BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Diabetes Mellitus 1.1 Defenisi Diabetes Mellitus - Angka Kejadian dan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Diabetik Di Poliklinik EndokrinRumah Sakit Pirngadi Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Mellitus

1.1 Defenisi Diabetes Mellitus

  Diabetes mellitus merupakan sindrom kronis hiperglikemia akibat defisiensi insulin, resistensi terhadap insulin maupun karena keduanya. Keadaan ini berdampak pada gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta mengganggu homeostasis cairan dan elektrolit. Diabetes mellitus bersifat irreversibel, meskipun penderita diabetes mellitus memiliki gaya hidup normal, perlahan-lahan komplikasi akibat penyakit ini berdampak terhadap penurunan angka harapan hidup dan peningkatan biaya kesehatan . Dekompensasi metabolik akut pada diabetes mellitus dapat menyebabkan kematian (Kumar, 2009; Colledge, 2010).

  Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel beta (ß) pulau langerhans (pankreas) yang berfungsi untuk meningkatkan ambilan glukosa dan asam amino oleh organ target. Insulin berikatan dengan reseptornya, mengakibatkan protein spesifik di membran berfosforilasi. Bagian sel berespon terhadap insulin untuk meningkatkan jumlah transport protein-protein di membran sel untuk glukosa dan asam amino. Target utama insulin adalah hati, jaringan adiposa, otot dan rangka,dan satiety center di hipotalamus. Satiety centre adalah sekumpulan neuron di hipotalamus yang mengendalikan selera makan (Tate, 2012).

  Sekresi insulin diatur oleh kadar nutrisi dalam darah, stimulasi neural dan kontrol hormon. Insulin meningkat pada kondisi peningkatan glukosa darah, peningkatan hormon pada saat mencerna makanan seperti gastrin, sekretin, kholeksitokinin, dan peningkatan stimulasi parasimpatis, kadar glukosa darah diturunkan oleh insulin dengan cara merangsang jaringan-jaringan meningkatkan ambilan glukosa, hati dan otot rangka mengubah glukosa menjadi glikogen dan jaringan adiposa mengunakan glukosa untuk membentuk lemak. Insulin menurun saat kadar glukosa darah menurun, konsentrasi epinefrin dan stimulasi simpatis meningkat. Kadar glukosa darah ditingkatkan dengan menurunkan ambilan glukosa, hati memecah glikogen menjadi glukosa dan membentuk glukosa dari asam amino, jaringan adiposa memecahkan lemak dan melepaskan asam amino sebagai sumber energi dan hati mengubah asam lemak menjadi keton sebagai sumber energi diluar glukosa (Seeley, 2008).

  Pada penderita diabetes mellitus akan ditemukan keluhan-keluhan akibat gangguan insulin. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2011) membagi keluhan ini menjadi keluhan klasik dan keluhan lainnya. Keluhan klasik diabetes mellitus adalah poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya sedangkan keluhan lainnya terdiri dari lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada priaserta pruritus vulva pada wanita.

  Keluhan klasik diakibatkan oleh kerusakan insulin yang mengakibatkan penurunan anabolisme, terjadi hiperglikemia akibatnya tubuh berusaha untuk mengeluarkan glukosa melalui urine dan terjadilah diuresis osmotik sehingga penderita akan mengalami poliuria. Pengeluaran cairan dan garam melalui diuresis akan menjadi sinyal bagi tubuh untuk membutuhkan cairan sehingga penderita merasa haus dan akhirnya banyak minum (Polidipsia).Kerusakan insulin juga mengakibatkan glukosa dalam darah tidak dipergunakan sebagai sumber energi, meskipun terjadi hiperglikemia namun tubuh berespon dalam kebutuhan energi sehingga penderita mengalami polifagi. Peningkatan katabolisme melalui proses glukoneogenesis juga terjadi dan mengakibatkan penurunan berat badan pada penderita diabetes mellitus (Colledge, 2010).

  Diagnosa diabetes mellitus menurut kriteria diagnostik WHO-1999 dalam Kumar (2009) adalah sebagai berikut : Glukosa plasma puasa > 7.0 mmol/L (126mg/dL), glukosa plasma random > 11.1 mmol/L (200mg/dL), sebuah nilai laboratorium abnormal merupakan diagnosa bagi individu simptomatik dan dua nilai laboratorium dibutuhkan pada individu asimptomatik. Toleransi glukosa dinyatakan jika dua jam setelah makan kadar glukosa plasma 7.8-11.0 mmol/L.

  Pada orang dewasa diberikan glukosa sebanyak 75 gram dalam 300ml air, pada anak-anak sebanyak 1.75 gram glukosa per kilogram berat badan. Hasil hanya untuk plasma vena.

1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

  Ada tiga tipe utama diabetes mellitus yaitu diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus gestasional. Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga dengan diabetes tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ IDDM) dan diabetes mellitus tipe 2 disebut juga Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM) ( Flaws, 2002) Pada penderita diabetes mellitus tipe 1 terjadi ketiadaan insulin yang diakibatkan oleh kerusakan sel beta pulau langerhans. Kerusakan ini diakibatkan oleh sistem imun yang menghancurkan sel beta pankreas, beberapa peneliti mempercayai bahwa reaksi imun terhadap pankreas ini juga di akibatkan oleh masuknya benda-benda asing seperti virus. Diabetes mellitus tipe 1 sangat sulit dikontrol dan akhirnya berkembang menjadi masalah vaskular dan neural.

  Lipidemia dan tingginya kadar kolesterol darah memicu berbagai komplikasi vaskular seperti atherosklerosis, stroke, serangan jantung, gagal ginajal, gangren dan kebutaan. Kerusakan saraf berdampak terhadap kehilangan sensasi , gangguan fungsi kandung kemih dan impotensi. Komplikasi vaskular dan renal di minimalkan dengan penyuntikan insulin secara teratur. Transplantasi pulau langehans membantu penderita diabetes mellitus (Marieb, 2013). Pada Diabetes mellitus tipe 1 biasanya diikuti dengan hiperglikemia atau diabetik ketoacidosis (Flaws, 2002)

  Diabetes mellitus tipe 2 merupakan suatu kondisi resistansi terhadap kerja insulin di hati dan otot bersama dengan gangguan fungsi sel beta yang mengakibatkan defisiensi insulin yang relatif. Diabetes mellitus merupakn tipe yang paling sering ditemukan. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan gangguan toleransi glukosa yang sering diikuti dengan berbagai gangguan seperti kegemukan, hipertensi dan dislipidemia. Penyebab utama diabetes mellitus tipe 2 belum diketahui dengan jelas. Aktivitas fisik sangat membantu dalam meningkatkan sensitivitas insulin (Colledge, 2010) Diabetes gestasional merupakan tipe diabetes mellitus yang ditemukan pada wanita yang sedang hamil namun sebelumnya tidak menderita diabetes mellitus.

  Jika dibiarkan tanpa pengobatan selama kehamilan, akan menimbulkan resiko kematian pada bayi. Diabetes gestasional ini merupakan faktor terjadinya resiko diabetes mellitus tipe 2 di hari mendatang baik pada bayi yang dilahirkan maupun terhadap ibu itu sendiri (Flaws, 2002)

1.3 Kegawatdaruratan Metabolik Diabetes Mellitus.

  Kegawatdaruratan dalam diabetes mellitus terdiri dari ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemik hiperosmotik nonketotik dan hipoglikemia (Kumar, 2009; Davidson, 2010). Ketoasidosis diabetik merupakan defisisensi absolut dari insulin yang memicu hiperglikemia, dengan diuresis osmotik dan penurunan volume sehingga terjadi dehidrasi, dan asidosis akibat ketonemia, ketonuria dan kehilangan bikarbonat melalui urine. Ketoasidosis diabetik umumnya terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 1, kondisi ini dapat juga terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Penyebab yang paling paling sering adalah infeksi, berhentinya penggunaan insulin, dehidrasi, stress emosional (Flaws, 2002)

  Ketoasidosis diabetik merupakan suatu kegawatdaratan akut dan mengancam hidup. Gambaran klinis ketoasidosis diabetik adalah rasa haus yang berlebihan, urinasi, nyeri abdominal, letargi yang berkembang menjadi koma, dehidrasi yang memicu hipotensi dan syok, kadar glukosa darah 250-800 mg/dL, pH< 7,3 dan bikarbonat < 15 mEq/L, pernafasan kussmaul, dan nafas berbau aseton (Hopkins, 2008) Secara umum, penatalaksanaan ketoasidosis diabetik meliputi pemeliharaan jalan nafas, pemberian oksigen, pengobatan terhadap syok, rehidrasi melalui jalur intravena, pengurangan pottasium dan pemberian insulin secara intravena untuk mengatasi hiperglikemia (Flaws, 2002).

  Koma Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan metabolik akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol yang di tandai dengan terjadinya hiperosmolaritas tanpa disertai ketosis yang signifikan (Kumar, 2009). Gambaran klinisnya dapat berupa hiperglikemia (> 600mg/dL), poliuria, haus yang berlebihan dan penurunan berat badan, dehidrasi, kekeringan pada kulit dan selaput mukosa,konfusi, delitium hingga koma, penrubahan visual, hipotensi dan takikardi. Etiologi yang mungkin adalah adanya penyakit yang mengakibatkan dehidrasi, infeksi saluran kemih, stress yang mengakibatkan pada peningkatan kadar glukosa darah dan enghambatan insulin serta penggunaan obat- obatan yang meningkatkan kadar glukosa darah. (Hopkins, 2008)

  Hipoglikemia adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa dalam darah , 3.5mmol/L (63mg/dL). Kondisi ini terjadi pada orang-orang yang menggunakan pengobatan diabetes mellitus, yang paling sering terjadi adalah akibat penggunaan insulin (Colledge, 2010). Gambaran klinis hipoglikemia adalah pucat, diaforesis dan kulit terasa dingin, agitasi, disorientasi, sakit kepala, palpitasi, lapar, penurunan tingkat kesadaran dan koma. Penanganan dalam hipoglikemik adalah pengecekan kadar glukosa darah dan pemberian sumber-sumber glukosa untuk meningkatkan kadar glukosa darah (Hopkins, 2008).

  1. 4 Komplikasi Diabetes Mellitus

  Penggunaan insulin dalam penanganan diabetes mellitus masih tetap menurunkan berkurangnya angka harapan hidup pada penderita diabetes mellitus.

  Penyakit kardiovaskular menjadi 70% penyebab kematian yang diikuti oleh gagal ginjal (10%) dan infeksi (6%). Lama menderita diabetes mellitus dan fluktuasi hiperglikemia tidak diragukan lagi menjadi penyebab dalam berbagai komplikasi diabetes mellitus. Secara umum komplikasi diabetes mellitus terdiri dari komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular meliputi infark miokardial yang merusak sirkulasi koroner, stroke akibat kerusakan sirkulasi serebral, Iskemia karena kerusakan sirkulasi perifer. Komplikasi mikrovaskular terdiri dari retinopati, katarak, nefropati (gagal ginjal), neuropati perifer, neuropati otonom dan penyakit kaki (Colledge, 2010).

  Patofisiologi komplikasi pada diabetes mellitus ini terbagi atas 4 bagian besar yaitu glikosilasi non enzimatik berbagai protein, jalur poliol, aliran darah pembuluh darah kecil yang terganggu, perubahan hemodinamik, dan faktor lainnya. Glikosilasi non enzimatik berbagai protein seperti seperti hemoglobin, kolagen, Lemak densitas rendah/ Low density lipid (LDL) memicu akumulasi produk akhir glikosilasi yang menyebabkan cedera dan inflamasi melalui stimulasi faktor proinflamasi seperti komplemen dan sitokin. Jalur poliol dijelaskan melalui metabolisme glukosa dengan peningkatan aldose reduktase intaeluler yang mengakibatkan akumulasi sorbitol dan fruktosa. Hal ini dapat menyebabkan perubahan permeabilitas vaskuler, proliferasi sel dan struktur kapiler melalui stimulasi protein kinase C dan TGF-ß. Gngguan dalam aliran darah mikrovaskular adalah dalam hal suplai nutrisi dan oksigen. Oklusi mikrovaskuler berkaitan dengan vasokonstiktor seperti endotelin dan trombogenesis yang mengakibatkan kerusakan endotelial. Faktor lain seperti oksigen reaktif, stimulasi faktor pertumbuhan dan pertumbuhan faktor endotelial vaskular. Munculnya berbagai faktor ini adalah pelepasan jaringan iskemik (Kumar, 2009).

1.5 Pilar Penanganan Diabetes Mellitus

  Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi komplikasi vaskuler dan neuropati. Ada empat pilar penanganan diabetes mellitus yaitu diet, latihan, terapi dan eduasi. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal. Penanganan di sepanjang perjalanan penyakit diabetes akan bervariasi karena terjadinya perubahan pada gaya hidup, keadaan fisik dan mental penderita diabetes mellitus. Penatalaksanaan diabetes mellitus memerlukan pengkajian dan modifikasi penanganan dari tim kesehatan profesionl disamping penyesuaian terapi itu sendiri. Meskipun tim kesehatan akan mengarahkan penanganan tersebut, namun pasien sendirilah yang harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan terapi yang kompleks itu setiap harinya, karena itu edukasi menjadi komponen yang penting dalam penatalaksanaan diabetes mellitus seperti komponen-komponen lainnya (Smeltzer&Bare, 2002; PERKENI, 2011).

2. Neuropati Perifer Diabetik

2.1 Sistem Saraf

  Berjuta-juta sel tubuh manusia dikoordinasikan oleh dua sistem pengatur yaitu sistem endokrin dan sistem saraf. Sistem endokrin merupakan sekumpulan pengantar pesan melalui darah yang bekerja secara lambat, sedangkan sistem saraf bekerja secara cepat. Kedua sistem ini mengatur fungsi dalam tubuh manusia, mengatur dan mengorganisasikan berbagai aktivitas yang kita lihat sebagai tingkah laku (Vander, 2001). Pembahasan ini akan difokuskan pada sistem saraf.

  Fungsi utama dari sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisa dan menghantarkan informasi. Setiap aksi ini dikendalikan oleh neuron yang saling berhubungan dan membentuk sistem sensorik dan motorik (McPhee, 2006).

  Sistem saraf terbagi atas dua bagian utama yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan korda spinalis. Otak dan korda spinalis merupakan organ utama tempat informasi dari saraf-saraf terhubung dan terintegrasi. Baik otak maupun korda spinalis, dibungkus oleh sistem membran yang disebut meninges, tersuspensi dalam cairan serebrospinal dan dilindungi oleh tulang tengkorak dan kolumna vertebralis (Snell, 2010).

  Sistem saraf perifer terdiri dari reseptor sensori dan saraf-saraf. Reseptor sensori terdapat di kulit, otot, sendi-sendi, organ dalam dan panca indera, sedangkan saraf-sarafnya terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf spinal. Saraf perifer terbagi lagi menjadi dua divisi yaitu divisi sensorik (afferent division) dan divisi motorik (motorik division). Masing-masing divisi sistem saraf perifer memiliki kerja tertentu (Tate, 2012).

  Divisi sensorik sistem saraf perifer menghantarkan potensial aksi ke sistem saraf pusat, sedangkan divisi motorik menghantarkan potensial aksi dari sistem saraf pusat ke organ efektor seperti otot dan kelenjar. Divisi motorik dibagi dua menjadi somatik dan otonom. Somatik menghantarkan potensial aksi dari sistem saraf pusat ke otot rangka sedangkan otonom menghantarkan potensial aksi dari sistem saraf pusat ke otot jantung, otot polos dan kelenjar. Bagian otonom dibagi atas saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki kerja yang berlawanan. (Netter, 2002) Tortora (2009) menyatakan bahwa terdapat subdivisi sistem saraf perifer selain subdivisi otonom dan somatik yaitu subdivisi enterik. Sistem saraf enterik berisi sekitar juta neuron di sepanjang traktus gastrointestinal. Fungsi neuron-neuron dari pleksus enterik bekerja bebas dari sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat ke beberapa tingkat, meskipun berkomunikasi dengan sistem saraf pusat melalui neuron saraf simpatis dan parasimpatis. neuron sensorik sistem saraf ini mengatur perubahan kimia yang terjadi didalam saluran pencernaan dan dinding yang membatasinya, sedangkan neuron motornya mensekresikan zat-zat seperti asam dari lambung dan sel endokrin yan gmenghasilkan hormon serta memerintahkan kontraksi otot polos untuk mendorong makan di sepanjang saluran pencernaan.

2.2 Unit Fungsional Sistem Saraf.

  Jaringan saraf yang sangat kompleks tersusun atas dua komponen utama yaitu neuron-neuron dan sel pendukung neuron. Neuron merupakan unit dasar struktural dan fungsional sistem saraf, sedangkan sel pendukung sistem saraf berfungsi untuk menolong kerja dari neuron dan jumlahnya lima kali lebih banyak dari neuron (Fox, 2011) Neuron dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan bentuknya, namun setiap neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel serta dua unit proses yakni dendrit dan akson. Pada badan sel saraf (soma) terdapat nukleus dan organel-organel sel lainnya seperti retikulum endoplasmik kasar (RE), apparatus golgi dan sejumlah mitokondria. Dalam badan sel juga terdapat substansi nissl yang merupakan kumpulan dari retikulum endoplasmik kasar dan ribosom- ribosom bebas. Substansi ini berada dalam badan sel dan dendrit, namun bukan merupakan akson. Organel-organel dalam badan berperan dalam informasi genetik dan berfungsi secara mekanis untuk sintesis protein (Vander, 2001; Mader 2004; Tate, 2012).

  Unit proses dari sel saraf adalah dendrit dan akson. Dendrit adalah unit proses pendek yang merupakan perpanjangan dari badan sel. Diameternya meruncing dan dapat bercabang sebanyak-banyaknya. peran terpenting dari dendrit adalah menyalurkan impuls ke badan sel. Akson adalah unit prosesor panjang yang muncul dari elevasi berbentuk kerucut pada badan sel. Diameter akson ada yang sangat pendek (0,1 mm) seperti yang sering terdapat pada neuron di sistem saraf pusat dan dapat pula sangat panjang (3,0 m) seperti yang banyak terdapat pada sistem saraf perifer mulai dari reseptor sensori ke kulit dan dilanjutkan ke kaki, ke saraf perifer dan ke otak. Akson dengan diameter yang sangat panjang mengkonduksi impuls dengan cepat, sedangkan yang berdiameter pendek mengkonduksi impuls saraf dengan lambat. Akson sering disebut sebagai serabut saraf (Snell, 2011).

  Akson menghubungkan antara neuron yang satu dengan neuron yang lainnya, sel otot-otot dan sel-sel kelenjar. Jembatan antara sebuah neuron dengan sel lainnya disebut sinaps dan akhir dari akson pada sinaps disebut ujung presinaptik yang memiliki sejumlah vesikel yang berisi neurotransmitter. Neurotransmitter merupakan sebuah pembawa pesan (messenger) yang berupa substansi kimia yang melewati sinaps untuk merangsang atau menghambat sel postsinaptik (Seeley, 2008).

  Akson yang panjang dapat memfasilitasi pengangkutan organel-organel sel, protein-protein, nutrisi, ion dan neurotransmitter yang dihasilkan di badan sel ke ujung akson yang disebut transport akson (axonal transport). Transport akson ini membutuhkan energi dan sering dibagi menjadi komponen cepat dan komponen lambat. Komponen cepat sekitar 200-400 mm/ hari dan sangat penting dalam transmisi sinaptik sedangkan komponen lambat berkisar 2 hingga 8 mm/ hari dan menghantar 200 jenis protein yang berbeda yang penting untuk fungsi sinaptik. Transport aksonal dapat terjadi dari badan sel ke akson dan dendrit yang arahnya disebut transport anterograde dan dapat berbalik dari dendrit dan akson ke badan sel yang disebut transport retrograde (Shier, 2010; Fox, 2011;) Berdasarkan kecepatan konduksi saraf, diameter dan karakteristik fisiologisnya, serabut saraf terbagi atas serabut A-

  α yang berfungsi untuk propioseptif dan motor somatik dengan diameter 12-20µm dan kecepatan konduksi saraf 30-70m/s, serabut tipe A-βdengan fungsi sentuhan dan tekanan, diameter 5-12µm dengan kecepatan konduksi 70-120m/s, serabut A-γuntuk pergerakan otot dengan diameter 2-6µm dengan kecepatan konduksi saraf 15-30m/s. Serabut B berfungsi otonom preganglionik dengan diameter < 3µm dengan kecepatan konduksi 12-30 m/s. Serabut C berfungsi untuk sensasi nyeri dengan respon refleks dengan diameter 0,4-1,2µm dengan kecepatan konduksi 0,5-2 m/s dengan serabut simpatetikyang berfungsi simpatetik postganglionik dengan diameter 0,3 serta kecepatan konduksi 0,7-2,3 m/s (Waxman, 2007).

  Secara umum, neuron diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan bentuknya. Klasifikasi neuron menurut fungsinya didasarkan pada arah potensial aksi dikonduksikan, sedangkan klasifikasi neuron menurut strukturnya didasarkan pada jumlah proses (jumlah akson dan dendrit-dendrit) yang diteruskan dari badan sel. Berdasarkan fungsinya, neuron dibagi menjadi bagian sensori (afferent), bagian motor (efferent), dan bagian asosiasi (interneuron). Neuron berdasarkan strukturnya dibagi atas neuron multipolar, neuron bipolar dan neuron unipolar.

  (Tate, 2012). Selain dua klasifikasi utama diatas, neuron juga dapat dikelompokkan berdasarkan ukurannya (Snell, 2010).

  Neuron afferent mengkonduksi rangsangan-rangsangan dari reseptor sensori ke sistem saraf pusat. Reseptor sensori merupakan akhir dari akson panjang bagian distal dari neuron sensori. (Mader, 2004; Fox, 2011). Pada ujung distalnya, dendrit dari neuron ini atau struktur khusus yang bergabung bersama dendrit berperan sebagai reseptor sensori untuk mendeteksi lingkungan luar (Shier, 2010). Reseptor sensori dapat dapat berupa akhir saraf polos (reseptor nyeri) atau merupakan bagian dari organ yang kompleks seperti pada mata dan telinga (Mader, 2004). Stimulus yang sensitif pada neuron sensori merupakan protein khusus yang berikatan dengan substansi kimia pembawa pesan dan dapat ditemukan pada membran plasma semua sel. Neuron afferent terutama terletak pada sistem saraf perifer dan hanya sedikit berada pada korda spinalis untuk meneruskan sinyal-sinyal dari bagian perifer ke sistem saraf pusat. Berdasarkan stimulusnya, reseptor dapat digolongkan menjadi 1) Fotoreseptor (photoreceptors) yang berespon terhadap gelombang cahaya yang dapat dilihat, 2)Mekanoreseptor (mechanoreceptors) yang sensitif pada energi mekanis, 2)Termoreseptor (thermoreceptors) yang sensitif pada panas dan dingin,4) Osmoresptor (osmoreceptors) yang mendeteksi perubahan konsentrasi larutan di cairan ekstraseluler dan hasil dari perubahan aktivitas osmotik, 5)Kemoreseptor (chemoreceptors) yang peka pada zat kimia teretntu dan 6) Reseptor nyeri (nociceptors) yang peka dan mempersepsikan kerusakan jaringan sebagai rasa nyeri. Kerusakan pada jaringan yang dimaksud adalah seperti rasa tertusuk, terbakar atau distorsi jaringan (Sherwood, 2010).

  Neuron assosiasi (interneuron) sepenuhnya berada di sistem saraf pusat dan berperan dalam fungsi assosiatif, integratif pada fungsi saraf. Interneuron mentransmisikan impuls dari satu bagian otak atau korda spinalis ke bagian lainnya, mengarahkan rangsangan sensori ke area tertentu pada otak untuk di proses dan di interpretasikan dan impuls yang datang akan di transfer ke neuron efferent (Shier, 2010).

  Neuron efferent menghantarkan impuls keluar dari sistem saraf pusat menuju organ effektor seperti otot dan kelenjar. Neuron efferen (motorik) dibagi atas sistem saraf otonom dan sistem saraf somatik. Sistem saraf otonom berperan pada otot jantung dan otot polos yang bekerja diluar kesadaran dan sistem saraf somatik bekerja pada otot rangka yang terkontrol debawah pengaruh kesadaran (Shier, 2010; Fox, 2011). Saraf otonom terbagi lagi menjadi dua subdivisi yakni simpatis dan parasimpatis, kerja dari saraf simpatis berlawanan dengan saraf paraimpatis (Marieb, 2006; Fox, 2011)

  Klasifikasi neuron berdasarkan strukturnya dibagi menjadi multipolar, bipolar dan unipolar.Neuron multipolar memiliki banyak dendrit dan akson tunggal, neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan neuron unipolar hanya memiliki satu unit proses yang memanjang dari badan sel. Unit prosesini bercabang dua dari badan sel. Salah satu cabang diteruskan ke sistem saraf pusat dan cabang lainnya menuju ke sistem saraf perifer dan memilki reseptor sensori seperti dendrit. Dua cabang ini bertindak sebagai satu akson (Tate, 2012). Neuron motor biasanya merupkan neuron multipolar, neuron sensori biasanya berupa neuron unipolar dan neuron asosiasi merupakan tipe neuron multipolar (Mader, 2004). Neuron unipolar berlokasi di akar ganglion posterior, neuron bipolar berlokasi di retina, koklea sensori dan ganglia vestibular dan neuron multipolar berada di serabut saluran otak dan korda spinalis, saraf perifer dan sel motor dari korda spinalis (Snell, 2010).

  Neuron yang diklasifikasikan berdasarkan ukurannya dikelompokkan menjadi neuron tipe golgi I dan tipe golgi II. Neuron tipe golgi I yaitu neuron yang memiliki axon dengan panjang sekitar 1 m atau lebih. Akson dari neuron ini membentuk saluran serabut dari otak dan korda spinalis dan serabut saraf dari sistem saraf perifer. Contoh dari neuron ini adalah sel piramidal dari korteks serebri, sel purkinje dari korteks serebelum dan sel motor dari korda spinalis.

  Neuron tipe golgi II memiliki akson yang pendek dan ujungnya berdampingan pada badan sel atau kadang-kadang tidak ada samasekali. Dendrit yang muncul dari neuron tipe ini terlihat seperti bintang (Snell, 2010).

  Sel pendukung sistem saraf ada pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Neuroglia merupakan sebutan bagi sel pendukung pada sistem saraf pusat, sedangkan glia merupakan sel saraf pendukung yang berada pada sistems saraf pusat (Fox, 2011). Sel-sel pendukung ini ada sekitar 90% di sistem saraf pusat.

  Fungsi dari sel pendukung ini ialah membantu mendukung neuron-neuron baik secara fisik maupun metabolik dengan menjaga komposisi lingkungan ekstraseluler khusus dalam batas tersempit optimal untuk fungsi neuron (Sherwood, 2010). Neuroglia juga menghasilkan faktor pertumbuhan yang menutrisi neuron dan membuang ion-ion beserta neurotransmitter yang menumpuk diantara neuron, sehingga memungkinkan mereka untuk mentransmisikan informasi (Shier, 2010).

  Pada sistem saraf pusat ada dua sel glial yaitu sel schwann yang disebut juga dengan neurolema dan sel satelit (ganglionic gliocytes). Sel Schwan membungkus akson dan membentuk selubung myelin (Fox, 2011). Sel schwann dari akson membentuk jarak kecil satu sama lain dan intervalnya disebut dengan nodus ranvier. Kecepatan konduksi saraf bertambah sesuai dengan ketebalan selaput myelin yang membungkus akson (Rohkamm, 2004)

  Sel satelit mengelilingi badan sel pada sistem saraf pusat dan menyediakan nutrisi. Sel-sel ini melindungi neuron dari logam berat dan racun dengan menyerap dan menurunkan kontak ke badan sel neuron (Tate, 2012). Sel-sel pendukung di sistem saraf pusat ada empat yaitu oligodendrocytes yang membentuk selubung myelin di sekeliling akson akson pada sistem saraf pusat, microglia yang bergerak ke sistem saraf pusat dan memfagositosis benda asing, astrocytes yang mengatur lingkungan luar dari neuron-neuron di sistem saraf pusat dan sel ependymal yang membatasi ventrikel otak dan kanalis central dari korda spinalis (Fox, 2011). Sel ependymal dan pembuluh darah membentuk pleksus koroid yang berada didaerah tertentu di dalam ventrikel. Pleksus ini menghasilkan cairan serebrospinalis yang bersirkulasi di ventrikel otak (Tate, 2012)

2.3 Organisasi sel jaringan saraf

  Pada sistem saraf pusat, jaringan saraf berkumpul sehingga akson-akson membentuk berkas dan badan sel neuron beserta dendrit ikut berkumpul.

  Substansi putih merupakan berkas akson paralel dengan kumpulan selubung myelinnya dan substansi abu-abu merupakan kumpulan badan sel, dendrit dan akson yang tidak termyelinisasi. Substansi putih membentuk saluran yang memperbanyak potensial aksi dari area abu-abu pada sistem saraf pusat ke lainnya. Substansi abu-abu pada sistems saraf pusat membentuk fungsi integratif. Bagian luar otak yang berisi substansi abu-abu disebut korteks dan pada bagian dalam disebut nuclei. bagian luar korda spinalis merupakan substansi putih dan bagian tengahnya adalah substansi abu-abu. Di sistem saraf perifer, berkas akson membentuk saraf yang mengkonduksikan potensial aksi dari dan ke sistem saraf pusat, banyak saraf terdiri dari akson termyelinisasi dan sebagian kecil merupakan akson yang tidak termyelinisasi. Kumpulan badan sel neuron di sistem saraf perifer disebut ganglia (Seeley, 2008).

2.4 Sistem saraf Perifer

  Saraf perifer terdiri dari serabut saraf yang membawa informasi diantara sistem saraf pusat dan bagian-bagian tubuh. Komponen penting dalam saraf perifer adalah 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf spinal. Ada beberapa terminologi yang sering dipakai dalam sistem saraf perifer yaitu stimulus yang berarti perubahan yang terdeteksi seperti panas, cahaya, tekanan dan perubahan kimia; reseptor sensori yang berarti ujung serbut saraf afferent yang peka terhadap respon stimulus lingkungan dalam dan luar tubuh; dan transduksi sensori yang berarti konversi energi menjadi potensial reseptor; potensial reseptor yang berarti besarnya energi yang diubah ke dalam bentuk sinyal listrik.

  Serabut saraf dalam sistem saraf perifer baik pada saraf kranial maupun saraf spinal terdiri dari berkas akson berganda yang disebut fasikula. Fasikula dibungkus oleh selaput jaringan pengikat yang dinamakan perineurium. Jaringan pengikat yang berada diantara akson dan fasikula disebut endoneurim dan bila berada diantara fasikula-fasikula disebut epineurim. Fasikula berisi akson termyelinisasi dan tidak termyelinisasi, endoneurium dan dan pembuluh- pembuluh darah (Rohkamm, 2004).

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saraf merupakan berkas akson atau serabut saraf. Saraf yang hanya memiliki neuron sensori disebut saraf sensorik, saraf yang hanya memiliki neuron motor disebut saraf motorik dan umumnya saraf terdiri dri keduanya yang disebut saraf campuran. Saraf yang muncul dari otak disebut saraf kranial dan saraf yang keluar dari korda spinalis disebut saraf spinal.

  Berdasarkan struktur saraf perifer yang terdiri dari saraf kranial dan spinal, serabut saraf dapat dibagi menjadi empat yaitu : Serabut saraf efferent somatik umum (general somatic efferent fibers), Serabut efferent visceral umum (general

  visceral efferent fibers ), serabut afferent somatik umum (general somatic afferent

fibers ) dan serabut afferent visceral umum (general visceral afferent fibers).

  Serabut efferent somatik umum membawa rangsangan motor dari otak dan korda spinalis ke otot rangka dan merangsangnya untuk berkontraksi, serabut efferent visceral umum membawa rangsangan motor dari otak atau korda spinalis menuju berbagai otot polos dan kelenjar yang berasosiasi dengna organ-organ bagian dalam dan mengakibatkan otot berkontraksi dan kelenjar mengeluarkan sekresinya. Serabut afferent somatik umum membawa rangsangan sensori dari reseptor pada kulit dan otot ke otak atau korda spinalis dan serabut afferent visceral umum membawa sensori dari pembuluh darah dan organ dalam tubuh ke sistem saraf pusat (Shier, 2010). Istilah umum (general) dalam setiap pengelompokan diatas maksudnya adalah bahwa serabut-serabut bergabung dengan struktur umum seperti kulit, otot rangka, kelenjar dan organ bagian dalam tubuh. Tiga kelompok serabut hanya dijumpai pada struktur khusus yaitu serabut khusus : serabut efferent somatik khusus yang membawa impuls motor dari otak ke otot yang digunakan untuk mengunyah, menelan, berbicara dan ekspresi wajah, serabut afferent visceral khusus yang membawa impuls sensori dari reseptor olfaktori dan pengecap ke otak dan serabut somatik khusus yang membawa rangsangan dari reseptor penglihatan, pendengaran dan keseimbangan ke otak (Shier, 2010).

  Manusia memiliki 12 pasang saraf kranial, 2 paang berasal dari badan sel neuron yang berada di otak bagian depan dan 10 pasang muncul dari otak bagian tengah dan otak bagian belakang. Penulisan saraf kranial yang umum adalah dengan angka romawi dan nama. Angka romawi merujuk pada posisi saraf dari bagian depan otak ke belakang, sedangkan namanya menunjukkan bagian yang dipersarafi oleh saraf-saraf karanial ini (Fox, 2011). Urutan serta nama-nama keduabelas saraf kranial ini yaitu : saraf olfaktori (olfactory nerve), saraf optikus (

  optic nerve ), saraf okulomotor (oculomotor nerve), saraf trokhlearis (trochlear

nerve ), saraf trigeminal (trigeminal nerve), saraf abdusen (abducent nerve), saraf

  fasialis (facial nerve), saraf vestibulokokhlearis (vestibulocochlear nerve), saraf glossofaringeal (glossopharyngeal nerve), saraf vagus (vagus nerve), saraf assesorius (acessory nerve), saraf hipoglossus (hypoglossal nerve). Saraf olfaktori melewati lamina cribosa dan mempersarafi bagian atas dari membran mukosa nasal, saraf optikus berkaitan dengan mata, saraf okulomotor, troklear dan saraf abduscent mempersarafi otot okuler eksternal, saraf trigeminnal mempersarafi kulit wajah dan otot mastikasi dan saraf fasialis mempersarafi otot untuk mimik wajah, saraf vestibulukoklear berkaitan dengan otot stato-akustik, saraf vagus merupakan saraf kranial terpanjang untuk bagian lateral leher, mencapai dada dan kavum kavitis dan merupakan bagian parasimpatis dari bagian sistem saraf otonom. Saraf glosofaringeal, asesorius, dan hypoglossus mempersarafi otot leher, lidah dan faring (Rohen,2011) Rangkuman jenis serabut saraf dan fungsi masing-masing saraf kranial dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 2.4 Fungsi Saraf Kranial; dikutip dari Hole’s Human Anatomy And Physiology, Hal: 417.

  Saraf Jenis Fungsi

  I Olfaktori Serabut saraf sensorik Sensorik menghantar rangsang yang terhubung dengan indera

  II Optikus Serabut saraf sensorik Sensori menghantar rangsang yang terhubung dengan indra penglihatan

  III Okulomotor Terutama Serabut saraf motorik motor menghantar rangsang untuk mengangkat kelopak mata, pergerakan mata, mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata dan fokus lensa.

  Beberapa serabut sensorik menghantarkna rangsang yang terhubung dengan propioseptor

  IV Trokhlearis Terutama Serabut motorik menghantar motor rangsang ke otot untuk perpindahan bola mata Beberapa serabut sensori menghantar rangsang yang terhubung denngan propioseptor

  V Trigeminal Serabut saraf sensorik Divisi Opthalmik menghantar rangsang dari dari permukaan mata, kelenjar

  Campuran airmata. kulit kepala, dahi dan Divisi Maksillaris bagian kelopak mata bagian atas.

  Divisi Mandibular Serabut saraf sensorik menghantar rangsang dari gigi bagian atas, gusi bagian atas, bibir bagian atas, lapisan langit-langit mulut, dan kulit wajah Serabut saraf sensori menghantar rangsang dari kulit kepala, kulit rahang, gigi bagian bawah, gusi bagian bawah, dan bibir bawah. Serabut saraf motorik menghantar rangsang dari otot mastikasi dan otot di dasar mulut

  VI Abdusen Terutama Serabut motor menghantar motor rangsang ke otot yang menggerakkan mata Beberapa serabut saraf sensori menghantar rangsang yang terhubung dengan propioseptor

  VII Fasialis Campuran Saraf sensori menghantar rangsang yang terhubung dengan reseptor pengecapan pada bagian anterior lidah Serabut saraf motorik menghantar rangsang dari otot ekspresi wajah, kelenjar airmata dan kelenjar air liur

  VIII Vestibulokokhlearis Serabut saraf sensori Cabang Vestibular menghantar rangsang yang

  Cabang Kokhlearis terhubung dengan sensasi Sensori keseimbangan

  Serabut saraf sensorik menghantar rangsang yang terhubung dengan indera pendengaran

  IX Glossofaringeal Campuran Serabut saraf sensori menghantar rangsang dari faring, tonsil, lidah bagian posterior dan arteri karotis Serabut saraf motorik menghantar rangsang ke kelenjar air liur dan otot faring yang digunakan untuk mengunyah

  X Vagus Campuran Serabut saraf motorik somatik menghantarkan rangsang ke otot yang terhubung dengan berbicara dan menelan; motor otonom menghantar rangsang ke organ bagian dalam dada dan abdomen Serabut saraf sensorik menghantar rangsang dari faring, laring, esofagus dan organ tubuh bagian dalam dari dada dan abdomen

  XI Assesorius Serabut motorik menghantar Cabang Kranial rangsang ke otot palatum

  Terutama lunak, faring dan laring Cabang Spinal motor

  Serabut motor menghantarkan rangsang dari otot leher dan punggung, beberapa bagian masukan propioseptor Serabut motorik

  XII Hipoglossus menghantarkan rangsang ke otot yang berperan dalam perpindahan lidah, dan beberapa masukan propioseptor

  Lesi pada setiap saraf kranial mengakibatkan gangguan pada bagian tubuh yang dipersarafinya sesuai dengan jenis serabut sarafnya masing-masing. Lesi pada saraf I mengakibatkan ketidakmampuan untuk menghidu, pada saraf II mengakibatkan kebutaan afeksi sisi, pada saraf III mengakibatkan pelebaran pupil, deviasi secara inferior dan lateral berkaitan dengan paralisis otot, penglihatan ganda, kekaburan penglihatan kelopak mata yang terasa berat, pada saraf IV mengakibatkan deviasi mata secara superior dan medial, penglihatan ganda, pada saraf V mengakibatkan neuralgia trigeminal, nyeri berat sepanjang cabang saraf, kehilangan sensasi taktil di wajah, kelemahan dalam menggigit dan mengatupkan rahang, pada saraf VI akan mengakibatkan deviasi mata secara medial, pada saraf VII akan mengakibatkan kelumpuhan wajah (facial palsy), kehilangan sensasi rasa pada 2/3 bagian lidah dan penurunan salivasi, pada saraf

  VIII terjadi penurunan atau kehilangan pendengaran (saraf koklear); kehilangan keseimbangan, mual, vertigo dan pusing (saraf vestibular), pada saraf IX mengakibatkan kesulitan dalam menelan, kehilangan sensasi di 1/3 bagian posterior lidah dan penurunan salivsi, pada saraf X mengakibatkan kesulitan menelan dan atau keparauan, penyimpangan uvula pada bagian yang tidak berfungsi, pada saraf XI mengakibatkan kesulitan untuk mengelevasikan scapula atau merotasikan leher, dan pada saraf XII akan mengakibatkan penyimpangan idah ke sisi saraf yang rusak ketika ditonjolkan keluar ( Tate, 2012)

  Saraf spinalis merupakan komponen dari sistem saraf perifer yang keluar dari sistem saraf pusat yaitu korda spinalis. Saraf spinal ada 31 pasang dan ditulis dengan huruf serta angka. Huruf menunjukkan daerah pada kolumna vertebra tempat munculnya saraf tersebut, C menunjukkan servikal, T menunjukkan thorakalis, L menunjukkan lumbalis dan S menunjukkan sakrum. Nomor pada penamaan saraf spinalis meunjukkan lokasi di setiap daerah tempat munculnya saraf pada kolumna vertebralis dengan nomor terkecil menunjukkan bagian paling superior. Saraf servikal terdiri dari C1-C8, saraf thorakalis menunjukkan T1-T12, saraf lumbalis terdiri dari L1-L5 dan saraf sakrum terdiri dari S1-S5.

  Setiap saraf spinal kecuali C1 memiliki distribusi sensori kutaneus spesifik di seluruh tubuh.. Dermatomal merupakan sebuah istilah daerah pada kulit yang disuplai oleh inervasi sensorik oleh saraf- saraf spinal. Kehilangan sensasi pada pola dermatomal memberikan informasi terhadap bagian saraf yang rusak (Seeley, 2008). Reseptor kutaneus berespon terhadap sentuhan, nyeri dan suhu.

2.5 Neuropati Perifer Diabetik

  Neuropati perifer merupakan kelainan neurologik yang umum pada saraf perifer. Neuropati perifer memiliki banyak penyebab dengan berbagai manifestasi.

  Neuropati dapat terjadi akibat kelainan imun, kurang nutrisi, diabetes mellitus, infeksi, kanker, penggunaan alkohol, keracunan metabolik dan kelainan endokrin (Torre, 2009). Topik ini difokuskan pada neuropati perifer akibat diabetes mellitus.

  Diabetes mellitus dapat merusak saraf perifer dari berbagai cara. Hiperglikemia memicu peningkatn sorbitol dan fruktosa pada sel schwann, akumulasinya mengakibatkan gangguan pada fungsi dan strukturnya.perubahan histologik awal adalah demyelinisasi segmental karena kerusakan sel schwann, pada tahap awal, akson akan mengalami fase pemulihan yang reversibel namun akhirnya akan berkembang menjadi fase ireversibel (Kumar, 2009).

  Neuropati perifer mengakibatkan disfungsi sensori, disfungsi motor dan disfungsi otonom. Gangguan sensori sering kali menjadi tanda dari neuropati akibat diabetes mellitus. Gangguan proses sensori dapat mengakibatkan hiperalgesia (lebih nyeri dari stimulasi berat), hiperesthesia (pengingkatan sensasi taktil dengan penurunan ambang), paresthesia (sensasi spontan atau dirangsang), disthesia (sensasi yang sangat nyeri baik spontan maupun disengaja) atau alloynia (nyeri dari stimulasi ringan), kerusakan yang mengacu pada pertambahan kecepatan konduksi. Serabut α dan β yang termyelinisasi menyebabkan parasthesia seperti kesemutan, menusuk-nusuk, rasa tegang, tertekan dan bengkak.

  Kerusakan yang mengacu pada penurunan kecepatan konduksi, penipisan myelinisasi A-ð dan serabut C mengakibatkan analgesia, sensasi suhu abnormal seperti rasa dingin dan panas, serta nyeri seperti terbakar, terpotong, tertarik dan rasa tumpul (Rohkamm, 2004). Neuropati otonom berdampak pada hipotensi orthostatik, gangguan pengosongan lambung, diare, pengosongan kandung kemih yng tertunda, disfungsi erektil, dan lain-lain.

  Klasifikasi neuropati akibat diabetes dapat digolongkan atas distal sensory

  

polyneuropathy, autonomic neuropathy, lumbar polyradiculopathy, thoracic

radiculopathy, mononeuropathy, mononeuritis multiplex. Distal sensory

polyneuropathy ditandai dengan symptom stocking-glove yakni pada tangan dan

  kaki, dengan gejala nyeri, rasa kebas di kaki dan merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada penderita diabetes, autonomic neuropathy kemunculannya biasanya tersembunyi dan menyerang berbagai organ secara simultan dan merupakan komplikasi yang tidak terdiagnosa, lumbar polyradiculopathy ditandai dengan nyeri unilateral pada paha, kehilangan sensasi yang minimal, terjadi akibat diabetes mellitus jangka panjang, thoracic radiculopathy muncul dengan nyeri pada bagian abdominal yang disertai dengan pembengkakan pada abdomen, penderita umumnya menjalani pemeriksaan gastrointestinal sebelum ditemukan diagnose yang tepat, mononeuropathy merupakan munculnya disfungsi pada akar saraf tunggal, seringkali nyeri, saraf kranial yang terseranh umumnya okulomotor, merupakan factor yang umum menyebabkan carpal tunnel, mononeuritis multiplex merupakan onset berkepanjangan dari disfungsi neurologic fokal pada berbagai area, symptom utamanya adalah nyeri, kelemahan dan rasa kebas pada kaki umumnya muncul unilateral (Fink, 2005)

  Neuropati perifer diabetik jenis distal sensory polyneuropathy merupakan faktor utama terjadinya kaki diabetik. Pada penderita diabetes mellitus harus dilakukan skrining dengan berbagai pemeriksaan seperti sensasi tusuk, suhu dan persepsi getaran. Perhatian khusus perlu diberikan pemberi layanan kesehatan pada penderita diabetes mellitus karena neuropati perifer dapat berdampak pada cedera tungkai bawah yang tidak disadari serta luka terbuka yang perlu perhatian khusus. Bahaya akibat kehilangan sensasi pada neuropati perifer ini juga sering diabaikan oleh penderita terutama jika bagian-bagian lainnya masih dapat merasakan sensasi dengan baik, oleh karena itu pengkajian sensori taktil pada penderita diabetes mellitus merupakan tindakan yang penting dalam perawatan penderita diabetes mellitus (Fenderson, 2009).

  Fink (2005) menyatakan bahwa penanganan neuropati dilakukan dengan memberikan antidepresan, antikonvulsan, mengendalikan kadar glukosa darah, menurunkan faktor resiko kardiovaskular, mengendalikan berat dengan pola makan dan aktivitas serta perawatan kaki untuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi.

  Pengkajian sensori pada plantar kaki dapat dilakukan dengan semmes weinstein monofilament 5.07 gaya 10 gr, dilakukan di sepuluh titik pada telapak kaki. Sepuluh titik menggambarkan distribusi kutaneus (cutaneous distribution) pleksus saraf sakral dan lumbalis pada pada tungkai bagian bawah (Tate, 2012). Peta distribusi kutaneus dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 2.5.1 Peta Distribusi Kutaneus pada kaki Dikutip dari : Seeley’s Principles of anatomy and physiology; Hal. 315

  Tibial Nerve (L4-S3) Sural nerve (L5-S2) Femoral Nerve (L3-L4) Common Fibular Nerve (L4-S2)

   Skor keparahan dari pengkajian dengan alat ini menunjukkan derajat

  neuropati perifer yang diderita, semakin tinggi derajat neuropati yang diderita, maka semakin tinggi resiko terjadinya luka dan kerusakan pada kaki (Fenderson, 2009).

Gambar 2.5.2 Peta Titik Neuropati di Kaki Dikutip dari : British Columbia Povincial Nursing Skin and Wound Comitee

  Titik 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 10 dipersarafi oleh tibial nerve yag merupakan plexus saraf spinal L4-S3. Insensitivitas pada titik ini menunjukkan cedera pada percabangan kutaneus yang disuplai oleh saraf tibial yaitu kulit pada permukaan posterior kaki dan bagian calcaneus kaki, percabangan motornya terdapat pada bagian otot punggung atas, tungkai dan kaki (kecuali pada bicep femoris), bagian posterior adductor magnus, tibialis posterior, poplitea, flexor digitorum longus, flexor hallucius longus dan otot kaki bagian dalam. Saraf ini merupakan saraf yang melayani hampir sebahagian besar bagian plantar kaki (Marieb, 2013)

  Titik 9 dipersarafi oleh sural nerve. Insensitivitas pada titik ini menunjukkan adanya cedera pada percabangan sural nerve yang mempersarafi bagian lateral dan sepertiga posterior kaki dan bagian lateral kaki. Titik 8 dipersarafi oleh femoral nerve. Insensitifitas pada daerah ini menunjukkan cedera percabangan saraf ini pada kaki. Saraf femoral menyuplai otot untuk fleksi paha dan ekstensi kaki dan kulit pada bagian anterior dan lateral paha, bagian medial tungkai dan kaki. Titik 1 dipersarafi oleh common fibular nerve. Insensitivitas pada titik ini menunjukkan cedera pada perrcabangan sarafnya. common fibular

  nerve menyuplai kepala bicep femoris, otot-otot dorsofleksi, fleksi bagian plantar, kulit bagian lateral dan anterior tungkai dan bagian dorsal kaki (Seeley, 2008).

Dokumen yang terkait

Angka Kejadian dan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Diabetik Di Poliklinik EndokrinRumah Sakit Pirngadi Medan

3 75 86

Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus di Poliklinik Endokrin RSUD. Dr. Pirngadi Medan

21 183 72

Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Pada Pasien Diabetes Mellitus Tentang Diet Diabetes Mellitus Di Rsup Haji Adam Malik Medan 2014

0 38 80

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Diabetes Mellitus - Karakteristik Penderita Penyakit Diabetes Mellitus Dengan Kompliksi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Martha Friska Tahun 2014

0 7 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Diabetes Mellitus 2.1.1. Pengertian Diabetes Mellitus - Gambaran Pola Makan dan Dukungan Keluarga Penderita Diabetes Melitus yang Menjalani Rawat Jalan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Diabetes Mellitus - Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2012-2013

0 1 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus (DM) - Pengaruh Gaya Hidup terhadap Kejadian DM Tipe 2 di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

0 0 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus (DM) - Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Diabetes Mellitus dengan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2014

0 0 11

Angka Kejadian dan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Diabetik Di Poliklinik EndokrinRumah Sakit Pirngadi Medan

0 0 16