganja Ada hubungan antara konsumsi ganja dengan penurunan volume, pH dan kadar ion kalsium saliva yang distimulasi

Dokumen yang terkait

Analisa Volume, pH dan Kadar Ion Kalsium Saliva Yang Distimulasi Pada Pecandu Ganja di Pusat Rehabilitasi Insyaf Medan Tahun 2014

5 88 142

Gambaran Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Pada Pecandu Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014

5 61 114

Kadar Ion Kalsium Pada Saliva Perempuan Penyirih Di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Medan

2 80 68

Analisis Yuridis Pembatalan Vonis Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika

0 4 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makanan Pendamping ASI - Penetapan Kadar Kalsium Dan Besi Pada Bubur Bayi Instan Yang Beredar Di Kota Medan Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saliva - Efektifitas Mengunyah Keju Cheddar Terhadap Peningkatan Konsentrasi Ion Kalsium Saliva Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

0 1 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Osteoartritis - Gambaran Pengetahuan dan Faktor Risiko Pada Pasien Osteoartritis Yang Berobat Jalan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2014

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kalkulus 2.1.1 Pengertian Kalkulus - Pengaruh Kadar Kalsium Saliva Terhadap Pembentukan Kalkulus Pada Pasien Di Instalasi Periodonsia Rsgm Usu

0 1 10

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisa Kadar Fosfat Pada Beberapa Air Sungai Di Kota Medan Secara Spektrofotometri UV-Visible

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MALARIA - Gambaran Klinis Pasien Malaria Yang Dirawat di Bangsal Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUPHAM) Medan Tahun 2012-2013

0 0 19