BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Analisis Hubungan Variabel Makro Ekonomi Dengan Kesehatan Perusahaan (Studi pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2004-2013)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1.1 Variabel Makro Ekonomi Menurut Mankiw (2004:4) ilmu ekonomi makro (macroeconomics) merupakan ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena dalam perekonomian secara luas, seperti inflasi, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi. Titik berat analisis makro ekonomi terletak pada bagaimana segi permintaan dan penawaran menentukan tingkat kegiatan dalam perekonomian, masalah utama yang selalu dihadapi setiap perekonomian dan peranan kebijakan dan campur tangan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi (Sukirno, 2008).

  Menurut Tandelilin (2010:343-344) terdapat beberapa variabel makro ekonomi yang memperlihatkan hubungan dan dampaknya terhadap profitabilitas perusahaan yaitu: 1.

  PDB (Produk Domestik Bruto) 2. Inflasi 3. Tingkat suku bunga 4. Kurs Rupiah 5. Anggaran defisit 6. Investasi swasta 7. Neraca perdagangan dan pembayaran.

  2.1.2 Nilai Tukar (Kurs USD/IDR) Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan

  2.1.2.1 Teori Nilai Tukar Berikut ini adalah beberapa teori yang berkaitan dengan nilai tukar valuta asing (Berlianta, 2004:18-21):

  1. Balance of Payment Approach Pendekatan ini didasarkan pada pendapat bahwa nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan terhadap valuta tersebut. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur kekuatan penawaran dan permintaan adalah balance of

  payment .

  2. Teori Purchasing Power Parity Teori ini berusaha untuk menghubungkan nilai tukar dengan daya beli valuta tersebut terhadap barang dan jasa. Pendekatan ini menggunakan apa yang disebut law of one price sebagai dasar. Dalam Law of one price disebutkan bahwa dengan asumsi tertentu, dua barang yang identik haruslah mempunyai harga yang sama. Ada dua versi teori ini yaitu: a.

  Versi absolut yang menyatakan bahwa nilai tukar adalah perbandingan harga barang di dua negara. Ukuran yang digunakan adalah rata-rata tertimbang dari seluruh barang yang ada di negara tersebut.

  Versi relatif yang mengatakan bahwa pergerakan nilai tukar valuta dua negara adalah sama dengan selisih kenaikan harga barang di kedua negara tersebut pada periode tertentu.

  3. Fisher Effect Teori Fisher Effect diperkenalkan oleh Irving Fisher. Teori ini mengatakan bahwa tingkat suku bunga nominal suatu negara akan sama dengan tingkat suku bunga riil ditambah tingkat inflasi di negara itu.

  4. International Fisher Effect Pendapat ini didasari oleh Fisher Effect bahwa pergerakan nilai mata uang suatu negara dibanding negara lain (pergerakan kurs) disebabkan oleh perbedaan suku bunga nominal yang ada di kedua negara tersebut.

  2.1.2.2 Sistem Nilai Tukar Menurut Triyono (2008) terdapat lima jenis sistem kurs utama yang berlaku, yaitu:

  1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate) Kurs ditentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa adanya campur tangan pemerintah dalam upaya stabilisasi melalui kebijakan moneter apabila terdapat campur tangan pemerintah maka sistem ini termasuk mengambang terkendali (managed floating exchange rate ).

  Sistem kurs terlambat (pegged exchange rate) Suatu negara menambatkan nilai mata uangnya dengan sesuatu atau sekelompok mata uang negara lainnya yang merupakan negara mitra dagang utama dari negara yang bersangkutan, ini berarti mata uang negara tersebut bergerak mengikuti mata uang dari negara yang menjadi tambatannya.

  3. Sistem kurs terlambat merangkak (crawling pegs) Dimana negara melakukan sedikit perubahan terhadap mata uangnya secara periodik dengan tujuan untuk bergerak ke arah suatu nilai tertentu dalam rentang waktu tertentu. Keuntungan utama dari sistem ini adalah negara dapat mengukur penyelesaian kursnya dalam periode yang lebih lama jika dibanding dengan kurs terlambat.

  4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies) Keuntungannya adalah sistem ini menawarkan stabilisasi mata uang suatu negara karena pergerakan mata uangnya disebar dalam sekeranjang mata uang. Mata uang yang dimasukkan dalam keranjang biasanya ditentukan oleh besarnya peranannya dalam membiayai perdagangan negara tertentu.

5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate)

  Dimana negara menetapkan dan mengumumkan sesuatu kurs membeli atau menjual valas dalam jumlah yang tidak terbatas dalam kurs tersebut. Bagi negara yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sektor luar negeri maupun gangguan seperti sering mengalami gangguan alam, menetapkan kurs tetap merupakan suatu kebijakan yang beresiko tinggi.

  2.1.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Perubahan dalam permintaan dan penawaran sesuatu valuta, yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta, disebabkan oleh banyak faktor seperti yang diuraikan dibawah ini (Sukirno, 2004:402): 1.

  Perubahan dalam citarasa masyarakat, perubahan citarasa masyarakat merupakan perubahan corak konsumsi mereka ke atas barang-barang yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor.

  2. Perubahan harga barang ekspor dan impor, harga sesuatu barang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan apakah sesuatu barang akan diimpor atau diekspor. Karena perubahan harga-harga barang ekspor dan impor akan menyebabkan perubahan dalam penawaran dan permintaan ke atas mata uang negara tersebut.

3. Kenaikan harga umum (inflasi), berpengaruh sangat besar kepada kurs pertukaran valuta asing.

  Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi, sangat penting peranannya dalam mempengaruhi aliran modal.

  5. Pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kurs tergantung corak pertumbuhan ekonomi yang berlaku.

  2.1.3 Suku Bunga Suku bunga merupakan sebuah pembayaran di masa yang akan datang atas perpindahan uang di masa lampau. Akibatnya, suku bunga selalu melibatkan perbandingan jumlah uang pada waktu yang berbeda (Mankiw, 2004:42). Suku bunga yang dibayarkan oleh bank disebut suku bunga nominal (nominal interest rate), dan suku bunga yang telah dikoreksi terhadap inflasi disebut suku bunga riil (real interest rate) (Mankiw, 2004:43).

  Suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) adalah suku bunga yang diberlakukan Bank Indonesia selaku bank sentral dengan mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia. Sedangkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) itu sendiri adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Dengan menjual SBI. Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005. BI menggunakan mekanisme ”BI rate” (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan. (www.wikipedia.sertifikat-bank- indonesia.com)

  2.1.3.1 Teori Tentang Tingkat Bunga Menurut Sunariyah (2006:81-93) ada beberapa teori dalam penentuan tingkat suku bunga yaitu:

  1. Teori Klasik Menurut teori klasik, permintaan dan penawaran investasi pada pasar modal menentukan tingkat bunga.

  2. Teori Preferensi Likuiditas Tingkat Tabungan Menurut Keynes, teori klasik hanya untuk tingkat bunga jangka panjang, Keynes mengembangkan teori preferensi likuiditas untuk menjelaskan tingkat suku bunga jangka pendek. Tingkat suku bunga diartikan sebagai harga yang dikeluarkan debitur untuk mendorong kreditur memindahkan uang tersebut. Tetapi uang yang dikeluarkan oleh debitur tersebut mempunyai resiko berupa tidak diterimanya tingkat suku bunga tertentu.

  3. Teori Dana Pinjaman Teori ini berasumsi bahwa tingkat bunga ditentukan oleh kekuatan dan penawaran dana pinjaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dana pinjaman dalam perekonomian antara lain: Permintaan pinjaman untuk konsumsi.

  b.

  Permintaan pinjaman oleh unit bisnis.

  c.

  Permintaan pinjaman untuk pemerintah. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dana pinjaman adalah: a.

  Tabungan domestik yang dilakukan baik oleh perusahaan, masyarakat dan pemerintah.

  b.

  Pengeluaran kelebihan uang oleh masyarakat.

  c.

  Dana dari sistem perbankan domestik: pengeluaran kartu kredit dari bank menciptakan rekening kredit pada bank dan meningkatkan penawaran untuk dana pinjaman.

  d.

  Meminjam dana luar negeri. Perpotongan antara permintaan dan penawaran dana pinjaman akan menentukan tingkat bunga di pasar dan kuantitas dana pinjaman.

  2.1.3.2 Fungsi Suku Bunga Menurut Sunariyah (2006:80-81) suku bunga memiliki beberapa fungsi dalam perekonomian antara lain sebagai berikut:

1. Sebagai daya tarik bagi penabung individu, institusi maupun lembaga yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.

  2. Tingkat suku bunga dapat digunakan sebagai alat kontrol bagi pemerintah terhadap dana langsung atau investasi pada sektor-

  3. Tingkat suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian.

  4. Pemerintah dapat memanipulasi tingkat bunga untuk meningkatkan produksi, sebagai akibatnya tingkat suku bunga dapat digunakan untuk mengontrol tingkat inflasi.

  2.1.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga Brigham dan Houston (2006:191), menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat bunga yaitu:

1. Kebijakan Bank Sentral

  Bank sentral mengambil peranan penting dalam mengendalikan jumlah uang yang beredar. Jika bank sentral ingin merangsang perekonomian. Bank sentral akan meningkatkan pertumbuhan penawaran uang. Dampak awal dari langkah ini adalah menurunkan tingkat suku bunga. Akan tetapi, jumlah uang yang beredar yang tinggi juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan ekspektasi tingkat inflasi yang selanjutnya akan dapat mendorong naiknya tingkat suku bunga. Dengan demikian kebijakan yang dilakukan bank sentral mempengaruhi tingkat suku bunga.

  2. Surplus atau Defisit Anggaran Negara Surplus atau defisitnya anggaran negara mempengaruhi suku daripada yang diperoleh melalui pajak, maka akan terjadi defisit, dan defisit tersebut harus ditutupi dengan cara melakukan pinjaman atau mencetak uang. Jika pemerintah melakukan pinjaman, maka hal ini akan menambah permintaan dari sumber dana untuk mendorong naik tingkat suku bunga. Jika pemerintah mencetak uang, maka hal ini akan meningkatkan ekspektasi tingkat inflasi dimasa depan yang juga akan mendorong naiknya tingkat suku bunga.

  3. Faktor-faktor Internasional Faktor-faktor internasional misalnya neraca perdagangan asing dan tingkat suku bunga dari negara-negara lain. Jika suatu negara lebih banyak melakukan impor daripada ekspor maka negara tersebut mengalami defisit neraca perdagangan. Ketika defisit neraca perdagangan terjadi, defisit tersebut harus didanai dan sumber pendanaan yang utama adalah utang. Oleh sebab itu, semakin besar defisit perdagangan, maka semakin besar jumlah yang harus dipinjam, dan seiring dengan meningkatnya pinjaman, maka tingkat suku bunga juga akan ikut naik.

4. Tingkat Aktivitas Bisnis

  Ketika perekonomian suatu negara berkembang, perusahaan akan jumlah uang yang beredar sebagai usaha untuk merangsang perekonomian. Dengan demikian permintaan modal akan menambah jumlah uang yang beredar yang akan mendorong naiknya tingkat suku bunga.

  2.1.4 Inflasi Inflasi adalah kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk- produk secara keseluruhan. Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money) (Tandelilin, 2010:342).

  2.1.4.1 Komponen Inflasi Ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi, Prathama dan Mandala (2004:203):

  1. Kenaikan harga Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi daripada harga periode sebelumnya.

  2. Bersifat umum

  Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga secara umum

  3. Berlangsung secara terus menerus Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika terjadi sesaat, karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan.

  2.1.4.2 Tingkat Inflasi Kondisi inflasi di tinjau dari parah tidaknya inflasi menurut Waluyo

  (2007:172) yaitu: 1.

  Inflasi ringan Inflasi yang besarnya < 10 persen /tahun.

  2. Inflasi sedang Inflasi yang besarnya 10-30 persen/tahun.

  3. Inflasi berat Inflasi yang besarnya 30-100 persen /tahun.

  4. Hyper inflation Inflasi yang besarnya > 100 persen/tahun.

  2.1.4.3 Metode Pengukuran Inflasi Suatu kenaikan harga dalam inflasi dapat diukur dengan menggunakan indeks harga. Ada beberapa indeks harga yang dapat digunakan untuk mengukur laju inflasi (Mankiw, 2004:30-39) antara lain:

  1. Consumer Price Index (CPI) Suatu ukuran atas keseluruhan biaya pembeliaan barang dan jasa 2.

  Produser Price Index (PPI) Ukuran biaya barang dan jasa keseluruhan yang dibeli oleh perusahaan.

  3. GNP Deflator

  GNP deflator merupakan ukuran tingkat harga yang dihitung sebagai perbandingan PDB nominal terhadap PDB riil dikalikan 100.

  2.1.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi Menurut Sukirno (2004:333-338), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi:

  1. Demand Pull Inflation (Inflasi Tarikan Permintaan)

  Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian, menarik harga ke atas untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan agregat.

  2. Cost Push Inflation (Inflasi Desakan Biaya)

  Inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunaan sumber daya yang kurang efektif. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh Demand Pull Inflation dan Cost

1. Domestic Inflation

  Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga barang secara umum di dalam negeri.

2. Imported Inflation

  Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang import secara umum.

  2.1.5 Produk Domestik Bruto (PDB) Produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir (final) yang diproduksi dalam sebuah negara pada suatu periode

  (Mankiw, 2004:6). Produk domestik bruto (PDB) adalah ukuran produksi barang dan jasa total suatu negara. Pertumbuhan PDB yang cepat merupakan indikasi terjadinya pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi membaik, maka daya beli masyarakat pun akan meningkat, dan ini merupakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan penjualannya. Dengan meningkatnya penjualan perusahaan, maka kesempatan perusahaan memperoleh keuntungan juga akan semakin meningkat (Tandelilin, 2010:342).

  Adapun komponen-komponen PDB, Mankiw (2004:11-13): 1.

  Konsumsi (consumption) rumah tangga, dengan perkecualian membeli rumah baru.

  2. Investasi (investment) Investasi (investment) adalah pembelian barang yang nantinya akan digunakan untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa.

  Investasi adalah jumlah dari pembelian peralatan modal, persediaan, dan bangunan atau struktur. Investasi pada bangunan mencakup pengeluaran untuk mendapatkan tempat tinggak baru.

  3. Belanja Pemerintah (government purchases) Belanja pemerintah (government purchases) mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah, negara bagian, dan pusat (federal). Belanja pemerintah mencakup upah pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum.

  4. Ekspor Neto (net exports) Ekspor neto (net exports) sama dengan pembeliaan produk dalam negeri oleh orang asing (ekspor) dikurangi pembeliaan produk luar negeri oleh warga negara (impor). Terdapat dua cara untuk mengukur PDB. PDB nominal, menggunakan harga saat ini untuk menentukan nilai produksi barang dan jasa dalam perekonomian. PDB riil, menggunakan harga tahun pokok yang tetap untuk menentukan nilai produksi barang dan jasa dalam perekonomian (Mankiw, 2004:15).

  Tingkat pengangguran ditunjukan oleh persentase dari total jumlah tenaga kerja yang masih belum bekerja (meliputi pula pengangguran tak kentara maupun pengangguran kentara). Tingkat pengangguran ini mencerminkan sejauhmana kapasitas operasi ekonomi sutau negara bisa dijalankan. Semakin besar tingkat pengangguran di suatu negara, berarti semakin besar kapasitas operasi ekonomi yang belum dimanfaatkan secara penuh. Jika hal ini terjadi maka tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi utama tidak termanfaatkan secara penuh (Tandelilin, 2010:342).

  Adapun jenis-jenis pengangguran menurut Mankiw (2004:135-141): 1.

  Pengangguran siklis (cyclical unemployment) Tingkat pengangguran normal, yang di sekitarnya jumlah pengangguran berfluktuasi, disebut tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment), dan deviasi dari tingkat alamiahnya disebut pengangguran siklis (cyclical unemployment).

2. Pengangguran friksional (frictional unemployment)

  Pengangguran yang terjadi karena mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan selera masing-masing pekerja memerlukan waktu.

3. Pengangguran struktural (structural unemployment)

  Pengangguran yang terjadi karena banyaknya pekerjaan yang yang ingin bekerja.

  2.1.7 Kesehatan Perusahaan Tingkat kesehatan keuangan perusahaan dapat dilihat dari prediksi kebangkrutan yang berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak dimasa mendatang. Menurut Brigham dan Daves (2003) dalam Fachrudin (2008:2) kesulitan keuangan dimulai ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya. Menurut Brigham dan Gapenski (1997) dalam Fachrudin (2008:2-3) ada beberapa definisi kesulitan keuangan, sesuai tipenya, yaitu:

  1. Economic failure Economic failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana

  pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi total biaya, termasuk biaya modalnya. Bisnis ini dapat melanjutkan operasinya sepanjang kreditur mau menyediakan modal dan pemiliknya mau menerima tingkat pengembalian (rate of return) di bawah pasar. Meskipun tidak ada suntikan modal baru saat aset tua sudah harus diganti, perusahaan dapat juga menjadi sehat secara ekonomi.

  2. Business failure

  Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan 3.

   Technical insolvency

  Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan technical insolvency jika tidak dapat memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo.

  Ketidakmampuan membayar hutang secara teknis menunjukan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang jika diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar hutangnya dan survive. Di sisi lain, jika technical insolvency adalah gejala awal kegagalan ekonomi, ini mungkin menjadi perhentian pertama menuju bencana keuangan (financial disaster).

  4. Insolvent in bankruptcy

  Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan insolvent in bankruptcy jika nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset. Kondisi ini lebih serius daripada technical insolvency karena umumnya, ini adalah tanda economic failure, dan bahkan mengarah kepada likuidasi bisnis. Perusahaan yang dalam keadaan insolvent in bankruptcy tidak perlu terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara hukum.

  5. Legal bankruptcy

  Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah diajukan tuntutan secara resmi dengan undang-undang.

  2.1.7.1 Penyebab Kesulitan Keuangan Perusahaan Lizal (2002) dalam Fachrudin (2008:6-7) mengelompokkan

  Kebangkrutan atau Trinitas Penyebab Kesulitan Keuangan. Menurut beliau, ada tiga alasan yang mungkin mengapa perusahaan menjadi bangkrut, yaitu:

  1. Neoclassical model Pada kasus ini kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya tidak tepat. Kasus restrukturisasi ini terjadi ketika kebangkrutan mempunyai campuran aset yang salah. Mengetimasi kesulitan dilakukan dengan data neraca dan laporan laba rugi. Misalnya

  profit/assets (untuk mengukur profitabiltas), dan liabilities/assets .

  2. Financial model Campuran aset benar tapi struktur keuangan salah dengan

  liquidity constraints (batasan likuiditas). Hal ini berarti bahwa

  walaupun perusahaan dapat bertahan hidup dalam jangka panjang tapi ia harus bangkrut juga dalam jangka pendek. Hubungan dengan pasar modal yang tidak sempurna dan struktur modal yang inherited menjadi pemicu utama dalam kasus ini. Tidak dapat secara terang ditentukan apakah dalam kasus ini kebangkrutan baik atau buruk untuk direstrukturisasi. Model ini mengestimasi kesulitan dengan indikator keuangan atau indikator kinerja seperti turnover/total assets, revenues/turnover, ROA,

  ROE, profit margin, stock turnover, receivables turnover, cash

  flow/total equity, debt ratio, cash flow/(liabilities-reserves), operating expenses, gearing ratio, turnover per employee, coverage of fixed assets, working capital, total equity per share, EPS ratio, dan sebagainya.

3. Corporate governance model

  Disini, kebangkrutan mempunyai campuran asset dan struktur keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk.

  Ketidakefisienan ini mendorong perusahaan menjadi out of the

  market sebagai konsekuensi dari masalah dalam tata kelola

  perusahaan yang tidak terpecahkan. Model ini mengestimasi kesulitan dengan informasi kepemilikan. Kepemilikan berhubungan dengan struktur tata kelola perusahaan dan goodwill perusahaan.

  Penyebab umum keggalan juga dikemukakan oleh Dylan (1996) dalam Fachrudin (2008:11). Penyebab-penyebab tersebut diuraikan berikut ini: 1.

  Pasar a.

  Penurunan pasar (atau terlalu optimis) b. Peningkatan persaingan c. Kurang daya saing

2. Keuangan a.

  Overtrading (perdagangan berlebih) atau satu proyek besar Banyak hutang c. Kurang modal d. Pengurusan kas yang tidak memadai e. Pengawasan tidak memadai f. Pengambilan uang berlebihan 3. Operasional a.

  Lokasi bisnis b. Terlalu ambisi dalam memulai bisnis c. Estimasi biaya terlalu optimis 4. Manusia a.

  Bidang pengurusan tidak seimbang atau tidak memadai b. Kurang perhatian atau dorongan dari pemilik-manajer c. Rekruitmen tidak memadai atau tidak tepat

  2.1.7.2 Prediksi Kesulitan Keuangan Perusahaan Menurut Fachrudin (2008:83) ada dua model prediksi yang digunakan, yaitu model prediksi kesulitan keuangan dengan rasio pinjaman bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap jumlah aset, dan model prediksi kesulitan keuangan dengan rasio hutang terhadap jumlah aset.

  Menurut Fachrudin (2007) dalam Fachrudin (2008:104:105), model prediksi satu tahun sebelum kesulitan dengan rasio jumlah kewajiban terhadap jumlah aset yang memberikan ketepatan prediksi sebesar 94,8% dan model dengan rasio hutang bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap jumlah aset yang memberikan ketepatan prediksi sebesar 93,1% pada penelitian menaksir kondisi perusahaannya. Pedoman tersebut bukan sesuatu yang mutlak karena model prediksi ini dibuat sehubungan dengan kondisi akibat krisis 1997 yang mungkin berbeda dengan kondisi perusahaan yang ditaksir, selain itu jenis industri, lingkungan, dan masa penelitian ini dibuat juga tidak sama. Model yang dapat dijadikan pedoman tersebut adalah:

  = 1 / [1 + exp (-4,254 + 15,272xa1i - 35,828xa2i)], dan = 1 / [1 + exp (-5,472 + 9,555xa8i – 32,347xa2i)]

  Fungsi distribusi logistik tersebut dapat lebih disederhanakan menjadi:

  • – (-4,254 + 15,272xa1i – 35,828xa2i)

  = 1 / [1 + 2,71828 ], dan

  • – (-5,472 + 9,555xa8i – 32,347xa2i)

  = 1 / [1 + 2,71828 ] Dimana: = probabilitas kesulitan keuangan, nilainya terletak antara 1 dan 0.

  Ekstrim 1 menunjukan kesulitan keuangan, sedangkan ekstrim 0 menunjukan tidak kesulitan keuangan. xa1i = rasio hutang bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap jumlah aset xa2i = rasio pendapatan bersih terhadap jumlah aset xa8i = rasio jumlah kewajiban terhadap jumlah aset

  Bila probabilitas mencapai angka 1 berarti perusahaan sudah memasuki status kesulitan keuangan yang paling parah, sedangkan bila mencapai

2.2 Penelitian Tardahulu

  Beaver (1966) yang melakukan studi tentang financial ratios as predictors of

  

failure . Dalam studinya ini menggunakan analisis univariat yaitu rasio keuangan

  untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Pemilihan rasio didasarkan pada kepopuleran rasionya dalam berbagai literature, kinerja rasio-rasio tersebut dalam penelitian sebelumnya dan kedekatannya dengan konsep arus kas (cash

  

flow ). Menggunakan 30 rasio keuangan, yang dikelompokkan dalam 6 kelompok

  besar (cash flow ratio, net income ratio, debt to total asset ratio, liquid asset to

  

total asset ratio, liquid assets to current debt ratio, turnover ratio ). Hasil

  penelitian terdapat lima rasio keuangan yang memiliki tingkat kesalahan dibawah 24% yaitu: arus kas/total hutang, asset bersih/total asset, total hutang/total asset, modal kerja/total asset dan rasio lancer.

  Altman (1968) mempelopori penggunaan teknik statistik multivariat melalui analisis diskriminan linear. Dalam penelitiannya, teknik statistik multivariat ini menggabungkan efek dari beberapa variabel dalam model yang mengklasifikasikan perusahaan yang pailit dan perusahaan yang tidak pailit.

  Menggunakan 33 sampel perusahaan yang pailit dan 33 perusahaan yang tidak pailit dalam kurun waktu 20 tahun (1946 sampai dengan 1965). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio rasio yang dibentuk oleh model memberikan kontribusi yaitu dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio tersebut adalah working capital/total assets

  

taxes/total assets (EBIT/TA), market value equity/book value of total debt

(MVE/BVD), dan sales/total assets (S/TA).

  Luciana (2004) tujuan dari penelitiannya adalah untuk menguji faktor- faktor yang mempengaruhi kondisi financial distress. Faktor-faktor yang diteliti tersebut adalah rasio keuangan, rasio relatif industri, sensitivitas perusahaan terhadap variabel makro ekonomi, reputasi auditor dan underwriter. Sampel terdiri dari 19 perusahaan dalam kondisi financial distress sebagai kondisi perusahaan yang delisted pada tahun 1999-2002 dan 41 perusahaan listed. Sampel dipilih berdasarkan purposive sampling approach. Menggunakan analisis regresi logistic untuk menguji hipotesis yang dirumuskan. Hasil empiris menunjukkan bahwa rasio relatif industri memiliki klasifikasi lebih tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa sensitivitas perusahaan terhadap variabel ekonomi makro dan reputasi auditor adalah variabel yang signifikan dalam memprediksi kondisi kesulitan keuangan perusahaan.

  Fachrudin (2007) melakukan studi tentang kesulitan perusahaan secara

  longitudinal terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta

  sejak sebelum krisis 1997 sampai setelah 2005 setelah krisis berlalu. Penelitian tersebut memprediksi kesulitan keuangan, menguji hubungan tata kelola perusahaan dengan perusahaan sedang kesulitan keuangan, dan mengestimasi probabilitas survive perusahaan kesulitan keuangan, serta menambahkan analisis kualitatif. Observasi dilakukan terhadap 30 perusahaan kesulitan keuangan dan 28 perusahaan tidak kesulitan keuangan sesuai dengan criteria yang telah ditetapkan. pengambilan sampel, seluruh populasi sasaran (target population) yang diobservasi. Untuk prediksi digunakan uji regresi logistik prosedur stepwise. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perusahaan kesulitan keuangan yang tetap kesulitan keuangan sampai tahun 2005 (46,67%), namun ada yang dapat survive sebagai perusahaan independent (53,33%). Kesulitan keuangan perusahaan tidak selalu berakhir dengan kebangkrutan. Penelitian juga menemukan bahwa model prediksi terbaik adalah model prediksi dengan rasio hutang bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap jumlah asset. Prediktornya adalah rasio hutang tersebut dan rasio profitabilitas berupa pendapatan bersih terhadap jumlah asset. Model ini menghasilkan ketepatan prediksi sebesar 94,8% dan mampu menjelaskan peluang terjadinya kesulitan keuangan dengan baik.

  Mishra (2013) dengan tujuan penelitiannya adalah untuk menguji hubungan antara faktor-faktor ekonomi makro dan indikator kesehatan perusahaan dalam bentuk Z-score. Variabel makro yang diambil adalah suku bunga bank, GDP, inflasi, dan trade openness diukur sebagai rasio ekspor ditambah impor terhadap GDP. Hubungan jangka panjang yang diidentifikasikan dengan menggunakan panel unit root test, panel cointegration analysis, dan panel long

  

run causality . Sampel penelitian adalah 73 perusahaan selama tahun 1990 sampai

  2009. Temuan penelitian mengungkapkan adanya hubungan kausal dua arah antara kesehatan perusahaan dan GDP, kesehatan perusahaan dan suku bunga bank, kesehatan perusahaan dan inflasi, dan kesehatan perusahaan dan trade

  openness . Efek tanda mengungkapkan tanda positif untuk semua panel untuk

  makro ekonomi dengan kondisi keuangan perusahaan yang disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

  1. Lolytha Septika Saragih (2010)

  Analisis Hubungan Variabel Makro Ekonomi dengan Risiko Kebangkruta n Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia

  Nilai tukar, suku bunga, dan inflasi dengan risiko kebangkruta n perusahaan (Z Score)

  Variabel makro ekonomi yang terdiri dari nilai tukar, suku bunga, dan inflasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap risiko kebangkrutan perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia

  2. Firdhaus yah (2010)

  Pengaruh Variabel Makro Terhadap Antisipasi Resiko Kebangkruta n dengan Analisis Altman Z-

  Score (Studi

  Pada Perusahaan Pertambanga n Batu Bara PT. Bumi Resources Tbk Periode 1999-2008)

  Inflasi, GDP, tingkat suku bunga SBI, kurs USD/IDR, dan tingkat penganggura n terhadap antisipasi risiko kebangkruta n (Z-Score)

  (1) Pada tahun 1999 sampai tahun 2000 kinerja keuangan mengalami peningkatan sebesar 48%. Pada tahun 2003 sampai tahun 2008 kinerja keuangan mulai mengalami peningkatan yang cukup baik. (2) pertambangan batu bara pada tahun 1999 sampai tahun 2000 mengalami posisi ambang kebangkrutan. Sedangkan pada tahun 2001 sampai tahun 2002 mengalami kebangkrutan. Pada tahun 2003-2008 dalam keadaan yang sehat atau tidak bangkrut. (3) Berdasarkan hasil uji F didapat nilai Fhitung sebesar 6,771 lebih besar dari Ftabel sebesar 6,256 dengan probabilitas 0,044. Hasil tersebut membuktikan bahwa variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap antisipasi resiko kebangkrutan PT. Bumi Resources Tbk. (4) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dominan terhadap antisipasi risiko kebangkrutan yaitu suku bunga SBI. Dengan nilai probabilitasnya 0,03 hampir mendekati 0,05.

  3. Nindia Analisis Kurs, tingkat Hasil uji F menunjukkan Desiyani Pengaruh suku bunga, bahwa variabel independen (2011) Indikator Return On kurs, tingkat suku bunga,

  Makro dan Asset return on asset (ROA), debt to Mikro (ROA), Debt total asset (DTA), dan free Terhadap to total asset cash flow (FCF) secara Prediksi (DTA), dan simultan berpengaruh Kebangkruta Free Cash signifikan terhadap financial n (Studi Flow (FCF) distress dan non financial Kasus Pada terhadap distress . Sedangkan hasil uji t Perusahaan financial pada kategori non distress Manufaktur distress dan menunjukkan bahwa hanya yang non financial variabel return on asset Terdaftar di distress (ROA), debt to total asset BEI Tahun (DTA), dan free cash flow 2007-2009) (FCF) yang berpengaruh secara parsial terhadap non

  financial distress .

2.3 Kerangka Konseptual

  Variabel makro ekonomi penting bagi investor maupun perusahaan menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan maupun keputusan yang akan diambil pada masa yang akan datang. Menurut Syahyunan (2013:171) risiko sistematis merupakan risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan melakukan diversivikasi, karena fluktuasi risiko ini dipengaruhi oleh faktor-faktor makro yang dapat mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Misalnya perubahan tingkat suku bunga, Lingkungan ekonomi makro adalah lingkungan yang mempengaruhi operasi perusahaan sehari-hari. Kemampuan investor dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro di masa datang, akan sangat berguna dalam pembuatan keputusan investasi yang menguntungkannya. Untuk itu, seorang investor harus memperhatikan beberapa indikator ekonomi makro yang bisa membantu mereka dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro (Tandelilin, 2010:341- 342).

  Menurut Tandelilin (2010:343) Faktor-faktor ekonomi makro secara empiris telah terbukti mempunyai pengaruh terhadap perkembangan investasi di beberapa negara. Tandelilin (1998) dalam Tandelilin (2010:343) merangkum beberapa faktor ekonomi makro yang berpengaruh terhadap investasi di suatu negara, sebagai: tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), laju pertumbuhan inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar mata uang (exchange rate).

  Ada banyak variabel yang mempengaruhi kinerja perusahaan diantaranya adalah kondisi perusahaan itu sendiri, kondisi industri, dan kondisi ekonomi makro. Akan tetapi, pada penelitian ini akan dilihat lima variabel yang dianggap memiliki hubungan yang cukup signifikan dan cukup dominan diantaranya inflasi, nilai tukar, suku bunga, PDB, dan tingkat pengangguran dengan kesehatan perusahaan. Berdasarkan latar belakang dan teori yang dikemukakan, maka kerangka konseptual yang digunakan adalah sebagai berikut:

  Suku Bunga SBI Inflasi PDB Tingkat Pengangguran

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

  Berdasarkan tinjauan teoritis, penelitian terdahulu, dan kerangka konseptual yang telah diuraikan maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

  1. Terdapat hubungan yang signifikan antara suku bunga SBI dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

  2. Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai inflasi dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

  3. Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai tukar dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

  Nilai Tukar

  Kesehatan Perusahaan Kesehatan Perusahaan Kesehatan Perusahaan Kesehatan Perusahaan Kesehatan Perusahaan

2.4 Hipotesis

  4. Terdapat hubungan yang signifikan antara PDB dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa

  5. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengangguran dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

Dokumen yang terkait

Analisis Hubungan Variabel Makro Ekonomi Dengan Kesehatan Perusahaan (Studi pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2004-2013)

1 39 93

Analisis Pengaruh Variabel Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro terhadap Profitabilitas Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

0 37 111

Analisis Hubungan Variabel Makro Ekonomi Dengan Resiko Kebangkrutan (ALTMAN Z-SCORE) Pada Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

1 23 94

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Pengaruh Corporate Governance Terhadap kinerja perusahaan pada Perusahaan Pulp & Kertas yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perusahaan Dalam Auditor Switchng Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TimelinessPelaporan Keuangan pada Perusahaan Go Public Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Karakteristik Komite Audit Terhadap Audit Report Lag Pada Perusahaan Manufaktur Barang Konsumsi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012

0 1 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Dividen - Pengaruh Likuiditas dan Profitabilitas terhadap Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Investasi - Analisis Risiko Saham Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Struktur Modal - Pengaruh Struktur Modal dan Return on Asset terhadap Rentabilitas Modal Sendiri pada Perusahaan Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 17